Hamka: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rahmatdenas (bicara | kontrib) |
Rahmatdenas (bicara | kontrib) |
||
Baris 163:
=== Ketua MUI ===
Ketika [[Majelis Ulama Indonesia]] (MUI) terbentuk pada 26 Juli 1975, Hamka dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MUI.{{sfn|Ali|1996|pp=55-70}} Pada hari itu pula, Hamka berpidato pertama kali sebagai Ketua MUI. Ketika ia menyampajkan pidato saat pelantikan diarinya, Hamka menyatakan bahwa dirinya bukanlah sebaik-baiknya ulama. Ia menyadari bahwa dirinya memang populer, "tapi kepopuleran bukanlah menunjukkan bahwa saya yang lebih patut." Ia menjelaskan posisi MUI dengan pemerintah dan masyarakat terletak di tengah-tengah, "laksana kue bika" yang
Meski berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat
Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan [[Presiden Soeharto]] sejak mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia selalu menganjurkan agar di Indonesia terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Hamka sebagai Ketua MUI pada 21 September 1975 menerangkan kepada 30 orang utusan ulama yang hadir bahwa Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam [[Surah Al-Mumtahanah|surat Al-Mumtahinah]] ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh Al-Quran orang Islam itu hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. "Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan mendesak kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri." MUI telah menerima anjuran pemerintah tentang kerukunan umat beragama.
Baris 190:
Presiden ke-4 Indonesia [[Abdurrahman Wahid]] menulis, Hamka memiliki orientasi pemikiran Hamka yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat akan perubahan.{{sfn|Wahid|1996|pp=19-51}} Tokoh [[Nahdatul Ulama]] [[A. Syaikhu]] menyebut, Hamka menempatkan dirinya tidak hanya sekedar pimpinan Masjid Agung Al-Azhar atau organisasi Muhammadiyah, tetapi sebagai pemimpin umat Islam secara keseluruhan, tanpa memandang golongan.{{sfn|Syaikhu|1996|pp=225-232}} [[Nurcholish Madjid]] dalam buku ''Kenang-kenangan'' ''70 Tahun Buya Hamka'' mencatat peranan dan ketokohan Hamka sebagai figur sentral yang telah berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal atau gerakan ke atas agama Islam di Indonesia. "Hamka berhasil merubah postur kumal seorang kiyai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa hormat dan respek."
Hamka berada di posisi terdepan dalam masyarakat Islam modern Indonesia yang sedang mengalami modernisasi. Ia menginisiasi berdirinya sekolah-sekolah Islam di Indonesia dengan mencetuskan ide konkret model lembaga pendidikan Islam modern. Ia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Mantan Menteri Agama [[Mukti Ali]] mengatakan,
Meminati dan melakukan kajian terhadap bidang sejarah, Hamka beberapa kali tampil dalam seminar terkait bidang sejarah, baik di tingkat daerah, nasional, maupun mancanegara. Pidato ilmiah yang disampaikannya sewaktu di Universitas Al-Azhar menampakkan kemampuannya dalam ilmu sejarah. Buku ''[[Sejarah Umat Islam]]'' yang ditulis Hamka banyak dijadikan rujukan, terutama karena keberhasilannya menentukan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah. [[Deliar Noer]] mengungkapkan, "
== Karya dan penerimaan ==
Seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu, Hamka tercatat sebagai penulis Islam paling prolifik dalam sejarah modern Indonesia. Karya-karyanya mengalami cetak ulang berkali-kali dan banyak dikaji oleh peneliti Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Tulisannya telah menghiasi berbagai macam majalah dan surat kabar. [[Yunan Nasution]] mencatat, dalam jarak waktu kurang lebih 57 tahun, Hamka melahirkan 84 judul buku
Meskipun tidak menyelesaikan pendidikan formal, Hamka mempunyai banyak akses keilmuwan karena kemampuan membacanya yang luas. Filolog Perancis [[:min:Gérard Moussay|Gérard Moussay]] menulis, Hamka dengan hanya bermodalkan pendidikan paling dasar telah berhasil dengan caranya sendiri memperoleh pengetahuan yang maju dan unggul dalam bidang yang berbeda-beda, seperti jurnalistik, sejarah, antropologi, politik, dan Islamolog. Namun, [[Abdurrahman Wahid]] melihat Hamka tidak menguasai teori-teori dari satu atau lebih bidang keilmuan. "Ia cenderung mengambil kesimpulan yang sudah ada dari para pemikir besar dengan cara menyederhanakannya, dan kadang-kadang salah."{{sfn|Wahid|1996|pp=19-51}} <!--
|