Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k clean up
Baris 94:
Sewaktu di Medan, kerabat dan ayahnya berkali-kali berkirim surat memintanya pulang. Malik baru memutuskan pulang setelah mendapat bujukan kakak iparnya, Sutan Mansur. Sutan Mansur singgah di Medan dalam perjalanan pulang dari [[Kota Lhokseumawe|Lhokseumawe]] pada akhir 1927. Malik menyusul ayahnya di Sungai Batang—rumah mereka di Padang Panjang luluh lantak akibat [[Gempa bumi Padang Panjang 1926|gempa bumi setahun sebelumnya]]. Setiba di kampung halamannya, Malik bertemu ayahnya secara mengharukan. Ayahnya terkejut mengetahui Malik telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? ''Abuya'' ketika itu sedang susah dan miskin." Penerimaan ayahnya membuat Malik sadar betapa besar kasih ayahnya terhadap dirinya. Menebus rasa bersalah, Malik bersedia memenuhi permintaan ayahnya untuk dinikahkan. Ia menikah dengan Sitti Raham pada 5 April 1929.
 
Di Sungai Batang, Malik menerbitkan romannya yang pertama dalam [[bahasa Minangkabau]] berjudul ''[[Si SabariyahSabariah]]''. Roman itu mulai disusunnya ketika di Medan. Ia menunjukkan ''Si SabariyahSabariah'' pertama kali di depan ayahnya, [[Jamil Jambek]], dan [[Abdullah Ahmad]] dengan membacakannya sewaktu mereka berkumpul dalam [[Rapat Besar Umat Islam di Bukittinggi]] pada Agustus 1928. Dari Abdullah Ahmad, ia mendapat motivasi untuk terus mengarang dengan memasukkan nilai-nilai agama ke dalam roman-romannya. Ketika terbit, ''Si SabariyahSabariah'' laris di pasaran hingga dicetak tiga kali. Kenyataan ini melecut semangatnya dalam melaksanakan kewajiban dakwah melalui tulisan.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=74-76}} Tumbuh kepercayaan dirinya bahwa ia memiliki kualitas tersendiri karena menguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=22}} Dari honor ''Si SabariyahSabariah'', Malik membiayai pernikahannya kelak. Setelah menikah, Malik menulis kisah ''Laila Majnun'' yang dirangkai Malik "dengan khayalannya" setelah membaca hikayat Arab "dua halaman". Pada 1932, [[Balai Pustaka]], penerbit utama kala itu menerbitkan ''Laila Majnun'' dengan ketentuan perubahan ejaan dan nama tokoh. Penerimaan Balai Pustaka membesarkan hatinya dan memacunya untuk lebih giat lagi menulis dan mengarang.<!--
 
Malik memperbanyak koleksi media massa, berlangganan beberapa surat kabar dari Jawa seperti ''Hindia Baru'' dan ''Bendera Islam''. Dua majalah itu memperluas pengetahuannya tentang pergerakan. Melalui jurnal ''Seruan Azhar'' terbitan Mesir, ia memperoleh informasi tentang gerakan-gerakan Islam internasional, perjuangan Mustafa Kamal dan Ismed dalam membangun Turki baru, dan pemberontakan Hijaz oleh Ibnu Saud.-->