Hamka: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rahmatdenas (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(227 revisi perantara oleh 71 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
▲{{Infobox Penulis
|alt =
|caption = Potret Hamka
▲|imagesize = 250px
|office =[[Majelis Ulama Indonesia|Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia]]
▲|alt =
|
|order =
|honorific_prefix = ▼
|term_start = 26 Juli 1975
|term_end = 19 Juli 1981
|name = Abdul Malik Karim Amrullah
|pseudonym = Hamka
|birth_date = {{birth date|1908|02|17}}
|birth_place =
|death_date = {{Death date and age|1981|
|death_place =
|restingplace = [[Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir]], [[Jakarta Selatan]], [[DKI Jakarta]]
|
|ethnicity = [[Minangkabau]]
|school_tradition =
|notableworks = ''Tafsir Al-Azhar'' {{br}} ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' {{br}} ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]''
|subject =
▲|movement = [[Balai Pustaka]]
|
|children = [[Rusydi Hamka|Rusydi]], [[Irfan Hamka|Irfan]], [[Aliyah Hamka|Aliyah]], [[Afif Hamka|Afif]], Hisyam, Husna, [[Fathiyah Hamka-Vickri|Fathiyah]], [[Hilmi Hamka|Hilmi]], [[Syakib Arsalan Hamka|Syakib]], [[Azizah Hamka|Azizah]], [[Fachry Hamka|Fachry]], [[Zaki Hamka|Zaki]]
▲|parents = [[Abdul Karim Amrullah]] (ayah)
|parents = {{unbulleted list|[[Abdul Karim Amrullah]] (ayah)|[[Sitti Shafiah]] (ibu)}}
|relatives = [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur]] (kakak ipar)
|notable_ideas =
|influences = [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]], [[Muhammad Iqbal]], [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti]]
|influenced = [[Muhammadiyah]] dan [[Majelis Ulama Indonesia]]
|spouse =
|signature = Signature of Hamka.svg
|signature_alt =
|quote =
|website =
}}
Dibayangi nama besar ayahnya [[Abdul Karim Amrullah]], Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian.
Selama [[Revolusi Nasional Indonesia|revolusi fisik Indonesia]], Hamka bergerilya di [[Sumatera Barat]] bersama [[Barisan Pengawal Nagari dan Kota]] (BPNK)
== Kehidupan awal ==
=== Masa kecil ===
[[Berkas:Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.jpg|jmpl|kiri|262px|[[Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka|Rumah Kelahiran Buya Hamka]] yang dijadikan museum sejak 2001, tempat Hamka lahir, diasuh dan tinggal bersama ''anduang-''nya selama di [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]]]]
Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 <small><nowiki>[</nowiki>[[Kalender Hijriyah]]:
Di [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]], Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering bepergian untuk [[dakwah|berdakwah]]. Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke [[Kota Padang Panjang|
Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke [[Sumatra Thawalib|Thawalib]]. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai ''nahwu,'' dan ilmu ''saraf''. Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran ''arudh'' yang membahas tentang [[syair]] dalam bahasa Arab.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=79}} Kendati kegiatannya dari pagi sampai sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil terkenal nakal. Ia sering mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti. Karena gemar menonton film, Malik pernah mengelabui ayahnya, diam-diam tidak datang ke surau untuk mengintip [[film bisu]] yang sedang diputar di bioskop.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=113-116}}
=== Perceraian
[[Berkas:Abdul Karim Amrullah.jpg|jmpl|150px|[[Abdul Karim Amrullah]], ayah Hamka]]
Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian
Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali
[[Berkas:Masjid Jamik Parabek oleh Denas.
Permasalahan keluarga membuat Malik sering
Di Parabek,
== Perantauan ==
Malik sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau. Ayahnya memberinya julukan "Si Bujang Jauh" karena ia selalu menjauh dari
[[Berkas:Danau Maninjau.jpg|ka|195px
Pada Juli 1924, Malik kembali memulai perjalanannya ke Jawa. Ia menumpang di rumah Marah Intan sesama [[perantau Minang]] dan bertemu adik ayahnya, [[Jafar Amrullah]] di [[Yogyakarta]]. Pamannya itu membawanya ke tempat [[Bagoes Hadikoesoemo|Ki Bagus Hadikusumo]] untuk belajar [[
Pergerakan Islam di Jawa telah memberi pengaruh besar bagi Malik. Dari pengalamannya di Yogyakarta, ia menemukan Islam sebagai suatu yang hidup, suatu perjuangan, dan suatu pendirian yang dinamis. Ketika perhatian [[Islam di
Di Pekalongan, Malik bertemu ayahnya yang urung berangkat ke Mesir setelah ditundanya Kongres Kekhalifahan Internasional. Kegiatan Muhammadiyah menarik perhatian Haji Rasul sehingga saat kembali ke Minangkabau bersama Jafar Amrullah dan Marah Intan, Haji Rasul menginisiasi pendirian Muhammadiyah di Sungai Batang. Perkumpulan yang telah berdiri lebih dulu bernama Sendi Aman bertukar nama menjadi Muhammadiyah untuk diakui sebagai cabang dari Yogyakarta. Dari sinilah [[Muhammadiyah di Sumatera Barat|Muhammadiyah menyebar ke seluruh daerah Minangkabau]] dengan bantuan bekas murid-muridnya. Dalam rangka mempersiapkan mubalig dan guru Muhammadiyah, Haji Rasul menggerakkan murid-murid Thawalib membuka Tabligh Muhammadiyah di [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]]. Malik memimpin latihan pidato yang diadakan kursus itu sekali sepakan. Ia membuatkan pidato bagi yang tak pandai mengarang. Pidato-pidato yang bagus ia muat dalam majalah ''Khatibul Ummah'' yang dirintisnya dengan tiras 500 eksemplar. Malik melengkapi dan menyunting bagian pidato yang diterimanya sebelum diterbitkan. Gurunya Zainuddin dan pemilik percetakan Bagindo Sinaro ikut membantu pembuatan dan distribusi majalah. Beberapa orang belajar kepada Malik membuat materi pidato. Dari kesibukannya menulis dan menyunting naskah pidato, Malik mulai mengetahui dan menuangkan kemampuannya dalam menulis. Namun, karena alasan keuangan,
Usaha memperkenalkan Muhammadiyah ke daerah Minangkabau memperoleh banyak tantangan dari kalangan Thawalib yang telah dipengaruhi komunis. Pengaruh paham itu mempengaruhi sikap murid-murid Thawalib terhadap Belanda secara radikal ketimbang ideologi yang berakar dari materialisme. Pada
Pada pengujung 1925, pengurus besar Muhammadiyah di Yogyakarta mengutus Sutan Mansur ke Minangkabau. Sejak itu, Malik selalu mendampingi Sutan Mansur berdakwah dan merintis cabang Muhammadiyah.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=16}} Bersama Sutan Mansur, ia ikut mendirikan Muhammadiyah di [[Kota Pagar Alam|Pagar Alam]], [[
== Penerimaan dan ibadah haji ==
Meskipun disambut baik saat kepulangannya, Malik dianggap hanya sebagai tukang pidato daripada ahli agama di kampung halamannya. Dalam membacakan ayat atau kalimat bahasa Arab, Malik dinilai tidak fasih karena tidak memahami [[tata bahasa Arab|tata letak bahasa]], ''[[Ilmu nahwu|nahwu]]'', dan ''[[Saraf (linguistik)|sharaf]]''. Kekurangannya dikait-kaitkan karena ia tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di Thawalib. Menurut kesaksian Hamka, ia memang
Kepada andungnya, Malik sering menceritakan kesedihan dan perasaannya. Dari andungnya, Malik diceritakan bahwa ayahnya pernah berjanji akan mengirimnya belajar ke
[[Berkas:Masjid al-Haram 1.jpg|jmpl|260px|kiri|[[Masjidil Haram]], [[Mekkah]] pada 1900-an. Perjalanan Hamka ke Mekkah pada tahun 1927 meletupkan inspirasi baginya untuk menulis ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'']]
Sampai di Mekkah, ia mendapat tumpangan di rumah pemandu haji "
Ketika waktu berhaji tiba di tengah musim panas, Malik sempat ditimpa sakit kepala dan tak dapat berjalan ke mana-mana. Ia tak sadarkan diri hingga lepas tengah malam. Begitu mudah orang mati, sampai ia merasa barangkali tentu akan mati. Selepas menunaikan haji, ketika jemaah haji menurut kebiasaan menghadap ''syekh'' masing-masing untuk dipasangkan sorban dan diberikan [[nama haji]], Malik mengelak. Ia menyebut kebiasaan itu sebagai "perbuatan khurafat". Sempat berencana menetap di Mekkah, Malik memutuskan pulang setelah bertemu [[Agus Salim]]. Karena Agus Salim urung mengikuti Kongres Islam Sedunia yang batal diadakan, waktu yang dimiliki Agus Salim dimanfaatkan Malik untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan politik Indonesia. Hampir seminggu Malik menyediakan diri sebagai ''khadam'' atau pelayan saat Agus Salim menasihatinya untuk segera pulang. "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di Tanah Airmu sendiri", ujar Agus Salim.
== Merintis karier ==
=== Menulis dan mengarang ===
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Luchtfoto van de Grote Moskee in Medan TMnr 60037219.jpg|jmpl|Medan, 1931]]
Malik kembali ke Tanah Air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah.
Sewaktu di Medan, kerabat dan ayahnya berkali-kali berkirim surat memintanya pulang. Malik baru memutuskan pulang setelah mendapat bujukan kakak iparnya, Sutan Mansur. Sutan Mansur singgah di Medan dalam perjalanan pulang dari [[Kota Lhokseumawe|Lhokseumawe]] pada akhir 1927. Malik menyusul ayahnya di Sungai Batang—rumah mereka di
Di Sungai Batang, Malik menerbitkan romannya yang pertama dalam [[bahasa Minangkabau]] berjudul ''[[Si
Malik memperbanyak koleksi media massa, berlangganan beberapa surat kabar dari Jawa seperti ''Hindia Baru'' dan ''Bendera Islam''. Dua majalah itu memperluas pengetahuannya tentang pergerakan. Melalui jurnal ''Seruan Azhar'' terbitan Mesir, ia memperoleh informasi tentang gerakan-gerakan Islam internasional, perjuangan Mustafa Kamal dan Ismed dalam membangun Turki baru, dan pemberontakan Hijaz oleh Ibnu Saud.-->
=== Muhammadiyah ===
[[Berkas:Poster Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi 1930.jpg|jmpl|Poster Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi, 14-21 Maret 1930]]
Setelah tiga bulan menikah, Malik bersama
Ketika diadakannya Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada awal 1929, Malik datang sebagai peserta. Sejak itu, ia tidak pernah absen menghadiri
Ketika Muhammadiyah mengadakan kongres di Bukittinggi pada 1930, Malik berpidato tentang "Agama Islam dalam Adat Minangkabau". Dalam kongres yang bersifat nasional, baru Hamka sebagai pembicara yang mencoba mempertautkan adat dengan agama. Pada kongres Muhammadiyah ke-20 tahun berikutnya di Yogyakarta, ia menyampaikan pidato mengenai perkembangan Muhammadiyah di Sumatera. Ia mampu memukau sebagian besar peserta kongres yang hadir. Pidatonya membuat banyak orang menitikkan air mata. Pada tahun 1930, Hamka diutus oleh pengurus pusat Muhammadiyah untuk membuka cabang di [[Bengkalis, Bengkalis|Bengkalis]], [[Riau]], setelah pendirian sekolah di Masjid Raya Parit Bangkong oleh [[Tuan Guru Haji Ahmad]], pada tahun 1927.<ref name=":0">{{Cite book|last=Pahlefi|first=Riza|date=2022-08-11|url=https://books.google.com/books?id=_TCJEAAAQBAJ&q=Zakaria+&pg=PA158|title=BENGKALIS: NEGERI JELAPANG PADI|publisher=CV. DOTPLUS Publisher|isbn=978-623-6428-59-7|language=id}}</ref> Ia kemudian melantik Muhammad Rasami sebagai sekretaris pengurus cabang Muhammadiyah Bengkalis.<ref name=":0" /> Pada 1931, usai membuka cabang Muhammadiyah di Bengkalis, ia dipercayakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21 di [[Kota Makassar|Makassar]].{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=22-23}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=26}}
Selama di Makassar, Hamka sempat mengeluarkan majalah Islam ''Tentera'' sebanyak empat edisi dan majalah ''Al-Mahdi'' sebanyak sembilan edisi. Keberadaan Malik di Makassar dimanfaatkan oleh pimpinan Muhammadiyah setempat.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=28-31}} Malik mendirikan Tabligh School yang serupa di
Kembali ke
== ''Pedoman Masyarakat'' ==
Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung. Mengangkat masalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan, ia menulis ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]''. Hamid terhalang menikahi Zainab karena perbedaan status antara kedua keluarga. Melihat animo masyarakat yang luas, [[Balai Pustaka]] menerbitkan ''Di Bawah Lindungan Ka'bah'' pada 1938. Setelah ''Di Bawah Lindungan Ka'bah,'' Hamka menulis ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' tentang percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir dengan kematian. Sewaktu dimuat sebagai cerita bersambung, Hamka menuturkan ia mendapat banyak surat dari pembaca,
Dalam majalah yang diasuhnya, Hamka kerap menampilkan ketokohan [[Soekarno]] dan kalangan nasionalis pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1930-an. Soekarno mulai mengenal tulisan-tulisan Hamka saat selama pengasingan di [[Bengkulu]] dari tahun 1938 hingga 1942. Bahkan, Hamka pernah menemui Bung Karno di [[Bengkulu]] untuk bertukar pikiran tentang soal kebangsaan.
▲Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung. Mengangkat masalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan, ia menulis ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]''. Hamid terhalang menikahi Zainab karena perbedaan status antara kedua keluarga. Melihat animo masyarakat yang luas, [[Balai Pustaka]] menerbitkan ''Di Bawah Lindungan Ka'bah'' pada 1938. Setelah ''Di Bawah Lindungan Ka'bah,'' Hamka menulis ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' tentang percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir dengan kematian. Sewaktu dimuat sebagai cerita bersambung, Hamka menuturkan ia mendapat banyak surat dari pembaca, sebagian meminta agar Hayati hati "jangan sampai dimatikan", sebagian mengungkapkan kesan mereka "seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri". Namun, sejumlah pembaca Muslim menolak ''Van Der Wijck'' karena menurut mereka seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Ia pernah dijuluki kiai cabul.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=88}} Hamka membela diri lewat tulisan di ''Pedoman Masyarakat'' pada 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Ia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.
== Pendudukan Jepang dan pasca-kemerdekaan ==
[[Berkas:Perdjoempaan_kaoem_moeslim_Soematera_Baroe.webm|jmpl|270x270px|Propaganda Hamka mendukung Jepang di Medan|start=216|end=329]]
Setelah Jepang mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda dan menduduki Medan pada 13 Maret 1942, majalah ''Pedoman Masyarakat'' berhenti terbit.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=190}} Sembari memfokuskan perhatiannya memimpin Muhammadiyah, Hamka berusaha mempertahankan Muhammadiyah dari pembubaran.
Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada 1944, Jepang mengangkatnya menjadi anggota ''[[Chuo Sangi-in]]''
Kembali ke
Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda ke Tanah Air. Selama perang kemerdekaan, Hamka bersama para pemimpin dan para pejuang lainnya ambil peranan melawan Belanda. Menurut Emzita, seorang jurnalis yang mengikuti perang gerilya pasca-kemerdeaan, Hamka melakukan kegiatan "tablig revolusi". Ia menjadi penghubung krusial di antara ulama dengan kelompok-kelompok pejuang. Hamka
Saat tentara Belanda menduduki
== Pindah ke Jakarta ==
Ia diangkat sebagai pegawai [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama]] yang pada waktu itu menterinya dipimpin [[Wahid Hasjim|KH Wahid Hasyim]]. Ia diserahi tugas mengajar di beberapa perguruan tinggi Islam. Di antaranya [[Universitas Islam Jakarta]], PTAIN Yogyakarta (sekarang [[Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta|UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta]]), dan Universitas Muslim Ujungpandang. Hamka banyak diundang ke berbagai tempat untuk ceramah.
Pada 1950, usai menunaikan ibadah haji, Hamka mengunjungi beberapa negara Arab dan mendapatkan banyak inspirasi untuk menulis. Ia menulis tiga
Berstatus sebagai pegawai pemerintah, Hamka pada saat yang sama terjun dalam kancah politik. Ia bergabung dengan [[Partai Masyumi (1945)|Majelis Syuro Muslimin Indonesia]] (Masyumi) yang menginginkan perjuangan Islam melalui mekanisme konstitusional. Namun, aktivitasnya di dunia politik belakangan menyebabkannya harus mengundurkan diri sebagai pegawai Departemen Agama. Soekarno meminta para pegawai untuk memilih tetap menjadi pegawai atau anggota partai.
Pada [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955|pemilihan umum 1955]], ia terpilih sebagai anggota [[Konstituante|Dewan Konstituante]] mewakili Jawa Tengah. Dalam sidang-sidang Konstituante, ia menyampaikan pidato tentang bahasa, hak-hak azasi manusia, dan dasar negara. Hamka tampil sebagai salah seorang penanggap pidato Presiden Soekarno berjudul "Republika" (yang mengajak kembali ke [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|UUD 1945]] dan ide "kabinet kaki empat"). Ia menolak gagasan [[Soekarno|Presiden Soekarno]] yang akan menerapkan [[Demokrasi Terpimpin]].
Ketika terjadi perdebatan mengenai dasar negara, Hamka bersama [[Mohammad Natsir]], [[Mohammad Roem]], dan [[Isa Anshari]] secara konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Hamka mengemukakan kelebihan Islam dari Pancasila, malah dari dasar apapun di dunia. Ia meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila mencerminkan gaya hidup ataupun falsafah hidup orang Indonesia sekalipun ia menghargai usaha mereka yang hendak meyakinkan ini. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama [[Pancasila]] dimasukkan kembali kalimat tentang "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", sebagaimana yang termaktub dalam [[Piagam Jakarta]]. Perdebatan itu berujung pada dikeluarkannya [[Dekrit Presiden]]. == Masjid Agung Al-Azhar ==
Pada tahun 1956, Hamka membangun sebuah rumah kediaman untuk anak dan istrinya di Jalan Raden Patah, [[Kebayoran Baru]], [[Jakarta Selatan]]. Di depan rumahnya direncanakan akan dibangun sebuah masjid yang digagas oleh tokoh-tokoh Masyumi, tetapi panitia pembangunan belum mendapatkan tokoh yang tepat untuk menjadi penanggung jawab dan imam masjid tersebut. Pada saat itulah Ghazali Syahlan dan Abdullah Salim yang diberi tugas mencari tokoh tersebut menghadap Hamka untuk meminta kesediaannya. Permohonan ini diterima oleh Hamka. Dalam suatu pertemuan, ia menyarankan agar masjid itu dibangun terlebih dahulu dan juga menyarankan agar bangunannya disertai dengan ruang kantor, ruang pertemuan, dan ruang perkuliahan yang dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya.▼
[[Berkas:Masjid Agung Al-Azhar 2021.jpg|270px|ka|jmpl|[[Masjid Agung Al-Azhar]], namanya disematkan oleh Imam Besar Al-Azhar Syekh Mahmud Syaltut sebagai pengakuan atas peran dan ketokohan Hamka.]]
Sebelum pembangunan masjid itu selesai, Hamka menghadiri undangan sebuah konferensi Islam dari [[:en:University of the Punjab|Universitas Punjab]] di Lahore, Pakistan pada Januari 1958. Ia hadir sebagai delegasi Indonesia dalam simposium Islam di Lahore bersama [[Muhammad Hasbi|Hasbi Ash-Shieddiqy]] dan [[Anwar Musaddad|KH Anwar Musaddad]]. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Kairo, Mesir sebagai tamu kenegaraan bersamaan dengan Soekarno, yang kebetulan ketika itu sedang berkunjung ke Mesir. Dalam kunjungannya ke Kairo, ia memenuhi undangan Forum Dunia Islam untuk memberikan ceramah di [[Universitas Al-Azhar]] pada Februari 1958. Di gedung Asy-Syubbanul Muslimun, Hamka menyampaikan pidato tentang pengaruh paham [[Muhammad Abduh]] di Indonesia dan Malaya. Hamka menguraikan tentang kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern di Indonesia seperti [[Thawalib]], [[Muhammadiyah]], [[Al-Irsyad]], dan [[Persatuan Islam|Persis]]. Dalam ceramahnya ia mendapat sambutan luas dari kalangan akademik dan intelektual Mesir karena pemaparannya yang dinilai sangat baik tentang pengaruh paham Muhammad Abduh terhadap masyarakat Muslim di Asia Tenggara, yang di Mesir sendiri sangat terbatas sekali yang mengenalnya. Setelah memberikan ceramahnya, ia melanjutkan perjalanan ke Mekkah, Jeddah, dan Madinah. Ketika memenuhi undangan dari pihak istana Kerajaan Arab Saudi, ia menerima berita dari Mesir yang menyatakan bahwa Universitas Al-Azhar telah mengambil keputusan hendak memberinya gelar ''Ustadziyah Fakhriyyah'', gelar ilmiah tertinggi dari universitas itu yang setara dengan [[Honoris Causa|Doktor Honoris Causa]].▼
▲Pada tahun 1956, Hamka membangun sebuah rumah kediaman untuk anak dan istrinya di Jalan Raden
▲Sebelum pembangunan masjid itu selesai, Hamka menghadiri undangan sebuah konferensi Islam dari [[:en:University of the Punjab|Universitas Punjab]] di [[Lahore]], [[Pakistan]] pada Januari 1958. Ia hadir sebagai delegasi Indonesia dalam simposium Islam di Lahore bersama [[Muhammad Hasbi|Hasbi Ash-Shieddiqy]] dan [[Anwar Musaddad|KH Anwar Musaddad]]. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Kairo, [[Mesir]] sebagai tamu kenegaraan bersamaan dengan Soekarno, yang kebetulan ketika itu sedang berkunjung ke Mesir. Dalam kunjungannya ke Kairo, ia memenuhi undangan Forum Dunia Islam untuk memberikan ceramah di [[Universitas Al-Azhar]] pada Februari 1958. Di gedung Asy-Syubbanul Muslimun, Hamka menyampaikan pidato tentang pengaruh paham [[Muhammad Abduh]] di Indonesia dan Malaya. Hamka menguraikan tentang kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern di Indonesia seperti [[Thawalib]], [[Muhammadiyah]], [[Al-Irsyad]], dan [[Persatuan Islam|Persis]]. Dalam ceramahnya ia mendapat sambutan luas dari kalangan akademik dan intelektual Mesir karena pemaparannya yang dinilai sangat baik tentang pengaruh paham Muhammad Abduh terhadap masyarakat Muslim di [[Asia Tenggara]], yang di Mesir sendiri sangat terbatas sekali yang mengenalnya. Setelah memberikan ceramahnya, ia melanjutkan perjalanan ke [[Mekkah]], [[Jeddah]], dan [[Madinah]]. Ketika memenuhi undangan dari pihak istana [[Arab Saudi|Kerajaan Arab Saudi]], ia menerima berita dari Mesir yang menyatakan bahwa Universitas Al-Azhar telah mengambil keputusan hendak memberinya gelar ''Ustadziyah Fakhriyyah'', gelar ilmiah tertinggi dari universitas itu yang setara dengan [[Honoris Causa|Doktor Honoris Causa]].
Pada Desember 1960, [[
▲Pada Desember 1960, [[:en:Mahmud Shaltut|Syekh Mahmud Shaltut]], [[Imam Besar Al-Azhar]], beserta rombongan datang ke Indonesia sebagai tamu kenegaraan. Dalam lawatan ini, Mahmud Shaltut meninjau Masjid Agung Kebayoran Baru.
[[Berkas:Natsir-Hamka-Isa Anshary.jpg|jmpl|kiri|Hamka (duduk) bersama [[Mohammad Natsir|Natsir]] (kiri) dan [[Muhammad Isa Anshary|Isa Anshary]] (kanan). Mereka sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim Soekarno akibat adanya kaitan petinggi partai [[Masyumi]] dengan pemberontakan [[PRRI]].]]
▲== Tuduhan plagiat dan makar ==
▲[[Berkas:Natsir-Hamka-Isa Anshary.jpg|jmpl|kiri|220px|Hamka (duduk) bersama [[Mohammad Natsir|Natsir]] (kiri) dan [[Muhammad Isa Anshary|Isa Anshary]] (kanan). Mereka sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim Soekarno.]]Kedekatan Hamka terhadap partai Masyumi menyebabkan Hamka ikut menjadi bulan-bulanan dari pihak PKI. Organisasi sayap PKI, [[Lembaga Kebudayaan Rakyat|Lekra]] menuduhnya sebagai "plagiator " dan pemerintah waktu itu menuduhnya sebagai orang yang akan berusaha melakukan makar. Pada September 1962, Lekra menuduh novel Hamka berjudul [[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]] dalah jiplakan dari karya pengarang Prancis Alphonse Karr ''Sous les Tilleus''. Novel ''Sous les Tilleus'' diterjemahkan oleh [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti|Mustafa Lutfi Al-Manfaluti]] ke bahasa Arab. Pada tahun 1963, novel edisi Arab ini diindonesiakan AS Alatas dengan judul ''Magdalena''.
Keadaan memburuk bagi Hamka ketika ''Panji Masyarakat'' memuat artikel [[Mohammad Hatta|Muhammad Hatta]] berjudul "Demokrasi Kita". Setelah penerbitan ''Panji
Pada 27 Januari 1964, setelah Masyumi dibubarkan paksa akibat adanya para anggota partai yang ditangkap di pemberontakan [[PRRI]],<ref>Ricklefs, M.C. (2008) [1981], A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (4th ed.), Palgrave MacMillan, ISBN 978-0-230-54686-8, p. 411.</ref> Hamka dan para anggota senior Masyumi turut dipenjara karena dianggap terlibat dalam pemberontakan.<ref>Ward, Ken (1970). The Foundation of the Partai Muslimin Indonesia. Ithaca, New York: Modern Indonesia Project, Cornell University. pp. 12-14.</ref>
Karena jatuh sakit, Hamka dipindahkan dari tahanan ke [[Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan|RS Persahabatan]]. Selama perawatan di rumah sakit ini, Hamka meneruskan penulisan ''Tafsir Al-Azhar.'' Ia mengaku wajah-wajah jemaahnya yang terbayang ketika ia mulai mengoreskan pena untuk menulis tafsir. Hamka ditetapkan sebagai tahanan politik selama dua tahun sejak 28 Agustus 1964, diikuti tahanan rumah dua bulan dan tahanan kota dua bulan.
== Orde Baru ==
Pada 30 November 1967, Pemerintah Indonesia menggagas diadakannya Musyawarah Antar Agama. Dalam musyawarah yang dihadiri pemuka [[Agama di Indonesia|agama yang diakui secara resmi di Indonesia]], pemerintah mengusulkan pembentukan Badan Konsultasi Antar Agama dan pernyataan bersama dalam piagam yang isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain.” Badan Konsultasi Antar Agama berhasil dibentuk, tetapi musyawarah gagal menyepakati penandatangangan piagam yang diusulkan pemerintah. Perwakilan Kristen merasa berkeberatan sebab piagam tersebut dianggap bertentangan dengan kebebasan penyebaran Injil. Dalam pidatonya, [[
Setelah bebas dari penjara, Hamka menjadi perwakilan Indonesia dalam beberapa pertemuan internasional. Pada 1967, ia berkunjung ke [[Malaysia]] atas undangan Perdana Menteri [[Tengku Abdul Rahman]]. Pada 1968, ia menghadiri Peringatan Masjid Annabah di [[Aljazair]]. Dari Aljazair, ia mengunjungi beberapa negara seperti [[Spanyol]], Roma, [[Turki]], London,
Dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September–4 Oktober 1970, Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah, mengapungkan gagasan pembentukan Majelis Ulama. Meskipun mendapatkan dukungan Menteri Agama [[Muhammad Dahlan|KH Muhammad Dahlan]], sejumlah ulama dan tokoh Islam, seperti [[Mohammad Natsir]] dan [[Kasman Singodimedjo]] melihat bahwa lembaga itu hanya akan menguntungkan pemerintah ketimbang umat Islam. Namun, Hamka memandang penting pembentukan Majelis Ulama perlu sebagai jembatan pemerintah dan umat Islam. Menurutnya, Majelis Ulama dapat mengurangi rasa curiga antara pemerintah dan umat Islam. "Mereka berani mengkritik perbuatan pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun karena ketegasan pendiriannya itu, ia akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya ia pun berani membela satu langkah pemerintah yang dianggapnya menempuh jalan yang benar, walaupun karena itu ia pun akan dibenci oleh rakyat," tulis Hamka dalam ''Panji Masyarakat'' pada 1 Juli 1974.
Pada 1971, Hamka menghadiri Seminar Islam di Aljazair, dengan membawa ''paper'' tentang Muhammadiyah di Indonesia. Pada 8 Juni 1974, Hamka menerima gelar kehormatan [[Honoris Causa]] dari [[Universitas Kebangsaan Malaysia]]. Pada 1975, ia menghadiri Muktamar Masjid di Mekkah. Pada 1976, ia menghadiri Konferensi Islam di Kucing, [[Sarawak|Serawak]], [[Malaysia Timur]]. Pada 1976, ia mengikuti Seminar Islam dan Kebudayaan Malaysia di [[Universitas Nasional Malaysia|Universitas Kebangsaan Malaysia]] dengan ''paper'' "Pengaruh Islam pada Kesusastraan Melayu". Pada 1977, ia menghadiri Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Muktamar Ulama (Al-Buhust Islamiyah) di [[Kairo]]. Di [[Lahore]], Hamka menyampaikan makalahnya tentang [[Muhammad Iqbal]], menyoroti [[Muhammad Ali Jinnah#Pengaruh Iqbal pada Jinnah|pengaruh Iqbal dalam membawa identitas Muslim pada Jinnah]].{{sfn|Irfan|2013|pp=250-253}}
=== Ketua MUI ===
[[Berkas:Buya_Hamka_tanpa_tahun.jpg|jmpl|Hamka saat menjabat Ketua MUI]]
Ketika [[Majelis Ulama Indonesia]] (MUI) terbentuk pada 26 Juli 1975, Hamka dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MUI.{{sfn|Ali|1996|pp=55-70}} Pada hari itu pula, Hamka berpidato pertama kali sebagai Ketua MUI. Ketika ia
Meski berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat gencar, ia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Sebagai Ketua MUI, ia meminta agar ia tidak digaji. Ia memilih menjadikan [[Masjid Agung Al-Azhar]] sebagai pusat kegiatan MUI alih-alih berkantor di [[Masjid Istiqlal]]. Selain itu, ia meminta agar diperbolehkan mundur, apabila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Pemerintah bersedia mengakomodasi permintaan Hamka.
Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan [[Presiden Soeharto]] sejak mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia selalu menganjurkan agar di Indonesia terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Hamka sebagai Ketua MUI pada 21 September 1975 menerangkan kepada 30 orang utusan ulama yang hadir bahwa Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam [[Surah Al-Mumtahanah|surat Al-Mumtahinah]] ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh Al-
Pada 1978, Hamka berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan [[Daftar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia|Menteri Pendidikan dan Kebudayaan]] [[Daoed Joesoef]] untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadhan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
=== Fatwa MUI dan pengunduran diri ===
Pada 7 Maret 1981, MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman perayaan Natal bagi umat Islam. Fatwa itu keluar menyusul banyaknya instansi pemerintah menyatukan perayaan Natal dan Lebaran lantaran kedua perayaan itu berdekatan. Hamka membantah perayaan Natal dan Lebaran bersama sebagai bentuk toleransi. "Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-
MUI memfatwakan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam hukumnya haram, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa karena Natal tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keyakinan dan peribadatan. Namun, keluarnya fatwa MUI menulai kecaman
Menanggapi tuntutan pemerintah untuk mencabut fatwa, Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Dalam buku ''Mengenang 100 Tahun Hamka'', [[Shobahussurur]] mencatat perkataan Hamka
== Meninggal ==
Kesehatan Hamka menurun setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI.
Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10:37 WIB dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir
Sepeninggal Hamka, pemerintah menyematkan [[Bintang Mahaputra Utama]] secara anumerta kepada Hamka. Sejak 2011, ia ditetapkan sebagai [[Daftar pahlawan nasional Indonesia|Pahlawan Nasional Indonesia]]. Namanya diabadikan untuk perguruan tinggi Islam di Jakarta milik Muhammadiyah, yakni [[Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka|Universitas Muhammadiyah Hamka.]] Dari syair berbahasa Minang ciptaan [[Agus Taher]], [[Zalmon]] dan [[Tiar Ramon]] menyanyikan lagu ''Selamat Jalan Buya'' untuk mengenang wafatnya Hamka.{{sfn|Irfan|2013|pp=273-287}} Novelis [[Akmal Nasery Basral]]
== Pengakuan umum ==
Hamka diakui secara luas sebagai seorang pemikir Islam Asia Tenggara. Perdana Menteri Malaysia [[Tun Abdul Razak]], ketika menghadiri penganugerahan gelar kehormatan [[Honoris Causa]] oleh [[Universitas Kebangsaan Malaysia]] kepada Hamka, menyebut Hamka sebagai "kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara". [[:en:John Louis Esposito|John L. Espito]]
Presiden ke-4 Indonesia [[Abdurrahman Wahid]] menulis, Hamka memiliki orientasi pemikiran yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat akan perubahan.{{sfn|Wahid|1996|pp=19-51}} Tokoh [[Nahdatul Ulama]] [[A. Syaikhu]] menyebut, Hamka menempatkan dirinya tidak hanya sekadar pimpinan Masjid Agung Al-Azhar atau organisasi Muhammadiyah, tetapi sebagai pemimpin umat Islam secara keseluruhan, tanpa memandang golongan.{{sfn|Syaikhu|1996|pp=225-232}} [[Nurcholish Madjid]] dalam buku ''Kenang-kenangan'' ''70 Tahun Buya Hamka'' mencatat peranan dan ketokohan Hamka sebagai figur sentral yang telah berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal atau gerakan ke atas agama Islam di Indonesia. "Hamka berhasil mengubah postur kumal seorang kiyai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa hormat dan respek."
Baris 198 ⟶ 214:
== Karya dan penerimaan ==
[[Berkas:Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka 2020.jpg|ka|jmpl|262px|[[Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka]]]]
Seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu, Hamka tercatat sebagai penulis Islam paling prolifik dalam sejarah modern Indonesia. Karya-karyanya mengalami cetak ulang berkali-kali dan banyak dikaji oleh peneliti Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Tulisannya telah menghiasi berbagai macam majalah dan surat kabar. [[Yunan Nasution]] mencatat, dalam jarak waktu kurang lebih 57 tahun, Hamka melahirkan 84 judul buku. Minatnya akan bahasa banyak tertuang dalam karya-karyanya. ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'', ''[[Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'', dan ''[[Merantau ke Deli]]'' yang terbit di Medan melambungkan nama Hamka sebagai sastrawan. Ketiganya bermula dari cerita bersambung yang diterbitkan oleh majalah ''Pedoman Masyarakat.'' Selain itu, Hamka meninggalkan karya tulis yang menyangkut tentang sejarah, budaya, dan bidang-bidang kajian Islam.
Baris 205 ⟶ 223:
=== Sastra ===
Karya-karya Hamka umumnya bertema gugatan terhadap adat Minangkabau, terutama kawin paksa dan hubungan kekerabatan yang menurut pandangannya tak bersesuaian dengan cita-cita masyarakat Indonesia modern. Melalui ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'', Hamka menggugat penggolongan orang berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan oleh [[Orang Minangkabau|masyarakat Minangkabau]]. Menurutnya, adat bertentangan dengan agama Islam yang memandang kedudukan manusia sama di hadapan Allah. Dalam ''[[Tuan Direktur]]'', Hamka menyindir tokoh Jazuli sebagai kebanyakan orang Melayu yang kerap terburu nafsu sehingga mengabaikan nilai-nilai fundamental. Dalam ''[[Merantau ke Deli]]'', Hamka menginginkan perubahan penilaian masyarakat Minangkabau tentang keberhasilan [[merantau]] dan mengkritik penilaian adat tentang pernikahan yang baik dari satu daerah saja. Pada kenyataannya, harta bukan jaminan kehidupan akan menjadi bahagia, begitupula asal daerah bukan jaminan pernikahan akan bertahan lama.
Pada akhir 1930-an, buku-buku Hamka telah dapat ditemukan di perpustakaan sekolah umum. Para pelajar sering dianjurkan untuk membacanya. Novel-novel Hamka menuai kesuksesan komersial dan berkali-kali cetak ulang. ''Di Bawah Lindungan Ka'bah'' diangkat ke layar lebar [[Di Bawah Lindungan Ka'bah (film 1981)|pada 1981]] dan [[Di Bawah Lindungan Ka'bah (film 2011)|2011.]] Pada 2013, ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (film)|Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'' untuk kali pertama difilmkan.
Baris 212 ⟶ 230:
=== Sejarah ===
Dalam ''[[Sejarah Umat Islam]]'', Hamka menulis tentang [[sejarah Islam]] dengan
Lewat ''[[Perbendaharaan Lama]]'', Hamka meunjukkan penguasannya tentang warisan, atsar, jejak, dan petuah yang diwariskan tokoh-tokoh Nusantara. Ia menguraikan tentang sejarah [[kebangkitan Islam di Minangkabau]] secara khusus dalam ''Ayahku'', biografi [[Abdul Karim Amrullah]] yang ditulisnya.
Baris 221 ⟶ 239:
''Tafsir al-Azhar'' dianggap sebagai karya monumental Hamka, sebagaimana ditulis oleh [[Abdurrahman Wahid]]. Lewat ''Tafsir Al-Azhar'', Hamka mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya di hampir semua disiplin yang tercakup oleh bidang ilmu-ilmu agama Islam serta pengetahuan non-keagamaan yang kaya dengan informasi.{{sfn|Wahid|1996|pp=19-51}} Menurut peneliti Malaysia [[Norbani Ismail]], ''Tafsir Al-Azhar'' adalah tafsir pertama yang ditulis secara komprehensif dalam bahasa Indonesia.
Usep Taufik Hidayat dari [[Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta]] menyebut keunikan ''Tafsir Al-Azhar'' adalah kemampuannya berelasi terhadap isu-isu kontemporer, terutama kepada budaya masyarakat khususnya budaya Melayu-Minangkabau. Hamka melakukan pendekatan yang sesuai dengan kondisi kontemporer yang dihubungkan dengan berbagai lapisan masyarakat modern. Hamka mengutip berpuluh-puluh kitab karangan sarjana-sarjana Barat dan akomodatif terhadap pendekatan berbagai ilmu yang ada korelasinya dengan penafsiran, terutama sains. Menurut Hamka, ilmu dan akal diperuntukkan manusia untuk mengenal Tuhannya "Penemuan-penemuan sains yang baru telah menolong kita untuk memahami kebenaran ayat Al-
== Kehidupan pribadi dan publik ==
=== Keluarga ===
[[Berkas:Buya Hamka dan keluarga pd.jpg|jmpl|270px|ka|Hamka bersama istri dan anak-anaknya. Dari pernikahannya dengan Sitti Raham, ia dikaruniai sebelas orang anak (delapan dalam foto)]]Pada 5 April 1929, Hamka menikahi Sitti Raham. Ia menjadi ayah dari dua belas anak, dua di antara mereka meninggal saat masih balita.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=297}} Sampai Mei 2013, Hamka memiliki 31 cucu dan 44 cicit.{{sfn|Irfan|2013|pp=2291}} Ketika menikah dengan Sitti Raham, Hamka berusia 21 tahun, sementara
Dalam buku ''Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka'', [[Rusydi Hamka]] mengisahkan saat-saat keluarga mereka melewati masa-masa kemiskinan. "Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain," tulis Rusydi. Selain itu, sebagai seorang mamak dalam hubungan kekerabatan masyarakat Minang, Hamka pada saat bersamaan memiliki tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya. Anak pertama Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=43}} Anak ketiga Hamka, Rusydi dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Berbeda dengan pria keturunan [[Pedagang Minangkabau|Minang yang pandai berdagang]], Hamka tidak mewarisi bakat berbisnis. Di tengah kondisi kekurangan, Hamka memilih bekerja di Medan untuk ''Pedoman Masyarakat'' pada 1936.
=== Citra ===
Hamka dikenal sebagai seorang humanis yang rendah hati, membawa khutbah dan pidato yang memikat. Ceramah-ceramahnya dengan pilihan kalimat-kalimat yang santun telah mengikat perhatian umat di berbagai pelosok
Menurut putra ke-5 Hamka, [[Irfan Hamka|Irfan]], Hamka berusaha menghindari konflik dengan siapapun.{{sfn|Irfan|2013|pp=253}} Namun, dalam masalah aqidah, "Ayah memang tidak pernah bisa berkompromi. Tapi dalam masalah-masalah lain, Ayah sangat toleran."{{sfn|Irfan|2013|pp=254}} Selain memilih mengundurkan diri sebagai Ketua MUI dibandingkan mencabut fatwa keharaman merayakan Natal bagi umat Islam sebagaimana tuntutan pemerintah, Hamka menolak menghadiri pertemuan ramah-tamah dengan [[Paus Paulus VI]] ketika berkunjung ke Indonesia pada 3–4 Desember 1970. "Bagaimana saya bisa bersilaturahmi..., sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?"{{sic}}{{sfn|Irfan|2013|pp=253}} Meskipun demikian, menurut Irfan pula, Hamka masih mengucapkan selamat Natal kepada dua tetangga Kristen-nya yang bernama Ong Liong Sikh dan Reneker saat tinggal di [[Kebayoran Baru]].<ref>[http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/23/nh0yp6-irfan-hamka-buya-ucapkan-selamat-natal Irfan Hamka: Buya Ucapkan Selamat Natal] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20220702115225/https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/23/nh0yp6-irfan-hamka-buya-ucapkan-selamat-natal |date=2022-07-02 }} - Republika</ref>
Menggunakan sudut pandang seorang anak dalam mengenang ayahnya, [[Irfan Hamka]] dalam buku ''Ayah...'' mengungkapkan bagaimana Hamka "memaafkan semua orang yang pernah berseteru dengannya." Karena pandangan politiknya, Hamka kerap menuai kecaman dan ancaman dari lawan politiknya. Dalam sidang Konstituante pada 1957, Hamka memberikan pernyataan tentang Pancasila sebagai dasar yang sesat sehingga membuat [[Muhammad Yamin]] marah dan membencinya. Namun, ketika Yamin sakit pada 1962, Yamin meminta Hamka "untuk dapat mendampinginya" dan "menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya".{{sfn|Irfan|2013|pp=258-262}} Di bawah [[Orde Lama|pemerintahan Soekarno]], Hamka sempat mendekam di penjara atas tuduhan merencakan makar yang tidak pernah terbukti. Namun, Hamka memenuhi permintaan [[Soekarno]] yang lima hari sebelum meninggal meminta kesediaan Hamka untuk menjadi imam
Sebagai seorang yang anti-komunis, Irfan dalam ''Ayah...'' menyebut bagaimana pribadi dan karya Hamka diserang oleh surat kabar ''Bintang Timoer'' dalam rubrik "Lentera" yang diasuh oleh [[Pramoedya Ananta Toer]]. Salah satu kritik tajam adalah tudingan bahwa Hamka melakukan plagiasi. Novel ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' disebut sebagai jiplakan dari novel ''Magdalena'' karya [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti|Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi]], seorang penulis Mesir. Namun, ketika Pramoedya mendapati putrinya, Astuti hendak menikahi seorang peranakan [[Tionghoa-Indonesia|etnis Tionghoa]] berbeda agama, Pram meminta Astuti membawa calon suaminya itu untuk belajar Islam kepada Hamka. Dalam pertemuan dengan Astuti, Hamka sama sekali tidak menyinggung sikap Pramoedya belasan tahun sebelumnya. Melalui bimbingan Hamka, Daniel Setiawan, calon suami Astuti mengucapkan dua kalimat
== Dalam budaya populer ==
* Dalam film ''[[Buya Hamka (film)|Buya Hamka]]'' (2023), Abdul Malik Karim Amrullah diperankan oleh [[Vino G. Bastian]] dan pada masa kecil diperankan oleh [[Rey Bong]].
== Catatan kaki ==
Baris 262 ⟶ 283:
|year = 2013
|title = Ayah... Kisah Buya Hamka
|volume =
|publisher = Penerbit Republika
|location =
|oclc =
|ref = {{sfnRef|Irfan|2013}}
|id = ISBN 978-602-8997-71-3
Baris 277 ⟶ 298:
{{kotak suksesi|jabatan=[[Daftar Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia|Ketua MUI]]|tahun=27 Juli 1975—19 Mei 1981|pendahulu=Tidak ada|pengganti=[[Syukri Ghozali]]}}
{{End}}
{{lifetime|1908|1981
{{Hamka |state=expanded}}
{{Pahlawan Indonesia}}{{Islam di Indonesia}}{{Authority control}}
[[Kategori:
[[Kategori:
[[Kategori:
[[Kategori:Sastrawan
[[Kategori:Jurnalis Minangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Birokrat Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh birokrat Minangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh Kementerian Agama Republik Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Profesor Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh Minangkabau]]
[[Kategori:Tokoh Sumatera Barat]]
[[Kategori:Tokoh Agam|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh dari Kecamatan Tanjung Raya]]
[[Kategori:Tokoh Islam Indonesia]]
[[Kategori:Ulama Minangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh Muhammadiyah|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Ketua Majelis Ulama Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
▲[[Kategori:Tokoh Muhammadiyah|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Ahli tafsir (Al Qur'an) Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Sejarawan Islam Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:
[[Kategori:
[[Kategori:
▲[[Kategori:Kelahiran 1908]]
▲[[Kategori:Kematian 1981]]
[[Kategori:Politikus Partai Masyumi]]
[[Kategori:
[[Kategori:Tokoh
[[Kategori:Anggota Konstituante Republik Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]<!--dilarang memakai kategori "Tokoh dari Agam"-->
|