Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 2001:7C0:2049:1D4:FA1E:DFFF:FEE9:AB6B (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Relly Komaruzaman
Tidak ada ringkasan suntingan
(433 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox philosopherOfficeholder
| image = Buya Hamkahamka.jpg
|imagesize image_size = 150
| alt =
| caption = Potret Hamka
| nameoffice =[[Majelis Ulama HajiIndonesia|Ketua AbdulUmum MalikMajelis KarimUlama AmrullahIndonesia]]
|president nickname = Hamka[[Soeharto]]
|order birth_date = {{birth date|1908|02|17}} =
|term_start = 26 Juli 1975
| birth_place = {{flagicon|Belanda}} [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]], [[Tanjung Raya, Agam|Tanjung Raya]], [[Kabupaten Agam|Agam]], [[Hindia Belanda]]
|term_end death_date = {{Death date and= 19 Juli age|1981|07|24|1908|02|17}}
|predecessor = [[Haji Abdul Malik Karim Amrullah|''jabatan dibentuk'']]
| death_place = {{flagicon|Indonesia}} [[Jakarta]]
|successor = [[Syukri Ghozali]]
| nationality = {{flagicon|Indonesia}} [[Indonesia]]
|honorific_prefix =
| ethnicity = [[Minangkabau]]
|name = Abdul Malik Karim Amrullah
| school_tradition =
|pseudonym = Hamka
| notable_works = ''[[Tafsir Al-Azhar]]'' {{br}} ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' {{br}} ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah]]''
|birth_date = {{birth date|1908|02|17}}
| main_interests = Tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, dan sejarah Islam
|birth_place = [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]], [[Kabupaten Agam|Agam]], [[Hindia Belanda]]
| notable_ideas =
|death_date = {{Death date and age|1981|7|24|1908|2|17}}
| influences = [[Kaum Padri]], [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]], dan lainnya
| influenced death_place = [[MuhammadiyahJakarta]] dan [[Majelis Ulama, Indonesia]]
|restingplace = [[Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir]], [[Jakarta Selatan]], [[DKI Jakarta]]
| signature =
|nationality = [[Indonesia]]
| signature_alt =
| quote ethnicity = dfsdfg[[Minangkabau]]
|school_tradition =
| website = <!-- {{URL|example.com}} -->
|notableworks = ''Tafsir Al-Azhar'' {{br}} ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' {{br}} ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]''
|subject = Tafsir Al-Qur'an, fikih (hukum Islam), tarikh (sejarah Islam), tasawuf, dan sastra
|movement = [[Muhammadiyah]], [[Majelis Ulama Indonesia]]
|children = [[Rusydi Hamka|Rusydi]], [[Irfan Hamka|Irfan]], [[Aliyah Hamka|Aliyah]], [[Afif Hamka|Afif]], Hisyam, Husna, [[Fathiyah Hamka-Vickri|Fathiyah]], [[Hilmi Hamka|Hilmi]], [[Syakib Arsalan Hamka|Syakib]], [[Azizah Hamka|Azizah]], [[Fachry Hamka|Fachry]], [[Zaki Hamka|Zaki]]
|parents = {{unbulleted list|[[Abdul Karim Amrullah]] (ayah)|[[Sitti Shafiah]] (ibu)}}
|relatives = [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur]] (kakak ipar)
|notable_ideas =
|influences = [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]], [[Muhammad Iqbal]], [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti]]
|influenced = [[Muhammadiyah]] dan [[Majelis Ulama Indonesia]]
|spouse = {{marriage|Sitti Raham|5 April 1929|1 January 1972}}{{br}}{{marriage|Sitti Khadijah|19 August 1973}}
|signature = Signature of Hamka.svg
|signature_alt =
|quote =
|website =
}}
 
[[Profesor|Prof.]] [[Honoris Causa|Dr.]] [[Haji (gelar)|H.]] '''Abdul Malik Karim Amrullah''' Datuk Indomo, populer dengan [[nama pena]]nya, '''Hamka''' ({{lahirmati|[[Kabupaten Agam|Agam]]|17|2|1908|[[Jakarta]]|24|7|1981}}), adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia sempat berkecimpung di politik melalui [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat [[Majelis Ulama Indonesia|Ketua Majelis Ulama Indonesia]] (MUI) pertama, dan aktif dalam [[Muhammadiyah]] hingga akhir hayatnya. [[Universitas al-Azhar]] dan [[Universitas Nasional Malaysia]] menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara [[Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)|Universitas Moestopo]] mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk [[Universitas Hamka]] milik Muhammadiyah dan masuk dalam [[daftar Pahlawan Nasional Indonesia]].
'''[[Profesor|Prof.]] [[Doktor honoris causa|Dr.]] [[Haji (gelar)|Haji]] Abdul Malik Karim Amrullah''' atau lebih dikenal dengan julukan '''Hamka''', yakni singkatan namanya, ({{lahirmati|[[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]], [[Tanjung Raya, Agam|Tanjung Raya]], [[Kabupaten Agam]], [[Sumatera Barat]]|17|2|1908|[[Jakarta]]|24|7|1981}}) adalah [[sastrawan]] [[Indonesia]], sekaligus [[ulama]], ahli filsafat, dan aktivis politik.
 
Dibayangi nama besar ayahnya [[Abdul Karim Amrullah]], Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Alih-alih menyelesaikan pendidikannya di [[Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek|Thawalib]], ia merantau ke [[Jawa]] pada umur 16 tahun. Selang setahun, ia pulang membesarkan [[Muhammadiyah]] di [[Kota Padang Panjang|Padang Panjang]]. Pengalaman ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki ijazah dan kemampuan berbahasa Arabnya yang terbatas mendorong Hamka muda pergi ke [[Makkah]]. Lewat bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami [[sejarah Islam]] dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka bekerja sebagai wartawan sambil menjadi guru agama di [[Kabupaten Deli Serdang|Deli]]. Setelah menikah, ia kembali ke [[Medan]] dan memimpin ''[[Pedoman Masyarakat]]''. Lewat karyanya ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'' dan ''[[Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'', nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
 
Selama [[Revolusi Nasional Indonesia|revolusi fisik Indonesia]], Hamka bergerilya di [[Sumatera Barat]] bersama [[Barisan Pengawal Nagari dan Kota]] (BPNK) menggalang persatuan rakyat menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Semula, ia bekerja di [[Departemen Agama]], tapi mundur karena terjun di jalur politik. Dalam [[Pemilihan Umum 1955|pemilihan umum 1955]], Hamka terpilih duduk di [[Konstituante]] mewakili Masyumi. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik [[Masyumi]] menentang komunisme dan anti-[[Demokrasi Terpimpin]] memengaruhi hubungan Hamka dengan [[Soekarno|Presiden Soekarno]]. Usai Masyumi dibubarkan sesuai [[Dekret Presiden 5 Juli 1959]], Hamka menerbitkan ''[[Panji Masyarakat]]'' yang berumur pendek, karena dibredel oleh [[Soekarno]] setelah menurunkan tulisan [[Mohammad Hatta|Hatta]]—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul "[[Demokrasi Kita]]". Seiring meluasnya pengaruh [[Orde Lama (1959–1965)|komunisme di Indonesia]], Hamka diserang oleh organisasi kebudayaan [[Lembaga Kebudajaan Rakjat|Lekra]]. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia merampungkan ''[[Tafsir Al-Azhar]].''
 
Hamka bebas pada Mei 1966 menjelang berakhirnya kekuasaan [[Soekarno]].<ref>Prof. Dr. Hamka. 1982. Tafsir Al Azhar Juz XXX. Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas (hal 198)</ref> Pada masa Orde Baru [[Soeharto]], ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di [[Masjid Agung Al-Azhar]] serta berceramah di [[Radio Republik Indonesia]] (RRI) dan [[Televisi Republik Indonesia]] (TVRI). Ketika pemerintah menjajaki pembentukan [[Majelis Ulama Indonesia]] pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara [[aklamasi]] sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama [[Alamsjah Ratoe Perwiranegara]] untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di [[Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir|TPU Tanah Kusir]], Jakarta.<ref>{{cite news |url=https://majalah.tempo.co/read/pokok-dan-tokoh/49830/pergi-untuk-selamanya |title=Pergi Untuk Selamanya |date=1 Agustus 1981 |access-date=10 Maret 2022 |newspaper=Majalah Tempo |publisher=[[Tempo.co]] |first= |last= |editor-first= |editor-last= |archive-date=2022-12-19 |archive-url=https://web.archive.org/web/20221219030248/https://majalah.tempo.co/read/pokok-dan-tokoh/49830/pergi-untuk-selamanya |dead-url=no }}</ref>
 
== Kehidupan awal ==
[[Berkas:Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.jpg|thumb|left|250px|Rumah yang ditempati oleh Hamka bersama neneknya selama di [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]], yang setelah direnovasi pada tahun 2001 dijadikan [[Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka]]]]
 
=== Masa kecil ===
Hamka lahir pada 17 Februari 1908 <small><nowiki>[</nowiki>[[Kalender Hijriyah]]: 13 Muharram 1362<nowiki>]</nowiki></small> di [[Minangkabau]], [[Sumatera]]. Ia lahir sebagai anak pertama dari tujuh orang bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama [[Islam]]. Ayahnya bernama [[Abdul Karim Amrullah]], ulama pembaru Islam di Minangkabau yang akrab dipanggil dengan sebutan Haji Rasul, sementara ibunya, yakni Sitti Shafiyah, berasal dari keturunan seniman di Minangkabau. Adapun ayah dari Abdul Karim, kakek Hamka, yakni [[Muhammad Amrullah]] dikenal sebagai ulama pengikut [[Tarekat Naqsyabandiyah]].
[[Berkas:Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.jpg|jmpl|kiri|262px|[[Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka|Rumah Kelahiran Buya Hamka]] yang dijadikan museum sejak 2001, tempat Hamka lahir, diasuh dan tinggal bersama ''anduang-''nya selama di [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]]]]
 
Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 <small><nowiki>[</nowiki>[[Kalender Hijriyah]]: 14 Muharram 1326<nowiki>]</nowiki></small> di Tanah Sirah, kini masuk wilayah [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Nagari Sungai Batang]], [[Kabupaten Agam]], [[Sumatera Barat]]. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan [[Abdul Karim Amrullah]] "Haji Rasul" dan Safiyah. Adik-adik Hamka bernama: Abdul Kuddus, Asma, dan Abdul Mu'thi. [[Haji Rasul]] menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberi Malik seorang kakak tiri, Fatimah yang kelak menikah dengan [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur|Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur]]. Kelak, Haji Rasul bercerai dengan Safiyah, menikah dengan Rafi'ah dan memberi Hamka seorang adik tiri bernama [[Abdul Bari]]. Kembali ke Minangkabau setelah belajar kepada [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]], Haji Rasul memimpin gelombang pembaruan Islam, menentang tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun ayahnya sendiri, [[Muhammad Amrullah]] adalah seorang pemimpin [[Tarekat Naqsyabandiyah]]. Istri Amrullah, anduang bagi Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian, dan pencak silat.
Sebelum mengenyam pendidikan di sekolah, Hamka tinggal bersama neneknya di sebuah rumah di dekat [[Danau Maninjau]]. Ketika berusia enam tahun, ia pindah bersama ayahnya ke [[Padang Panjang]]. Sebagaimana umumnya anak-anak laki-laki di Minangkabau, sewaktu kecil ia belajar mengaji dan tidur di [[surau]] yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebab anak laki-laki Minang memang tak punya tempat di rumah.{{sfn|Tamara, dkk|1983|pp=78}} Di surau, ia belajar mengaji dan ''[[silek]]'', sementara di luar itu, ia suka mendengarkan ''[[kaba]]'', kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-alat [[musik Minang|musik tradisional Minangkabau]].{{sfn|Shobahussurur|2008|pp=17}} Pergaulannya dengan tukang-tukang kaba, memberikannya pengetahuan tentang seni bercerita dan mengolah kata-kata. Kelak melalui novel-novelnya, Hamka sering mencomot kosakata dan istilah-istilah Minangkabau. Seperti halnya sastrawan yang lahir di ranah Minang, pantun dan petatah-petitih menjadi bumbu dalam karya-karyanya.
 
Di [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]], Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering bepergian untuk [[dakwah|berdakwah]]. Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke [[Kota Padang Panjang|Padang Panjang]], belajar membaca [[al-Qur'an]] dan bacaan salat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa.{{efn|Ada dua jenis sekolah pemerintah bagi anak-anak Minangkabau, yakni Sekolah Gubernemen dengan jenjang tertinggi sampai kelas empat dan Sekolah Desa dengan jenjang terakhir sampai kelas tiga. Hajir Rasul berencana menyekolahkan Malik di Sekolah Gubernemen, tetapi karena terlambat mendaftar sehingga kelas yang dibuka terlanjur penuh, Malik didaftarkan di Sekolah Desa.}} Pada 1916, [[Zainuddin Labay El Yunusy]] membuka sekolah agama [[Diniyah School]], menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis [[surau]]. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di [[Diniyah School]]. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.
=== Mengenyam pendidikan ===
Pada tahun 1915, setelah usianya genap tujuh tahun, ia dimasukkan ke sebuah [[Sekolah Desa]] dan belajar ilmu pengetahuan umum seperti berhitung dan membaca di sekolah tersebut.{{sfn|Rahzen|2007|pp=246}}{{sfn|Yusuf|2003|pp=40}} Pada masa-masa itu, sebagaimana diakui oleh Hamka, merupakan zaman yang seindah-indahnya pada dirinya. Pagi ia bergegas pergi ke sekolah supaya dapat bermain sebelum pelajaran dimulai, kemudian sepulang sekolah bermain-main lagi, bercari-carian, bermain galah, bergelut, dan berkejar-kejaran, seperti anak-anak lainnya bermain.{{sfn|Shobahussurur|2008|pp=17}} Dua tahun kemudian, sambil tetap belajar setiap pagi di Sekolah Desa, ia juga belajar di [[Diniyah School]] setiap sore.{{sfn|Safrudin|2008|pp=198}} Namun sejak dimasukkan ke [[Sumatera Thawalib|Thawalib]] oleh ayahnya pada tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa.{{sfn|Reid dan Marr|1983|pp=40}}{{sfn|Yusuf|2003|pp=41}} Ia berhenti setelah tamat kelas dua.{{sfn|Kenang-kenangan 70 tahun...|1983|pp=260}} Setelah itu, ia belajar di Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib dan malamnya kembali ke surau.{{sfn|Kenang-kenangan 70 tahun...|1966|pp=26}} Demikian kegiatan Hamka kecil setiap hari, sesuatu yang—sebagaimana diakuinya—tidak menyenangkan dan mengekang kebebasan masa kanak-kanaknya.{{sfn|Yani|2010}}
 
Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke [[Sumatra Thawalib|Thawalib]]. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai ''nahwu,'' dan ilmu ''saraf''. Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran ''arudh'' yang membahas tentang [[syair]] dalam bahasa Arab.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=79}} Kendati kegiatannya dari pagi sampai sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil terkenal nakal. Ia sering mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti. Karena gemar menonton film, Malik pernah mengelabui ayahnya, diam-diam tidak datang ke surau untuk mengintip [[film bisu]] yang sedang diputar di bioskop.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=113-116}}
Selama belajar di Thawalib, ia bukan termasuk anak yang pandai, bahkan ia sering tidak hadir beberapa hari karena merasa jenuh dan memilih mencari ilmu dengan jalannya sendiri.{{sfn|Shobahussurur|2008|pp=17}} Ia lebih senang berada di sebuah [[perpustakaan]] umum milik gurunya, [[Zainuddin Labay El Yunusy]] daripada dipusingkan dengan pelajaran-pelajaran yang harus dihafalnya di kelas.{{sfn|Azra|2002|pp=267}}{{sfn|Abidin|2005|pp=170}} Dari perpustakaan tersebut, ia leluasa membaca bermacam-macam buku, bahkan beberapa ia pinjam untuk dibawanya pulang. Namun, karena buku yang dipinjamnya itu tidak ada hubungannya dengan pelajaran, ia sempat dimarahi oleh ayahnya ketika ketahuan tengah asyik membaca [[Kaba Cindua Mato]]. Ayahnya berkata, "Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti, atau menjadi orang tukang cerita?"{{sfn|Tamara, dkk|1983|pp=368}}{{sfn|Roesmar|2002|pp=27}}
 
=== Perceraian orang tua ===
Sebagai usaha untuk menunjukkan diri kepada ayahnya dan sebagai akibat dari persentuhannya dengan buku-buku yang dibacanya tentang daya tarik Jawa Tengah, menyebabkan Hamka sangat berminat untuk merantau ke Tanah Jawa. Pada saat yang sama, ia tidak lagi tertarik untuk menyelesaikan pendidikan di Thawalib. Setelah belajar selama empat tahun, ia memutuskan untuk keluar dari Thawalib, sementara program pendidikan di sekolah tersebut dirancang selama tujuh tahun. Ia keluar tanpa memperoleh ijazah. Pada masa-masa setelah itu, Hamka sempat dibawa ke [[Parabek, Ladang Laweh, Banuhampu, Agam|Parabek]], sekitar 5 km dari [[Kota Bukittinggi|Bukittinggi]] pada tahun 1922 untuk belajar kepada [[Syekh Ibrahim Musa]], tetapi tidak berlangsung lama.{{sfn|Safrudin|2008|pp=198}} Ia lebih memilih mengikuti kata hatinya untuk menuntut ilmu dan pengalaman menurut caranya sendiri. Ia memutuskan untuk bertolak ke pulau [[Jawa]]. Namun, usaha yang pertama sempat terjegal oleh ayahnya.
[[Berkas:Abdul Karim Amrullah.jpg|jmpl|150px|[[Abdul Karim Amrullah]], ayah Hamka]]
Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian orang tuanya. Walaupun sang ayah adalah penganut agama yang taat, kerabat dari pihak ibunya masih menjalankan praktik adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hari-hari pertama setelah orang tuanya bercerai, Malik bolos sekolah. Ia menghabiskan waktu bepergian mengelilingi kampung yang ada di Padang Panjang. Ketika berjalan di pasar, ia menyaksikan seorang buta yang sedang meminta sedekah. Malik yang iba menuntun dan membimbing peminta itu berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan sedekah, hingga mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya marah saat mendapati Malik di pasar pada hari berikutnya, "Apa yang awak lakukan itu memalukan ayahmu." Malik sempat membolos selama lima belas hari berturut-turut sampai seorang gurunya di Thawalib datang ke rumah untuk mengetahui keadaan Malik. Mengetahui Malik membolos, ayahnya marah dan menamparnya.
 
Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali masuk kelas seperti biasa. Pagi belajar di Sekolah Diniyah, pulang sebentar, berangkat ke Thawalib dan kembali ke rumah menjelang Magrib untuk bersiap pergi mengaji. Sejak ia menemukan bahwa gurunya, [[Zainuddin Labay El Yunusy]] membuka bibliotek, perpustakaan penyewaan buku, Malik sering menghabiskan waktu membaca. Melalui buku-buku pinjaman, ia membaca karya sastra terbitan [[Balai Pustaka]], cerita Cina, dan karya terjemahan Arab. Usai membaca, Malik menyalin versinya sendiri. Ia pernah mengirim surat cinta yang disadurnya dari sebuah buku kepada teman perempuan sebayanya. Karena kehabisan uang untuk menyewa, Malik menawarkan diri kepada percetakan milik Bagindo Sinaro, tempat koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung, untuk mempekerjakannya. Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem sebagai perekat buku, sampai membuatkan kopi. Sebagai upahnya, ia meminta agar diperbolehkan membaca koleksi buku yang akan disewakan. Dalam waktu tiga jam sepulang dari Diniyah sebelum berangkat ke Thawalib, Malik mengatur waktu agar punya waktu membaca. Karena hasil kerjanya yang rapi, ia diperbolehkan membawa buku baru yang belum diberi karton untuk dikerjakan di rumah. Namun, karena Malik sering kedapatan membaca buku cerita, ayahnya menanyakan kepada dirinya apakah akan "menjadi orang alim nanti atau menjadi orang tukang cerita". Setiap mengetahui ayahnya memperhatikan, Malik meletakkan buku cerita yang dibacanya, mengambil buku agama sambil berpura-pura membaca.
=== Merantau ke Jawa ===
Hamka telah berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau sejak berusia remaja, sehingga dijuluki oleh ayahnya dengan sebutan "Si Bujang Jauh".{{sfn|Tamara, dkk|1983|pp=368}} Ketika berusia 15 tahun, setelah mengalami suatu peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, yakni perceraian orang tuanya, Hamka telah berniat pergi ke pulau Jawa setelah mengetahui bahwa Islam di Jawa lebih maju daripada Minangkabau terutama dalam hal pergerakan dan organisasi. Namun setiba di [[Bengkulu]], Hamka terkena wabah penyakit [[cacar]], sehingga setelah sekitar dua bulan berada di atas pembaringan, ia memutuskan kembali ke Padang Panjang.{{sfn|Azra|2002|pp=267}} Meski begitu niatnya untuk pergi ke pulau Jawa tidak terbendung. Pada tahun 1924, setahun setelah sembuh dari penyakit cacar, ia kembali berangkat ke pulau Jawa.
 
[[Berkas:Masjid Jamik Parabek oleh Denas.jpg|ka|jmpl|262px|[[Masjid Jamik Parabek]]]]
Setiba di pulau Jawa, Hamka bertolak ke [[Yogyakarta]] dan menetap di rumah adik kandung ayahnya, Ja'far Amrullah.{{sfn|Tamara, dkk|1983|pp=238}}{{sfn|Hamka|1982|pp=149}} Melalui pamannya itu, ia mendapat kesempatan mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan pergerakan Islam yang diselenggarakan oleh [[Muhammadiyah]] dan [[Sarekat Islam]].{{sfn|Hakim|2005|pp=26}} Selain mempelajari pergerakan Islam, ia juga meluaskan pandangannya dalam persoalan gangguan terhadap kemajuan Islam seperti [[kristenisasi]] dan [[komunisme]]. Selama di Jawa, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan agama. Dalam berbagai kesempatan, ia berguru kepada [[Bagoes Hadikoesoemo]], [[HOS Tjokroaminoto]], [[Abdul Rozak Fachruddin]], dan [[Suryopranoto]].{{sfn|Yusuf|2003|pp=43}} Sebelum kembali ke Minangkabau, ia sempat mengembara ke [[Bandung]] dan bertemu dengan tokoh-tokoh [[Masyumi]] seperti [[Ahmad Hassan]] dan [[Mohammad Natsir]], yang memberinya kesempatan belajar menulis dalam Majalah ''Pembela Islam''.{{sfn|Shobahussurur|2008|pp=20}} Selanjutnya pada tahun 1925, ia pergi ke [[Pekalongan]], [[Jawa Timur]] untuk menemui [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur]]—yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan—sekaligus belajar kepadanya. Selama di Pekalongan, ia menetap di rumah kakak iparnya itu dan mulai tampil berpidato di beberapa tempat.{{sfn|Al-Kumayi|2004|pp=24}}{{sfn|Kenang-kenangan 70 tahun...|1983|pp=470}}
 
Permasalahan keluarga membuat Malik sering bepergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, berjalan kaki sejauh 40&nbsp;km ke Maninjau untuk berjumpa ibunya. Malik didera kebingungan apakah akan tinggal bersama ibu atau ayahnya. "Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri." Ia kerap menghabiskan waktu bergaul dengan kalangan ''[[parewa]]''. Ia juga melanjutkan kegemarannya mendengar ''[[kaba]]'', kisah-kisah yang dinyanyikan bersama [[Musik Minang|alat-alat musik tradisional Minangkabau]]. Ia berjalan jauh sampai ke [[Bukittinggi]] dan [[Payakumbuh]], sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki [[pacuan kuda]]. Hampir setahun ia terlantar hingga saat berusia 14 tahun, ayahnya yang resah mengantarnya pergi mengaji kepada ulama [[Ibrahim Musa|Syekh Ibrahim Musa]] di [[Parabek, Ladang Laweh, Banuhampu, Agam|Parabek]], sekitar lima kilometer dari Bukittinggi.
Dalam perantauan pertamanya ke pulau Jawa, ia mengaku memiliki semangat baru dalam mempelajari Islam. Ia juga melihat ada perbedaan antara misi pembaruan Islam di Minangkabau dan Jawa; jika di Minangkabau ditujukan pada pemurnian ajaran Islam dari praktik yang dianggap salah, seperti [[tarekat]], [[taklid]], dan [[khirafat]], maka di Jawa lebih berorientasi kepada usaha untuk memerangi keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.
 
Di Parabek, Hamka remaja untuk pertama kali hidup mandiri. Ia belajar memenuhi kebutuhan harian sebagai santri. Meskipun demikian, ia masih membawa kenakalannya. Malik pernah usil menakuti penduduk sekitar asrama yang mengaitkan wabah demam di Parabek dengan keberadaan hantu yang berwujud seperti harimau. Karena tak percaya dan ingin membuktikan bahwa hal tersebut hanya takhayul, ia menyamar menyerupai ciri-ciri hantu pada malam hari. Dengan mengenakan sorban dan mencoret-coret mukanya dengan kapur, Malik berjalan keluar asrama. Orang-orang yang melihat dan ketakutan berencana membuat perangkap keesokan hari, tetapi Malik segera memberi tahu teman seasramanya tentang keusilannya, meyakinkan bahwa hantu itu tidak ada. Selama berasrama, Malik memanfaatkan hari Sabtu yang dibebaskan untuk keluar dengan pergi berkeliling kampung sekitar Parabek. Karena tertarik mendengar pidato adat, Malik sering menghadiri pelantikan-pelantikan penghulu, saat para tetua adat berkumpul. Ia mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi dalam pidato adat yang didengarnya.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=17}} Demi mendalami minatnya, ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=52}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=7}}<!-- Kecenderungannya ini kelak membuat keluarga ibunya mewariskan gelar pusaka yang sudah lama tak dipakai, Datuk Indomo kepada Malik -->
=== Menunaikan ibadah haji ===
[[Berkas:Al-Haram mosque - Flickr - Al Jazeera English.jpg|thumb|250px|left|Suasana pelaksanaan [[haji]] di [[Masjidil Haram]], [[Mekkah]]. Perjalanan Hamka ke Mekkah pada tahun 1927 meletupkan inspirasi baginya untuk menulis ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'']]
 
== Perantauan ==
Setelah setahun lamanya berada di Jawa, pada bulan Juli 1925 Hamka kembali ke Padang Panjang.{{sfn|Kenang-kenangan 70 tahun...|1983|pp=529}} Di Padang Panjang, ia menulis majalah pertamanya berjudul ''Chatibul Ummah'', yang berisikan kumpulan pidato yang didengarkannya di [[Surau Jembatan Besi]],{{sfn|Tamara, dkk|1983|pp=198}} dan Majalah ''Tabligh Muhammadiyah''.{{sfn|Abidin|2005|pp=231}} Di sela-sela aktivitasnya dalam bidang dakwah melalui tulisan, ia menyempatkan berpidato di beberapa tempat di Padang Panjang. Namun pada saat itu, semuanya justru dikritik tajam oleh ayahnya, "Pidato-pidato saja adalah percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidato-pidatomu itu." Di sisi lain, ia tidak mendapatkan penerimaan baik dari masyarakat. Ia sering kali dicemooh sebagai "tukang pidato yang tidak berijazah",{{sfn|Kenang-kenangan 70 tahun...|1983|pp=471}} bahkan ia sempat mendapat kritikan dari sebagian ulama karena ketika itu ia belum menguasai [[bahasa Arab]] dengan baik.{{sfn|Yusuf|2003|pp=46–47}} Berbagai kritikan yang ia terima di tanah kelahirannya, ia jadikan cambuk untuk membekali diri lebih matang.
Malik sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau. Ayahnya memberinya julukan "Si Bujang Jauh" karena ia selalu menjauh dari orang tuanya sendiri. Dalam usia baru menginjak 15 tahun, Malik telah berniat pergi ke pulau Jawa. Ia melarikan diri dari rumah, tanpa diketahui ayahnya dan hanya pamit kepada anduangnya di Maninjau. Dari Maninjau, Malik memulai perjalanan dengan bekal ongkos pemberian andungnya. Ia menempuh perjalanan melalui darat dengan singgah terlebih dahulu di [[Bengkulu]], berencana menemui kerabat satu suku dari ibunya untuk meminta tambahan ongkos. Namun, dalam perjalananya, Malik didera penyakit beruntun. Ia ditimpa penyakit [[malaria]] saat sampai di Bengkulu. Dalam kondisi sakit dan tubuhnya mulai diserang [[cacar]], Malik meneruskan perjalanan ke [[Napal Putih, Bengkulu Utara|Napal Putih]] dan bertemu kerabatnya. Setelah dua bulan meringkuk menunggu kesehatannya pulih, kerabatnya memulangkan Malik ke Maninjau. Bekas luka cacar menyisakan bopeng di sekujur tubuhnya membuat Malik remaja minder dan dicemooh teman-temannya.
 
[[Berkas:Danau Maninjau.jpg|ka|195px|jmpl|[[Danau Maninjau]], pemandangan sebelah barat Nagari Sungai Batang]]
Pada bulan Februari 1927, ia mengambil keputusan pergi ke [[Mekkah]] untuk memperdalam ilmu pengetahuan kegamaannya, termasuk untuk mempelajari bahasa Arab dan menunaikan ibadah hajinya yang pertama.{{sfn|Tamara, dkk|1983|pp=329}} Ia pergi tanpa pamit kepada ayahnya dan berangkat dengan biaya sendiri.{{sfn|Kenang-kenangan 70 tahun...|1983|pp=98}} Selama di Mekkah, ia menjadi koresponden Harian ''[[Pelita Andalas (surat kabar)|Pelita Andalas]]'' sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi, yang merupakan mertua dari [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]].{{sfn|Hakim|2005|pp=31}}{{sfn|Mohammad|2006|pp=61}} Di tempat ia bekerja itu, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya.
 
Pada Juli 1924, Malik kembali memulai perjalanannya ke Jawa. Ia menumpang di rumah Marah Intan sesama [[perantau Minang]] dan bertemu adik ayahnya, [[Jafar Amrullah]] di [[Yogyakarta]]. Pamannya itu membawanya ke tempat [[Bagoes Hadikoesoemo|Ki Bagus Hadikusumo]] untuk belajar [[tafsir Al-Qur'an]]. Hamka menemukan keasyikan belajar dengan Ki Bagus yang mengupas makna ayat-ayat Al-Qur'an secara mendalam. Dari Ki Bagus, Malik mengenal [[Sarekat Islam]] dan bergabung menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, ia menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik. Di antara gurunya waktu itu adalah [[Oemar Said Tjokroaminoto|HOS Tjokroaminoto]] dan [[Soerjopranoto|Suryopranoto]]. Cokroaminoto menaruh perhatian kepada Malik karena semangatnya dalam belajar. Malik mengikuti kelas dengan tekun, sering bertanya dan menyalin pelajaran yang didapatnya.
Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka bersama beberapa calon jemaah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia Timur, sebuah organisasi yang memberikan pelajaran manasik haji kepada calon jemaah haji asal Indonesia.{{sfn|Yusuf|2003|pp=46–47}} Setelah menunaikan haji, dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa dengan [[Agus Salim]] dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di Mekkah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk segera pulang.{{sfn|Rosidi|2008|pp=346}} "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri", ujar Agus Salim.{{sfn|Al-Kumayi|2004|pp=25}} Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya pulang ke Padang Panjang, Hamka malah menetap di [[Medan]], kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang.{{sfn|Shobahussurur|2008|pp=21}}
 
Pergerakan Islam di Jawa telah memberi pengaruh besar bagi Malik. Dari pengalamannya di Yogyakarta, ia menemukan Islam sebagai suatu yang hidup, suatu perjuangan, dan suatu pendirian yang dinamis. Ketika perhatian [[Islam di Sumatera Barat|umat Islam di Minangkabau]] terseret pada perdebatan praktik ritual Islam, ia mendapati organisasi dan tokoh-tokoh pergerakan di Jawa memusatkan diri pada perjuangan untuk memajukan umat Islam dari keterbelakangan dan ketertindasan. Setelah melewatkan waktu enam bulan di Yogyakarta, Malik bertolak ke [[Pekalongan]] untuk bertemu dan belajar kepada kakak iparnya, [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur]].{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=15}} Pertemuannya dengan Sutan Mansur mengukuhkan tekadnya untuk terjun dalam perjuangan dakwah. Dari kakak iparnya, Malik mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai pertemuan [[Muhammadiyah]] dan berlatih berpidato di depan umum.
=== Karier di Medan ===
Selama di Medan, ia banyak menulis artikel di berbagai majalah dan sempat menjadi guru agama selama beberapa bulan di [[Kota Tebing Tinggi|Tebing Tinggi]].{{sfn|Aiyub|2000|pp=142}} Ia mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar ''Pembela Islam'' di [[Bandung]] dan ''Suara Muhammadiyah'' yang dipimpin [[Abdul Rozak Fachruddin]] di [[Yogyakarta]].{{sfn|Tamara, dkk|1983|pp=198}} Selain itu, ia juga bekerja sebagai koresponden di Harian ''Pelita Andalas'' dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Pada tahun 1928, ia menulis romannya yang pertama dalam [[bahasa Minangkabau]] berjudul ''Si Sabariyah''. Pada tahun yang sama, ia diangkat sebagai redaktur Majalah ''Kemajuan Zaman'' berdasarkan hasil konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang.{{sfn|Safrudin|2008|pp=201}} Setahun berikutnya, ia menulis beberapa buku, antara lain: ''Agama dan Perempuan'', ''Pembela Islam'', ''Adat Minangkabau'', ''Agama Islam'', ''Kepentingan Tabligh'', dan ''Ayat-ayat Mi’raj''. Namun, beberapa di antara kayanya tersebut disita karena dianggap berbahaya bagi [[Penjajahan Belanda|pemerintah kolonial yang sedang berkuasa ketika itu]].
 
Di Pekalongan, Malik bertemu ayahnya yang urung berangkat ke Mesir setelah ditundanya Kongres Kekhalifahan Internasional. Kegiatan Muhammadiyah menarik perhatian Haji Rasul sehingga saat kembali ke Minangkabau bersama Jafar Amrullah dan Marah Intan, Haji Rasul menginisiasi pendirian Muhammadiyah di Sungai Batang. Perkumpulan yang telah berdiri lebih dulu bernama Sendi Aman bertukar nama menjadi Muhammadiyah untuk diakui sebagai cabang dari Yogyakarta. Dari sinilah [[Muhammadiyah di Sumatera Barat|Muhammadiyah menyebar ke seluruh daerah Minangkabau]] dengan bantuan bekas murid-muridnya. Dalam rangka mempersiapkan mubalig dan guru Muhammadiyah, Haji Rasul menggerakkan murid-murid Thawalib membuka Tabligh Muhammadiyah di [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]]. Malik memimpin latihan pidato yang diadakan kursus itu sekali sepakan. Ia membuatkan pidato bagi yang tak pandai mengarang. Pidato-pidato yang bagus ia muat dalam majalah ''Khatibul Ummah'' yang dirintisnya dengan tiras 500 eksemplar. Malik melengkapi dan menyunting bagian pidato yang diterimanya sebelum diterbitkan. Gurunya Zainuddin dan pemilik percetakan Bagindo Sinaro ikut membantu pembuatan dan distribusi majalah. Beberapa orang belajar kepada Malik membuat materi pidato. Dari kesibukannya menulis dan menyunting naskah pidato, Malik mulai mengetahui dan menuangkan kemampuannya dalam menulis. Namun, karena alasan keuangan, penerbitan ''Khatibul Ummah'' hanya bertahan tiga nomor.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=17-19}}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een overzicht van een verwoeste straat in Padang Padjang na de aardbeving van 1926 TMnr 10003981.jpg|thumb|250px|right|Pada 28 Juni 1926, [[Gempa bumi Padang Panjang 1926|gempa bumi]] berkekuatan 7,6 [[Skala Richter|SR]] meluluhlantakkan sebagian besar Padang Panjang, termasuk rumah ayah Hamka di Gatangan, [[Pasar Usang, Padangpanjang Barat, Padangpanjang|Pasar Usang]]]]
 
Usaha memperkenalkan Muhammadiyah ke daerah Minangkabau memperoleh banyak tantangan dari kalangan Thawalib yang telah dipengaruhi komunis. Pengaruh paham itu mempengaruhi sikap murid-murid Thawalib terhadap Belanda secara radikal ketimbang ideologi yang berakar dari materialisme. Pada saat yang sama, golongan anti-komunis membatasi kegiatan mereka pada perjuangan pembaruan pendidikan tanpa menentang kedudukan Belanda secara terbuka. Peralihan perhatian ke bidang politik di kalangan guru dan pelajar Thawalib membuat Haji Rasul kecewa sehingga ia menolak mengajar di lembaga itu, walaupun lembaga itu kelak bersih dari golongan komunis.
Sewaktu di Medan, orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali berkirim surat memintanya pulang, tetapi selalu ditolak oleh Hamka. Oleh sebab itu, ayahnya meminta [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur]] untuk menjemput dan membujuk Hamka pulang.{{sfn|Kenang-kenangan 70 tahun...|1983|pp=529}} Bujukan kakak iparnya itu akhirnya membuat Hamka luluh, dan kemudian ia pulang ke kampung halamannya di [[Maninjau]], sementara rumah ayahnya di Padang Panjang luluh lantah akibat [[Gempa bumi Padang Panjang 1926|gempa bumi pada tahun 1926]]. Setiba di kampung halamannya, ia diterima ayahnya dengan penuh haru hingga menitikkan [[air mata]]. Ayahnya terkejut mengetahui Hamka telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. Ayahnya bahkan berkata, "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin. Kalau itu maksudmu, [[:q:tak kayu jenjang dikeping|tak kayu jenjang dikeping]], [[:q:tak emas bungkal diasah|tak emas bungkal diasah]]."<!--Mendapat sambutan sehangat itu, ia mulai sadar betapa besar kasih ayahnya terhadap dirinya.{{sfn|Leirissa|1994|pp=89}}--> Sejak saat itu, pandangan Hamka terhadap ayahnya mulai berubah. Namun, setelah sekitar setahun menetap di [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]],{{sfn|Hamka|1986|pp=318}} ia kembali meninggalkan kampung halamannya.
 
Pada pengujung 1925, pengurus besar Muhammadiyah di Yogyakarta mengutus Sutan Mansur ke Minangkabau. Sejak itu, Malik selalu mendampingi Sutan Mansur berdakwah dan merintis cabang Muhammadiyah.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=16}} Bersama Sutan Mansur, ia ikut mendirikan Muhammadiyah di [[Kota Pagar Alam|Pagar Alam]], [[Muara Lakitan, Musi Rawas|Lakitan]], dan [[Kurai Taji, Nan Sabaris, Padang Pariaman|Kurai Taji]].{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=19-20}} Ketika [[Jalaluddin Rajo Endah IV Angkat|Syekh Jalaluddin Rajo Endah IV Angkat]] menggantikan [[Muhammad Jamil Jaho|Syekh Mohammad Jamil Jaho]] sebagai ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang, Malik diangkat sebagai wakil ketua.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=20-21}}
Hamka pindah ke Medan pada tahun 1936.{{sfn|Yusuf|2003|pp=45}} Di Medan, ia bekerja sebagai editor sekaligus menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah pengetahuan Islam yang didirikannya bersama [[Muhammad Yunan Nasution|M. Yunan Nasution]], yaitu Majalah ''[[Pedoman Masyarakat (majalah)|Pedoman Masyarakat]]''.{{sfn|Zakariya|2006}}{{sfn|Safrudin|2008|pp=202}} Melalui ''Pedoman Masyarakat'', ia untuk pertama kalinya memperkenalkan [[nama pena]] "Hamka".{{sfn|Teeuw|1980|pp=104}} Selama di Medan, ia menulis ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'', yang terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927.{{sfn|Teeuw|1980|pp=105}} Setelah ''Di Bawah Lindungan Ka'bah'' diterbitkan pada tahun 1938, ia menulis ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'', yang pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam ''Pedoman Masyarakat''.{{sfn|Mahayana|2007|pp=168}} Selain itu, ia juga menerbitkan beberapa roman dan buku-buku lainnya seperti: ''[[Merantau ke Deli]]'', ''Keadilan Ilahi'', ''[[Tuan Direktur]]'', ''Angkatan Baru'', ''Terusir'', ''Di Dalam Lembah Kehidupan'', ''Ayahku'', ''Tasawuf Modern'', dan ''Falsafah Hidup''.{{sfn|Hamka|1975|pp=28}}{{sfn|Safrudin|2008|pp=202}} Namun pada tahun 1943, Majalah ''Pedoman Masyarakat'' yang dipimpinnya dibredel oleh [[Jepang]], yang ketika itu [[Pendudukan Jepang di Indonesia|berkuasa di Indonesia]].{{sfn|Mohammad|2006|pp=62}}<!--
 
== Penerimaan dan ibadah haji ==
Pada masa penjajahan Jepang, Hamka diangkat menjadi penasihat Jepang dalam hal agama Islam.{{sfn|Safrudin|2008|pp=202}} Ia juga diangkat sebagai anggota ''Syu Sangi Kai'' (semacam [[Dewan Perwakilan Rakyat|DPR]]) untuk masalah pemerintahan dan keislaman pada tahun 1944. Ia menerima jabatan ini karena ia percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun setelah menduduki jabatan ini, ia justru dianggap sebagai kaki tangan penjajah oleh teman-temannya. Ketika Jepang kalah lalu menyerah pada sekutu, Hamka menjadi sasaran kritik yang tak berkesudahan. Inilah yang menyebabkan Hamka keluar dari Medan kembali ke Minangkabau setelah perang revolusi pecah pada tahun 1945. Hamka juga turut berjuang mengusir penjajah. Ia pernah ikut menentang kembalinya Belanda ke Indonesia dengan bergerilya di dalam hutan di Medan.-->
Meskipun disambut baik saat kepulangannya, Malik dianggap hanya sebagai tukang pidato daripada ahli agama di kampung halamannya. Dalam membacakan ayat atau kalimat bahasa Arab, Malik dinilai tidak fasih karena tidak memahami [[tata bahasa Arab|tata letak bahasa]], ''[[Ilmu nahwu|nahwu]]'', dan ''[[Saraf (linguistik)|sharaf]]''. Kekurangannya dikait-kaitkan karena ia tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di Thawalib. Menurut kesaksian Hamka, ia memang kerap kali salah dalam melafalkan bahasa Arab, walaupun ketika menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hasil terjemahannya jauh lebih bagus daripada teman-temannya. Malik berasa kecil hati dengan dirinya karena tidak ada pendidikan yang diselesaikannya. Ayahnya menasihatkan agar ia mengisi dirinya dengan ilmu pengetahuan karena "pidato-pidato saja adalah percuma". Saat Muhammadiyah membuka sekolah di Padang Panjang, ia bersama banyak teman-temannya yang pulang dari Jawa ikut melamar sebagai guru. Para pelamar diharuskan mengisi formulir yang menerangkan nama, alamat, dan pendidikan disertai lampiran bukti kelulusan seperti diploma atau ijazah. Pada hari pengumuman pelamar yang lolos sebagai guru, Malik tidak lolos karena tidak memiliki diploma. Hal ini menambah kekecewaan Malik sejak kepulangannya.
 
Kepada andungnya, Malik sering menceritakan kesedihan dan perasaannya. Dari andungnya, Malik diceritakan bahwa ayahnya pernah berjanji akan mengirimnya belajar ke [[Makkah]] selama sepuluh tahun. Karena takut kepada ayahnya, Malik merencanakan sendiri kepergiannya ke Mekkah. Ia tak menuturkan ke mana hendak pergi kepada ayahnya, hanya berkata hendak pergi ke tempat yang jauh. Karena keterbatasan ongkos, Malik berjalan kaki dari Maninjau ke Padang. Ketika kapal yang membawanya singgah di pelabuhan Belawan, Malik bertemu temannya, Isa, yang membantu ongkos perjalanannya. Pada permulaan Februari 1927, bertepatan dengan keberangkatan jemaah haji Indonesia pada bulan Rajab, Malik berangkat dari [[Pelabuhan Belawan]] menuju [[Jeddah]]. Selama di kapal, ia amat dihormati lantaran kepandaiannya membaca Al-Qur'an. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan ajengan. Dalam memoarnya, Hamka mengenang dirinya ditawari kawin dengan seorang gadis Bandung yang memang telah menawan hatinya, tetapi ia menolak. Sewaktu itu, kata Hamka, biasa saja orang menikah di atas kapal.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=91}}
 
[[Berkas:Masjid al-Haram 1.jpg|jmpl|260px|kiri|[[Masjidil Haram]], [[Mekkah]] pada 1900-an. Perjalanan Hamka ke Mekkah pada tahun 1927 meletupkan inspirasi baginya untuk menulis ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'']]
 
Sampai di Mekkah, ia mendapat tumpangan di rumah pemandu haji "Syekh" Amin Idris. Untuk memenuhi biaya hidup, ia bekerja di percetakan Tuan Hamid Kurdi, mertua ulama Minangkabau [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi|Ahmad Chatib]]. Di tempat ia bekerja, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya. Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, ia bergabung dengan perkumpulan orang-orang Indonesia Persatuan Hindia-Timur. Ia memiliki bahasa Arab yang fasih. Ketika perkumpulan itu berencana menyelenggarakan manasik haji bagi jemaah Indonesia, Malik dipercaya memimpin anggota delegasi menemui [[Faisal dari Arab Saudi|Amir Faishal]], putra [[Ibnu Saud]] dan [[Imam Besar Masjidil Haram]] [[Abu Samah]]. Pengajarannya berlangsung di kompleks Masjidil Haram. Malik sempat memberikan pelajaran agama sebelum ditentang oleh pemandu hajinya.
 
Ketika waktu berhaji tiba di tengah musim panas, Malik sempat ditimpa sakit kepala dan tak dapat berjalan ke mana-mana. Ia tak sadarkan diri hingga lepas tengah malam. Begitu mudah orang mati, sampai ia merasa barangkali tentu akan mati. Selepas menunaikan haji, ketika jemaah haji menurut kebiasaan menghadap ''syekh'' masing-masing untuk dipasangkan sorban dan diberikan [[nama haji]], Malik mengelak. Ia menyebut kebiasaan itu sebagai "perbuatan khurafat". Sempat berencana menetap di Mekkah, Malik memutuskan pulang setelah bertemu [[Agus Salim]]. Karena Agus Salim urung mengikuti Kongres Islam Sedunia yang batal diadakan, waktu yang dimiliki Agus Salim dimanfaatkan Malik untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan politik Indonesia. Hampir seminggu Malik menyediakan diri sebagai ''khadam'' atau pelayan saat Agus Salim menasihatinya untuk segera pulang. "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di Tanah Airmu sendiri", ujar Agus Salim.
 
== Merintis karier ==
=== Menulis dan mengarang ===
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Luchtfoto van de Grote Moskee in Medan TMnr 60037219.jpg|jmpl|Medan, 1931]]
Malik kembali ke Tanah Air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Alih-alih pulang ke Padang Panjang, ia memilih menetap di [[Medan]], tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang. Medan menjadi titik awal Malik berkiprah di dunia jurnalistik. Mula-mula, ia mula-menulis artikel tentang pengalamannya menunaikan ibadah haji untuk ''Pelita Andalas,'' surat kabar milik orang Tionghoa. Ia juga menulis mengenai [[Sumatera Thawalib]] dan gerakan reformasi Islam di Minangkabau, yang dipimpin ayahnya sendiri. Dari artikel awal itulah, Hamka menemukan suaranya sebagai jurnalis. Selain menulis untuk surat kabar dan majalah lokal, Malik mengirimkan tulisannya ke ''[[Suara Muhammadiyah]]'' pimpinan Abdul Azis dan ''Bintang Islam'' pimpinan [[K.H. Fakhruddin|Fakhroedin]]. Namun, karena penghargaan atas karya tulis saat itu masih demikian kecil, Malik mengandalkan honor dari mengajar sebagai penopang biaya hidup. Ia memenuhi permintaan mengajar dari pedagang-pedagang kecil di Kebun Bajalinggi. Waktu itulah ia menyaksikan kehidupan kuli dari dekat yang kelak menggerakkannya menulis ''[[Merantau Ke Deli]]''.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=94}}
 
Sewaktu di Medan, kerabat dan ayahnya berkali-kali berkirim surat memintanya pulang. Malik baru memutuskan pulang setelah mendapat bujukan kakak iparnya, Sutan Mansur. Sutan Mansur singgah di Medan dalam perjalanan pulang dari [[Kota Lhokseumawe|Lhokseumawe]] pada akhir 1927. Malik menyusul ayahnya di Sungai Batang—rumah mereka di Padang Panjang luluh lantak akibat [[Gempa bumi Padang Panjang 1926|gempa bumi setahun sebelumnya]]. Setiba di kampung halaman, Malik bertemu ayahnya secara mengharukan. Sang ayah terkejut mengetahui dirinya telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? ''Abuya'' ketika itu sedang susah dan miskin." Penerimaan ayahnya membuat Malik sadar betapa besar kasih ayahnya terhadap dirinya. Menebus rasa bersalah, Malik bersedia memenuhi permintaan ayahnya untuk dinikahkan. Ia menikah dengan Sitti Raham pada 5 April 1929.
 
Di Sungai Batang, Malik menerbitkan romannya yang pertama dalam [[bahasa Minangkabau]] berjudul ''[[Si Sabariah]]''. Roman itu dikarangnya sejak di Medan. Ia menunjukkan ''Si Sabariah'' pertama kali di depan ayahnya, [[Jamil Jambek]], dan [[Abdullah Ahmad]] dengan membacakannya sewaktu mereka berkumpul dalam [[Rapat Besar Umat Islam di Bukittinggi]] pada Agustus 1928. Dari Abdullah Ahmad, ia mendapat motivasi untuk terus mengarang dengan memasukkan nilai-nilai agama ke dalam roman-romannya. Ketika terbit, ''Si Sabariah'' laris di pasaran hingga dicetak tiga kali. Kenyataan ini melecut semangatnya dalam melaksanakan kewajiban dakwah melalui tulisan.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=74-76}} Tumbuh kepercayaan dirinya bahwa ia memiliki kualitas tersendiri karena menguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=22}} Dari honor ''Si Sabariah'', Malik membiayai pernikahannya kelak. Setelah menikah, Malik menulis kisah ''Laila Majnun'' yang dirangkai Malik "dengan khayalannya" setelah membaca hikayat Arab "dua halaman". Pada 1932, [[Balai Pustaka]], penerbit utama kala itu, menerbitkan ''Laila Majnun'' dengan ketentuan perubahan ejaan dan nama tokoh. Penerimaan Balai Pustaka membesarkan hatinya dan memacunya untuk lebih giat lagi menulis dan mengarang.<!--
 
Malik memperbanyak koleksi media massa, berlangganan beberapa surat kabar dari Jawa seperti ''Hindia Baru'' dan ''Bendera Islam''. Dua majalah itu memperluas pengetahuannya tentang pergerakan. Melalui jurnal ''Seruan Azhar'' terbitan Mesir, ia memperoleh informasi tentang gerakan-gerakan Islam internasional, perjuangan Mustafa Kamal dan Ismed dalam membangun Turki baru, dan pemberontakan Hijaz oleh Ibnu Saud.-->
 
== Karier dan kehidupan selanjutnya ==
=== Muhammadiyah ===
[[Berkas:Poster Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi 1930.jpg|jmpl|Poster Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi, 14-21 Maret 1930]]
Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham,{{sfn|Leirissa|1994|pp=89}} Hamka aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya bermula dari perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925 di [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]].{{sfn|Hamka|1983|pp=73}} Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.{{sfn|Abidin|2005|pp=171}}{{sfn|Yusuf|2003|pp=48}}
Setelah tiga bulan menikah, Malik bersama istri pindah ke Padang Panjang. Dalam kepengurusan Muhammadiyah, ia memimpin cabang Muhammadiyah Padang Panjang merangkap pimpinan Tabligh School—setingkat [[madrasah tsanawiyah]].{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=12}} Pengajarannya menempati gedung Muhammadiyah di [[Guguk Malintang, Padangpanjang Timur, Padangpanjang|Guguk Malintang]] setiap Selasa malam dan dihadiri banyak orang.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=21-22}} Sebagai wadah pembentukan kader-kader Muhammadiyah, mata pelajaran Tabligh School berkisar tentang kepemimpinan, strategi dakwah, dan penyebaran dakwah Muhammadiyah. Malik mengajar bersama [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur|Sutan Mansur]] dan [[Saalah Yusuf Sutan Mangkuto|Sutan Mangkuto]]. Caranya mengajar dianggap baru, berbeda dengan yang lain. Salah seorang muridnya, [[Malik Ahmad]] kelak menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah.
 
Ketika diadakannya Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada awal 1929, Malik datang sebagai peserta. Sejak itu, ia tidak pernah absen menghadiri Kongres Muhammadiyah berikutnya. Dalam kunjungannya di Solo, ia bertemu dengan tokoh pimpinan Muhammadiyah, [[K.H. Fakhruddin|Fakhruddin]]. Hamka menyebut Fakhruddin sebagai salah seorang yang mempengaruhi jalan pikirannya dalam agama. "Keberanian dan ketegasannya menjadi pendorong bagi saya untuk berani dan tegas pula." Dalam perjalanannya di Bandung, Hamka bertemu [[Ahmad Hassan|A. Hassan]] dan [[Mohammad Natsir]].
Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di [[Solo]] pada tahun 1928, Hamka tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya. Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai akhirnya ia diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Seusai Muktamar Muhammadiyah ke-19 di [[Bukittinggi]] pada tahun 1930, disusul dengan kongres berikutnya di [[Yogyakarta]], ia memenuhi undangan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di [[Bengkalis]].{{sfn|Kenang-kenangan 70 tahun...|1983|pp=472}} Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh Muhammadiyah ke [[Makassar]] dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar.{{sfn|Tamara, dkk|1983|pp=384}} Selama di Makassar, ia sempat menerbitkan ''Al-Mahdi'', majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan.{{sfn|Safrudin|2008|pp=201}} Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah di [[Semarang]], ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah untuk wilayah [[Sumatera Tengah]].{{sfn|Yusuf|2003|pp=48}}{{sfn|Hakim|2005|pp=27}}
 
Ketika Muhammadiyah mengadakan kongres di Bukittinggi pada 1930, Malik berpidato tentang "Agama Islam dalam Adat Minangkabau". Dalam kongres yang bersifat nasional, baru Hamka sebagai pembicara yang mencoba mempertautkan adat dengan agama. Pada kongres Muhammadiyah ke-20 tahun berikutnya di Yogyakarta, ia menyampaikan pidato mengenai perkembangan Muhammadiyah di Sumatera. Ia mampu memukau sebagian besar peserta kongres yang hadir. Pidatonya membuat banyak orang menitikkan air mata. Pada tahun 1930, Hamka diutus oleh pengurus pusat Muhammadiyah untuk membuka cabang di [[Bengkalis, Bengkalis|Bengkalis]], [[Riau]], setelah pendirian sekolah di Masjid Raya Parit Bangkong oleh [[Tuan Guru Haji Ahmad]], pada tahun 1927.<ref name=":0">{{Cite book|last=Pahlefi|first=Riza|date=2022-08-11|url=https://books.google.com/books?id=_TCJEAAAQBAJ&q=Zakaria+&pg=PA158|title=BENGKALIS: NEGERI JELAPANG PADI|publisher=CV. DOTPLUS Publisher|isbn=978-623-6428-59-7|language=id}}</ref> Ia kemudian melantik Muhammad Rasami sebagai sekretaris pengurus cabang Muhammadiyah Bengkalis.<ref name=":0" /> Pada 1931, usai membuka cabang Muhammadiyah di Bengkalis, ia dipercayakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21 di [[Kota Makassar|Makassar]].{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=22-23}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=26}}
Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke Medan. Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H. Mohammad Said.{{sfn|Toer, dkk|1999|pp=246}} Namun pada Desember 1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau dan melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan [[Saalah Yusuf Sutan Mangkuto|S.Y. Sutan Mangkuto]].{{sfn|Kenang-kenangan 70 tahun...|1983|pp=20}} Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.{{sfn|Muhammadiyah|2005|pp=144}}
 
Selama di Makassar, Hamka sempat mengeluarkan majalah Islam ''Tentera'' sebanyak empat edisi dan majalah ''Al-Mahdi'' sebanyak sembilan edisi. Keberadaan Malik di Makassar dimanfaatkan oleh pimpinan Muhammadiyah setempat.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=28-31}} Malik mendirikan Tabligh School yang serupa di Padang Panjang. Menggantikan sistem pendidikan tradisional, Tabligh School menawarkan pola pendidikan baru secara modern dan sistematis dengan mengambil model pendidikan barat, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai agama. Sepeninggal Hamka pada 1934, Tabligh School di Makassar diteruskan menjadi Muallimin Muhammadiyah di bawah asuhan Muhammadiyah. Dari pergaulannya selama di Makassar, ia mendapat inspirasi menulis novelnya kelak, ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]].''
Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di [[Purwokerto]]. Sejak saat itu, ia selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih kembali karena merasa uzur.{{sfn|Shobahussurur|2008|pp=24}} Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.{{sfn|Al-Kumayi|2004|pp=30}}
 
Kembali ke Padang Panjang pada 1934, Malik diserahi amanah memimpin [[MA KMM Kauman Padang Panjang|Kulliyatul Muballighien]] sebagai pengganti ''Tabligh School'' yang sempat vakum sepeninggalnya.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=32-33}} Dengan lama belajar tiga tahun, lembaga ini dimaksudkan untuk menyiapkan mubalig dan guru sekolah menengah tingkat tsanawiyyah. Melalui Kulliyatul Mubalighin, ia mengajarkan murid-murinya berpidato dan mengarang.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=34}} Tahun yang sama, ia diangkat menjadi anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah—yang meliputi Sumatera Barat, Jambi, dan Riau.
== Meninggal dunia ==
Setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI, kesehatannya menurun. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga itu, ia diopname di [[Rumah Sakit Pusat Pertamina]] pada 18 Juli 1981, yang bertepatan dengan awal Ramadan.{{sfn|Irfan|2013|pp=274}}.
 
== ''Pedoman Masyarakat'' ==
Pada hari keenam dirawat, ia sempat menunaikan [[salat Duha]] dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk ber[[tayamum]]. Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, dan kemudian menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Kondisi tersebut tetap berlangsung sampai malam harinya. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan [[alat pacu jantung]]. Pada pukul 10 pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan Hamka menghembuskan napas terakhirnya tidak lama setelah itu.{{sfn|Irfan|2013|pp=279}}
Pada Januari 1936, Malik berangkat ke Medan, memenuhi permintaan Muhammad Rasami, tokoh Muhammadiyah Bengkalis untuk memimpin ''[[Pedoman Masyarakat]]'' di bawah Yayasan Al-Busyra pimpinan Asbiran Yakub.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=38-40}} Ia merasa bakatnya sebagai pengarang lebih baik ia manfaatkan ketimbang menjadi guru. Kepeimpinan Kulliyatul Mubalighin yang ia ditinggalkan diteruskan oleh muridnya, Abdul Malik Ahmad.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=35}} ''Pedoman Masyarakat'' beroplah 500 eksemplar ketika terbit perdana pada 1935.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=192}} Oplahnya melonjak hingga 4.000 eksemplar setelah Malik menjadi pemimpin redaksi pada 22 Januari 1936.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=43}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=202}} Majalah itu mengupas pengetahuan umum, agama, dan sejarah. Melalui kedudukannya sebagai pemimpin redaksi, Hamka menjalin hubungan intelektual dengan tokoh pergerakan nasional.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=195}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=200}} Pada Februari 1936, ia menyindir sikap pemerintah kolonial terhadap [[Mohammad Hatta|Hatta]] dan [[Sutan Syahrir|Sjahrir]] dengan mengasingkan mereka ke [[Boven Digul]]. Melalui ''Pedoman Masyarakat'' pula, Malik untuk pertama kalinya memperkenalkan [[nama pena]] "Hamka".
Hamka meninggal dunia pada hari Jum'at, [[24 Juli]] [[1981]] pukul 10 lewat 37 menit dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir dihadiri [[Presiden Republik Indonesia|Presiden]] [[Soeharto]] dan [[Wakil Presiden Indonesia|Wakil Presiden]] [[Adam Malik]], [[Daftar Menteri Lingkungan Hidup Indonesia|Menteri Negara Lingkungan Hidup]] [[Emil Salim]] serta [[Daftar Menteri Perhubungan Indonesia|Menteri Perhubungan]] [[Azwar Anas]] yang menjadi imam salat jenazahnya.{{sfn|Irfan|2013|pp=280}} Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung dan disalatkan lagi, dan kemudian akhirnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin [[Daftar Menteri Agama Indonesia|Menteri Agama]] [[Alamsjah Ratoe Perwiranegara]].{{sfn|Irfan|2013|pp=282}}
 
Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung. Mengangkat masalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan, ia menulis ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]''. Hamid terhalang menikahi Zainab karena perbedaan status antara kedua keluarga. Melihat animo masyarakat yang luas, [[Balai Pustaka]] menerbitkan ''Di Bawah Lindungan Ka'bah'' pada 1938. Setelah ''Di Bawah Lindungan Ka'bah,'' Hamka menulis ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' tentang percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir dengan kematian. Sewaktu dimuat sebagai cerita bersambung, Hamka menuturkan ia mendapat banyak surat dari pembaca, yang mengungkapkan kesan mereka "seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri". Namun, sejumlah pembaca Muslim menolak ''Van Der Wijck'' karena menurut mereka seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan dan gara-gara mereka menjuluki Hamka "kiai cabul".{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=88}} Hamka membela diri lewat tulisan di ''Pedoman Masyarakat'' pada 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Ia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan pembedaan kelas.
== Politik ==
[[Berkas:Natsir-Hamka-Isa Anshary.jpg|thumb|left|200px|[[Mohammad Natsir|Natsir]], Hamka, dan [[Muhammad Isa Anshary|Isa Anshary]]]]
 
Dalam majalah yang diasuhnya, Hamka kerap menampilkan ketokohan [[Soekarno]] dan kalangan nasionalis pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1930-an. Soekarno mulai mengenal tulisan-tulisan Hamka saat selama pengasingan di [[Bengkulu]] dari tahun 1938 hingga 1942. Bahkan, Hamka pernah menemui Bung Karno di [[Bengkulu]] untuk bertukar pikiran tentang soal kebangsaan.
Sejak masih muda, Hamka telah terlibat dalam aktivitas politik, yaitu ketika menjadi anggota [[Sarekat Islam]] pada tahun 1925 dan, setelah [[Kemerdekaan Indonesia|kemerdekaan]] ia aktif dengan [[Partai Masyumi]].{{sfn|Republika|2011}} Pada [[Pemilu 1955|pemilihan umum 1955]], ia terpilih menjadi anggota [[Dewan Konstituante]] mewakili [[Jawa Tengah]]. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur]], akhirnya Hamka menerima pengangkatan tersebut.
 
== Pendudukan Jepang dan pasca-kemerdekaan ==
Di Konstituante, ia bersama [[Mohammad Natsir]], [[Mohammad Roem]], dan [[Isa Anshari]] menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan [[syariat Islam]] menjadi dasar negara [[Indonesia]]. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", sebagaimana yang termaktub dalam [[Piagam Jakarta]]. Akan tetapi, pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, yang umumnya berasal dari pihak komunis. Selanjutnya, dalam sidang Konstituante di [[Bandung]] pada tahun 1957, ia menyampaikan pidato penolakannya atas gagasan Presiden Soekarno yang akan menerapkan [[Demokrasi Terpimpin]]. Namun, segala usahanya itu kandas setelah Soekarno membubarkan Dewan Konstituante melalui [[Dekrit Presiden]] pada 5 Juli 1959 dan, perjalanan politik Hamka dapat dikatakan berakhir setelah Masyumi ikut dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
[[Berkas:Perdjoempaan_kaoem_moeslim_Soematera_Baroe.webm|jmpl|270x270px|Propaganda Hamka mendukung Jepang di Medan|start=216|end=329]]
Setelah Jepang mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda dan menduduki Medan pada 13 Maret 1942, majalah ''Pedoman Masyarakat'' berhenti terbit.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=190}} Sembari memfokuskan perhatiannya memimpin Muhammadiyah, Hamka berusaha mempertahankan Muhammadiyah dari pembubaran.
 
Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada 1944, Jepang mengangkatnya menjadi anggota ''[[Chuo Sangi-in]]'', yaitu menjadi penasehat dari Chuokan Sumatra Timur [[Letnan Jendral T. Nakashima]]. Ia menerima pengangkatannya karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, sikap kompromistis dan kedudukannya dalam pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka terkucil, dibenci, dan dipandang sinis oleh masyarakat. Hamka mengungkapkan bahwa bulan Agustus sampai Desember 1945 adalah masa yang paling pahit selama hidupnya, berada di tengah kebencian dan penghinaan sampai-sampai di depan anak-anaknya ia berkata, "sekiranya tidak ada iman, barangkali ayah sudah bunuh diri." Hal ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padang Panjang. Hamka tiba di [[Aur Tajungkang Tengah Sawah, Guguk Panjang, Bukittinggi|Aur Tajungkang]], Bukittinggi pada 14 Desember 1945.
Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh [[Soekarno]] dari tahun [[1964]] sampai [[1966]]. Pada awalnya, Hamka diasingkan ke [[Kota Sukabumi|Sukabumi]], kemudian ke [[Puncak, Cigugur, Kuningan|Puncak]], [[Megamendung, Megamendung, Bogor|Megamendung]], dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam [[penjara]] ia mulai menulis ''Tafsir al-Azhar'' yang merupakan [[karya ilmiah]] terbesarnya.{{sfn|Republika|2011}}
 
Kembali ke Sumatera Barat, Hamka menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki tangan penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Pada masa ini terbit buku-bukunya, seperti ''Negara Islam'', ''Islam dan Demokrasi'', ''Revolusi Pikiran'', ''Revolusi Agama'', ''Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi'', dan ''Dari Lembah Cita-Cita''.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=12-13}} Ketika berlangsung Konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang pada 22 Mei 1946, Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat, menggantikan [[Saalah Yusuf Sutan Mangkuto|S.Y. Sutan Mangkuto]] yang diangkat menjadi [[Daftar Bupati Solok|Bupati Solok]]. Posisi sebagai ketua Muhammadiyah membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam.
Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum [[Majelis Ulama Indonesia]] yang pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan [[Rancangan Undang-Undang Perkawinan|RUU Perkawinan]] tahun [[1973]], dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya.<ref>{{cite book |title=Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago |last= Hashim |first=Rosnani |authorlink= |coauthors= |year=2010 |publisher=The Other Press |location= |isbn=9839541749 |page= |pages= |url= |accessdate=}}</ref> Akan tetapi, pada tanggal [[24 Juli]] [[1981]], Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
 
Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda ke Tanah Air. Selama perang kemerdekaan, Hamka bersama para pemimpin dan para pejuang lainnya ambil peranan melawan Belanda. Menurut Emzita, seorang jurnalis yang mengikuti perang gerilya pasca-kemerdeaan, Hamka melakukan kegiatan "tablig revolusi". Ia menjadi penghubung krusial di antara ulama dengan kelompok-kelompok pejuang. Hamka memimpin [[Barisan Pengawal Nagari dan Kota]] (BPNK), pasukan rakyat yang besar sekali peranannya dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda di Sumatera Barat. Ia bergerilya masuk-keluar hutan, mengelilingi hampir seluruh nagari di Sumatera Barat dan Riau untuk mengobarkan semangat perjuangan. Tatkala [[Front Pertahanan Nasional]] (FPN) dibentuk secara resmi di Sumatera Barat pada 12 Agustus 1947,{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=99}} Hamka ditunjuk oleh [[Muhammad Hatta]] sebagai salah seorang pimpinan. Bersama-sama dengan pimpinan FPN lain, yaitu [[Khatib Sulaiman]], [[Rasuna Said]] dan [[Karim Halim]], FPN di Sumatera Barat berhasil menghimpun tidak kurang dari 500.000 pemuda yang berusia antara 17–35 tahun.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=96}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=100-101}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=114-120}}
== Sastra ==
Hamka juga merupakan seorang [[wartawan]], penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah [[surat kabar]] seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun [[1928]], ia menjadi [[editor]] majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun [[1932]], ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.{{sfn|Irfan|2013|pp=290}}
 
Saat tentara Belanda menduduki Padang Panjang tahun 1948, Hamka mengungsikan keluarganya ke Sungai Batang. Selama berbulan-bulan, Hamka tak bertemu anak-anaknya. Putra Hamka, [[Rusydi Hamka]] menuturkan, mereka hanya bisa memakan ubi dan bubur. "Waktu itulah, [[Aliyah Hamka|Aliyah]] nyaris menemui ajalnya karena terlalu sering mengkonsumsi ubi, membuat Aliyah terserang penyakit."
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana [[Perancis]], [[Inggris]] dan [[Jerman]] seperti [[Albert Camus]], [[William James]], [[Sigmund Freud]], Arnold Toynbee, [[Jean Paul Sartre]], [[Karl Marx]], dan Pierre Loti.
 
== Pindah ke Jakarta ==
Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti [[novel]] dan [[cerpen]]. Pada tahun [[1928]], Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam [[bahasa Minang]] dengan judul ''Si Sabariah''. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk [[roman]], sejarah, [[biografi]] dan [[otobiografi]], sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, [[teologi]], [[tasawuf]], [[tafsir]], dan [[fiqih]]. Karya ilmiah terbesarnya adalah ''Tafsir al-Azhar''. Di antara novel-novelnya seperti ''[[Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'', ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'', dan ''[[Merantau ke Deli]]'' juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di [[Malaysia]] dan [[Singapura]]. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.{{sfn|Irfan|2013|pp=290}}
Pada bulan Desember 1949, Hamka pindah bersama keluarganya ke Jakarta. Ia semula menyewa rumah milik keluarga Arab di Jalan Toa Hong II, Kebun Jeruk.{{sfn|Irfan|2013|pp=33}} Untuk memulai hidup, Hamka mengandalkan honorarium buku-bukunya yang diterbitkan di Medan sambil mengirim tulisan untuk surat kabar ''[[Merdeka (surat kabar)|Merdeka]]'' dan majalah ''Pemandangan''. Dalam surat kabar ''[[Abadi (surat kabar)|Abadi]]'', Hamka mengasuh rubrik "Dari Perbendaharaan Lama" yang terbit dalam edisi Minggu. Beberapa karangannya sempat terbit di majalah ''[[Mimbar Indonesia]]'' yang dipimpin [[Hans Bague Jassin|H.B. Jassin]] dan majalah ''[[Hikmah (majalah)|Hikmah]]''.
 
Ia diangkat sebagai pegawai [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama]] yang pada waktu itu menterinya dipimpin [[Wahid Hasjim|KH Wahid Hasyim]]. Ia diserahi tugas mengajar di beberapa perguruan tinggi Islam. Di antaranya [[Universitas Islam Jakarta]], PTAIN Yogyakarta (sekarang [[Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta|UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta]]), dan Universitas Muslim Ujungpandang. Hamka banyak diundang ke berbagai tempat untuk ceramah.
Pada tahun [[1959]], Hamka mendapat anugerah gelar [[Doktor honoris causa|Doktor Honoris Causa]] dari [[Universitas Al-Azhar|Universitas al-Azhar]], [[Kairo]] atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan [[bahasa Melayu]]. Kemudian pada [[6 Juni]] [[1974]], kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari [[Universitas Nasional Malaysia]] pada bidang kesusasteraan, serta gelar [[Profesor]] dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.{{sfn|Irfan|2013|pp= 290}}
 
Pada 1950, usai menunaikan ibadah haji, Hamka mengunjungi beberapa negara Arab dan mendapatkan banyak inspirasi untuk menulis. Ia menulis tiga buku perjalanannya yakni ''Mandi Cahaya di Tanah Suci'', ''Di Lembah Sungai Nil'', dan ''Di Tepi Sungai Dajjah''. Sejumlah konferensi internasional mendapuk Hamka sebagai pembicara mewakili Indonesia. Pada 1952, ia mendapat undangan dari [[Departemen Luar Negeri Amerika Serikat]] untuk mengadakan kunjungan ke negara itu. Dari kunjunganya, ia mengarang buku ''Empat Bulan di Amerika''. Pada 1953, ia mengikuti Misi Kebudayaan RI ke [[Thailand|Muangthai]] dipimpin [[Ki Sarmidi Mangunsarkoro|Ki Mangunsarkoro]]. Pada 1954, ia berangkat ke [[Myanmar|Burma]] mewakili Departemen Agama dalam perayaan 2.000 tahun wafatnya [[Siddhartha Gautama]].[[Berkas:Abdul Malik Karim Amrullah Konstituante Masyumi.jpg|jmpl|kiri|Hamka sebagai anggota Konstituante, 1956|200x200px]]
== Daftar karya ==
{{col|2; font-size:90%;}}
# ''Kenang-Kenangan Hidup'', 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
# ''Ayahku'' (Riwayat Hidup [[Abdul Karim Amrullah|Dr. H. Abdul Karim Amrullah]] dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
# ''Khatib al-Ummah'', 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
# ''Islam dan Adat'', Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
# ''Kepentingan Melakukan Tabligh'', Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
# ''Majalah Tentera'', 4 nomor, Makassar, 1932.
# ''Majalah al-Mahdi'', 9 nomor, Makassar, 1932.
# ''Bohong di Dunia'', cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
# ''Agama dan Perempuan'', Medan: Cerdas, 1939.
# ''Pedoman Mubaligh Islam'', cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
# ''Majalah Semangat Islam'', 1943.
# ''Majalah Menara'', Padang Panjang, 1946.
# ''Hikmat Isra’ Mi’raj'', 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
# ''Negara Islam'', 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
# ''Islam dan Demokrasi'', 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
# ''Revolusi Fikiran'', 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
# ''Dibandingkan Ombak Masyarakat'', 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
# ''Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman'', Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
# ''Revolusi Agama'', Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
# ''Sesudah Naskah Renville'', 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
# ''Tinjauan Islam Ir. Soekarno'', Tebing Tinggi, 1949.
# ''Pribadi'', 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
# ''Falsafah Hidup'', cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
# ''Falsafah Ideologi Islam'', Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
# ''Urat Tunggang Pancasila'', Jakarta: Keluarga, 1951.
# ''Pelajaran Agama Islam'', Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
# ''K.H. A. Dahlan'', Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
# ''Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad'', cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.
# ''Pribadi'', Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
# ''Pandangan Hidup Muslim'', Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
# ''Lembaga Hidup'', cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).
# ''1001 Tanya Jawab tentang Islam'', Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
# ''Cemburu'', Jakarta: Firma Tekad, 1962.
# ''Angkatan Baru'', Jakarta: Hikmat, 1962.
# ''Ekspansi Ideologi'', Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
# ''Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia'', Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
# ''Sayyid Jamaluddin al-Afghani'', Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
# ''Lembaga Hikmat'', cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
# ''Dari Lembah Cita-Cita'', cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
# ''Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam'', Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
# ''Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau'', Padang: Minang Permai, 1969.
# ''Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam'', Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970.
# ''Islam, Alim Ulama dan Pembangunan'', Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.
# ''Islam dan Kebatinan'', Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
# ''Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya'', Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
# ''Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini'', Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
# ''Kedudukan Perempuan dalam Islam'', Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
# ''Muhammadiyah di Minangkabau'', Jakarta: Nurul Islam, 1974.
# ''Tanya Jawab Islam'', Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
# ''Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah'', Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
# ''Perkembangan Kebatinan di Indonesia'', Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
# ''Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya'', cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
# ''Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam'', Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
# ''Kebudayaan Islam di Indonesia'', Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
# ''Lembaga Budi'', cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
# ''Tasawuf Modern'', cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
# ''Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian'', Jakarta: Yayasan Idayu, 1983.
# ''Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial'', Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
# ''Iman dan Amal Shaleh'', Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
# ''Renungan Tasawuf'', Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
# ''Filsafat Ketuhanan'', cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
# ''Keadilan Sosial dalam Islam'', Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
# ''Tafsir al-Azhar'', Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
# ''Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam'', Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
# ''Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri'', Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
# ''Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi'', Jakarta: Tekad, 1963.
# ''Islam dan Adat Minangkabau'', Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
# ''Mengembara di Lembah Nil'', Jakarta: NV. Gapura, 1951.
# ''Di Tepi Sungai Dajlah'', Jakarta: Tintamas, 1953.
# ''Mandi Cahaya di Tanah Suci'', Jakarta: Tintamas, 1953.
# ''Empat Bulan di Amerika'', 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
# ''Merantau ke Deli'', cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
# ''Si Sabariah'' (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
# ''Laila Majnun'', Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
# ''Salahnya Sendiri'', Medan: Cerdas, 1939.
# ''Keadilan Ilahi'', Medan: Cerdas, 1940.
# ''Angkatan Baru'', Medan: Cerdas, 1949.
# ''Cahaya Baru'', Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
# ''Menunggu Beduk Berbunyi'', Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
# ''Terusir'', Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
# ''Di Dalam Lembah Kehidupan'' (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
# ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'', cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
# ''Tuan Direktur'', Jakarta: Jayamurni, 1961.
# ''Dijemput Mamaknya'', cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
# ''Cermin Kehidupan'', Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
# ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'', cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
# ''Pembela Islam'' (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.
# ''Ringkasan Tarikh Ummat Islam'', Medan: Pustaka Nasional,1929.
# ''Sejarah Islam di Sumatera'', Medan: Pustaka Nasional, 1950.
# ''Dari Perbendaharaan Lama'', Medan: M. Arbi, 1963.
# ''Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao'', cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
# ''Sejarah Umat Islam'', 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
# ''Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih'' (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
# ''Margaretta Gauthier'' (terjemahan karya [[Alexandre Dumas]]), cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
{{EndDiv}}
 
Berstatus sebagai pegawai pemerintah, Hamka pada saat yang sama terjun dalam kancah politik. Ia bergabung dengan [[Partai Masyumi (1945)|Majelis Syuro Muslimin Indonesia]] (Masyumi) yang menginginkan perjuangan Islam melalui mekanisme konstitusional. Namun, aktivitasnya di dunia politik belakangan menyebabkannya harus mengundurkan diri sebagai pegawai Departemen Agama. Soekarno meminta para pegawai untuk memilih tetap menjadi pegawai atau anggota partai.
== Rujukan ==
 
Pada [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955|pemilihan umum 1955]], ia terpilih sebagai anggota [[Konstituante|Dewan Konstituante]] mewakili Jawa Tengah. Dalam sidang-sidang Konstituante, ia menyampaikan pidato tentang bahasa, hak-hak azasi manusia, dan dasar negara. Hamka tampil sebagai salah seorang penanggap pidato Presiden Soekarno berjudul "Republika" (yang mengajak kembali ke [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|UUD 1945]] dan ide "kabinet kaki empat"). Ia menolak gagasan [[Soekarno|Presiden Soekarno]] yang akan menerapkan [[Demokrasi Terpimpin]].
; Catatan kaki
 
Ketika terjadi perdebatan mengenai dasar negara, Hamka bersama [[Mohammad Natsir]], [[Mohammad Roem]], dan [[Isa Anshari]] secara konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Hamka mengemukakan kelebihan Islam dari Pancasila, malah dari dasar apapun di dunia. Ia meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila mencerminkan gaya hidup ataupun falsafah hidup orang Indonesia sekalipun ia menghargai usaha mereka yang hendak meyakinkan ini. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama [[Pancasila]] dimasukkan kembali kalimat tentang "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", sebagaimana yang termaktub dalam [[Piagam Jakarta]]. Perdebatan itu berujung pada dikeluarkannya [[Dekrit Presiden]].
 
== Masjid Agung Al-Azhar ==
 
[[Berkas:Masjid Agung Al-Azhar 2021.jpg|270px|ka|jmpl|[[Masjid Agung Al-Azhar]], namanya disematkan oleh Imam Besar Al-Azhar Syekh Mahmud Syaltut sebagai pengakuan atas peran dan ketokohan Hamka.]]
 
Pada tahun 1956, Hamka membangun sebuah rumah kediaman untuk anak dan istrinya di Jalan Raden Fatah III, [[Kebayoran Baru]], [[Jakarta Selatan]]. Di depan rumahnya direncanakan akan dibangun sebuah masjid yang digagas oleh tokoh-tokoh Masyumi, tetapi panitia pembangunan belum mendapatkan tokoh yang tepat untuk menjadi penanggung jawab dan imam masjid tersebut. Pada saat itulah Ghazali Syahlan dan Abdullah Salim yang diberi tugas mencari tokoh tersebut menghadap Hamka untuk meminta kesediaannya. Permohonan ini diterima oleh Hamka. Dalam suatu pertemuan, ia menyarankan agar masjid itu dibangun terlebih dahulu dan juga menyarankan agar bangunannya disertai dengan ruang kantor, ruang pertemuan, dan ruang perkuliahan yang dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya.
 
Sebelum pembangunan masjid itu selesai, Hamka menghadiri undangan sebuah konferensi Islam dari [[:en:University of the Punjab|Universitas Punjab]] di [[Lahore]], [[Pakistan]] pada Januari 1958. Ia hadir sebagai delegasi Indonesia dalam simposium Islam di Lahore bersama [[Muhammad Hasbi|Hasbi Ash-Shieddiqy]] dan [[Anwar Musaddad|KH Anwar Musaddad]]. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Kairo, [[Mesir]] sebagai tamu kenegaraan bersamaan dengan Soekarno, yang kebetulan ketika itu sedang berkunjung ke Mesir. Dalam kunjungannya ke Kairo, ia memenuhi undangan Forum Dunia Islam untuk memberikan ceramah di [[Universitas Al-Azhar]] pada Februari 1958. Di gedung Asy-Syubbanul Muslimun, Hamka menyampaikan pidato tentang pengaruh paham [[Muhammad Abduh]] di Indonesia dan Malaya. Hamka menguraikan tentang kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern di Indonesia seperti [[Thawalib]], [[Muhammadiyah]], [[Al-Irsyad]], dan [[Persatuan Islam|Persis]]. Dalam ceramahnya ia mendapat sambutan luas dari kalangan akademik dan intelektual Mesir karena pemaparannya yang dinilai sangat baik tentang pengaruh paham Muhammad Abduh terhadap masyarakat Muslim di [[Asia Tenggara]], yang di Mesir sendiri sangat terbatas sekali yang mengenalnya. Setelah memberikan ceramahnya, ia melanjutkan perjalanan ke [[Mekkah]], [[Jeddah]], dan [[Madinah]]. Ketika memenuhi undangan dari pihak istana [[Arab Saudi|Kerajaan Arab Saudi]], ia menerima berita dari Mesir yang menyatakan bahwa Universitas Al-Azhar telah mengambil keputusan hendak memberinya gelar ''Ustadziyah Fakhriyyah'', gelar ilmiah tertinggi dari universitas itu yang setara dengan [[Honoris Causa|Doktor Honoris Causa]].
 
Pada Desember 1960, [[Mahmud Syaltut|Syekh Mahmud Shaltut]], [[Imam Besar Al-Azhar]], beserta rombongan datang ke Indonesia sebagai tamu kenegaraan. Dalam lawatan ini, Mahmud Shaltut meninjau Masjid Agung Kebayoran Baru.
 
== Tuduhan plagiat dan pemberontakan ==
[[Berkas:Natsir-Hamka-Isa Anshary.jpg|jmpl|kiri|Hamka (duduk) bersama [[Mohammad Natsir|Natsir]] (kiri) dan [[Muhammad Isa Anshary|Isa Anshary]] (kanan). Mereka sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim Soekarno akibat adanya kaitan petinggi partai [[Masyumi]] dengan pemberontakan [[PRRI]].]]
 
Kedekatan Hamka terhadap partai Masyumi menyebabkan Hamka ikut menjadi bulan-bulanan dari pihak PKI. Organisasi sayap PKI, [[Lembaga Kebudayaan Rakyat|Lekra]] menuduhnya sebagai "plagiator" dan pemerintah waktu itu menuduhnya sebagai orang yang akan berusaha melakukan makar. Pada September 1962, Lekra menuduh novel Hamka berjudul [[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]] adalah jiplakan dari karya pengarang Prancis [[Jean-Baptiste Alphonse Karr|Alphonse Karr]] ''Sous les Tilleus''. Novel ''Sous les Tilleus'' diterjemahkan oleh [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti|Mustafa Lutfi Al-Manfaluti]] ke bahasa Arab. Pada tahun 1963, novel edisi Arab ini diindonesiakan AS Alatas dengan judul ''Magdalena''.
 
Keadaan memburuk bagi Hamka ketika ''Panji Masyarakat'' memuat artikel [[Mohammad Hatta|Muhammad Hatta]] berjudul "Demokrasi Kita". Setelah penerbitan ''Panji Masyarakat'' berhenti sejak 17 Agustus 1960, tulisannya satu setengah juz dimuatkannya dalam majalah ''Gema Islam'' sampai akhir Januari 1962, yaitu dari juz 18 sampai juz 19. Ceramah-ceramah Hamka tiap subuh selalu dimuat secara teratur dalam majalah hingga Januari 1964.
 
Pada 27 Januari 1964, setelah Masyumi dibubarkan paksa akibat adanya para anggota partai yang ditangkap di pemberontakan [[PRRI]],<ref>Ricklefs, M.C. (2008) [1981], A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (4th ed.), Palgrave MacMillan, ISBN 978-0-230-54686-8, p. 411.</ref> Hamka dan para anggota senior Masyumi turut dipenjara karena dianggap terlibat dalam pemberontakan.<ref>Ward, Ken (1970). The Foundation of the Partai Muslimin Indonesia. Ithaca, New York: Modern Indonesia Project, Cornell University. pp. 12-14.</ref>
 
Karena jatuh sakit, Hamka dipindahkan dari tahanan ke [[Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan|RS Persahabatan]]. Selama perawatan di rumah sakit ini, Hamka meneruskan penulisan ''Tafsir Al-Azhar.'' Ia mengaku wajah-wajah jemaahnya yang terbayang ketika ia mulai mengoreskan pena untuk menulis tafsir. Hamka ditetapkan sebagai tahanan politik selama dua tahun sejak 28 Agustus 1964, diikuti tahanan rumah dua bulan dan tahanan kota dua bulan.
 
== Orde Baru ==
Pada 30 November 1967, Pemerintah Indonesia menggagas diadakannya Musyawarah Antar Agama. Dalam musyawarah yang dihadiri pemuka [[Agama di Indonesia|agama yang diakui secara resmi di Indonesia]], pemerintah mengusulkan pembentukan Badan Konsultasi Antar Agama dan pernyataan bersama dalam piagam yang isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain.” Badan Konsultasi Antar Agama berhasil dibentuk, tetapi musyawarah gagal menyepakati penandatangangan piagam yang diusulkan pemerintah. Perwakilan Kristen merasa berkeberatan sebab piagam tersebut dianggap bertentangan dengan kebebasan penyebaran Injil. Dalam pidatonya, [[Albert Mangaratua Tambunan]] menyampaikan pendirian umat Kristiani bahwa menyebarkan [[Pekabaran Injil]] kepada orang yang belum Kristen adalah "Titah Ilahi yang wajib dijunjung tinggi". Meskipun Musyawarah Antar Agama dianggap gagal oleh banyak pihak, Hamka menganggap musyawarah itu berhasil karena telah mengungkap "apa-apa yang selama ini belum terungkapkan secara gamblang".
 
Setelah bebas dari penjara, Hamka menjadi perwakilan Indonesia dalam beberapa pertemuan internasional. Pada 1967, ia berkunjung ke [[Malaysia]] atas undangan Perdana Menteri [[Tengku Abdul Rahman]]. Pada 1968, ia menghadiri Peringatan Masjid Annabah di [[Aljazair]]. Dari Aljazair, ia mengunjungi beberapa negara seperti [[Spanyol]], Roma, [[Turki]], London, [[Arab Saudi]], [[India]], dan Thailand. Pada 1969, bersama [[Muhammad Ilyas (menteri)|KH Muhammad Ilyas]] dan Anggota [[Dewan Pertimbangan Agung]] (DPA) [[Anwar Tjokroaminoto]], Hamka mewakili Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam membahas konflik [[Palestina]]-[[Israel]] di [[Rabat]], [[Maroko]].
 
Dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September–4 Oktober 1970, Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah, mengapungkan gagasan pembentukan Majelis Ulama. Meskipun mendapatkan dukungan Menteri Agama [[Muhammad Dahlan|KH Muhammad Dahlan]], sejumlah ulama dan tokoh Islam, seperti [[Mohammad Natsir]] dan [[Kasman Singodimedjo]] melihat bahwa lembaga itu hanya akan menguntungkan pemerintah ketimbang umat Islam. Namun, Hamka memandang penting pembentukan Majelis Ulama perlu sebagai jembatan pemerintah dan umat Islam. Menurutnya, Majelis Ulama dapat mengurangi rasa curiga antara pemerintah dan umat Islam. "Mereka berani mengkritik perbuatan pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun karena ketegasan pendiriannya itu, ia akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya ia pun berani membela satu langkah pemerintah yang dianggapnya menempuh jalan yang benar, walaupun karena itu ia pun akan dibenci oleh rakyat," tulis Hamka dalam ''Panji Masyarakat'' pada 1 Juli 1974.
 
Pada 1971, Hamka menghadiri Seminar Islam di Aljazair, dengan membawa ''paper'' tentang Muhammadiyah di Indonesia. Pada 8 Juni 1974, Hamka menerima gelar kehormatan [[Honoris Causa]] dari [[Universitas Kebangsaan Malaysia]]. Pada 1975, ia menghadiri Muktamar Masjid di Mekkah. Pada 1976, ia menghadiri Konferensi Islam di Kucing, [[Sarawak|Serawak]], [[Malaysia Timur]]. Pada 1976, ia mengikuti Seminar Islam dan Kebudayaan Malaysia di [[Universitas Nasional Malaysia|Universitas Kebangsaan Malaysia]] dengan ''paper'' "Pengaruh Islam pada Kesusastraan Melayu". Pada 1977, ia menghadiri Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Muktamar Ulama (Al-Buhust Islamiyah) di [[Kairo]]. Di [[Lahore]], Hamka menyampaikan makalahnya tentang [[Muhammad Iqbal]], menyoroti [[Muhammad Ali Jinnah#Pengaruh Iqbal pada Jinnah|pengaruh Iqbal dalam membawa identitas Muslim pada Jinnah]].{{sfn|Irfan|2013|pp=250-253}}
 
=== Ketua MUI ===
[[Berkas:Buya_Hamka_tanpa_tahun.jpg|jmpl|Hamka saat menjabat Ketua MUI]]
Ketika [[Majelis Ulama Indonesia]] (MUI) terbentuk pada 26 Juli 1975, Hamka dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MUI.{{sfn|Ali|1996|pp=55-70}} Pada hari itu pula, Hamka berpidato pertama kali sebagai Ketua MUI. Ketika ia menyampaikan pidato saat pelantikan dirinya, Hamka menyatakan bahwa dirinya bukanlah sebaik-baiknya ulama. Ia menyadari bahwa dirinya memang populer, "tapi kepopuleran bukanlah menunjukkan bahwa saya yang lebih patut." Ia menjelaskan posisi MUI dengan pemerintah dan masyarakat terletak di tengah-tengah, "laksana kue ''[[bika]]''" yang "dibakar api dari atas dan bawah". "Api dari atas ibarat harapan pemerintah, sedangkan api dari bawah wujud keluhan umat Islam. Berat ke atas, niscaya putus dari bawah. Putus dari bawah, niscaya berhenti jadi ulama yang didukung rakyat. Berat kepada rakyat, hilang hubungan dengan pemerintah."
 
Meski berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat gencar, ia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Sebagai Ketua MUI, ia meminta agar ia tidak digaji. Ia memilih menjadikan [[Masjid Agung Al-Azhar]] sebagai pusat kegiatan MUI alih-alih berkantor di [[Masjid Istiqlal]]. Selain itu, ia meminta agar diperbolehkan mundur, apabila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Pemerintah bersedia mengakomodasi permintaan Hamka.
 
Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan [[Presiden Soeharto]] sejak mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia selalu menganjurkan agar di Indonesia terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Hamka sebagai Ketua MUI pada 21 September 1975 menerangkan kepada 30 orang utusan ulama yang hadir bahwa Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam [[Surah Al-Mumtahanah|surat Al-Mumtahinah]] ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh Al-Qur'an orang Islam itu hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. "Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan mendesak kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri." MUI telah menerima anjuran pemerintah tentang kerukunan umat beragama.
 
Pada 1978, Hamka berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan [[Daftar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia|Menteri Pendidikan dan Kebudayaan]] [[Daoed Joesoef]] untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadhan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
 
=== Fatwa MUI dan pengunduran diri ===
Pada 7 Maret 1981, MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman perayaan Natal bagi umat Islam. Fatwa itu keluar menyusul banyaknya instansi pemerintah menyatukan perayaan Natal dan Lebaran lantaran kedua perayaan itu berdekatan. Hamka membantah perayaan Natal dan Lebaran bersama sebagai bentuk toleransi. "Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Qur'an atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu adalah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima." [[Jan S. Aritonang]] dalam ''Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia'' mencatat, Hamka menyebut perayaan Natal dan Lebaran bersama bukan bentuk toleransi, tetapi memaksakan kedua penganut Islam dan Kristiani menjadi munafik. Dalam khutbahnya di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka menyampaikan, "haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam menghadiri upacara Natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti ia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik."
 
MUI memfatwakan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam hukumnya haram, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa karena Natal tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keyakinan dan peribadatan. Namun, keluarnya fatwa MUI menulai kecaman dari pemerintah. Menteri Agama [[Alamsyah Ratu Perwiranegara]] meminta fatwa MUI dicabut karena dianggap mengusik kerukunan antara umat Islam dan Kristen. Menurut Ketua Komisi Fatwa [[Syukri Ghozali]], sebagaimana dikutip ''[[Tempo (majalah)|Tempo]]'', fatwa itu sebenarnya dibuat agar Departemen Agama menentukan langkah dalam menyikapi Natalan-Lebaran yang kerap terjadi. Namun, fatwa itu menyebar ke masyarakat sebelum petunjuk pelaksanaan selesai dibuat Departemen Agama. Menyikapi hal itu, Hamka mengeluarkan surat keputusan (SK) mengenai penghentian edaran fatwa. Dalam surat pembaca yang ditulis dan dimuat oleh ''[[Kompas (surat kabar)|Kompas]]'' 9 Mei 1981, Hamka menjelaskan SK itu tak mempengaruhi kesahihan fatwa tentang perayaan Natal. "Fatwa itu dipandang perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian aqidah Islamiyah."
 
Menanggapi tuntutan pemerintah untuk mencabut fatwa, Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Dalam buku ''Mengenang 100 Tahun Hamka'', [[Shobahussurur]] mencatat perkataan Hamka, "Masak iya saya harus mencabut fatwa," kata Hamka sambil tersenyum sembari menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai ketua MUI kepada Departemen Agama. Mundurnya Hamka dari MUI mengundang simpati masyarakat Muslim pada umumnya. Kepada seorang sahabatnya, [[Yunan Nasution|M. Yunan Nasution]], Hamka mengungkapkan, "waktu saya diangkat dulu tidak ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti, saya menerima ratusan telegram dan surat-surat yang isinya mengucapkan selamat."
 
== Meninggal ==
Kesehatan Hamka menurun setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI. Mengikuti anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga Hamka, Hamka diopname di [[:en:Rumah Sakit Pusat Pertamina|Rumah Sakit Pusat Pertamina]] pada 18 Juli 1981, bertepatan dengan awal Ramadan. Pada hari keenam dirawat, Hamka sempat menunaikan salat Dhuha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru, dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat [[Pacu-Jantung|pacu jantung]]. Pada pukul sepuluh pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan tidak lama setelah itu Hamka menghembuskan napas terakhirnya.{{sfn|Irfan|2013|pp=273-287}}
 
Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10:37 WIB dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir yakni [[Presiden Soeharto]] dan Wakil Presiden [[Adam Malik]], Menteri Negara Lingkungan Hidup [[Emil Salim]], dan Menteri Perhubungan [[Azwar Anas]] yang menjadi imam salat jenazahnya. Jenazah Hamka dibawa ke Masjid Agung Al-Azhar dan disalatkan lagi, sebelum dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama [[Alamsyah Ratu Perwiranegara]].{{sfn|Irfan|2013|pp=273-287}}
 
Sepeninggal Hamka, pemerintah menyematkan [[Bintang Mahaputra Utama]] secara anumerta kepada Hamka. Sejak 2011, ia ditetapkan sebagai [[Daftar pahlawan nasional Indonesia|Pahlawan Nasional Indonesia]]. Namanya diabadikan untuk perguruan tinggi Islam di Jakarta milik Muhammadiyah, yakni [[Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka|Universitas Muhammadiyah Hamka.]] Dari syair berbahasa Minang ciptaan [[Agus Taher]], [[Zalmon]] dan [[Tiar Ramon]] menyanyikan lagu ''Selamat Jalan Buya'' untuk mengenang wafatnya Hamka.{{sfn|Irfan|2013|pp=273-287}} Novelis [[Akmal Nasery Basral]], [[Haidar Musyafa]], dan [[Ahmad Fuadi]] menulis novel tentang kisah perjalanan Hamka. Pada 2016, Majelis Ulama Indonesia berencana mengangkat kisah Hamka ke dalam film berjudul ''[[Buya Hamka (film)|Buya Hamka]]''.
 
== Pengakuan umum ==
Hamka diakui secara luas sebagai seorang pemikir Islam Asia Tenggara. Perdana Menteri Malaysia [[Tun Abdul Razak]], ketika menghadiri penganugerahan gelar kehormatan [[Honoris Causa]] oleh [[Universitas Kebangsaan Malaysia]] kepada Hamka, menyebut Hamka sebagai "kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara". [[:en:John Louis Esposito|John L. Espito]] mamasukkan Hamka bersama [[Muhammad Iqbal|Sir Muhammad Iqbal]], [[Syed Ahmed Khan]], dan [[Muhammad Asad]] dalam ''Oxford History of Islam''. Menurut peneliti sejarah Asia Tenggara modern [[:en:James R. Rush|James Robert Rush]], Hamka hanyalah satu di antara banyak orang dalam generasinya yang dikenal sebagai politikus, ulama, dan pengarang. Namun, "Hamka tampak menonjol ketika di antara mereka ada yang lebih terpelajar, baik dalam pengetahuan Barat maupun studi yang mendalam tentang Islam."
 
Presiden ke-4 Indonesia [[Abdurrahman Wahid]] menulis, Hamka memiliki orientasi pemikiran yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat akan perubahan.{{sfn|Wahid|1996|pp=19-51}} Tokoh [[Nahdatul Ulama]] [[A. Syaikhu]] menyebut, Hamka menempatkan dirinya tidak hanya sekadar pimpinan Masjid Agung Al-Azhar atau organisasi Muhammadiyah, tetapi sebagai pemimpin umat Islam secara keseluruhan, tanpa memandang golongan.{{sfn|Syaikhu|1996|pp=225-232}} [[Nurcholish Madjid]] dalam buku ''Kenang-kenangan'' ''70 Tahun Buya Hamka'' mencatat peranan dan ketokohan Hamka sebagai figur sentral yang telah berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal atau gerakan ke atas agama Islam di Indonesia. "Hamka berhasil mengubah postur kumal seorang kiyai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa hormat dan respek."
 
Hamka berada di posisi terdepan dalam masyarakat Islam modern Indonesia yang sedang mengalami modernisasi. Ia menginisiasi berdirinya sekolah-sekolah Islam di Indonesia dengan mencetuskan ide konkret model lembaga pendidikan Islam modern. Ia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Mantan Menteri Agama [[Mukti Ali]] mengatakan, berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Hamka termasuk pelopor jurnalisme Islam di Indonesia melalui kiprahnya di majalah ''[[Pedoman Masyarakat]]''. [[Rosihan Anwar]] menyebut Hamka sebagai wartawan besar.{{sfn|Zainal|1996|pp=181-190}} Melalui karya sastra, Hamka memberikan kontribusi dalam menyebarkan dan menanamkan wacana mengenai persatuan Indonesia. Ia memberikan kritik sekaligus alternatif terhadap adat yang dianggapnya usang. Selain itu, ia banyak berkiprah dan terlibat dalam lembaga dan kongres kebudayaan nasional.
 
Meminati dan melakukan kajian terhadap bidang sejarah, Hamka beberapa kali tampil dalam seminar terkait bidang sejarah, baik di tingkat daerah, nasional, maupun mancanegara. Pidato ilmiah yang disampaikannya sewaktu di Universitas Al-Azhar menampakkan kemampuannya dalam ilmu sejarah. Buku ''[[Sejarah Umat Islam]]'' yang ditulis Hamka banyak dijadikan rujukan, terutama karena keberhasilannya menentukan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah. [[Deliar Noer]] mengungkapkan, "salah satu kelebihan Hamka sebagai sejarawan dibandingkan dengan sejarawan lain yang keluaran akademis di Indonesia adalah bahwa ia banyak mempergunakan teks-teks klasik seperti hikayat, catatan-catatan kerajaan lama dan tulisan-tulisan ulama, selain mempergunakan tulisan-tulisan orang Belanda."
 
== Karya dan penerimaan ==
[[Berkas:Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka 2020.jpg|ka|jmpl|262px|[[Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka]]]]
 
Seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu, Hamka tercatat sebagai penulis Islam paling prolifik dalam sejarah modern Indonesia. Karya-karyanya mengalami cetak ulang berkali-kali dan banyak dikaji oleh peneliti Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Tulisannya telah menghiasi berbagai macam majalah dan surat kabar. [[Yunan Nasution]] mencatat, dalam jarak waktu kurang lebih 57 tahun, Hamka melahirkan 84 judul buku. Minatnya akan bahasa banyak tertuang dalam karya-karyanya. ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'', ''[[Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'', dan ''[[Merantau ke Deli]]'' yang terbit di Medan melambungkan nama Hamka sebagai sastrawan. Ketiganya bermula dari cerita bersambung yang diterbitkan oleh majalah ''Pedoman Masyarakat.'' Selain itu, Hamka meninggalkan karya tulis yang menyangkut tentang sejarah, budaya, dan bidang-bidang kajian Islam.
 
Meskipun tidak menyelesaikan pendidikan formal, Hamka mempunyai banyak akses keilmuwan karena kemampuan membacanya yang luas. Filolog Prancis [[Gérard Moussay]] menulis, Hamka dengan hanya bermodalkan pendidikan paling dasar telah berhasil dengan caranya sendiri memperoleh pengetahuan yang maju dan unggul dalam bidang yang berbeda-beda, seperti jurnalistik, sejarah, antropologi, politik, dan Islamolog. Namun, [[Abdurrahman Wahid]] melihat Hamka tidak menguasai teori-teori dari satu atau lebih bidang keilmuan. "Ia cenderung mengambil kesimpulan yang sudah ada dari para pemikir besar dengan cara menyederhanakannya, dan kadang-kadang salah."{{sfn|Wahid|1996|pp=19-51}} <!--
 
Dalam bentuk novel atau roman, karya Hamka lainnya adalah ''Si Sabariah'', ''Dijemput Mamaknya'', ''Laila Majnun'', ''Karena Fitnah'', ''[[Tuan Direktur]]'', ''Menunggu Beduk Berbunyi'', ''Keadilan Ilahi'', ''Mandi Cahaya di Tanah Suci'', ''Di Lembah Sungai Nil'', dan ''Di Tepi Sungai Dajlah''. Dalam bentuk kumpulan cerpen, Hamka menerbitkan ''Di Dalam Lembah Kehidupan'' dan ''Cermin Penghidupan''. ''Cemburu'' dan ''Lembaga Hikmat'' merupakan hasil menyadur atau menggubah atau membuat versi lain dari cerita-cerita Islam. ''Margaretta Gauthier'' adalah hasil terjemahan Hamka dari novel karya [[Alexandre Dumas|Alexander Dumas]].-->
 
=== Sastra ===
Karya-karya Hamka umumnya bertema gugatan terhadap adat Minangkabau, terutama kawin paksa dan hubungan kekerabatan yang menurut pandangannya tak bersesuaian dengan cita-cita masyarakat Indonesia modern. Melalui ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'', Hamka menggugat penggolongan orang berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan oleh [[Orang Minangkabau|masyarakat Minangkabau]]. Menurutnya, adat bertentangan dengan agama Islam yang memandang kedudukan manusia sama di hadapan Allah. Dalam ''[[Tuan Direktur]]'', Hamka menyindir tokoh Jazuli sebagai kebanyakan orang Melayu yang kerap terburu nafsu sehingga mengabaikan nilai-nilai fundamental. Dalam ''[[Merantau ke Deli]]'', Hamka menginginkan perubahan penilaian masyarakat Minangkabau tentang keberhasilan [[merantau]] dan mengkritik penilaian adat tentang pernikahan yang baik dari satu daerah saja. Pada kenyataannya, harta bukan jaminan kehidupan akan menjadi bahagia, begitupula asal daerah bukan jaminan pernikahan akan bertahan lama.
 
Pada akhir 1930-an, buku-buku Hamka telah dapat ditemukan di perpustakaan sekolah umum. Para pelajar sering dianjurkan untuk membacanya. Novel-novel Hamka menuai kesuksesan komersial dan berkali-kali cetak ulang. ''Di Bawah Lindungan Ka'bah'' diangkat ke layar lebar [[Di Bawah Lindungan Ka'bah (film 1981)|pada 1981]] dan [[Di Bawah Lindungan Ka'bah (film 2011)|2011.]] Pada 2013, ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (film)|Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'' untuk kali pertama difilmkan.
 
Ketika pertama kali menulis roman, Hamka sempat dikecam dan dianggap tidak pantas menulis kisah percintaan.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=88}} [[Hans Bague Jassin|HB Jassin]] melihat kritikan terhadap Hamka, antara lain, disebabkan hukum yang menetapkan menulis karya sastra adalah satu dosa dan haram. Hamka dalam tulisannya di ''Pedoman Masyarakat'' menegaskan menulis karya sastra bukan satu dosa, selain menjelaskan kegiatan menulis boleh menjadi satu dakwah. HB Jassin mengutip pernyataan Hamka. "Seni atau sastra Islam mestilah merangkumi keindahan dan kebenaran." Keindahan, kebenaran dan kebaikan itu, menurut Hamka, jelas kembali semula kepada Tuhan. Dari sudut pandang sastra, beberapa kritikus menganggap karya-karya Hamka tidak istimewa. Kritikus sastra Indonesia berpendidikan Belanda [[A. Teeuw]] menilai, Hamka tidak dapat dianggap sebagai pengarang besar karena karyanya mempunyai psikologi yang lemah dan terlalu moralistik.
 
=== Sejarah ===
Dalam ''[[Sejarah Umat Islam]]'', Hamka menulis tentang [[sejarah Islam]] dengan sistematika periode berkuasa kerajaan. Ia menekankan peranan raja dan [[Sejarah Nusantara pada era kerajaan Islam|kerajaannya yang pernah menguasai Nusantara]]. Menurutnya, Islam di Indonesia berhubungan dengan Arab lebih dulu daripada India. Bukti sejarah yang paling nyata adalah ditemukannya perkampungan Arab pada 674 di [[pantai Barat Sumatra]] dan [[Kerajaan Kalingga]] pada masa [[Ratu Shima]], yang keduanya bersumber dari [[berita Tiongkok]]. Sejarawan [[Gusti Asnan]] mencatat, Hamka telah menemukan sumber-sumber lama yang sebelumnya tidak pernah digunakan penulis pada zamannya. Ia memberikan informasi yang sangat bernilai mengenai sumber-sumber yang dipergunakannya seperti ''Sejarah Melayu'' karya [[Tun Sri Lanang]], ''Hikayat Raja-Raja Pasai'' karya [[Nuruddin al-Raniri]], ''Tuhfat Al-Nafis'' karya [[Ali Haji bin Raja Haji Ahmad|Ali Haji]], ''Sejarah Cirebon'' dan ''[[Babad Giyanti]]''.
 
Lewat ''[[Perbendaharaan Lama]]'', Hamka meunjukkan penguasannya tentang warisan, atsar, jejak, dan petuah yang diwariskan tokoh-tokoh Nusantara. Ia menguraikan tentang sejarah [[kebangkitan Islam di Minangkabau]] secara khusus dalam ''Ayahku'', biografi [[Abdul Karim Amrullah]] yang ditulisnya.
 
Hamka memiliki metode tersendiri dalam memaparkan penelitiannya di bidang sejarah. Ia mengedepankan sikap kritis dalam menelaah tulisan-tulisan sejarawan Belanda tentang Indonesia. Menurutnya, para sejarawan Belanda telah memberikan andil yang besar dalam banyak data, tetapi tetap perlu kritis menerimanya. Dengan daya kritis dan analisisnya, Hamka berani merekonstruksi sejarah dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Ia tak sekadar mengulang-ulang catatan sejarah yang terpapar dalam literatur-literatur baku ketika berbicara maupun menulis tentang sejarah. Dalam memandang sosok [[Gajah Mada]], Hamka melihat Gajah Mada tak ubahnya seperti "penjajah" yang "...menjarah, menjajah sampai ke mana-mana". Bersama daya bacanya yang kuat, Hamka berjuang keras mengkritisi dan berusaha menyingkirkan teks-teks beraroma dongeng yang kerap dijumpai dalam teks-teks klasik. Dalam karyanya berjudul ''Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao'' tentang riwayat hidup [[Tuanku Rao]] dan sejarah [[Perang Padri]], Hamka memberi komentar tentang penulisan sejarah. Ia berpendapat perlu membedakan antara khayal dan fakta.
 
=== Tafsir Al-Azhar ===
''Tafsir al-Azhar'' dianggap sebagai karya monumental Hamka, sebagaimana ditulis oleh [[Abdurrahman Wahid]]. Lewat ''Tafsir Al-Azhar'', Hamka mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya di hampir semua disiplin yang tercakup oleh bidang ilmu-ilmu agama Islam serta pengetahuan non-keagamaan yang kaya dengan informasi.{{sfn|Wahid|1996|pp=19-51}} Menurut peneliti Malaysia [[Norbani Ismail]], ''Tafsir Al-Azhar'' adalah tafsir pertama yang ditulis secara komprehensif dalam bahasa Indonesia.
 
Usep Taufik Hidayat dari [[Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta]] menyebut keunikan ''Tafsir Al-Azhar'' adalah kemampuannya berelasi terhadap isu-isu kontemporer, terutama kepada budaya masyarakat khususnya budaya Melayu-Minangkabau. Hamka melakukan pendekatan yang sesuai dengan kondisi kontemporer yang dihubungkan dengan berbagai lapisan masyarakat modern. Hamka mengutip berpuluh-puluh kitab karangan sarjana-sarjana Barat dan akomodatif terhadap pendekatan berbagai ilmu yang ada korelasinya dengan penafsiran, terutama sains. Menurut Hamka, ilmu dan akal diperuntukkan manusia untuk mengenal Tuhannya "Penemuan-penemuan sains yang baru telah menolong kita untuk memahami kebenaran ayat Al-Qur'an dan melihat keagungan-Nya."
 
== Kehidupan pribadi dan publik ==
 
=== Keluarga ===
[[Berkas:Buya Hamka dan keluarga pd.jpg|jmpl|270px|ka|Hamka bersama istri dan anak-anaknya. Dari pernikahannya dengan Sitti Raham, ia dikaruniai sebelas orang anak (delapan dalam foto)]]Pada 5 April 1929, Hamka menikahi Sitti Raham. Ia menjadi ayah dari dua belas anak, dua di antara mereka meninggal saat masih balita.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid IV|pp=297}} Sampai Mei 2013, Hamka memiliki 31 cucu dan 44 cicit.{{sfn|Irfan|2013|pp=2291}} Ketika menikah dengan Sitti Raham, Hamka berusia 21 tahun, sementara Raham masih berusia 15 tahun. Raham adalah anak dari salah seorang saudara laki-laki ibunya. Setelah Raham meninggal pada 1 Januari 1972, Hamka menikahi Sitti Khadijah asal Cirebon pada 19 Agustus 1973.
 
Dalam buku ''Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka'', [[Rusydi Hamka]] mengisahkan saat-saat keluarga mereka melewati masa-masa kemiskinan. "Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain," tulis Rusydi. Selain itu, sebagai seorang mamak dalam hubungan kekerabatan masyarakat Minang, Hamka pada saat bersamaan memiliki tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya. Anak pertama Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=43}} Anak ketiga Hamka, Rusydi dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Berbeda dengan pria keturunan [[Pedagang Minangkabau|Minang yang pandai berdagang]], Hamka tidak mewarisi bakat berbisnis. Di tengah kondisi kekurangan, Hamka memilih bekerja di Medan untuk ''Pedoman Masyarakat'' pada 1936.
 
=== Citra ===
Hamka dikenal sebagai seorang humanis yang rendah hati, membawa khutbah dan pidato yang memikat. Ceramah-ceramahnya dengan pilihan kalimat-kalimat yang santun telah mengikat perhatian umat di berbagai pelosok daerah. [[Abdurrahman Wahid]] menulis, penyampaian Hamka dalam masalah keagamaan "sangat menawan" dan "menghanyutkan".{{sfn|Wahid|1996|pp=19-51}} Penulis Malaysia [[:ms:Muhammad Uthman El Muhammady|Muhammad Uthman El Muhammady]] mencatat, Hamka merupakan pemikir yang berpegang teguh pada pendapat yang diyakininya, tetapi "mengutarakan argumennya dengan gaya yang elegan". Ia mengutamakan silaturahmi ketimbang meributkan perbedaan tak berprinsip. Shobahussurur dari [[Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta|Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta]] mengutip bagaimana penerimaan Hamka terhadap perbedaan paham dalam perkara cabang agama. Ketika [[Abdullah Syafi'i|Abdullah Syafii]] hendak menyampaikan khutbah di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka mempersilakan azan di masjid itu dilakukan dua kali sebagaimana tradisi di kalangan [[Nahdatul Ulama]] (NU). Dalam perjalanan di kapal bersama [[Idham Chalid|Idham Cholid]] yang [[Daftar Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama|Ketua PBNU]], Hamka mengimami salat Subuh dengan membaca [[Qunut|doa qunut]] karena jemaah di belakangnya adalah Idham Cholid. Pada Ramadhan pertama setelah Masjid Al-Azhar dibuka, Hamka terlebih dulu menanyakan pilihan jemaah untuk salat Tarawih dan Witir apakah 11 atau 23 rakaat.
 
Menurut putra ke-5 Hamka, [[Irfan Hamka|Irfan]], Hamka berusaha menghindari konflik dengan siapapun.{{sfn|Irfan|2013|pp=253}} Namun, dalam masalah aqidah, "Ayah memang tidak pernah bisa berkompromi. Tapi dalam masalah-masalah lain, Ayah sangat toleran."{{sfn|Irfan|2013|pp=254}} Selain memilih mengundurkan diri sebagai Ketua MUI dibandingkan mencabut fatwa keharaman merayakan Natal bagi umat Islam sebagaimana tuntutan pemerintah, Hamka menolak menghadiri pertemuan ramah-tamah dengan [[Paus Paulus VI]] ketika berkunjung ke Indonesia pada 3–4 Desember 1970. "Bagaimana saya bisa bersilaturahmi..., sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?"{{sic}}{{sfn|Irfan|2013|pp=253}} Meskipun demikian, menurut Irfan pula, Hamka masih mengucapkan selamat Natal kepada dua tetangga Kristen-nya yang bernama Ong Liong Sikh dan Reneker saat tinggal di [[Kebayoran Baru]].<ref>[http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/23/nh0yp6-irfan-hamka-buya-ucapkan-selamat-natal Irfan Hamka: Buya Ucapkan Selamat Natal] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20220702115225/https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/23/nh0yp6-irfan-hamka-buya-ucapkan-selamat-natal |date=2022-07-02 }} - Republika</ref>
 
Menggunakan sudut pandang seorang anak dalam mengenang ayahnya, [[Irfan Hamka]] dalam buku ''Ayah...'' mengungkapkan bagaimana Hamka "memaafkan semua orang yang pernah berseteru dengannya." Karena pandangan politiknya, Hamka kerap menuai kecaman dan ancaman dari lawan politiknya. Dalam sidang Konstituante pada 1957, Hamka memberikan pernyataan tentang Pancasila sebagai dasar yang sesat sehingga membuat [[Muhammad Yamin]] marah dan membencinya. Namun, ketika Yamin sakit pada 1962, Yamin meminta Hamka "untuk dapat mendampinginya" dan "menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya".{{sfn|Irfan|2013|pp=258-262}} Di bawah [[Orde Lama|pemerintahan Soekarno]], Hamka sempat mendekam di penjara atas tuduhan merencakan makar yang tidak pernah terbukti. Namun, Hamka memenuhi permintaan [[Soekarno]] yang lima hari sebelum meninggal meminta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salatnya. Irfan mengutip penyataan Hamka. "Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur'an 30 juz."{{sfn|Irfan|2013|pp=255-257}}
 
Sebagai seorang yang anti-komunis, Irfan dalam ''Ayah...'' menyebut bagaimana pribadi dan karya Hamka diserang oleh surat kabar ''Bintang Timoer'' dalam rubrik "Lentera" yang diasuh oleh [[Pramoedya Ananta Toer]]. Salah satu kritik tajam adalah tudingan bahwa Hamka melakukan plagiasi. Novel ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' disebut sebagai jiplakan dari novel ''Magdalena'' karya [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti|Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi]], seorang penulis Mesir. Namun, ketika Pramoedya mendapati putrinya, Astuti hendak menikahi seorang peranakan [[Tionghoa-Indonesia|etnis Tionghoa]] berbeda agama, Pram meminta Astuti membawa calon suaminya itu untuk belajar Islam kepada Hamka. Dalam pertemuan dengan Astuti, Hamka sama sekali tidak menyinggung sikap Pramoedya belasan tahun sebelumnya. Melalui bimbingan Hamka, Daniel Setiawan, calon suami Astuti mengucapkan dua kalimat syahadat. Seorang dokter yang dekat dengan Pram, Hoedaifah menanyakan mengapa Pram justru mengutus calon menantu menemui figur yang selama ini ia serang melalui tulisan-tulisannya. "Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik."{{sfn|Irfan|2013|pp=262-264}} [[Taufiq Ismail]] dalam pengantar di buku ''Ayah...'' menilai, secara tidak langsung tindakan Pram yang meminta calon menantunya belajar kepada Hamka sebagai bentuk ungkapan maaf.{{sfn|Irfan|2013|pp=xxvi}}
 
== Dalam budaya populer ==
* Dalam film ''[[Buya Hamka (film)|Buya Hamka]]'' (2023), Abdul Malik Karim Amrullah diperankan oleh [[Vino G. Bastian]] dan pada masa kecil diperankan oleh [[Rey Bong]].
 
== Catatan kaki ==
; Keterangan
{{notelist}}
 
; Rujukan
{{reflist
| colwidth = 30em
| refs =
}}
 
; Daftar pustaka
{{refbegin|2}}
 
* {{cite book
* {{cite book |last=Wahid|first=Abdurrahman|authorlink=Abdurrahman Wahid|editor-first=Natsir|editor-last=Tamara|title=Hamka di Mata Hati Umat|publisher=Sinar Harapan|isbn=|year = 1983|location = Jakarta|pages=|chapter=Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah Pengantar|ref = {{sfnRef|Wahid|1983}}}}
| title = Ensiklopedia Islam, Jilid 4
* {{cite book|last=Mukti|first=Ali|authorlink=Mukti Ali|editor-first=Natsir|editor-last=Tamara|chapter=Persepsi Buya Hamka: Ulama Sudah lama Terjual...!|title=Hamka di Mata Hati Umat|publisher=Sinar Harapan|isbn=|year = 1983|location = Jakarta|ref = {{sfnRef|Ali|1938}}}}
| author = Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam
* {{cite book|last=Ahmad|first=Syaikhu|editor-first=Natsir|editor-last=Tamara|chapter=Hamka: Ulama, Pujangga, Politisi|title=Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka|publisher=Sinar Harapan|isbn=978-1-234-56789-7|year = 1996|location = Jakarta|ref = {{sfnRef|Syaikhu|1996}}}}
| work = Departemen Agama
* {{cite book|last=Ahmad|first=Zainal Abidin|authorlink=Zainal Abidin Ahmad|editor-first=Natsir|editor-last=Tamara|chapter=Wartawan Itu Bernama Hamka|title=Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka|publisher=Sinar Harapan|isbn=978-1-234-56789-7|year = 1996|location = Jakarta|pages=243–246|ref = {{sfnRef|Zainal|1996}}}}
| year = 2002
| publisher = Ichtiar Baru van Hoeve
| location = Jakarta
| id = ISBN 979-8276-65-5
| ref = {{sfnRef|Ensiklopedia Islam|2002}}
}}
* {{cite book
| title = Mengenang 100 tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah Hamka
| last = Shobahussurur
| first =
| year = 2008
| publisher = Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar
| location = Jakarta
| id = ISBN 979-177-850-7
| ref = {{sfnRef|Shobahussurur|2008}}
}}
* {{cite book
| title = Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20
| last = Herry
| first = Mohammad
| year = 2006
| publisher = Gema Insani
| location =
| id = ISBN 979-560-219-5
| ref = {{sfnRef|Herry|2006}}
}}
* {{cite book
| title = Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago
| last = Hashim
| first = Rosnani
| year = 2010
| publisher = The Other Press
| location =
| id = ISBN 983-954-174-9
| ref = {{sfnRef|Hashim|2010}}
}}
* {{cite web
| title = Cukup Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi
| url = http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/11/25/lv86ue-cukup-allah-sebagai-pelindung-kisah-hamka-di-penjara-sukabumi
| last =
| first =
| date = 26 November 2011
| accessdate = 20 Desember 2011
| work = [[Republika (surat kabar)|Republika]]
| ref = {{sfnRef|Republika|2011}}
}}
* {{cite book
| title = Fullness of Life for All—Challenges for Mission in Early 21st Century
| last = Daneel
| first = Inus
| coauthor = Charles Van Engen, Hendrik Vroom
| year = 2005
| publisher = Rodopi
| location =
| id = ISBN 904-201-971-9
| ref = {{sfnRef|Daneel|2005}}
}}
* {{cite book
|last = Hamka
| title = Telling Lives, Telling History: Autobiography and Historical Imagination in Modern Indonesia
| lastfirst = RodgersIrfan
|authorlink = Irfan Hamka
| first = Susan
| year = 19952013
|title = Ayah... Kisah Buya Hamka
| publisher = University of California Press
| locationvolume =
|publisher = Penerbit Republika
| id = ISBN 052-008-547-7
|location =
| ref = {{sfnRef|Rodgers|1995}}
|oclc =
}}
|ref = {{sfnRef|Irfan|2013}}
* {{cite book
|id = ISBN 978-602-8997-71-3
| title = Islamic Reform in Colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh Al-Hadi
| last = Zakariya
| first = H.
| year = 2006
| publisher = ProQuest
| location =
| id = ISBN 054-286-357-X
| ref = {{sfnRef|Zakariya|2006}}
}}
* {{cite book
| title = Bersujud di Baitullah
| last = Abdurrahman
| first = M.
| year = 2009
| publisher = Penerbit Buku Kompas
| location =
| id = ISBN 979-709-437-5
| ref = {{sfnRef|Abdurrahman|2009}}
}}
* {{cite book
| title = Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and Responses
| last = Riddell
| first = P. G
| year =
| publisher = C. Hurst & Co. Publishers
| location =
| id = ISBN 185-065-336-4
| ref = {{sfnRef|Riddell|2001}}
}}
* {{cite book
| title = Buya Hamka
| last = Hamka
| first = Afif
| year = 2008
| authorlink = Afif Hamka
| publisher = Uhamka Press
| location =
| id = ISBN 602-804-007-X
| ref = {{sfnRef|Afif|2008}}
}}
* {{cite book
| title = Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas
| last1 = Pandoe
| first1 = M.D.
| authorlink1 = Marthias Dusky Pandoe
| last2 = Pour
| first2 = Julius
| year = 2010
| publisher = Penerbit Buku Kompas
| location =
| id = ISBN 979-709-487-1
| ref = {{sfnRef|Pandoe & Pour|2010}}
}}
* {{cite book
| title = Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka
| last =
| first =
| year = 1983
| author = Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka
| publisher = Pustaka Panjimas
| location =
| id =
| ref = {{sfnRef|Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka|1983}}
}}
* {{cite book
| title = Kenang-kenangan Hidup
| last = Hamka
| first =
| year = 1966
| publisher = Pustaka Antara
| location = Kuala Lumpur
| id =
| ref = {{sfnRef|Amrullah|1966}}
}}
* {{cite book
| title = Pribadi dan Martabat Buya Prof. Hamka
| last = Hamka
| first = Rusydi
| authorlink = Rusydi Hamka
| year = 1983
| publisher = Pustaka Panjimas
| location = Jakarta
| id =
| ref = {{sfnRef|Rusydi|1983}}
}}
* {{cite book
| title = Hamka di Mata Hati Umat
| last = Tamara
| first = Natsir
| year = 1996
| publisher = Sinar Harapan
| location = Jakarta
| id =
| ref = {{sfnRef|Tamara|1996}}
}}
* {{cite book
| title = Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942
| last = Noer
| first = Deliar
| year = 1996
| publisher = LP3ES
| location = Jakarta
| id =
| authorlink = Deliar Noer
| ref = {{sfnRef|Noer|1996}}
}}
* {{cite book
| title = Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa
| last = Noer
| first = Deliar
| year = 2001
| publisher = Mizan
| location = Bandung
| id =
| authorlink = Deliar Noer
| ref = {{sfnRef|Noer|2001}}
}}
* {{cite book
| last = Mahayana
| first = Maman S
| authorlink = Maman S. Mahayana
| coauthor = Oyon Sofyan dan Achmad Dian
| year = 1995
| title = Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern
| location = Jakarta
| publisher = Grasindo
| isbn = 978-979-553-123-4
| url = http://books.google.com/?id=Bq8caP8yvqwC
| ref = {{sfnRef|Mahayana|1995}}
}}
* {{cite book
| last = Siregar
| first = Bakri
| authorlink = Bakri Siregar
| year = 1964
| title = Sedjarah Sastera Indonesia
| volume = 1
| series =
| publisher = Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli"
| location = Jakarta
| oclc = 63841626
| ref = {{sfnRef|Siregar|1964}}
}}
* {{cite book
| last = Teeuw
| first = A
| authorlink = A. Teeuw
| year = 1980
| title = Sastra Baru Indonesia
| volume = 1
| publisher = Nusa Indah
| location = Ende
| oclc = 222168801
| ref = {{sfnRef|Teeuw|1980}}
}}
* {{cite book
| last = Rahzen
| first = Taufik
| authorlink =
| year = 2007
| title = Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia
| volume =
| publisher = Blora Institute
| location =
| oclc =
| ref = {{sfnRef|Rahzen|2007}}
| id = ISBN 979-150-938-7
}}
* {{cite book
| last = Safrudin
| first = Irfan
| authorlink =
| year = 2008
| title = Ulama-ulama Perintis: Biografi Pemikiran dan Keteladanan
| volume =
| publisher = Majelis Ulama Indonesia
| location = Bandung
| oclc =
| ref = {{sfnRef|Safrudin|2008}}
| id =
}}
* {{cite book
| last1 = Reid
| first2 = Anthony
| last2 = Marr
| first2 = David G.
| authorlink =
| year = 1983
| title = Dari Raja Ali Haji hingga Hamka
| volume =
| publisher = Grafiti Pres
| location =
| oclc =
| ref = {{sfnRef|Reid|Marr|1983}}
| id =
}}
* {{cite book
| last = Yusuf
| first = M. Yunan
| authorlink =
| year = 2003
| title = Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar
| volume =
| publisher = Penamadani
| location =
| oclc =
| ref = {{sfnRef|Yusuf|2003}}
| id = ISBN 979-976-700-8
}}
* {{cite book
| last = Azra
| first = Azyumardi
| authorlink = Azyumardi Azra
| year = 2002
| title = Historiografi Islam Kontemporer
| volume =
| publisher = Gramedia Pustaka Utama
| location =
| oclc =
| ref = {{sfnRef|Azra|2002}}
| id =
}}
* {{cite book
| last = Abidin
| first = Masoed
| authorlink = Masoed Abidin Jabbar
| year =
| title = Ensiklopedi Minangkabau
| volume =
| publisher = Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau
| location =
| oclc =
| ref = {{sfnRef|Abidin|2005}}
| id = ISBN 979-379-723-1
}}
* {{cite book
| last1 = Hakim
| first1 = Ahmad
| last2 = Thalhah
| first2 = M.
| year = 2005
| title = Politik Bermoral Agama
| volume =
| publisher = UII Press
| location =
| oclc =
| ref = {{sfnRef|Hakim|Thalhah|2005}}
| id = ISBN 979-333-306-5
}}
* {{cite book
| last = Rosidi
| first = Ajip
| authorlink = Ajip Rosidi
| year = 2008
| title = Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang, 1980–2002
| volume =
| publisher = Kepustakaan Populer Gramedia
| location =
| oclc =
| ref = {{sfnRef|Rosidi|2008}}
| id = ISBN 979-910-095-X
}}
* {{cite book
| last = Al-Kumayi
| first = Sulaiman
| authorlink =
| year = 2004
| title = Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym
| volume =
| publisher = Pustaka Nuun
| location =
| oclc =
| ref = {{sfnRef|Al-Kumayi|2004}}
| id = ISBN 979-983-531-3
}}
* {{cite web
| url = http://oase.kompas.com/read/2012/03/20/21431130/Palagan.Hamka.dan.Lentera.Pram
| date = 2012-03-20
| accessdate = 12 Juni 2012
| title = Palagan Hamka dan Lentera "Pram"
| work = [[Kompas (surat kabar)|Kompas]]
| location = Jakarta
| ref = {{SfnRef|Kompas 2012, Palagan Hamka}}
}}
* {{cite web
| url = http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/05/19/LU/mbm.20080519.LU127217.id.html
| date = 2008-05-19
| archiveurl = http://www.webcitation.org/68APgwaID
| archivedate = 4 Juni 2012
| accessdate = 4 Juni 2012
| title = Hamka Menggebrak Tradisi
| work = [[Tempo (majalah)|Tempo]]
| location = Jakarta
| ref = {{SfnRef|Tempo 2008, Hamka Menggebrak Tradisi}}
}}
* {{cite book
| last = Hamka
| first = Irfan
| authorlink = Irfan Hamka
| year = 2013
| title = Ayah... Kisah Buya Hamka
| volume =
| publisher = Penerbit Republika
| location =
| oclc =
| ref = {{sfnRef|Irfan|2013}}
| id = ISBN 978-602-8997-71-3
}}
{{refend}}
 
== Pranala luar ==
 
* {{id}} [http://www.masyuk.com/HidayaH/jinzora/index.php?ptype=songs&genre=&artist=&album=Koleksi+Prof+Hamka Ceramah Buya Hamka]
* {{id}} [http://al-ahkam.com.my/hamka/showarticle.php?articleID=7 Info lain tentang Hamka]
* {{id}} [http://www.geocities.com/hamkaonline/ Tafsir Hamka Online]
* {{id}} [http://badruttamamgaffas.multiply.com/reviews/item/2 Jalan Istiqomah Sang Legenda Buya Hamka]
{{S-start}}
{{s-islam}}
{{kotak suksesi|jabatan=[[Majelis Ulama Indonesia|Ketua MUI]]|tahun=[[1977]]–[[1981]] |pendahulu=Tidak ada|pengganti=[[Syukri Ghozali]]}}
{{kotak suksesi|jabatan=[[Daftar Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia|Ketua MUI]]|tahun=27 Juli 1975—19 Mei 1981|pendahulu=Tidak ada|pengganti=[[Syukri Ghozali]]}}
{{End}}
{{lifetime|1908|1981|Hamka, Buya}}
 
{{Hamka |state=expanded}}
{{Pahlawan Indonesia}}
{{Pahlawan Indonesia}}{{Islam di Indonesia}}{{Authority control}}
 
[[Kategori:Hamka| ]]
[[Kategori:UlamaCerdik IndonesiaPandai Minangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:SastrawanPenulis Indonesia]]
[[Kategori:UlamaPenulis Minangkabauskenario Indonesia]]
[[Kategori:Ketua Majelis UlamaNovelis Indonesia]]
[[Kategori:TokohSastrawan MuhammadiyahMinangkabau]]
[[Kategori:AlumniWartawan Universitas Al-AzharIndonesia]]
[[Kategori:AhliJurnalis tafsirMinangkabau|Abdul (AlMalik Qur'an)Karim IndonesiaAmrullah]]
[[Kategori:Sejarawan IslamBirokrat Indonesia]]
[[Kategori:SenimanTokoh birokrat Minangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh Kementerian Agama Republik Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Profesor Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh Minangkabau]]
[[Kategori:Tokoh dariSumatera AgamBarat]]
[[Kategori:Tokoh Agam|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh dari Kecamatan Tanjung Raya]]
[[Kategori:Tokoh Islam Indonesia]]
[[Kategori:Ulama Minangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Tokoh Muhammadiyah|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Ketua Majelis Ulama Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Ahli tafsir (Al Qur'an) Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Sejarawan Islam Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Penulis Muslim]]
[[Kategori:Politikus Indonesia]]
[[Kategori:Penulis politik]]
[[Kategori:Politikus Partai Masyumi]]
[[Kategori:Tahanan politik Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh politik Minangkabau|Abdul Malik Karim Amrullah]]
[[Kategori:Anggota Konstituante Republik Indonesia|Abdul Malik Karim Amrullah]]<!--dilarang memakai kategori "Tokoh dari Agam"-->