Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Botrie (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 1:
{{Infobox Penulis
|name = Haji Abdul Malik Karim Amrullah<br /><font style="font-size:115%;">Buya Hamka</font>
|image = Hamka2.jpg
|imagesize = 250px
Baris 32:
'''[[Profesor|Prof.]] [[Doktor|Dr.]] [[Haji (gelar)|Haji]] Abdul Malik Karim Amrullah''' atau lebih dikenal dengan julukan '''Hamka''', yakni singkatan namanya, ({{lahirmati|[[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]], [[Tanjung Raya, Agam|Tanjung Raya]], [[Kabupaten Agam]], [[Sumatera Barat]]|17|2|1908|[[Jakarta]]|24|7|1981}})<ref name="Afif">{{cite book|last=Hamka|first=Afif|year=2008|title=Buya Hamka|publisher=Uhamka Press|isbn=602804007X}}</ref> adalah [[sastrawan]] [[Indonesia]], sekaligus [[ulama]], ahli filsafat, dan aktivis politik.<ref name="Pandoe">{{cite book|last=M.D.|first=Pandoe|last2=Pour|first2=J.|year=2010|title=Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas|publisher=Penerbit Buku Kompas|isbn=9797094871|ref=Pandoe}}</ref> Ia baru dinyatakan sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]] setelah dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal [[9 November]] [[2011]].<ref>{{cite web| title = Buya Hamka dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Pahlawan Nasional| url = http://www.al-azhar.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=307:buya-hamka-dan-mr-sjafruddin-prawiranegara-pahlawan-nasional&catid=1:latest-news&Itemid=157| work = www.al-azhar.ac.id| date = 30 November 2011| accessdate = 20 Desember 2011}}</ref>
 
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai [[Hamzah Fansuri]] di era modern.<ref name="Peter">{{cite book |title=Islam and the Malay-Indonesian World |last= G. Riddell |first= Peter |authorlink= |coauthors= |year=2001 |publisher= C. Hurst & Co |location= |isbn= |page= 216 |pages= |url= |accessdate=}}</ref> Belakangan ia diberikan sebutan ''Buya'', yaitu panggilan untuk [[orang Minang|orang Minangkabau]]kabau yang berasal dari kata ''abi'' atau ''abuya'' dalam [[bahasa Arab]] yang berarti ''ayahku'' atau seseorang yang dihormati.
 
Ayahnya adalah [[Abdul Karim Amrullah|Haji Abdul Karim bin Amrullah]], pendiri [[Sumatera Thawalib]] di [[Padang Panjang]]. Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari [[suku Tanjung]], sebagaimana suku ibunya.<ref name="Panitia">{{cite book|last=|first=Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka|year=1983|title=Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka|publisher=Pustaka Panjimas}}</ref>
Baris 39:
[[Berkas:Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.jpg|thumb|right|250px|[[Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka]] yang sebelum didirikan terdapat [[rumah]] dimana Hamka dilahirkan]]
 
Hamka merupakan cucu dari Tuanku Kisa-i,<ref>{{cite book|last=Shobahussurur|year=2008|title=Mengenang 100 tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah Hamka|publisher=Yayasan Pesantren Islam al-Azhar|ISBN=9791778507}}</ref> mendapat pendidikan rendah pada usia 7 tahun di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan [[Sumatera Thawalib]] di [[Padang Panjang]]. Di situ Hamka kemudian mempelajari [[Islam|agama]] dan mendalami [[bahasa Arab]], salah satu pelajaran yang paling disukainya.<ref name="Herry">{{cite book|last=Mohammad|first=Herry|year=2006|title=Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20|publisher=Gema Insani|isbn=9795602195}}</ref> Melalui sebuah [[perpustakaan]] yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun [[Sastra|sastra]].
 
Hamka mulai meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di [[Pulau Jawa]], sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur]] yang tinggal di [[Pekalongan]], [[Jawa Tengah]]. Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang [[Pedagang Minangkabau|saudagar Minangkabau]] yang hendak ke [[Yogyakarta]]. Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah di kelurahan [[Ngampilan, Ngampilan, Yogyakarta|Ngampilan]], [[Yogyakarta]]. Barulah pada tahun [[1925]], ia berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.<ref name="Herry"/>
Baris 48:
 
== Karier ==
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di [[Padang Panjang]] pada tahun 1927. Kemudian ia mendirikan cabang [[Muhammadiyah]] di Padang Panjang dan mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun [[1928]]. Pada tahun [[1931]], ia diundang ke [[Kabupaten Bengkalis|Bengkalis]] untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke [[Bagansiapiapi]], [[Labuhan Bilik, Panai Tengah, Labuhanbatu|Labuhan Bilik]], [[Medan]], dan [[Kota Tebing Tinggi|Tebing Tinggi]], sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun [[1932]] ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke [[Makassar]], [[Sulawesi Selatan]].<ref>{{cite book|last=Riddell|first=P. G.|year=2001|title=Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and Responses|publisher=C. Hurst & Co. Publishers|ISBN=1850653364}}</ref> Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa [[Manuskrip|manuskrip]] [[sejarawan]] muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar [[Sulawesi Selatan]], [[Syekh Yusuf Al-Makassari|Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari]]. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba menerbitkan [[majalah]] pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama "al-Mahdi".<ref name="HAMKA">{{cite book |title=Kenang-kenangan hidup |last= Hamka |first= |authorlink= |coauthors= |year=1966 |publisher= Pustaka Antara |location= Kuala Lumpur |isbn= |page= |pages= |url= |accessdate=}}</ref>
 
Pada tahun [[1934]], Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke [[Medan]]. Di Medan—bersama M. Yunan Nasution—ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya'kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat.<ref name="Herry"/> Pada majalah ini untuk pertama kali ia memperkenalkan [[nama pena]] ''Hamka'',<ref>{{cite book|last=Zakariya|first=H.|year=2006|title=Islamic Reform in Colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh Al-Hadi|publisher=ProQuest|ISBN=054286357X}}</ref> melalui rubrik ''Tasawuf modern'', tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti [[Mohammad Natsir|Natsir]], [[Mohammad Hatta|Hatta]], [[Agus Salim]], dan [[Muhammad Isa Anshary]].