Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
→‎Citra: membetulkan ejaan (QuickEdit)
Baris 91:
=== Menulis dan mengarang ===
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Luchtfoto van de Grote Moskee in Medan TMnr 60037219.jpg|jmpl|Medan, 1931]]
Malik kembali ke Tanah Air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannyaAlih-alih pulang ke Padang Panjang, ia memilih turunmenetap di [[Medan]], kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang. Medan menandaimenjadi titik awal terjunnya Malik keberkiprah dalamdi dunia jurnalistik. IaMula-mula, ia mula-menulis artikel tentang pengalamannya menunaikan ibadah haji untuk ''Pelita Andalas,'' surat kabar milik orang Tionghoa. Ia juga menulis, untuk pertama kalinya, mengenai Sumatra[[Sumatera Thawalib]] dan gerakan reformasi Islam di Minangkabau, yang dipimpin ayahnya sendiri. Dari artikel-artikel awal itulah, Hamka menemukan suaranya sebagai jurnalis. Muhammad Ismail Lubis, pimpinan majalah ''Seruan Islam'' mengirimkan permintaan kepada Malik untuk menulis. Selain menulis untuk surat kabar dan majalah lokal, Malik mengirimkan tulisannya ke ''[[Suara Muhammadiyah]]'' pimpinan Abdul Azis dan ''Bintang Islam'' pimpinan [[K.H. Fakhruddin|Fakhroedin]]. Namun, karena penghargaan atas karya tulis saat itu masih demikian kecil, Malik mengandalkan honor dari mengajar untuksebagai menutuppenopang biaya hidupnyahidup. Ia memenuhi permintaan mengajar dari pedagang-pedagang kecil di Kebun Bajalinggi. Waktu itulah ia menyaksikan kehidupan kuli dari dekat yang kelak menggerakkannya menulis ''[[Merantau Ke Deli]]''.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=94}}
 
Sewaktu di Medan, kerabat dan ayahnya berkali-kali berkirim surat memintanya pulang. Malik baru memutuskan pulang setelah mendapat bujukan kakak iparnya, Sutan Mansur. Sutan Mansur singgah di Medan dalam perjalanan pulang dari [[Kota Lhokseumawe|Lhokseumawe]] pada akhir 1927. Malik menyusul ayahnya di Sungai Batang—rumah mereka di Padang Panjang luluh lantak akibat [[Gempa bumi Padang Panjang 1926|gempa bumi setahun sebelumnya]]. Setiba di kampung halamannyahalaman, Malik bertemu ayahnya secara mengharukan. AyahnyaSang ayah terkejut mengetahui Malikdirinya telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? ''Abuya'' ketika itu sedang susah dan miskin." Penerimaan ayahnya membuat Malik sadar betapa besar kasih ayahnya terhadap dirinya. Menebus rasa bersalah, Malik bersedia memenuhi permintaan ayahnya untuk dinikahkan. Ia menikah dengan Sitti Raham pada 5 April 1929.
 
Di Sungai Batang, Malik menerbitkan romannya yang pertama dalam [[bahasa Minangkabau]] berjudul ''[[Si Sabariah]]''. Roman itu mulaidikarangnya disusunnya ketikasejak di Medan. Ia menunjukkan ''Si Sabariah'' pertama kali di depan ayahnya, [[Jamil Jambek]], dan [[Abdullah Ahmad]] dengan membacakannya sewaktu mereka berkumpul dalam [[Rapat Besar Umat Islam di Bukittinggi]] pada Agustus 1928. Dari Abdullah Ahmad, ia mendapat motivasi untuk terus mengarang dengan memasukkan nilai-nilai agama ke dalam roman-romannya. Ketika terbit, ''Si Sabariah'' laris di pasaran hingga dicetak tiga kali. Kenyataan ini melecut semangatnya dalam melaksanakan kewajiban dakwah melalui tulisan.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=74-76}} Tumbuh kepercayaan dirinya bahwa ia memiliki kualitas tersendiri karena menguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=22}} Dari honor ''Si Sabariah'', Malik membiayai pernikahannya kelak. Setelah menikah, Malik menulis kisah ''Laila Majnun'' yang dirangkai Malik "dengan khayalannya" setelah membaca hikayat Arab "dua halaman". Pada 1932, [[Balai Pustaka]], penerbit utama kala itu, menerbitkan ''Laila Majnun'' dengan ketentuan perubahan ejaan dan nama tokoh. Penerimaan Balai Pustaka membesarkan hatinya dan memacunya untuk lebih giat lagi menulis dan mengarang.<!--
 
Malik memperbanyak koleksi media massa, berlangganan beberapa surat kabar dari Jawa seperti ''Hindia Baru'' dan ''Bendera Islam''. Dua majalah itu memperluas pengetahuannya tentang pergerakan. Melalui jurnal ''Seruan Azhar'' terbitan Mesir, ia memperoleh informasi tentang gerakan-gerakan Islam internasional, perjuangan Mustafa Kamal dan Ismed dalam membangun Turki baru, dan pemberontakan Hijaz oleh Ibnu Saud.-->
Baris 101:
=== Muhammadiyah ===
[[Berkas:Poster Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi 1930.jpg|jmpl|Poster Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi, 14-21 Maret 1930]]
Setelah tiga bulan menikah, Malik bersama istrinyaistri pindah ke Padang Panjang. Dalam kepengurusan Muhammadiyah, ia menjabatmemimpin sebagai Ketuacabang Muhammadiyah Padang Panjang dan merangkap sebagai pimpinan Tabligh School setingkatSchool—setingkat [[madrasah tsanawiyah]] yang diadakan Muhammadiyah.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=12}} Pengajarannya menempati gedung Muhammadiyah di [[Guguk Malintang, Padangpanjang Timur, Padangpanjang|Guguk Malintang]] setiap Selasa malam dan dihadiri banyak orang.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=21-22}} Sebagai wadah pembentukan kader-kader Muhammadiyah, mata pelajaran Tabligh School berkisar tentang kepemimpinan, strategi dakwah, dan penyebaran dakwah Muhammadiyah. Malik mengajar bersama [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur|Sutan Mansur]] dan [[Saalah Yusuf Sutan Mangkuto|Sutan Mangkuto]]. Caranya mengajar dianggap baru, berbeda dengan yang lain. Salah seorang muridnya, [[Malik Ahmad]] kelak menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah.
 
Ketika diadakannya Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada awal 1929, Malik datang sebagai peserta. Sejak itu, ia tidak pernah absen menghadiri Kongres Muhammadiyah berikutnya. Dalam kunjungannya di Solo, ia bertemu dengan tokoh pimpinan Muhammadiyah, [[K.H. Fakhruddin|Fakhruddin]]. Hamka menyebut Fakhruddin sebagai salah seorang yang mempengaruhi jalan pikirannya dalam agama. "Keberanian dan ketegasannya menjadi pendorong bagi saya untuk berani dan tegas pula." Dalam perjalanannya di Bandung, Hamka bertemu [[Ahmad Hassan|A. Hassan]] dan [[Mohammad Natsir]]. Pada 1929, ia juga mengasuh majalah ''Kemauan Zaman'', tetapi hanya bertahan lima nomor.<ref>{{Cite book|last=Basral|first=Akmal Nasery|date=2020-01-30|url=https://books.google.co.id/books?id=dOfhDwAAQBAJ&pg=PA229&dq=hamka+majalah+%22menara%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjandbG7dvsAhXHeisKHdcxAYYQ6AEwAXoECAYQAg#v=onepage&q=hamka%20majalah%20%22menara%22&f=false|title=BUYA HAMKA: Setangkai Pena di Taman Pujangga|publisher=Republika Penerbit|isbn=978-623-7458-45-6|language=id|access-date=2020-10-30|archive-date=2023-08-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20230813184238/https://books.google.co.id/books?id=dOfhDwAAQBAJ&pg=PA229&dq=hamka+majalah+%22menara%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjandbG7dvsAhXHeisKHdcxAYYQ6AEwAXoECAYQAg#v=onepage&q=hamka%20majalah%20%22menara%22&f=false|dead-url=no}}</ref>
 
Ketika Muhammadiyah mengadakan kongres di Bukittinggi pada 1930, Malik berpidato tentang "Agama Islam dalam Adat Minangkabau". Dalam kongres yang bersifat nasional, baru Hamka sebagai pembicara yang mencoba mempertautkan adat dengan agama. Pada kongres Muhammadiyah ke-20 tahun berikutnya di Yogyakarta, Malik menyampaikan pidato mengenai perkembangan Muhammadiyah di SumatraSumatera. Ia mampu memukau sebagian besar peserta kongres yang hadir. Pidatonya membuat banyak orang yang menitikkan air mata. Pada 1931, usai membuka cabang Muhammadiyah di [[Bengkalis, Bengkalis|Bengkalis]], ia dipercayakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21 di [[Kota Makassar|Makassar]].{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=22-23}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=26}}
 
Selama di Makassar, Hamka sempat mengeluarkan majalah Islam ''Tentera'' sebanyak empat edisi dan majalah ''Al-Mahdi'' sebanyak sembilan edisi. Keberadaan Malik di Makassar dimanfaatkan oleh pimpinan Muhammadiyah setempat.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=28-31}} Malik mendirikan Tabligh School yang serupa di Padang Panjang. Menggantikan sistem pendidikan tradisional, Tabligh School menawarkan pola pendidikan baru secara modern dan sistematis dengan mengambil model pendidikan barat, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai agama. Sepeninggal Hamka pada 1934, Tabligh School di Makassar diteruskan menjadi Muallimin Muhammadiyah di bawah asuhan Muhammadiyah. Dari pergaulannya denganselama masyarakatdi Makassar, ia mendapat inspirasi dalam menulis novelnya kelak, ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]].''
 
Kembali ke Padang Panjang pada 1934, Malik diserahi untukamanah memimpin [[MA KMM Kauman Padang Panjang|Kulliyatul Muballighien]] sebagai gantipengganti ''Tabligh School'' yang sempat vakum sepeninggalnya.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=32-33}} Dengan lama belajar tiga tahun, lembaga ini dimaksudkan untuk menyiapkan mubalig dan guru sekolah menengah tingkat tsanawiyyah. Melalui Kulliyatul Mubalighin, ia mengajarkan murid-murinya berpidato dan mengarang.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=34}} Tahun yang sama, ia diangkat menjadi anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah—yang meliputi Sumatera Barat, Jambi, dan Riau.
 
Pada 1934, ia diangkat menjadi anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah—yang meliputi Sumatera Barat, Jambi, dan Riau.
 
== ''Pedoman Masyarakat'' ==
Dari pengalamannya di Padang Panjang dan Makassar, Hamka merasa bakatnya sebagai pengarang lebih baik ia manfaatkan ketimbang menjadi guru. Pada Januari 1936, HamkaMalik berangkat ke Medan, memelopori jurnalistik Islam dan menekuni karang-mengarang. Ia memenuhi permintaan Muhammad Rasami, tokoh Muhammadiyah Bengkalis untuk memimpin ''[[Pedoman Masyarakat]]'' di bawah Yayasan Al-Busyra pimpinan Asbiran Yakub.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=38-40}} Ia merasa bakatnya sebagai pengarang lebih baik ia manfaatkan ketimbang menjadi guru. Kepeimpinan Kulliyatul Mubalighin yang ditinggalkannyaia ditinggalkan diteruskan oleh muridnya, Abdul Malik Ahmad sampai 1946.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=35}} ''Pedoman Masyarakat'' beroplah 500 eksemplar ketika terbit perdana pada 1935.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=192}} Oplahnya melonjak hingga 4.000 eksemplar setelah Malik menjadi pemimpin redaksi pada 22 Januari 1936.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=43}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=202}} Majalah itu mengupas pengetahuan umum, agama, dan sejarah. Melalui kedudukannya sebagai pemimpin redaksi, Hamka menjalin hubungan intelektual dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional.{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=195}}{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=200}} Pada Februari 1936, ia menyindir sikap pemerintah kolonial terhadap [[Mohammad Hatta|Hatta]] dan [[Sutan Syahrir|Sjahrir]] dengan mengasingkan mereka ke [[Boven Digul]]. Melalui ''Pedoman Masyarakat'' pula, Malik untuk pertama kalinya memperkenalkan [[nama pena]] "Hamka".
 
Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung. Mengangkat masalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan, ia menulis ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]''. Hamid terhalang menikahi Zainab karena perbedaan status antara kedua keluarga. Melihat animo masyarakat yang luas, [[Balai Pustaka]] menerbitkan ''Di Bawah Lindungan Ka'bah'' pada 1938. Setelah ''Di Bawah Lindungan Ka'bah,'' Hamka menulis ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' tentang percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir dengan kematian. Sewaktu dimuat sebagai cerita bersambung, Hamka menuturkan ia mendapat banyak surat dari pembaca, sebagian meminta agar Hayati hati "jangan sampai dimatikan", sebagianyang mengungkapkan kesan mereka "seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri". Namun, sejumlah pembaca Muslim menolak ''Van Der Wijck'' karena menurut mereka seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Iadan pernahgara-gara mereka dijulukimenjuluki Hamka "kiai cabul".{{sfn|Hamka|1974|loc=jilid II|pp=88}} Hamka membela diri lewat tulisan di ''Pedoman Masyarakat'' pada 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Ia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.
 
Dalam majalah yang diasuhnya, Hamka kerap menampilkan ketokohan [[Soekarno|Ir. Soekarno]] dan kalangan nasionalis pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1930-an. Setelah [[Soekarno|Ir. Soekarno]] dipindahkan pengasingannya dari [[Ende (kota)|Kota Ende]] ke [[Bengkulu]] pada tahun 1938. [[Soekarno|Ir. Soekarno]] mulai mengenal tulisan-tulisan Hamka saat selama pengasingan di [[Bengkulu]] dari tahun 1938 hingga 1942. Bahkan, Hamka pernah menemui [[Soekarno|Bung Karno]] di [[Bengkulu]] untuk bertukar pikiran tentang soal kebangsaan.
 
== Pendudukan Jepang dan pasca-kemerdekaan ==