Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 55:
Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali masuki kelas seperti biasa. Pagi belajar di Sekolah Diniyah, pulang sebentar, berangkat ke Thawalib dan kembali ke rumah menjelang Magrib untuk bersiap pergi mengaji. Sejak ia menemukan bahwa gurunya, [[Zainuddin Labay El Yunusy]] membuka bibliotek, perpustakaan penyewaan buku, Malik sering menghabiskan waktu membaca. Melalui buku-buku pinjaman, ia membaca karya sastra terbitan [[Balai Pustaka]], cerita Cina, dan karya terjemahan Arab. Usai membaca, Malik menyalin versinya sendiri. Ia pernah mengirim surat cinta yang disadurnya dari sebuah buku kepada teman perempuan sebayanya. Karena kehabisan uang untuk menyewa, Malik menawarkan diri kepada percetakan milik Bagindo Sinaro, tempat koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung, untuk mempekerjakannya. Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem sebagai perekat buku, sampai membuatkan kopi. Sebagai upahnya, ia meminta agar diperbolehkan membaca koleksi buku yang akan disewakan. Dalam waktu tiga jam sepulang dari Diniyah sebelum berangkat ke Thawalib, Malik mengatur waktu agar punya waktu membaca. Karena hasil kerjanya yang rapi, ia diperbolehkan membawa buku baru yang belum diberi karton untuk dikerjakan di rumah. Namun, karena Malik sering kedapatan membaca buku cerita, ayahnya menanyakan kepada dirinya apakah akan "menjadi orang alim nanti atau menjadi orang tukang cerita". Setiap mengetahui ayahnya memperhatikan, Malik meletakkan buku cerita yang dibacanya, mengambil buku agama sambil berpura-pura membaca.
 
[[Berkas:Masjid Jamik Parabek 2020oleh 02Denas.jpg|ka|jmpl|262px|[[Masjid Jamik Parabek]]]]
 
Permasalahan keluarga membuat Malik sering berpergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, melakukan perjalanan ke Maninjau untuk berjumpa ibunya. Malik didera kebingungan apakah akan tinggal bersama ibu atau ayahnya. "Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri." Ia kerap menghabiskan waktu bergaul dengan kalangan ''[[parewa]]''. Ia juga melanjutkan kegemarannya mendengar ''[[kaba]]'', kisah-kisah yang dinyanyikan bersama [[Musik Minang|alat-alat musik tradisional Minangkabau]]. Ia berjalan jauh sampai ke [[Bukittinggi]] dan [[Payakumbuh]], sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki [[pacuan kuda]]. Hampir setahun ia terlantar hingga saat berusia 14 tahun, ayahnya yang resah mengantarnya pergi mengaji kepada ulama [[Ibrahim Musa|Syekh Ibrahim Musa]] di [[Parabek, Ladang Laweh, Banuhampu, Agam|Parabek]], sekitar lima kilometer dari Bukittinggi.