Hamka: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
city |
→Pranala luar: kategori |
||
(28 revisi perantara oleh 21 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox
|image = Buya
|imagesize =
|alt =
|caption = Potret Hamka
|office =[[Majelis Ulama Indonesia|Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia]]
|honorific_prefix = ▼
|president = [[Soeharto]]
|order =
|term_start = 26 Juli 1975
|term_end = 19 Juli 1981
|predecessor = [[Haji Abdul Malik Karim Amrullah|''jabatan dibentuk'']]
|successor = [[Syukri Ghozali]]
|name = Abdul Malik Karim Amrullah
|pseudonym = Hamka
|birth_date = {{birth date|1908|02|17}}
|birth_place = [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]], [[
|death_date = {{Death date and age|1981|7|24|1908|2|17}}
|death_place = [[Jakarta]], Indonesia
|restingplace = [[Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir]], [[Jakarta Selatan]], [[DKI Jakarta]]
|nationality = [[Indonesia]]
|ethnicity = [[Minangkabau]]
|school_tradition =
|notableworks = ''Tafsir Al-Azhar'' {{br}} ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' {{br}} ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]''
|subject = Tafsir Al-Qur'an, fikih (hukum Islam), tarikh (sejarah Islam), tasawuf, dan sastra
|movement = [[Muhammadiyah]], [[Majelis Ulama Indonesia]]
|children = [[Rusydi Hamka|Rusydi]], [[Irfan Hamka|Irfan]], [[Aliyah Hamka|Aliyah]], [[Afif Hamka|Afif]], Hisyam, Husna, [[Fathiyah Hamka-Vickri|Fathiyah]], [[
|parents = {{unbulleted list|[[Abdul Karim Amrullah]] (ayah)|[[Sitti Shafiah]] (ibu)}}
|relatives = [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur]] (kakak ipar)
|notable_ideas =
|influences = [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]], [[Muhammad Iqbal]], [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti]]
|influenced = [[Muhammadiyah]] dan [[Majelis Ulama Indonesia]]
|spouse = {{marriage|Sitti Raham|5 April 1929|1 January 1972}}{{br}}{{marriage|Sitti Khadijah|19 August 1973}}
|signature = Signature of Hamka.svg
|signature_alt =
|quote =
|website =
}}
[[Profesor|Prof.]] [[Honoris Causa|Dr.]] [[Haji (gelar)|H.]] '''Abdul Malik Karim Amrullah''' Datuk Indomo, populer dengan [[nama pena]]nya, '''Hamka''' ({{lahirmati|[[Kabupaten Agam|Agam]]|17|2|1908|[[Jakarta]]|24|7|1981}}), adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia sempat berkecimpung di politik melalui [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat [[Majelis Ulama Indonesia|Ketua Majelis Ulama Indonesia]] (MUI) pertama, dan aktif dalam [[Muhammadiyah]] hingga akhir hayatnya. [[Universitas al-Azhar]] dan [[Universitas Nasional Malaysia]] menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara [[Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)|Universitas Moestopo]] mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk [[Universitas Hamka]] milik Muhammadiyah dan masuk dalam [[daftar Pahlawan Nasional Indonesia]].
Dibayangi nama besar ayahnya [[Abdul Karim Amrullah]], Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Alih-alih menyelesaikan pendidikannya di [[Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek|Thawalib]], ia merantau ke [[Jawa]] pada umur 16 tahun. Selang setahun, ia pulang membesarkan [[Muhammadiyah]] di [[Kota Padang Panjang|Padang Panjang]]. Pengalaman ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki ijazah dan kemampuan berbahasa Arabnya yang terbatas mendorong Hamka muda pergi ke [[
Selama [[Revolusi Nasional Indonesia|revolusi fisik Indonesia]], Hamka bergerilya di
Hamka bebas pada Mei 1966 menjelang berakhirnya kekuasaan [[Soekarno]].<ref>Prof. Dr. Hamka. 1982. Tafsir Al Azhar Juz XXX. Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas (hal 198)</ref> Pada masa Orde Baru [[Soeharto]], ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di [[Masjid Agung Al-Azhar]] serta berceramah di [[Radio Republik Indonesia]] (RRI) dan [[Televisi Republik Indonesia]] (TVRI). Ketika pemerintah menjajaki pembentukan [[Majelis Ulama Indonesia]] pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara [[aklamasi]] sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama [[Alamsjah Ratoe Perwiranegara]] untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan
== Kehidupan awal ==
Baris 43 ⟶ 51:
[[Berkas:Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.jpg|jmpl|kiri|262px|[[Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka|Rumah Kelahiran Buya Hamka]] yang dijadikan museum sejak 2001, tempat Hamka lahir, diasuh dan tinggal bersama ''anduang-''nya selama di [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]]]]
Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 <small><nowiki>[</nowiki>[[Kalender Hijriyah]]: 14 Muharram 1326<nowiki>]</nowiki></small> di Tanah Sirah, kini masuk wilayah [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Nagari Sungai Batang]], [[Kabupaten Agam]], [[
Di [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]], Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering bepergian untuk [[dakwah|berdakwah]]. Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke [[Kota Padang Panjang|Padang Panjang]], belajar membaca [[al-Qur'an]] dan bacaan salat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa.{{efn|Ada dua jenis sekolah pemerintah bagi anak-anak Minangkabau, yakni Sekolah Gubernemen dengan jenjang tertinggi sampai kelas empat dan Sekolah Desa dengan jenjang terakhir sampai kelas tiga. Hajir Rasul berencana menyekolahkan Malik di Sekolah Gubernemen, tetapi karena terlambat mendaftar sehingga kelas yang dibuka terlanjur penuh, Malik didaftarkan di Sekolah Desa.}} Pada 1916, [[Zainuddin Labay El Yunusy]] membuka sekolah agama [[Diniyah School]], menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis [[surau]]. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di [[Diniyah School]]. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.
Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke [[Sumatra Thawalib|Thawalib]]. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai ''nahwu,'' dan ilmu ''saraf''. Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran ''arudh'' yang membahas tentang [[syair]] dalam bahasa Arab.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=79}} Kendati kegiatannya dari pagi sampai sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil terkenal nakal. Ia sering mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti. Karena gemar menonton film, Malik pernah mengelabui ayahnya, diam-diam tidak datang ke surau untuk mengintip [[film bisu]] yang sedang diputar di bioskop.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=113-116}}
Baris 51 ⟶ 59:
=== Perceraian orang tua ===
[[Berkas:Abdul Karim Amrullah.jpg|jmpl|150px|[[Abdul Karim Amrullah]], ayah Hamka]]
Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian orang tuanya. Walaupun sang ayah adalah penganut agama yang taat, kerabat dari pihak ibunya masih menjalankan praktik adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hari-hari pertama setelah orang tuanya bercerai, Malik bolos sekolah. Ia menghabiskan waktu
Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali
[[Berkas:Masjid Jamik Parabek oleh Denas.jpg|ka|jmpl|262px|[[Masjid Jamik Parabek]]]]
Permasalahan keluarga membuat Malik sering
Di Parabek, Hamka remaja untuk pertama kali hidup mandiri. Ia belajar memenuhi kebutuhan harian sebagai santri. Meskipun demikian, ia masih membawa kenakalannya. Malik pernah usil menakuti penduduk sekitar asrama yang mengaitkan wabah demam di Parabek dengan keberadaan hantu yang berwujud seperti harimau. Karena tak percaya dan ingin membuktikan bahwa hal tersebut hanya takhayul, ia menyamar menyerupai ciri-ciri hantu pada malam hari. Dengan mengenakan sorban dan mencoret-coret mukanya dengan kapur, Malik berjalan keluar asrama. Orang-orang yang melihat dan ketakutan berencana membuat perangkap keesokan hari, tetapi Malik segera memberi tahu teman seasramanya tentang keusilannya, meyakinkan bahwa hantu itu tidak ada. Selama berasrama, Malik memanfaatkan hari Sabtu yang dibebaskan untuk keluar dengan pergi berkeliling kampung sekitar Parabek. Karena tertarik mendengar pidato adat, Malik sering menghadiri pelantikan-pelantikan penghulu, saat para tetua adat berkumpul. Ia mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi dalam pidato adat yang didengarnya.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=17}} Demi mendalami minatnya, ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=52}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=7}}<!-- Kecenderungannya ini kelak membuat keluarga ibunya mewariskan gelar pusaka yang sudah lama tak dipakai, Datuk Indomo kepada Malik -->
Baris 66 ⟶ 74:
[[Berkas:Danau Maninjau.jpg|ka|195px|jmpl|[[Danau Maninjau]], pemandangan sebelah barat Nagari Sungai Batang]]
Pada Juli 1924, Malik kembali memulai perjalanannya ke Jawa. Ia menumpang di rumah Marah Intan sesama [[perantau Minang]] dan bertemu adik ayahnya, [[Jafar Amrullah]] di [[Yogyakarta]]. Pamannya itu membawanya ke tempat [[Bagoes Hadikoesoemo|Ki Bagus Hadikusumo]] untuk belajar [[
Pergerakan Islam di Jawa telah memberi pengaruh besar bagi Malik. Dari pengalamannya di Yogyakarta, ia menemukan Islam sebagai suatu yang hidup, suatu perjuangan, dan suatu pendirian yang dinamis. Ketika perhatian [[Islam di
Di Pekalongan, Malik bertemu ayahnya yang urung berangkat ke Mesir setelah ditundanya Kongres Kekhalifahan Internasional. Kegiatan Muhammadiyah menarik perhatian Haji Rasul sehingga saat kembali ke Minangkabau bersama Jafar Amrullah dan Marah Intan, Haji Rasul menginisiasi pendirian Muhammadiyah di Sungai Batang. Perkumpulan yang telah berdiri lebih dulu bernama Sendi Aman bertukar nama menjadi Muhammadiyah untuk diakui sebagai cabang dari Yogyakarta. Dari sinilah [[Muhammadiyah di
Usaha memperkenalkan Muhammadiyah ke daerah Minangkabau memperoleh banyak tantangan dari kalangan Thawalib yang telah dipengaruhi komunis. Pengaruh paham itu mempengaruhi sikap murid-murid Thawalib terhadap Belanda secara radikal ketimbang ideologi yang berakar dari materialisme. Pada saat yang sama, golongan anti-komunis membatasi kegiatan mereka pada perjuangan pembaruan pendidikan tanpa menentang kedudukan Belanda secara terbuka. Peralihan perhatian ke bidang politik di kalangan guru dan pelajar Thawalib membuat Haji Rasul kecewa sehingga ia menolak mengajar di lembaga itu, walaupun lembaga itu kelak bersih dari golongan komunis.
Baris 77 ⟶ 85:
== Penerimaan dan ibadah haji ==
Meskipun disambut baik saat kepulangannya, Malik dianggap hanya sebagai tukang pidato daripada ahli agama di kampung halamannya. Dalam membacakan ayat atau kalimat bahasa Arab, Malik dinilai tidak fasih karena tidak memahami [[tata bahasa Arab|tata letak bahasa]], ''[[Ilmu nahwu|nahwu]]'', dan ''[[Saraf (linguistik)|sharaf]]''. Kekurangannya dikait-kaitkan karena ia tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di Thawalib. Menurut kesaksian Hamka, ia memang
Kepada andungnya, Malik sering menceritakan kesedihan dan perasaannya. Dari andungnya, Malik diceritakan bahwa ayahnya pernah berjanji akan mengirimnya belajar ke [[
[[Berkas:Masjid al-Haram 1.jpg|jmpl|260px|kiri|[[Masjidil Haram]], [[Mekkah]] pada 1900-an. Perjalanan Hamka ke Mekkah pada tahun 1927 meletupkan inspirasi baginya untuk menulis ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'']]
Baris 90 ⟶ 98:
=== Menulis dan mengarang ===
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Luchtfoto van de Grote Moskee in Medan TMnr 60037219.jpg|jmpl|Medan, 1931]]
Malik kembali ke Tanah Air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah.
Sewaktu di Medan, kerabat dan ayahnya berkali-kali berkirim surat memintanya pulang. Malik baru memutuskan pulang setelah mendapat bujukan kakak iparnya, Sutan Mansur. Sutan Mansur singgah di Medan dalam perjalanan pulang dari [[Kota Lhokseumawe|Lhokseumawe]] pada akhir 1927. Malik menyusul ayahnya di Sungai Batang—rumah mereka di Padang Panjang luluh lantak akibat [[Gempa bumi Padang Panjang 1926|gempa bumi setahun sebelumnya]]. Setiba di kampung
Di Sungai Batang, Malik menerbitkan romannya yang pertama dalam [[bahasa Minangkabau]] berjudul ''[[Si Sabariah]]''. Roman itu
Malik memperbanyak koleksi media massa, berlangganan beberapa surat kabar dari Jawa seperti ''Hindia Baru'' dan ''Bendera Islam''. Dua majalah itu memperluas pengetahuannya tentang pergerakan. Melalui jurnal ''Seruan Azhar'' terbitan Mesir, ia memperoleh informasi tentang gerakan-gerakan Islam internasional, perjuangan Mustafa Kamal dan Ismed dalam membangun Turki baru, dan pemberontakan Hijaz oleh Ibnu Saud.-->
Baris 100 ⟶ 108:
=== Muhammadiyah ===
[[Berkas:Poster Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi 1930.jpg|jmpl|Poster Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi, 14-21 Maret 1930]]
Setelah tiga bulan menikah, Malik bersama
Ketika diadakannya Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada awal 1929, Malik datang sebagai peserta. Sejak itu, ia tidak pernah absen menghadiri Kongres Muhammadiyah berikutnya. Dalam kunjungannya di Solo, ia bertemu dengan tokoh pimpinan Muhammadiyah, [[K.H. Fakhruddin|Fakhruddin]]. Hamka menyebut Fakhruddin sebagai salah seorang yang mempengaruhi jalan pikirannya dalam agama. "Keberanian dan ketegasannya menjadi pendorong bagi saya untuk berani dan tegas pula." Dalam perjalanannya di Bandung, Hamka bertemu [[Ahmad Hassan|A. Hassan]] dan [[Mohammad Natsir]].
Ketika Muhammadiyah mengadakan kongres di Bukittinggi pada 1930, Malik berpidato tentang "Agama Islam dalam Adat Minangkabau". Dalam kongres yang bersifat nasional, baru Hamka sebagai pembicara yang mencoba mempertautkan adat dengan agama. Pada kongres Muhammadiyah ke-20 tahun berikutnya di Yogyakarta,
Selama di Makassar, Hamka sempat mengeluarkan majalah Islam ''Tentera'' sebanyak empat edisi dan majalah ''Al-Mahdi'' sebanyak sembilan edisi. Keberadaan Malik di Makassar dimanfaatkan oleh pimpinan Muhammadiyah setempat.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=28-31}} Malik mendirikan Tabligh School yang serupa di Padang Panjang. Menggantikan sistem pendidikan tradisional, Tabligh School menawarkan pola pendidikan baru secara modern dan sistematis dengan mengambil model pendidikan barat, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai agama. Sepeninggal Hamka pada 1934, Tabligh School di Makassar diteruskan menjadi Muallimin Muhammadiyah di bawah asuhan Muhammadiyah. Dari pergaulannya
Kembali ke Padang Panjang pada 1934, Malik diserahi
== ''Pedoman Masyarakat'' ==
Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung. Mengangkat masalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan, ia menulis ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]''. Hamid terhalang menikahi Zainab karena perbedaan status antara kedua keluarga. Melihat animo masyarakat yang luas, [[Balai Pustaka]] menerbitkan ''Di Bawah Lindungan Ka'bah'' pada 1938. Setelah ''Di Bawah Lindungan Ka'bah,'' Hamka menulis ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' tentang percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir dengan kematian. Sewaktu dimuat sebagai cerita bersambung, Hamka menuturkan ia mendapat banyak surat dari pembaca,
Dalam majalah yang diasuhnya, Hamka kerap menampilkan ketokohan [[
== Pendudukan Jepang dan pasca-kemerdekaan ==
Baris 125 ⟶ 131:
Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada 1944, Jepang mengangkatnya menjadi anggota ''[[Chuo Sangi-in]]'', yaitu menjadi penasehat dari Chuokan Sumatra Timur [[Letnan Jendral T. Nakashima]]. Ia menerima pengangkatannya karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, sikap kompromistis dan kedudukannya dalam pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka terkucil, dibenci, dan dipandang sinis oleh masyarakat. Hamka mengungkapkan bahwa bulan Agustus sampai Desember 1945 adalah masa yang paling pahit selama hidupnya, berada di tengah kebencian dan penghinaan sampai-sampai di depan anak-anaknya ia berkata, "sekiranya tidak ada iman, barangkali ayah sudah bunuh diri." Hal ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padang Panjang. Hamka tiba di [[Aur Tajungkang Tengah Sawah, Guguk Panjang, Bukittinggi|Aur Tajungkang]], Bukittinggi pada 14 Desember 1945.
Kembali ke
Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda ke Tanah Air. Selama perang kemerdekaan, Hamka bersama para pemimpin dan para pejuang lainnya ambil peranan melawan Belanda. Menurut Emzita, seorang jurnalis yang mengikuti perang gerilya pasca-kemerdeaan, Hamka melakukan kegiatan "tablig revolusi". Ia menjadi penghubung krusial di antara ulama dengan kelompok-kelompok pejuang. Hamka memimpin [[Barisan Pengawal Nagari dan Kota]] (BPNK), pasukan rakyat yang besar sekali peranannya dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda di
Saat tentara Belanda menduduki Padang Panjang tahun 1948, Hamka mengungsikan keluarganya ke Sungai Batang. Selama berbulan-bulan, Hamka tak bertemu anak-anaknya. Putra Hamka, [[Rusydi Hamka]] menuturkan, mereka hanya bisa memakan ubi dan bubur. "Waktu itulah, [[Aliyah Hamka|Aliyah]] nyaris menemui ajalnya karena terlalu sering mengkonsumsi ubi, membuat Aliyah terserang penyakit."
Baris 144 ⟶ 150:
Ketika terjadi perdebatan mengenai dasar negara, Hamka bersama [[Mohammad Natsir]], [[Mohammad Roem]], dan [[Isa Anshari]] secara konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Hamka mengemukakan kelebihan Islam dari Pancasila, malah dari dasar apapun di dunia. Ia meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila mencerminkan gaya hidup ataupun falsafah hidup orang Indonesia sekalipun ia menghargai usaha mereka yang hendak meyakinkan ini. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama [[Pancasila]] dimasukkan kembali kalimat tentang "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", sebagaimana yang termaktub dalam [[Piagam Jakarta]]. Perdebatan itu berujung pada dikeluarkannya [[Dekrit Presiden]].
==
[[Berkas:Masjid Agung Al-Azhar 2021.jpg|270px|ka|jmpl|[[Masjid Agung Al-Azhar]], namanya disematkan oleh Imam Besar Al-Azhar Syekh Mahmud Syaltut sebagai pengakuan atas peran dan ketokohan Hamka.]]
Baris 157 ⟶ 163:
[[Berkas:Natsir-Hamka-Isa Anshary.jpg|jmpl|kiri|Hamka (duduk) bersama [[Mohammad Natsir|Natsir]] (kiri) dan [[Muhammad Isa Anshary|Isa Anshary]] (kanan). Mereka sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim Soekarno akibat adanya kaitan petinggi partai [[Masyumi]] dengan pemberontakan [[PRRI]].]]
Kedekatan Hamka terhadap partai Masyumi menyebabkan Hamka ikut menjadi bulan-bulanan dari pihak PKI. Organisasi sayap PKI, [[Lembaga Kebudayaan Rakyat|Lekra]] menuduhnya sebagai "plagiator
Keadaan memburuk bagi Hamka ketika ''Panji Masyarakat'' memuat artikel [[Mohammad Hatta|Muhammad Hatta]] berjudul "Demokrasi Kita". Setelah penerbitan ''Panji Masyarakat'' berhenti sejak 17 Agustus 1960, tulisannya satu setengah juz dimuatkannya dalam majalah ''Gema Islam'' sampai akhir Januari 1962, yaitu dari juz 18 sampai juz 19. Ceramah-ceramah Hamka tiap subuh selalu dimuat secara teratur dalam majalah hingga Januari 1964.
Baris 168 ⟶ 174:
Pada 30 November 1967, Pemerintah Indonesia menggagas diadakannya Musyawarah Antar Agama. Dalam musyawarah yang dihadiri pemuka [[Agama di Indonesia|agama yang diakui secara resmi di Indonesia]], pemerintah mengusulkan pembentukan Badan Konsultasi Antar Agama dan pernyataan bersama dalam piagam yang isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain.” Badan Konsultasi Antar Agama berhasil dibentuk, tetapi musyawarah gagal menyepakati penandatangangan piagam yang diusulkan pemerintah. Perwakilan Kristen merasa berkeberatan sebab piagam tersebut dianggap bertentangan dengan kebebasan penyebaran Injil. Dalam pidatonya, [[Albert Mangaratua Tambunan]] menyampaikan pendirian umat Kristiani bahwa menyebarkan [[Pekabaran Injil]] kepada orang yang belum Kristen adalah "Titah Ilahi yang wajib dijunjung tinggi". Meskipun Musyawarah Antar Agama dianggap gagal oleh banyak pihak, Hamka menganggap musyawarah itu berhasil karena telah mengungkap "apa-apa yang selama ini belum terungkapkan secara gamblang".
Setelah bebas dari penjara, Hamka menjadi perwakilan Indonesia dalam beberapa pertemuan internasional. Pada 1967, ia berkunjung ke [[Malaysia]] atas undangan Perdana Menteri [[Tengku Abdul Rahman]]. Pada 1968, ia menghadiri Peringatan Masjid Annabah di [[Aljazair]]. Dari Aljazair, ia mengunjungi beberapa negara seperti [[Spanyol]], Roma, [[Turki]], London,
Dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September–4 Oktober 1970, Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah, mengapungkan gagasan pembentukan Majelis Ulama. Meskipun mendapatkan dukungan Menteri Agama [[Muhammad Dahlan|KH Muhammad Dahlan]], sejumlah ulama dan tokoh Islam, seperti [[Mohammad Natsir]] dan [[Kasman Singodimedjo]] melihat bahwa lembaga itu hanya akan menguntungkan pemerintah ketimbang umat Islam. Namun, Hamka memandang penting pembentukan Majelis Ulama perlu sebagai jembatan pemerintah dan umat Islam. Menurutnya, Majelis Ulama dapat mengurangi rasa curiga antara pemerintah dan umat Islam. "Mereka berani mengkritik perbuatan pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun karena ketegasan pendiriannya itu, ia akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya ia pun berani membela satu langkah pemerintah yang dianggapnya menempuh jalan yang benar, walaupun karena itu ia pun akan dibenci oleh rakyat," tulis Hamka dalam ''Panji Masyarakat'' pada 1 Juli 1974.
Pada 1971, Hamka menghadiri Seminar Islam di Aljazair, dengan membawa ''paper'' tentang Muhammadiyah di Indonesia. Pada 8 Juni 1974, Hamka menerima gelar kehormatan [[Honoris Causa]] dari [[Universitas Kebangsaan Malaysia]]. Pada 1975, ia menghadiri Muktamar Masjid di Mekkah. Pada 1976, ia menghadiri Konferensi Islam di Kucing, [[Sarawak|Serawak]], [[Malaysia Timur]]. Pada 1976, ia mengikuti Seminar Islam dan Kebudayaan Malaysia di [[Universitas Nasional Malaysia|Universitas Kebangsaan Malaysia]] dengan ''paper'' "Pengaruh Islam pada Kesusastraan Melayu". Pada 1977, ia menghadiri Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Muktamar Ulama (Al-Buhust Islamiyah) di [[Kairo]]. Di [[Lahore]], Hamka menyampaikan makalahnya tentang [[Muhammad Iqbal]], menyoroti [[Muhammad Ali Jinnah#Pengaruh Iqbal pada Jinnah|pengaruh Iqbal dalam membawa identitas Muslim pada Jinnah]].{{sfn|Irfan|2013|pp=250-253}}
=== Ketua MUI ===
Baris 189 ⟶ 195:
MUI memfatwakan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam hukumnya haram, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa karena Natal tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keyakinan dan peribadatan. Namun, keluarnya fatwa MUI menulai kecaman dari pemerintah. Menteri Agama [[Alamsyah Ratu Perwiranegara]] meminta fatwa MUI dicabut karena dianggap mengusik kerukunan antara umat Islam dan Kristen. Menurut Ketua Komisi Fatwa [[Syukri Ghozali]], sebagaimana dikutip ''[[Tempo (majalah)|Tempo]]'', fatwa itu sebenarnya dibuat agar Departemen Agama menentukan langkah dalam menyikapi Natalan-Lebaran yang kerap terjadi. Namun, fatwa itu menyebar ke masyarakat sebelum petunjuk pelaksanaan selesai dibuat Departemen Agama. Menyikapi hal itu, Hamka mengeluarkan surat keputusan (SK) mengenai penghentian edaran fatwa. Dalam surat pembaca yang ditulis dan dimuat oleh ''[[Kompas (surat kabar)|Kompas]]'' 9 Mei 1981, Hamka menjelaskan SK itu tak mempengaruhi kesahihan fatwa tentang perayaan Natal. "Fatwa itu dipandang perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian aqidah Islamiyah."
Menanggapi tuntutan pemerintah untuk mencabut fatwa, Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Dalam buku ''Mengenang 100 Tahun Hamka'', [[Shobahussurur]] mencatat perkataan Hamka
== Meninggal ==
Baris 243 ⟶ 249:
=== Citra ===
Hamka dikenal sebagai seorang humanis yang rendah hati, membawa khutbah dan pidato yang memikat. Ceramah-ceramahnya dengan pilihan kalimat-kalimat yang santun telah mengikat perhatian umat di berbagai pelosok
Menurut putra ke-5 Hamka, [[Irfan Hamka|Irfan]], Hamka berusaha menghindari konflik dengan siapapun.{{sfn|Irfan|2013|pp=253}} Namun, dalam masalah aqidah, "Ayah memang tidak pernah bisa berkompromi. Tapi dalam masalah-masalah lain, Ayah sangat toleran."{{sfn|Irfan|2013|pp=254}} Selain memilih mengundurkan diri sebagai Ketua MUI dibandingkan mencabut fatwa keharaman merayakan Natal bagi umat Islam sebagaimana tuntutan pemerintah, Hamka menolak menghadiri pertemuan ramah-tamah dengan [[Paus Paulus VI]] ketika berkunjung ke Indonesia pada 3–4 Desember 1970. "Bagaimana saya bisa bersilaturahmi..., sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?"{{sic}}{{sfn|Irfan|2013|pp=253}} Meskipun demikian, menurut Irfan pula, Hamka masih mengucapkan selamat Natal kepada dua tetangga Kristen-nya yang bernama Ong Liong Sikh dan Reneker saat tinggal di [[Kebayoran Baru]].<ref>[http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/23/nh0yp6-irfan-hamka-buya-ucapkan-selamat-natal Irfan Hamka: Buya Ucapkan Selamat Natal] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20220702115225/https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/23/nh0yp6-irfan-hamka-buya-ucapkan-selamat-natal |date=2022-07-02 }} - Republika</ref>
Menggunakan sudut pandang seorang anak dalam mengenang ayahnya, [[Irfan Hamka]] dalam buku ''Ayah...'' mengungkapkan bagaimana Hamka "memaafkan semua orang yang pernah berseteru dengannya." Karena pandangan politiknya, Hamka kerap menuai kecaman dan ancaman dari lawan politiknya. Dalam sidang Konstituante pada 1957, Hamka memberikan pernyataan tentang Pancasila sebagai dasar yang sesat sehingga membuat [[Muhammad Yamin]] marah dan membencinya. Namun, ketika Yamin sakit pada 1962, Yamin meminta Hamka "untuk dapat mendampinginya" dan "menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya".{{sfn|Irfan|2013|pp=258-262}} Di bawah [[Orde Lama|pemerintahan Soekarno]], Hamka sempat mendekam di penjara atas tuduhan merencakan makar yang tidak pernah terbukti. Namun, Hamka memenuhi permintaan [[Soekarno]] yang lima hari sebelum meninggal meminta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salatnya. Irfan mengutip penyataan Hamka. "Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur'an 30 juz."{{sfn|Irfan|2013|pp=255-257}}
Baris 277 ⟶ 283:
|year = 2013
|title = Ayah... Kisah Buya Hamka
|volume =
|publisher = Penerbit Republika
|location =
|oclc =
|ref = {{sfnRef|Irfan|2013}}
|id = ISBN 978-602-8997-71-3
Baris 298 ⟶ 304:
[[Kategori:Hamka| ]]
[[Kategori:
[[Kategori:
[[Kategori:Tokoh dari Agam|Abdul Malik Karim Amrullah]]▼
[[Kategori:Tokoh Islam Indonesia]]▼
[[Kategori:Ulama Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]▼
[[Kategori:Ketua Majelis Ulama Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Cerdik Pandai Minangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Sastrawan Minangkabau]]
[[Kategori:Tokoh Muhammadiyah|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Ahli tafsir (Al Qur'an) Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Sejarawan Islam Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:
[[Kategori:Penulis skenario Indonesia]]
[[Kategori:Penulis Indonesia]]
[[Kategori:Penulis Muslim]]
[[Kategori:Penulis politik]]
[[Kategori:Politikus Partai Masyumi]]
[[Kategori:
[[Kategori:Tokoh birokrat Minangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh Kementerian Agama Republik Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Anggota Konstituante Republik Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh Agam|Abdul Malik Karim Amrullah]]<!--dilarang memakai kategori "Tokoh dari Agam"-->
[[Kategori:Tokoh dari Kecamatan Tanjung Raya]]
|