Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k cosmetic changes
Baris 50:
Namun sejak dimasukkan ke [[Sumatera Thawalib|Thawalib]] oleh ayahnya pada tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa.{{sfn|Reid dan Marr|1983|pp=40}}{{sfn|Yusuf|2003|pp=41}} Ia belajar di Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib dan malamnya kembali ke surau.{{sfn|Kenang-kenangan 70 tahun...|1966|pp=26}} Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Kegiatan Hamka kecil setiap hari yang demikian diakuinya membosankan dan mengekang kebebasan masa kanak-kanaknya.{{sfn|Yani|2010}}
 
Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian orangtuanya. Haji Rasul menceraikan Siti Shafiah dan membawa Malik tinggal di Padangpanjang. Hari-hari pertama setelah perceraian, Malik tak masuk sekolah, menghabiskan waktu berpergian berkeliling kampung. Ketika berjalan di pasar, ia menyaksikan seorang buta yang sedang meminta sedekah. Malik yang iba menuntun dan membimbing peminta itu berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan sedekah sampai mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya memarahinya saat mendapati Malik di pasar hari berikutnya, "Apa yang awak lakukan itu memalukan ayahmu." Malik pernah pula berjalan kaki menuju [[Maninjau]] yang jauhnya 40  km dari Padangpanjang untuk memenuhi kerinduan terhadap ibunya. Setelah lima belas hari Malik meninggalkan sekolah, seorang guru dari Thawalib yang menyangka Malik sakit datang ke rumah, menyampaikan ketidakhadiran Malik. Mengetahui anaknya membolos, Abdul Karim Amrullah marah dan menampar anaknya; tetapi segera memeluk Malik dan meminta maaf.
 
=== Perceraian orangtua ===
Baris 57:
[[Berkas:Masjid Jamik Parabek.PNG|right|thumb|262px|[[Masjid Jamik Parabek]]]]
 
Permasalahan keluarga membuat Malik sering berpergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, menempuh perjalanan ke Maninjau mengunjungi ibunya. Namun, ia merasa tidak mendapat perhatian sejak ibunya telah menikah lagi dengan seorang saudagar Aceh. Malik didera kebingungan untuk memilih tinggal dengan ibunya atau ayahnya. "Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri." Mengobati hatinya, Malik mencari pergaulan dengan anak-anak muda Maninjau. Ia turut berlajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya adalah mendengar [[kaba]], kisah-kisah yang dinyanyikan bersama alat-alat musik tradisional Minangkabau. Ia berjalan lebih jauh sampai ke [[Bukittinggi]] dan [[Payakumbuh]], sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda. Seorang pamannya, Engku Muaro yang risau melihat sang kemenakan mengantar Malik mengaji dengan seorang ulama [[Syekh Ibrahim Musa]] di [[Parabek, Ladang Laweh, Banuhampu, Agam|Parabek]], sekitar 5  km dari Bukittinggi saat Malik berusia 14 tahun.{{sfn|Safrudin|2008|pp=198}} Untuk pertama kalinya, Hamka hidup mandiri di Parabek.
 
Selama belajar di Parabek, Malik remaja mulai berlajar memenuhi kebutuhan harian sebagai santri. Meskipun belajar membawakan diri, kenakalannya masih terbawa. Malik pernah jail menakuti penduduk sekitar asrama yang mengaitkan wabah demam di Parabek dengan keberadaan hantu. Karena tak peraya dan ingin membuktikan bahwa hal tersebut hanya tahayul, Malik menyamar menyerupai ciri-ciri hantu yang berwujud seperti hariamau. Dengan mengenakan serban dan mencoret-coret mukanya degan kapur, Malik berjalan keluar asrama menyembunyikan badannya dalam selimut yang tak terlihat karena malam. Orang-orang yang melihat dan ketakutan keesokan hari berencana membuat perangkap, tetapi Malik segera memberi tahu teman seasramanya tentang kejailannya, meyakinkan bahwa hantu tersebut tidak ada.
Baris 233:
# ''Margaretta Gauthier'' (terjemahan karya [[Alexandre Dumas]]), cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
{{EndDiv}}
---->
--------------------------------->
 
== Catatan kaki ==