Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 233:
Menggunakan sudut pandang seorang anak dalam mengenang ayahnya, [[Irfan Hamka]] dalam buku ''Ayah...'' mengungkapkan bagaimana Hamka "memaafkan semua orang yang pernah berseteru dengannya." Karena pandangan politiknya, Hamka kerap menuai kecaman dan ancaman dari lawan politiknya. Dalam sidang Konstituante pada 1957, Hamka memberikan pernyataan tentang Pancasila sebagai dasar yang sesat sehingga membuat [[Muhammad Yamin]] marah dan membencinya. Namun, ketika Yamin sakit pada 1962, Yamin meminta Hamka "untuk dapat mendampinginya" dan "menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya".{{sfn|Irfan|2013|pp=258-262}} Di bawah [[Orde Lama|pemerintahan Soekarno]], Hamka sempat mendekam di penjara atas tuduhan merencakan makar yang tidak pernah terbukti. Namun, Hamka memenuhi permintaan [[Soekarno]] yang lima hari sebelum meninggal meminta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalatnya. Irfan mengutip penyataan Hamka. "Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Quran 30 juz."{{sfn|Irfan|2013|pp=255-257}}
 
Sebagai seorang yang anti-komunis, Irfan dalam ''Ayah...'' menyebut bagaimana pribadi dan karya Hamka diserang oleh surat kabar ''Bintang Timoer'' dalam rubrik "Lentera" yang diasuh oleh [[Pramoedya Ananta Toer]]. Salah satu kritik tajam adalah tudingan bahwa Hamka melakukan plagiasi. Novel ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' disebut sebagai jiplakan dari novel ''Magdalena'' karya [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti|Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi]], seorang penulis Mesir. Namun, ketika Pramoedya mendapati putrinya, Astuti hendak menikahi seorang peranakan [[Tionghoa-Indonesia|etnis Tionghoa]] berbeda agama, Pram meminta Astuti membawa Danielcalon Setiawansuaminya itu untuk belajar Islam kepada Hamka. Dalam pertemuan dengan Astuti, Hamka sama sekali tidak menyinggung sikap Pramoedya belasan tahun sebelumnya. Melalui bimbingan Hamka, Daniel Setiawan, calon suami Astuti mengucapkan dua kalimat syahat. Seorang dokter yang dekat dengan Pram, Hoedaifah menanyakan mengapa Pram justru mengutus calon menantu menemui figur yang selama ini ia serang melalui tulisan-tulisannya. "Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik."{{sfn|Irfan|2013|pp=262-264}} [[Taufiq Ismail]] dalam pengantar di buku ''Ayah...'' menilai, secara tidak langsung tindakan Pram yang meminta calon menantunya belajar kepada Hamka sebagai bentuk ungkapan maaf.{{sfn|Irfan|2013|pp=xxvi}}
 
== Catatan kaki ==