Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rang Djambak (bicara | kontrib)
→‎Muhammadiyah: Pranala dalam
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
(24 revisi perantara oleh 17 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox PenulisOfficeholder
|image = Buya Hamka 1929hamka.jpg
|imagesize =
|alt =
|caption = Potret Hamka pada 1929
|office =[[Majelis Ulama Indonesia|Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia]]
|honorific_prefix =
|president = [[Soeharto]]
|order =
|term_start = 26 Juli 1975
|term_end = 19 Juli 1981
|predecessor = [[Haji Abdul Malik Karim Amrullah|''jabatan dibentuk'']]
|successor = [[Syukri Ghozali]]
|honorific_prefix =
|name = Abdul Malik Karim Amrullah
|pseudonym = Hamka
|birth_date = {{birth date|1908|02|17}}
|birth_place = [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]], [[SumatraKabupaten BaratAgam|Agam]], [[Hindia Belanda]]
|death_date = {{Death date and age|1981|7|24|1908|2|17}}
|death_place = [[Jakarta]], Indonesia
|restingplace = [[Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir]], [[Jakarta Selatan]], [[DKI Jakarta]]
|nationality = [[Indonesia]]
|ethnicity = [[Minangkabau]]
|school_tradition =
|notableworks = ''Tafsir Al-Azhar'' {{br}} ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' {{br}} ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]''
|subject = Tafsir Al-Qur'an, fikih (hukum Islam), tarikh (sejarah Islam), tasawuf, dan sastra
|movement = [[Muhammadiyah]], [[Majelis Ulama Indonesia]]
|children = [[Rusydi Hamka|Rusydi]], [[Irfan Hamka|Irfan]], [[Aliyah Hamka|Aliyah]], [[Afif Hamka|Afif]], Hisyam, Husna, [[Fathiyah Hamka-Vickri|Fathiyah]], [[HelmiHilmi Hamka|HelmiHilmi]], [[Syakib Arsalan Hamka|Syakib]], [[Azizah Hamka|Azizah]], [[Fachry Hamka|Fachry]], [[Zaki Hamka|Zaki]]
|parents = {{unbulleted list|[[Abdul Karim Amrullah]] (ayah)|[[Sitti Shafiah]] (ibu)}}
|relatives = [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur]] (kakak ipar)
|notable_ideas =
|influences = [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]], [[Muhammad Iqbal]], [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti]]
|influenced = [[Muhammadiyah]] dan [[Majelis Ulama Indonesia]]
|spouse = {{marriage|Sitti Raham|5 April 1929|1 January 1972}}{{br}}{{marriage|Sitti Khadijah|19 August 1973}}
|signature = Signature of Hamka.svg
|signature_alt =
|quote =
|website =
}}
 
[[Profesor|Prof.]] [[Honoris Causa|Dr.]] [[Haji (gelar)|H.]] '''Abdul Malik Karim Amrullah''' Datuk Indomo, populer dengan [[nama pena]]nya, '''Hamka''' ({{lahirmati|[[Kabupaten Agam|Agam]]|17|2|1908|[[Jakarta]]|24|7|1981}}), adalah seorang [[ulama]], filsuf, dan sastrawan [[Indonesia]]. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia sempat berkecimpung di politik melalui [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat [[Majelis Ulama Indonesia|Ketua Majelis Ulama Indonesia]] (MUI) pertama, dan aktif dalam [[Muhammadiyah]] hingga akhir hayatnya. [[Universitas al-Azhar]] dan [[Universitas Nasional Malaysia]] menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara [[Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)|Universitas Moestopo]] mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk [[Universitas Hamka]] milik Muhammadiyah dan masuk dalam [[daftar Pahlawan Nasional Indonesia]].
 
Dibayangi nama besar ayahnya [[Abdul Karim Amrullah]], Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Alih-alih menyelesaikan pendidikannya di [[Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek|Thawalib]], ia merantau ke [[Jawa]] pada umur 16 tahun. Selang setahun, ia pulang membesarkan [[Muhammadiyah]] di [[Kota Padang Panjang|Padang Panjang]]. Pengalaman ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki ijazah dan kemampuan berbahasa Arabnya yang terbatas mendorong Hamka muda pergi ke [[Makkah]]. Lewat [[bahasa Arab]] yang dipelajarinya, Hamka mendalami [[sejarah Islam]] dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka bekerja sebagai wartawan sambil menjadi guru agama di [[Kabupaten Deli Serdang|Deli]]. Setelah menikah, ia kembali ke [[Medan]] dan memimpin ''[[Pedoman Masyarakat]]''. Lewat karyanya ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'' dan ''[[Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'', nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
 
Selama [[Revolusi Nasional Indonesia|revolusi fisik Indonesia]], Hamka bergerilya di [[SumatraSumatera Barat]] bersama [[Barisan Pengawal Nagari dan Kota]] (BPNK) menggalang persatuan rakyat menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Semula, ia bekerja di [[Departemen Agama]], tapi mundur karena terjun di jalur politik. Dalam [[Pemilihan Umum 1955|pemilihan umum 1955]], Hamka terpilih duduk di [[Konstituante]] mewakili Masyumi. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik [[Masyumi]] menentang komunisme dan anti-[[Demokrasi Terpimpin]] memengaruhi hubungan Hamka dengan [[Soekarno|Presiden Soekarno]]. Usai Masyumi dibubarkan sesuai [[Dekret Presiden 5 Juli 1959]], Hamka menerbitkan ''[[Panji Masyarakat]]'' yang berumur pendek, karena dibredel oleh [[Soekarno]] setelah menurunkan tulisan [[Mohammad Hatta|Hatta]]—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul "[[Demokrasi Kita]]". Seiring meluasnya pengaruh [[Orde Lama (1959–1965)|komunisme di Indonesia]], Hamka diserang oleh organisasi kebudayaan [[Lembaga Kebudajaan Rakjat|Lekra]]. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia merampungkan ''[[Tafsir Al-Azhar]].''
 
Hamka bebas pada Mei 1966 menjelang berakhirnya kekuasaan [[Soekarno]].<ref>Prof. Dr. Hamka. 1982. Tafsir Al Azhar Juz XXX. Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas (hal 198)</ref> Pada masa Orde Baru [[Soeharto]], ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di [[Masjid Agung Al-Azhar]] serta berceramah di [[Radio Republik Indonesia]] (RRI) dan [[Televisi Republik Indonesia]] (TVRI). Ketika pemerintah menjajaki pembentukan [[Majelis Ulama Indonesia]] pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara [[aklamasi]] sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama [[Alamsjah Ratoe Perwiranegara]] untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan [[Natal]] bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di [[Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir|TPU Tanah Kusir]], Jakarta.<ref>{{cite news |url= https://majalah.tempo.co/read/pokok-dan-tokoh/49830/pergi-untuk-selamanya |title=Pergi Untuk Selamanya|date= |date=1 Agustus 1981 |access-date=10 Maret 2022 |newspaper=Majalah Tempo |publisher=[[Tempo.co]]| |first= |last= |editor-first= |editor-last= |archive-date=2022-12-19 |archive-url=https://web.archive.org/web/20221219030248/https://majalah.tempo.co/read/pokok-dan-tokoh/49830/pergi-untuk-selamanya |dead-url=no }}</ref>
 
== Kehidupan awal ==
Baris 43 ⟶ 51:
[[Berkas:Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.jpg|jmpl|kiri|262px|[[Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka|Rumah Kelahiran Buya Hamka]] yang dijadikan museum sejak 2001, tempat Hamka lahir, diasuh dan tinggal bersama ''anduang-''nya selama di [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]]]]
 
Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 <small><nowiki>[</nowiki>[[Kalender Hijriyah]]: 14 Muharram 1326<nowiki>]</nowiki></small> di Tanah Sirah, kini masuk wilayah [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Nagari Sungai Batang]], [[Kabupaten Agam]], [[SumatraSumatera Barat]]. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan [[Abdul Karim Amrullah]] "Haji Rasul" dan Safiyah. Adik-adik Hamka bernama: Abdul Kuddus, Asma, dan Abdul Mu'thi. [[Haji Rasul]] menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberi Malik seorang kakak tiri, Fatimah yang kelak menikah dengan [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur|Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur]]. Kelak, Haji Rasul bercerai dengan Safiyah, menikah dengan Rafi'ah dan memberi Hamka seorang adik tiri bernama [[Abdul Bari]]. Kembali ke Minangkabau setelah belajar kepada [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]], Haji Rasul memimpin gelombang pembaruan Islam, menentang tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun ayahnya sendiri, [[Muhammad Amrullah]] adalah seorang pemimpin [[Tarekat Naqsyabandiyah]]. Istri Amrullah, anduang bagi Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian, dan pencak silat.
 
Di [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]], Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering bepergian untuk [[dakwah|berdakwah]]. Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke [[Kota Padang Panjang|Padang Panjang]], belajar membaca [[al-Qur'an]] dan bacaan salat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa.{{efn|Ada dua jenis sekolah pemerintah bagi anak-anak Minangkabau, yakni Sekolah Gubernemen dengan jenjang tertinggi sampai kelas empat dan Sekolah Desa dengan jenjang terakhir sampai kelas tiga. Hajir Rasul berencana menyekolahkan Malik di Sekolah Gubernemen, tetapi karena terlambat mendaftar sehingga kelas yang dibuka terlanjur penuh, Malik didaftarkan di Sekolah Desa.}} Pada 1916, [[Zainuddin Labay El Yunusy]] membuka sekolah agama [[Diniyah School]], menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis [[surau]]. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di [[Diniyah School]]. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.
 
Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke [[Sumatra Thawalib|Thawalib]]. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai ''nahwu,'' dan ilmu ''saraf''. Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran ''arudh'' yang membahas tentang [[syair]] dalam bahasa Arab.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=79}} Kendati kegiatannya dari pagi sampai sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil terkenal nakal. Ia sering mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti. Karena gemar menonton film, Malik pernah mengelabui ayahnya, diam-diam tidak datang ke surau untuk mengintip [[film bisu]] yang sedang diputar di bioskop.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=113-116}}
Baris 57 ⟶ 65:
[[Berkas:Masjid Jamik Parabek oleh Denas.jpg|ka|jmpl|262px|[[Masjid Jamik Parabek]]]]
 
Permasalahan keluarga membuat Malik sering bepergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, berjalan kaki sejauh 40 &nbsp;km ke Maninjau untuk berjumpa ibunya. Malik didera kebingungan apakah akan tinggal bersama ibu atau ayahnya. "Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri." Ia kerap menghabiskan waktu bergaul dengan kalangan ''[[parewa]]''. Ia juga melanjutkan kegemarannya mendengar ''[[kaba]]'', kisah-kisah yang dinyanyikan bersama [[Musik Minang|alat-alat musik tradisional Minangkabau]]. Ia berjalan jauh sampai ke [[Bukittinggi]] dan [[Payakumbuh]], sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki [[pacuan kuda]]. Hampir setahun ia terlantar hingga saat berusia 14 tahun, ayahnya yang resah mengantarnya pergi mengaji kepada ulama [[Ibrahim Musa|Syekh Ibrahim Musa]] di [[Parabek, Ladang Laweh, Banuhampu, Agam|Parabek]], sekitar lima kilometer dari Bukittinggi.
 
Di Parabek, Hamka remaja untuk pertama kali hidup mandiri. Ia belajar memenuhi kebutuhan harian sebagai santri. Meskipun demikian, ia masih membawa kenakalannya. Malik pernah usil menakuti penduduk sekitar asrama yang mengaitkan wabah demam di Parabek dengan keberadaan hantu yang berwujud seperti harimau. Karena tak percaya dan ingin membuktikan bahwa hal tersebut hanya takhayul, ia menyamar menyerupai ciri-ciri hantu pada malam hari. Dengan mengenakan sorban dan mencoret-coret mukanya dengan kapur, Malik berjalan keluar asrama. Orang-orang yang melihat dan ketakutan berencana membuat perangkap keesokan hari, tetapi Malik segera memberi tahu teman seasramanya tentang keusilannya, meyakinkan bahwa hantu itu tidak ada. Selama berasrama, Malik memanfaatkan hari Sabtu yang dibebaskan untuk keluar dengan pergi berkeliling kampung sekitar Parabek. Karena tertarik mendengar pidato adat, Malik sering menghadiri pelantikan-pelantikan penghulu, saat para tetua adat berkumpul. Ia mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi dalam pidato adat yang didengarnya.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=17}} Demi mendalami minatnya, ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=52}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=7}}<!-- Kecenderungannya ini kelak membuat keluarga ibunya mewariskan gelar pusaka yang sudah lama tak dipakai, Datuk Indomo kepada Malik -->
Baris 66 ⟶ 74:
[[Berkas:Danau Maninjau.jpg|ka|195px|jmpl|[[Danau Maninjau]], pemandangan sebelah barat Nagari Sungai Batang]]
 
Pada Juli 1924, Malik kembali memulai perjalanannya ke Jawa. Ia menumpang di rumah Marah Intan sesama [[perantau Minang]] dan bertemu adik ayahnya, [[Jafar Amrullah]] di [[Yogyakarta]]. Pamannya itu membawanya ke tempat [[Bagoes Hadikoesoemo|Ki Bagus Hadikusumo]] untuk belajar [[Tafsir Al-Qur'an|tafsir Al-Qur'an]]. Hamka menemukan keasyikan belajar dengan Ki Bagus yang mengupas makna ayat-ayat Al-Qur'an secara mendalam. Dari Ki Bagus, Malik mengenal [[Sarekat Islam]] dan bergabung menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, ia menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik. Di antara gurunya waktu itu adalah [[Oemar Said Tjokroaminoto|HOS Tjokroaminoto]] dan [[Soerjopranoto|Suryopranoto]]. Cokroaminoto menaruh perhatian kepada Malik karena semangatnya dalam belajar. Malik mengikuti kelas dengan tekun, sering bertanya dan menyalin pelajaran yang didapatnya.
 
Pergerakan Islam di Jawa telah memberi pengaruh besar bagi Malik. Dari pengalamannya di Yogyakarta, ia menemukan Islam sebagai suatu yang hidup, suatu perjuangan, dan suatu pendirian yang dinamis. Ketika perhatian [[Islam di SumatraSumatera Barat|umat Islam di Minangkabau]] terseret pada perdebatan praktik ritual Islam, ia mendapati organisasi dan tokoh-tokoh pergerakan di Jawa memusatkan diri pada perjuangan untuk memajukan umat Islam dari keterbelakangan dan ketertindasan. Setelah melewatkan waktu enam bulan di Yogyakarta, Malik bertolak ke [[Pekalongan]] untuk bertemu dan belajar kepada kakak iparnya, [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur]].{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=15}} Pertemuannya dengan Sutan Mansur mengukuhkan tekadnya untuk terjun dalam perjuangan dakwah. Dari kakak iparnya, Malik mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai pertemuan [[Muhammadiyah]] dan berlatih berpidato di depan umum.
 
Di Pekalongan, Malik bertemu ayahnya yang urung berangkat ke Mesir setelah ditundanya Kongres Kekhalifahan Internasional. Kegiatan Muhammadiyah menarik perhatian Haji Rasul sehingga saat kembali ke Minangkabau bersama Jafar Amrullah dan Marah Intan, Haji Rasul menginisiasi pendirian Muhammadiyah di Sungai Batang. Perkumpulan yang telah berdiri lebih dulu bernama Sendi Aman bertukar nama menjadi Muhammadiyah untuk diakui sebagai cabang dari Yogyakarta. Dari sinilah [[Muhammadiyah di SumatraSumatera Barat|Muhammadiyah menyebar ke seluruh daerah Minangkabau]] dengan bantuan bekas murid-muridnya. Dalam rangka mempersiapkan mubalig dan guru Muhammadiyah, Haji Rasul menggerakkan murid-murid Thawalib membuka Tabligh Muhammadiyah di [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]]. Malik memimpin latihan pidato yang diadakan kursus itu sekali sepakan. Ia membuatkan pidato bagi yang tak pandai mengarang. Pidato-pidato yang bagus ia muat dalam majalah ''Khatibul Ummah'' yang dirintisnya dengan tiras 500 eksemplar. Malik melengkapi dan menyunting bagian pidato yang diterimanya sebelum diterbitkan. Gurunya Zainuddin dan pemilik percetakan Bagindo Sinaro ikut membantu pembuatan dan distribusi majalah. Beberapa orang belajar kepada Malik membuat materi pidato. Dari kesibukannya menulis dan menyunting naskah pidato, Malik mulai mengetahui dan menuangkan kemampuannya dalam menulis. Namun, karena alasan keuangan, penerbitan ''Khatibul Ummah'' hanya bertahan tiga nomor.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=17-19}}
 
Usaha memperkenalkan Muhammadiyah ke daerah Minangkabau memperoleh banyak tantangan dari kalangan Thawalib yang telah dipengaruhi komunis. Pengaruh paham itu mempengaruhi sikap murid-murid Thawalib terhadap Belanda secara radikal ketimbang ideologi yang berakar dari materialisme. Pada saat yang sama, golongan anti-komunis membatasi kegiatan mereka pada perjuangan pembaruan pendidikan tanpa menentang kedudukan Belanda secara terbuka. Peralihan perhatian ke bidang politik di kalangan guru dan pelajar Thawalib membuat Haji Rasul kecewa sehingga ia menolak mengajar di lembaga itu, walaupun lembaga itu kelak bersih dari golongan komunis.
Baris 90 ⟶ 98:
=== Menulis dan mengarang ===
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Luchtfoto van de Grote Moskee in Medan TMnr 60037219.jpg|jmpl|Medan, 1931]]
Malik kembali ke Tanah Air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannyaAlih-alih pulang ke Padang Panjang, ia memilih turunmenetap di [[Medan]], kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang. Medan menandaimenjadi titik awal terjunnya Malik keberkiprah dalamdi dunia jurnalistik. IaMula-mula, ia mula-menulis artikel tentang pengalamannya menunaikan ibadah haji untuk ''Pelita Andalas,'' surat kabar milik orang Tionghoa. Ia juga menulis, untuk pertama kalinya, mengenai Sumatra[[Sumatera Thawalib]] dan gerakan reformasi Islam di Minangkabau, yang dipimpin ayahnya sendiri. Dari artikel-artikel awal itulah, Hamka menemukan suaranya sebagai jurnalis. Muhammad Ismail Lubis, pimpinan majalah ''Seruan Islam'' mengirimkan permintaan kepada Malik untuk menulis. Selain menulis untuk surat kabar dan majalah lokal, Malik mengirimkan tulisannya ke ''[[Suara Muhammadiyah]]'' pimpinan Abdul Azis dan ''Bintang Islam'' pimpinan [[K.H. Fakhruddin|Fakhroedin]]. Namun, karena penghargaan atas karya tulis saat itu masih demikian kecil, Malik mengandalkan honor dari mengajar untuksebagai menutuppenopang biaya hidupnyahidup. Ia memenuhi permintaan mengajar dari pedagang-pedagang kecil di Kebun Bajalinggi. Waktu itulah ia menyaksikan kehidupan kuli dari dekat yang kelak menggerakkannya menulis ''[[Merantau Ke Deli]]''.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=94}}
 
Sewaktu di Medan, kerabat dan ayahnya berkali-kali berkirim surat memintanya pulang. Malik baru memutuskan pulang setelah mendapat bujukan kakak iparnya, Sutan Mansur. Sutan Mansur singgah di Medan dalam perjalanan pulang dari [[Kota Lhokseumawe|Lhokseumawe]] pada akhir 1927. Malik menyusul ayahnya di Sungai Batang—rumah mereka di Padang Panjang luluh lantak akibat [[Gempa bumi Padang Panjang 1926|gempa bumi setahun sebelumnya]]. Setiba di kampung halamannyahalaman, Malik bertemu ayahnya secara mengharukan. AyahnyaSang ayah terkejut mengetahui Malikdirinya telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? ''Abuya'' ketika itu sedang susah dan miskin." Penerimaan ayahnya membuat Malik sadar betapa besar kasih ayahnya terhadap dirinya. Menebus rasa bersalah, Malik bersedia memenuhi permintaan ayahnya untuk dinikahkan. Ia menikah dengan Sitti Raham pada 5 April 1929.
 
Di Sungai Batang, Malik menerbitkan romannya yang pertama dalam [[bahasa Minangkabau]] berjudul ''[[Si Sabariah]]''. Roman itu mulaidikarangnya disusunnya ketikasejak di Medan. Ia menunjukkan ''Si Sabariah'' pertama kali di depan ayahnya, [[Jamil Jambek]], dan [[Abdullah Ahmad]] dengan membacakannya sewaktu mereka berkumpul dalam [[Rapat Besar Umat Islam di Bukittinggi]] pada Agustus 1928. Dari Abdullah Ahmad, ia mendapat motivasi untuk terus mengarang dengan memasukkan nilai-nilai agama ke dalam roman-romannya. Ketika terbit, ''Si Sabariah'' laris di pasaran hingga dicetak tiga kali. Kenyataan ini melecut semangatnya dalam melaksanakan kewajiban dakwah melalui tulisan.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=74-76}} Tumbuh kepercayaan dirinya bahwa ia memiliki kualitas tersendiri karena menguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=22}} Dari honor ''Si Sabariah'', Malik membiayai pernikahannya kelak. Setelah menikah, Malik menulis kisah ''Laila Majnun'' yang dirangkai Malik "dengan khayalannya" setelah membaca hikayat Arab "dua halaman". Pada 1932, [[Balai Pustaka]], penerbit utama kala itu, menerbitkan ''Laila Majnun'' dengan ketentuan perubahan ejaan dan nama tokoh. Penerimaan Balai Pustaka membesarkan hatinya dan memacunya untuk lebih giat lagi menulis dan mengarang.<!--
 
Malik memperbanyak koleksi media massa, berlangganan beberapa surat kabar dari Jawa seperti ''Hindia Baru'' dan ''Bendera Islam''. Dua majalah itu memperluas pengetahuannya tentang pergerakan. Melalui jurnal ''Seruan Azhar'' terbitan Mesir, ia memperoleh informasi tentang gerakan-gerakan Islam internasional, perjuangan Mustafa Kamal dan Ismed dalam membangun Turki baru, dan pemberontakan Hijaz oleh Ibnu Saud.-->
Baris 100 ⟶ 108:
=== Muhammadiyah ===
[[Berkas:Poster Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi 1930.jpg|jmpl|Poster Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi, 14-21 Maret 1930]]
Setelah tiga bulan menikah, Malik bersama istrinyaistri pindah ke Padang Panjang. Dalam kepengurusan Muhammadiyah, ia menjabatmemimpin sebagai Ketuacabang Muhammadiyah Padang Panjang dan merangkap sebagai pimpinan Tabligh School setingkatSchool—setingkat [[madrasah tsanawiyah]] yang diadakan Muhammadiyah.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=12}} Pengajarannya menempati gedung Muhammadiyah di [[Guguk Malintang, Padangpanjang Timur, Padangpanjang|Guguk Malintang]] setiap Selasa malam dan dihadiri banyak orang.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=21-22}} Sebagai wadah pembentukan kader-kader Muhammadiyah, mata pelajaran Tabligh School berkisar tentang kepemimpinan, strategi dakwah, dan penyebaran dakwah Muhammadiyah. Malik mengajar bersama [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur|Sutan Mansur]] dan [[Saalah Yusuf Sutan Mangkuto|Sutan Mangkuto]]. Caranya mengajar dianggap baru, berbeda dengan yang lain. Salah seorang muridnya, [[Malik Ahmad]] kelak menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah.
 
Ketika diadakannya Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada awal 1929, Malik datang sebagai peserta. Sejak itu, ia tidak pernah absen menghadiri Kongres Muhammadiyah berikutnya. Dalam kunjungannya di Solo, ia bertemu dengan tokoh pimpinan Muhammadiyah, [[K.H. Fakhruddin|Fakhruddin]]. Hamka menyebut Fakhruddin sebagai salah seorang yang mempengaruhi jalan pikirannya dalam agama. "Keberanian dan ketegasannya menjadi pendorong bagi saya untuk berani dan tegas pula." Dalam perjalanannya di Bandung, Hamka bertemu [[Ahmad Hassan|A. Hassan]] dan [[Mohammad Natsir]]. Pada 1929, ia juga mengasuh majalah ''Kemauan Zaman'', tetapi hanya bertahan lima nomor.<ref>{{Cite book|last=Basral|first=Akmal Nasery|date=2020-01-30|url=https://books.google.co.id/books?id=dOfhDwAAQBAJ&pg=PA229&dq=hamka+majalah+%22menara%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjandbG7dvsAhXHeisKHdcxAYYQ6AEwAXoECAYQAg#v=onepage&q=hamka%20majalah%20%22menara%22&f=false|title=BUYA HAMKA: Setangkai Pena di Taman Pujangga|publisher=Republika Penerbit|isbn=978-623-7458-45-6|language=id}}</ref>
 
Ketika Muhammadiyah mengadakan kongres di Bukittinggi pada 1930, Malik berpidato tentang "Agama Islam dalam Adat Minangkabau". Dalam kongres yang bersifat nasional, baru Hamka sebagai pembicara yang mencoba mempertautkan adat dengan agama. Pada kongres Muhammadiyah ke-20 tahun berikutnya di Yogyakarta, Malikia menyampaikan pidato mengenai perkembangan Muhammadiyah di SumatraSumatera. Ia mampu memukau sebagian besar peserta kongres yang hadir. Pidatonya membuat banyak orang yang menitikkan air mata. Pada 1931tahun 1930, usaiHamka membukadiutus cabangoleh pengurus pusat Muhammadiyah untuk membuka cabang di [[Bengkalis, Bengkalis|Bengkalis]], [[Riau]], setelah pendirian sekolah di Masjid Raya Parit Bangkong oleh [[Tuan Guru Haji Ahmad]], pada tahun 1927.<ref name=":0">{{Cite book|last=Pahlefi|first=Riza|date=2022-08-11|url=https://books.google.com/books?id=_TCJEAAAQBAJ&q=Zakaria+&pg=PA158|title=BENGKALIS: NEGERI JELAPANG PADI|publisher=CV. DOTPLUS Publisher|isbn=978-623-6428-59-7|language=id}}</ref> Ia kemudian melantik Muhammad Rasami sebagai sekretaris pengurus cabang Muhammadiyah Bengkalis.<ref name=":0" /> Pada 1931, usai membuka cabang Muhammadiyah di Bengkalis, ia dipercayakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21 di [[Kota Makassar|Makassar]].{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=22-23}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=26}}
 
Selama di Makassar, Hamka sempat mengeluarkan majalah Islam ''Tentera'' sebanyak empat edisi dan majalah ''Al-Mahdi'' sebanyak sembilan edisi. Keberadaan Malik di Makassar dimanfaatkan oleh pimpinan Muhammadiyah setempat.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=28-31}} Malik mendirikan Tabligh School yang serupa di Padang Panjang. Menggantikan sistem pendidikan tradisional, Tabligh School menawarkan pola pendidikan baru secara modern dan sistematis dengan mengambil model pendidikan barat, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai agama. Sepeninggal Hamka pada 1934, Tabligh School di Makassar diteruskan menjadi Muallimin Muhammadiyah di bawah asuhan Muhammadiyah. Dari pergaulannya denganselama masyarakatdi Makassar, ia mendapat inspirasi dalam menulis novelnya kelak, ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]].''
 
Kembali ke Padang Panjang pada 1934, Malik diserahi untukamanah memimpin [[MA KMM Kauman Padang Panjang|Kulliyatul Muballighien]] sebagai gantipengganti ''Tabligh School'' yang sempat vakum sepeninggalnya.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=32-33}} Dengan lama belajar tiga tahun, lembaga ini dimaksudkan untuk menyiapkan mubalig dan guru sekolah menengah tingkat tsanawiyyah. Melalui Kulliyatul Mubalighin, ia mengajarkan murid-murinya berpidato dan mengarang.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=34}} Tahun yang sama, ia diangkat menjadi anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah—yang meliputi Sumatera Barat, Jambi, dan Riau.
 
Pada 1934, ia diangkat menjadi anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah—yang meliputi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau.
 
== ''Pedoman Masyarakat'' ==
Dari pengalamannya di Padang Panjang dan Makassar, Hamka merasa bakatnya sebagai pengarang lebih baik ia manfaatkan ketimbang menjadi guru. Pada Januari 1936, HamkaMalik berangkat ke Medan, memelopori jurnalistik Islam dan menekuni karang-mengarang. Ia memenuhi permintaan Muhammad Rasami, tokoh Muhammadiyah Bengkalis untuk memimpin ''[[Pedoman Masyarakat]]'' di bawah Yayasan Al-Busyra pimpinan Asbiran Yakub.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=38-40}} Ia merasa bakatnya sebagai pengarang lebih baik ia manfaatkan ketimbang menjadi guru. Kepeimpinan Kulliyatul Mubalighin yang ditinggalkannyaia ditinggalkan diteruskan oleh muridnya, Abdul Malik Ahmad sampai 1946.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=35}} ''Pedoman Masyarakat'' beroplah 500 eksemplar ketika terbit perdana pada 1935.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=192}} Oplahnya melonjak hingga 4.000 eksemplar setelah Malik menjadi pemimpin redaksi pada 22 Januari 1936.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=43}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=202}} Majalah itu mengupas pengetahuan umum, agama, dan sejarah. Melalui kedudukannya sebagai pemimpin redaksi, Hamka menjalin hubungan intelektual dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=195}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=200}} Pada Februari 1936, ia menyindir sikap pemerintah kolonial terhadap [[Mohammad Hatta|Hatta]] dan [[Sutan Syahrir|Sjahrir]] dengan mengasingkan mereka ke [[Boven Digul]]. Melalui ''Pedoman Masyarakat'' pula, Malik untuk pertama kalinya memperkenalkan [[nama pena]] "Hamka".
 
Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung. Mengangkat masalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan, ia menulis ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]''. Hamid terhalang menikahi Zainab karena perbedaan status antara kedua keluarga. Melihat animo masyarakat yang luas, [[Balai Pustaka]] menerbitkan ''Di Bawah Lindungan Ka'bah'' pada 1938. Setelah ''Di Bawah Lindungan Ka'bah,'' Hamka menulis ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' tentang percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir dengan kematian. Sewaktu dimuat sebagai cerita bersambung, Hamka menuturkan ia mendapat banyak surat dari pembaca, sebagian meminta agar Hayati hati "jangan sampai dimatikan", sebagianyang mengungkapkan kesan mereka "seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri". Namun, sejumlah pembaca Muslim menolak ''Van Der Wijck'' karena menurut mereka seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Iadan pernahgara-gara mereka dijulukimenjuluki Hamka "kiai cabul".{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=88}} Hamka membela diri lewat tulisan di ''Pedoman Masyarakat'' pada 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Ia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.
 
Dalam majalah yang diasuhnya, Hamka kerap menampilkan ketokohan [[Soekarno|Ir. Soekarno]] dan kalangan nasionalis pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1930-an. Setelah [[Soekarno|Ir. Soekarno]] dipindahkan pengasingannya dari [[Ende (kota)|Kota Ende]] ke [[Bengkulu]] pada tahun 1938. [[Soekarno|Ir. Soekarno]] mulai mengenal tulisan-tulisan Hamka saat selama pengasingan di [[Bengkulu]] dari tahun 1938 hingga 1942. Bahkan, Hamka pernah menemui [[Soekarno|Bung Karno]] di [[Bengkulu]] untuk bertukar pikiran tentang soal kebangsaan.
 
== Pendudukan Jepang dan pasca-kemerdekaan ==
Baris 125 ⟶ 131:
Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada 1944, Jepang mengangkatnya menjadi anggota ''[[Chuo Sangi-in]]'', yaitu menjadi penasehat dari Chuokan Sumatra Timur [[Letnan Jendral T. Nakashima]]. Ia menerima pengangkatannya karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, sikap kompromistis dan kedudukannya dalam pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka terkucil, dibenci, dan dipandang sinis oleh masyarakat. Hamka mengungkapkan bahwa bulan Agustus sampai Desember 1945 adalah masa yang paling pahit selama hidupnya, berada di tengah kebencian dan penghinaan sampai-sampai di depan anak-anaknya ia berkata, "sekiranya tidak ada iman, barangkali ayah sudah bunuh diri." Hal ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padang Panjang. Hamka tiba di [[Aur Tajungkang Tengah Sawah, Guguk Panjang, Bukittinggi|Aur Tajungkang]], Bukittinggi pada 14 Desember 1945.
 
Kembali ke SumatraSumatera Barat, Hamka menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki tangan penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Pada masa ini terbit buku-bukunya, seperti ''Negara Islam'', ''Islam dan Demokrasi'', ''Revolusi Pikiran'', ''Revolusi Agama'', ''Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi'', dan ''Dari Lembah Cita-Cita''.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=12-13}} Ketika berlangsung Konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang pada 22 Mei 1946, Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah SumatraSumatera Barat, menggantikan [[Saalah Yusuf Sutan Mangkuto|S.Y. Sutan Mangkuto]] yang diangkat menjadi [[Daftar Bupati Solok|Bupati Solok]]. Posisi sebagai ketua Muhammadiyah membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam.
 
Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda ke Tanah Air. Selama perang kemerdekaan, Hamka bersama para pemimpin dan para pejuang lainnya ambil peranan melawan Belanda. Menurut Emzita, seorang jurnalis yang mengikuti perang gerilya pasca-kemerdeaan, Hamka melakukan kegiatan "tablig revolusi". Ia menjadi penghubung krusial di antara ulama dengan kelompok-kelompok pejuang. Hamka memimpin [[Barisan Pengawal Nagari dan Kota]] (BPNK), pasukan rakyat yang besar sekali peranannya dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda di SumatraSumatera Barat. Ia bergerilya masuk-keluar hutan, mengelilingi hampir seluruh nagari di SumatraSumatera Barat dan Riau untuk mengobarkan semangat perjuangan. Tatkala [[Front Pertahanan Nasional]] (FPN) dibentuk secara resmi di SumatraSumatera Barat pada 12 Agustus 1947,{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=99}} Hamka ditunjuk oleh [[Muhammad Hatta]] sebagai salah seorang pimpinan. Bersama-sama dengan pimpinan FPN lain, yaitu [[Khatib Sulaiman]], [[Rasuna Said]] dan [[Karim Halim]], FPN di SumatraSumatera Barat berhasil menghimpun tidak kurang dari 500.000 pemuda yang berusia antara 17–35 tahun.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=96}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=100-101}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=114-120}}
 
Saat tentara Belanda menduduki Padang Panjang tahun 1948, Hamka mengungsikan keluarganya ke Sungai Batang. Selama berbulan-bulan, Hamka tak bertemu anak-anaknya. Putra Hamka, [[Rusydi Hamka]] menuturkan, mereka hanya bisa memakan ubi dan bubur. "Waktu itulah, [[Aliyah Hamka|Aliyah]] nyaris menemui ajalnya karena terlalu sering mengkonsumsi ubi, membuat Aliyah terserang penyakit."
Baris 168 ⟶ 174:
Pada 30 November 1967, Pemerintah Indonesia menggagas diadakannya Musyawarah Antar Agama. Dalam musyawarah yang dihadiri pemuka [[Agama di Indonesia|agama yang diakui secara resmi di Indonesia]], pemerintah mengusulkan pembentukan Badan Konsultasi Antar Agama dan pernyataan bersama dalam piagam yang isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain.” Badan Konsultasi Antar Agama berhasil dibentuk, tetapi musyawarah gagal menyepakati penandatangangan piagam yang diusulkan pemerintah. Perwakilan Kristen merasa berkeberatan sebab piagam tersebut dianggap bertentangan dengan kebebasan penyebaran Injil. Dalam pidatonya, [[Albert Mangaratua Tambunan]] menyampaikan pendirian umat Kristiani bahwa menyebarkan [[Pekabaran Injil]] kepada orang yang belum Kristen adalah "Titah Ilahi yang wajib dijunjung tinggi". Meskipun Musyawarah Antar Agama dianggap gagal oleh banyak pihak, Hamka menganggap musyawarah itu berhasil karena telah mengungkap "apa-apa yang selama ini belum terungkapkan secara gamblang".
 
Setelah bebas dari penjara, Hamka menjadi perwakilan Indonesia dalam beberapa pertemuan internasional. Pada 1967, ia berkunjung ke [[Malaysia]] atas undangan Perdana Menteri [[Tengku Abdul Rahman]]. Pada 1968, ia menghadiri Peringatan Masjid Annabah di [[Aljazair]]. Dari Aljazair, ia mengunjungi beberapa negara seperti [[Spanyol]], Roma, [[Turki]], London, [[Arab Saudi]], [[India]], dan TahilandThailand. Pada 1969, bersama [[Muhammad Ilyas (menteri)|KH Muhammad Ilyas]] dan Anggota [[Dewan Pertimbangan Agung]] (DPA) [[Anwar Tjokroaminoto]], Hamka mewakili Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam membahas konflik [[Palestina]]-[[Israel]] di [[Rabat]], [[Maroko]].
 
Dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September–4 Oktober 1970, Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah, mengapungkan gagasan pembentukan Majelis Ulama. Meskipun mendapatkan dukungan Menteri Agama [[Muhammad Dahlan|KH Muhammad Dahlan]], sejumlah ulama dan tokoh Islam, seperti [[Mohammad Natsir]] dan [[Kasman Singodimedjo]] melihat bahwa lembaga itu hanya akan menguntungkan pemerintah ketimbang umat Islam. Namun, Hamka memandang penting pembentukan Majelis Ulama perlu sebagai jembatan pemerintah dan umat Islam. Menurutnya, Majelis Ulama dapat mengurangi rasa curiga antara pemerintah dan umat Islam. "Mereka berani mengkritik perbuatan pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun karena ketegasan pendiriannya itu, ia akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya ia pun berani membela satu langkah pemerintah yang dianggapnya menempuh jalan yang benar, walaupun karena itu ia pun akan dibenci oleh rakyat," tulis Hamka dalam ''Panji Masyarakat'' pada 1 Juli 1974.
Baris 243 ⟶ 249:
 
=== Citra ===
Hamka dikenal sebagai seorang humanis yang rendah hati, membawa khutbah dan pidato yang memikat. Ceramah-ceramahnya dengan pilihan kalimat-kalimat yang santun telah mengikat perhatian umat di berbagai pelosok dearahdaerah. [[Abdurrahman Wahid]] menulis, penyampaian Hamka dalam masalah keagamaan "sangat menawan" dan "menghanyutkan".{{sfn|Wahid|1996|pp=19-51}} Penulis Malaysia [[:ms:Muhammad Uthman El Muhammady|Muhammad Uthman El Muhammady]] mencatat, Hamka merupakan pemikir yang berpegang teguh pada pendapat yang diyakininya, tetapi "mengutarakan argumennya dengan gaya yang elegan". Ia mengutamakan silaturahmi ketimbang meributkan perbedaan tak berprinsip. Shobahussurur dari [[Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta|Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta]] mengutip bagaimana penerimaan Hamka terhadap perbedaan paham dalam perkara cabang agama. Ketika [[Abdullah Syafi'i|Abdullah Syafii]] hendak menyampaikan khutbah di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka mempersilakan azan di masjid itu dilakukan dua kali sebagaimana tradisi di kalangan [[Nahdatul Ulama]] (NU). Dalam perjalanan di kapal bersama [[Idham Chalid|Idham Cholid]] yang [[Daftar Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama|Ketua PBNU]], Hamka mengimami salat Subuh dengan membaca [[Qunut|doa qunut]] karena jemaah di belakangnya adalah Idham Cholid. Pada Ramadhan pertama setelah Masjid Al-Azhar dibuka, Hamka terlebih dulu menanyakan pilihan jemaah untuk salat Tarawih dan Witir apakah 11 atau 23 rakaat.
 
Menurut putra ke-5 Hamka, [[Irfan Hamka|Irfan]], Hamka berusaha menghindari konflik dengan siapapun.{{sfn|Irfan|2013|pp=253}} Namun, dalam masalah aqidah, "Ayah memang tidak pernah bisa berkompromi. Tapi dalam masalah-masalah lain, Ayah sangat toleran."{{sfn|Irfan|2013|pp=254}} Selain memilih mengundurkan diri sebagai Ketua MUI dibandingkan mencabut fatwa keharaman merayakan Natal bagi umat Islam sebagaimana tuntutan pemerintah, Hamka menolak menghadiri pertemuan ramah-tamah dengan [[Paus Paulus VI]] ketika berkunjung ke Indonesia pada 3–4 Desember 1970. "Bagaimana saya bisa bersilaturahmi..., sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?"{{sic}}{{sfn|Irfan|2013|pp=253}} Meskipun demikian, menurut Irfan pula, Hamka masih mengucapkan selamat Natal kepada dua tetangga Kristen-nya yang bernama Ong Liong Sikh dan Reneker saat tinggal di [[Kebayoran Baru]].<ref>[http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/23/nh0yp6-irfan-hamka-buya-ucapkan-selamat-natal Irfan Hamka: Buya Ucapkan Selamat Natal] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20220702115225/https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/23/nh0yp6-irfan-hamka-buya-ucapkan-selamat-natal |date=2022-07-02 }} - Republika</ref>
 
Menggunakan sudut pandang seorang anak dalam mengenang ayahnya, [[Irfan Hamka]] dalam buku ''Ayah...'' mengungkapkan bagaimana Hamka "memaafkan semua orang yang pernah berseteru dengannya." Karena pandangan politiknya, Hamka kerap menuai kecaman dan ancaman dari lawan politiknya. Dalam sidang Konstituante pada 1957, Hamka memberikan pernyataan tentang Pancasila sebagai dasar yang sesat sehingga membuat [[Muhammad Yamin]] marah dan membencinya. Namun, ketika Yamin sakit pada 1962, Yamin meminta Hamka "untuk dapat mendampinginya" dan "menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya".{{sfn|Irfan|2013|pp=258-262}} Di bawah [[Orde Lama|pemerintahan Soekarno]], Hamka sempat mendekam di penjara atas tuduhan merencakan makar yang tidak pernah terbukti. Namun, Hamka memenuhi permintaan [[Soekarno]] yang lima hari sebelum meninggal meminta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salatnya. Irfan mengutip penyataan Hamka. "Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur'an 30 juz."{{sfn|Irfan|2013|pp=255-257}}
Baris 277 ⟶ 283:
|year = 2013
|title = Ayah... Kisah Buya Hamka
|volume =
|publisher = Penerbit Republika
|location =
|oclc =
|ref = {{sfnRef|Irfan|2013}}
|id = ISBN 978-602-8997-71-3
Baris 298 ⟶ 304:
 
[[Kategori:Hamka| ]]
[[Kategori:SastrawanProfesor Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:TokohUlama Minangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh dari Agam|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh Islam Indonesia]]
[[Kategori:Ulama Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Ketua Majelis Ulama Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Cerdik Pandai Minangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh IslamWartawan Indonesia]]
[[Kategori:UlamaJurnalis IndonesiaMinangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Sastrawan Minangkabau]]
[[Kategori:Tokoh Muhammadiyah|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Ahli tafsir (Al Qur'an) Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Sejarawan Islam Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:PolitikusNovelis Indonesia]]
[[Kategori:Penulis skenario Indonesia]]
[[Kategori:Penulis Indonesia]]
[[Kategori:Penulis Muslim]]
[[Kategori:Penulis politik]]
[[Kategori:Politikus Partai Masyumi]]
[[Kategori:AnggotaTahanan Konstituante Republikpolitik Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh daripolitik AgamMinangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh birokrat Minangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh Kementerian Agama Republik Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Anggota Konstituante Republik Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh Agam|Abdul Malik Karim Amrullah]]<!--dilarang memakai kategori "Tokoh dari Agam"-->
[[Kategori:Tokoh dari Kecamatan Tanjung Raya]]