Hinduisme Bali: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
(42 revisi perantara oleh 22 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{untuk|Agama Hindu di Indonesia|Agama Hindu di Nusantara}}
{{Infobox religious group
| group = Agama Hindu Bali
| flag =
| flag_caption =
| flag_size =
| image = CérémonieSalah auSatu templeUpacara deBesar GoaDi LawahPura Agung Besakih.jpg
| image_caption = Persembahyangan umat Hindu Bali di Pura Goa Lawah, [[KabupatenPura KlungkungBesakih]], Bali
| image_size =
| population = ~ 4,300,000
| founder = Tidak diketahui
| religions = [[Agama Hindu]]
| scriptures = Berbagai sastra kuno Bali seperti lontar yang beberapa bersumber dari ''[[Weda]]''
| languages = [[Bahasa Sanskerta|Sanskerta]]{{•}}[[Bahasa Bali|Bali]]
| related-c = [[suku Bali]]{{•}}[[Nak Nusé|Suku Nusa Penida]]{{•}}[[Suku Bali Aga|Suku Bali Aga]]
| regions = [[Bali]]{{•}}[[Nusa Tenggara Barat]]{{•}}[[Lampung]]{{•}} [[Banyuwangi]], [[Jawa Timur]]{{•}} [[Sulawesi Tenggara]]
| tablehdr =
| region1 =
Baris 26 ⟶ 24:
}}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Vrouw brandt wierook bij een offeraltaar TMnr 20017893.jpg|jmpl|Seorang perempuan Hindu Bali sedang sembahyan pribadi.]]
'''Agama Hindu Bali''' (disebut pula '''Agama Hindu Dharma''' atau '''Agama Tirtha''' ("Agama Air Suci")<ref>Oleholeh para penganutnya juga sering disebut sebagai "agama Hindu" saja.</ref> adalah suatu praktikbentuk [[Hinduisme|agama Hindu]] yang umumnya diamalkandipraktikkan oleh mayoritas penduduk [[suku Bali]].<ref diname=mcdaniel>McDaniel, IndonesiaJune (2013), A Modern Hindu Monotheism: Indonesian Hindus as ‘People of the Book’. AgamaThe Journal of Hindu BaliStudies, merupakanOxford University Press, {{doi|10.1093/jhs/hit030}}</ref><ref name="bps">{{cite web|url=http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=0|title=Sensus Penduduk 2010 - Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut|trans-title=2010 Population Census - Population by Region and Religious Affiliations|publisher=[[sinkretismeBadan Pusat Statistik]]|language=id|access-date=2014-05-27}}</ref> (penggabungan)Hal kepercayaanini terutama terkait dengan masyarakat [[Bali]] yang tinggal di pulau tersebut, dan merupakan bentuk yang berbeda dari pemujaan Hindu aliranyang menggabungkan [[Saiwaanimisme]] lokal, pemujaan [[Waisnawaleluhur]] atau ''[[Pitri Paksha]]'', dan Brahmapenghormatan denganuntuk kepercayaanorang aslisuci sukuBuddha Baliatau ''[[Bodhisatwa]]''.
 
Populasi [[Daftar pulau di Indonesia menurut provinsi|pulau-pulau Indonesia]] sebagian besar [[Muslim]] (86%).<ref name=britindonesiareli>[https://www.britannica.com/place/Indonesia/Religions Indonesia: Religions], Encyclopaedia Britannica</ref> [[Pulau Bali]] adalah pengecualian di mana sekitar 86,70% penduduknya beragama [[Agama Hindu|Hindu]] (sekitar 1,7% dari total penduduk [[Indonesia]]).<ref name=britindonesiareli/>https://gis.dukcapil.kemendagri.go.id/peta/
== Sejarah ==
{{Hindu}}
{{Aliran kepercayaan di Indonesia}}
Peninggalan terkuno yang dikenal di Indonesia berkaitan dengan agama Hindu adalah arca [[Ganesha]] dan [[Siwa]] yang ditemukan di [[pulau Panaitan]] dan diperkirakan dari abad pertama setelah Masehi.<ref>Mal Clarbrough, 1996</ref> Selain itu, ada juga tujuh buah [[yupa]] yang ditemukan di [[Kutai]], [[Kalimantan Timur]], dan diperkirakan dari sekitar tahun [[400]] Masehi.<ref name="midastra">{{cite book
|last = Midastra
|first = I Wayan; dkk.
|editor = I.G.B. Widyantara
|url = http://books.google.co.id/books?id=Bs5v8nE2DP8C&pg=PA30&lpg=PA30&dq=Udayana+Pandak+Badung&source=bl&ots=AjVl5qZXiN&sig=RWUn0cmK5zVvS1sV1D4APDmAvK0&hl=en&ei=vx0UTqCHNc-IrAecjp2IBA&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=4&ved=0CDMQ6AEwAw#v=onepage&q=Udayana%20Pandak%20Badung&f=false
|title = Widya Dharma Agama Hindu untuk SMP Kelas VIII
|page = 27
|publisher = Ganeca Exact
|location = Jakarta
|year = 2007
|isbn = 979-744-737-5
}}</ref>
Di Bali, peninggalan terkuno yang dikenal adalah arca [[Siwa]] yang ditemukan di [[Bedulu, Blahbatuh, Gianyar|Bedulu]], [[Kabupaten Gianyar|Gianyar]], dan diperkirakan dari abad ke-8<ref name="midastra"/> yang coraknya mirip dengan arca Siwa yang ditemukan pada abad ke-8 di dataran tinggi [[Dieng]], [[Jawa Tengah]].
 
Setelah merdeka dari penjajahan [[Belanda]], [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|Undang-Undang Dasar 1945]] menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara.<ref name=picard/> Pada tahun [[1952]], kata Michel Picard, seorang [[Antropologi|antropolog]] dan sarjana sejarah dan agama Bali, [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama Indonesia]] berada di bawah kendali kaum [[Konservatisme|konservatif]] yang sangat membatasi definisi "agama" yang dapat diterima.<ref name=picard/> Agar dapat diterima sebagai [[Agama di Indonesia|agama resmi Indonesia]], kementerian mendefinisikan "agama" sebagai agama [[Monoteisme|monoteistik]], telah mengkodifikasi hukum agama dan menambahkan beberapa persyaratan.<ref name=picard/><ref name=mcdaniel/>
== Caturwarna ==
{{main|Caturwarna}}
Di Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Caturwarna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ''Catur'' berarti empat dan kata ''warna'' yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Caturwarna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi '''suatu''' pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Caturwarna itu ialah: [[Brahmana]], [[Ksatria]], [[Waisya]], dan [[Sudra]].
 
Selanjutnya, [[Indonesia]] menolak hak kewarganegaraan (seperti hak untuk memilih) bagi siapa pun yang bukan penganut agama monoteistik yang diakui secara resmi.<ref name=mcdaniel/> Minoritas Hindu Bali mengadaptasi dan menyatakan bentuk [[agama Hindu]] mereka menjadi monoteistik, dan mempresentasikannya dalam bentuk yang secara politis memenuhi syarat untuk status agama. Dengan demikian, Hindu Bali telah diakui secara formal oleh [[pemerintah Indonesia]] sebagai salah satu agama resmi yang dianut di Bali.<ref name=mcdaniel/><ref name=picard/>
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De drie pedanda's (priesters) van Singaraja Bali TMnr 10001215.jpg|200px|jmpl|Para pedanda Bali.]]
 
==Sejarah==
'''''Warna Brahmana''''':
[[File:Cérémonie au temple de Goa Lawah.jpg|thumb|right|Upacara di [[Pura Goa Lawah]], [[Bali]]]]
Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
Pengaruh [[Agama Hindu|Hindu]] mencapai [[Nusantara]] pada awal abad pertama masehi.<ref name=jgonda>{{cite book |surname=Gonda |given=Jan |authorlink=Jan Gonda |year=1975 |chapter=The Indian Religions in Pre-Islamic Indonesia and their survival in Bali |chapter-url={{Google books|id=X7YfAAAAIAAJ|plainurl=y|page=1|keywords=|text=}} |title=Handbook of Oriental Studies. Section 3. Southeast Asia, Religions |url={{Google books|id=X7YfAAAAIAAJ|plainurl=y}} |pages=1–54 |place=Leiden |publisher=E. J. Brill}}</ref><ref name=mark1>Mark Juergensmeyer and Wade Clark Roof, 2012, [https://books.google.com/books?id=B105DQAAQBAJ&pg=PA557 Encyclopedia of Global Religion], Volume 1, pages 557–558</ref> Bukti sejarah tidak jelas tentang proses [[difusi]] ide-ide budaya dan spiritual dari [[India]]. Legenda [[Jawa]] mengacu pada era Saka, ditelusuri hingga abad 78 masehi. Cerita dari ''[[Mahabharata]]'' telah dilacak di [[Daftar pulau di Indonesia menurut provinsi|pulau-pulau Indonesia]] hingga abad ke-1, yang versinya mencerminkan yang ditemukan di [[Tamil Nadu]].<ref name=jgonda/> Karya prosa Jawa ''[[Tantu Pagelaran]]'' abad ke-14, yang merupakan kumpulan [[dongeng]] kuno, seni dan kerajinan [[Indonesia]], ekstensif menggunakan kata-kata [[Bahasa Sanskerta|Sanskerta]], nama [[dewa]] India, dan konsep agama.
 
Begitu pula dengan [[Candi|candi kuno]] yang digali di [[Jawa]] dan pulau-pulau Indonesia bagian barat, serta prasasti kuno seperti [[Prasasti Canggal]] abad ke-8 yang ditemukan di Indonesia, mengkonfirmasi adopsi luas [[ikonografi]] [[Siwa]], pendampingnya [[Parwati|dewi Parwati]], [[Ganesa]], [[Wisnu]], [[Brahma]], [[Arjuna]], dan dewa-dewi Hindu lainnya sekitar pertengahan hingga akhir milenium pertama masehi.<ref>Kenneth Hall (2011), A History of Early Southeast Asia, Rowman & Littlefield, {{ISBN|978-0742567610}}, Chapter 4 and 5</ref> Catatan Tiongkok kuno tentang [[Fa Hsien]] dalam perjalanan pulang dari [[Sri Lanka|Ceylon]] ke [[Tiongkok]] pada tahun 414 M menyebutkan dua aliran Hindu di Jawa,<ref name=jgonda/> sementara dokumen Tiongkok dari abad ke-8 menyebut kerajaan Hindu Raja Sanjaya sebagai ''[[Kerajaan Kalingga|Holing]]'', menyebutnya "sangat kaya," dan konon hidup berdampingan secara damai dengan umat [[Agama Buddha|Buddha]] dan penguasa [[Wangsa Sailendra|Sailendra]] di [[Dataran Kedu]] pulau Jawa.<ref>Kenneth Hall (2011), A History of Early Southeast Asia, Rowman & Littlefield, {{ISBN|978-0742567610}}, pp. 122-123</ref>
'''''Warna Ksatrya''''':
Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
 
Sekitar tahun 1400 M, kerajaan-kerajaan di pulau-pulau Indonesia diserang oleh tentara [[Muslim]] yang berbasis di pantai.<ref name=mark1/> Selama abad ke-15 dan ke-16, kampanye Muslim yang dipimpin oleh para sultan ini menargetkan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan berbagai komunitas di [[Indonesia|kepulauan Indonesia]], dengan masing-masing [[Sultan]] berusaha mengukir wilayah atau pulau untuk dikuasai.<ref>Taufiq Tanasaldy, Regime Change and Ethnic Politics in Indonesia, Brill Academic, {{ISBN|978-9004263734}}</ref>
'''''Warna Waisya''''':
Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
 
Empat Kesultanan Islam yang beragam dan kontroversial muncul di [[Sumatera Utara]] ([[Aceh]]), [[Sumatera Selatan]], [[Jawa Barat]] dan [[Jawa Tengah|Tengah]], dan [[Kalimantan Selatan]] ([[Kalimantan]]).<ref>Gerhard Bowering et al., ''The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought'', Princeton University Press; {{ISBN|978-0691134840}}</ref> Kekerasan tersebut mengakhiri kerajaan dan komunitas Hindu-Buddha di banyak pulau di Indonesia.<ref name=mark1/>
'''''Warna Sudra''''':
Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.
 
Dalam kasus lain, umat Hindu dan Buddha pergi dan terkonsentrasi sebagai komunitas di pulau-pulau yang dapat mereka pertahankan. Umat ​​Hindu di [[Jawa Timur]] bergerak ke timur dan kemudian ke [[pulau Bali]] dan pulau-pulau kecil tetangganya, sehingga dimulailah agama Hindu Bali.<ref name=jfox>James Fox, ''Indonesian Heritage: Religion and ritual, Volume 9 of Indonesian Heritage'', Editor: Timothy Auger; {{ISBN|978-9813018587}}</ref> Sementara era konflik agama dan peperangan antar kesultanan ini sedang berlangsung, dan pusat-pusat kekuatan baru berusaha mengkonsolidasikan wilayah-wilayah di bawah kendali mereka, [[kolonialisme]] [[Eropa]] tiba.<ref name=jfox/> Kepulauan Indonesia segera didominasi oleh kerajaan kolonial [[Hindia Belanda]].<ref>Wendy Doniger (2000), Merriam-Webster's Encyclopedia of World Religions, Merriam-Webster; {{ISBN|978-0877790440}}, pp. 516-517</ref>
Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Caturwarna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Padahal Caturwarna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.
 
Kerajaan kolonial Hindia Belanda membantu mencegah konflik antar agama, dan perlahan-lahan memulai proses penggalian, memahami dan melestarikan landasan budaya Hindu-Buddha kuno [[Indonesia]], khususnya di Jawa dan pulau-pulau barat Indonesia.<ref name="Jean Gelman Taylor pp. 21-83">Jean Gelman Taylor, Indonesia: Peoples and Histories, Yale University Press; {{ISBN|978-0300105186}}, pp. 21-83 and 142-173</ref>
== Hari Raya ==
[[Berkas:Bali-celebration.jpg|jmpl|Sesajian sewaktu hari raya.]]
 
Setelah merdeka dari penjajahan [[Belanda]], Pasal 29 [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|Undang-Undang Dasar 1945]] menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warganya.<ref name=picard/> Pada tahun [[1952]], Michel Picard mengatakan, [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama Indonesia]] berada di bawah kendali kaum [[Islamisme|Islamis]] yang sangat membatasi definisi "agama" yang dapat diterima".<ref name=picard/> Agar dapat diterima sebagai [[Agama di Indonesia|agama resmi Indonesia]], kementerian mendefinisikan "agama" sebagai salah satu yang monoteistik, telah mengkodifikasi hukum agama, memiliki seorang [[nabi]] dan [[kitab suci]], di antara persyaratan lainnya.<ref name=picard/><ref name=mcdaniel/> Hindu Bali dinyatakan sebagai "orang tanpa agama", dan tersedia untuk dikonversi. Umat ​​Hindu Bali tidak setuju, memperdebatkan, mengadaptasi, dan menyatakan bentuk agama Hindu mereka sebagai [[Monoteisme|monoteistik]], dan disajikan dalam bentuk yang memenuhi syarat untuk status "agama" di bawah Undang-Undang tahun 1952 yang telah diamandemen.<ref name=mcdaniel/><ref name=picard>{{cite book|author=Michel Picard|editor =Martin Ramstedt | title= Hinduism in Modern Indonesia|url=https://archive.org/details/isbn_9780700715336| publisher= Routledge | isbn =978-0-7007-1533-6| year=2004 | pages=[https://archive.org/details/isbn_9780700715336/page/9 9]–10, 55–57}}</ref>
Umat Hindu Bali memiliki sistem kalender sendiri yang berbeda dengan sistem penanggalan hari raya Hindu di India dan Nepal. Hari raya keagamaan bagi umat Hindu Bali umumnya dihitung berdasarkan [[wewaran]] dan [[pawukon]], kombinasi antara Pancawara, Saptawara, dan Wuku. Namun adapula Hari raya yang menggunakan penanggalan [[Kalender Saka|Saka]] dari India.
 
Untuk mencapai hal ini, umat Hindu Bali memprakarsai serangkaian inisiatif pertukaran pelajar dan budaya antara [[Bali]] dan [[India]] untuk membantu merumuskan prinsip-prinsip inti di balik Hindu Bali ([[Weda|Catur Weda]], [[Upanisad]], [[Purana]], [[Itihasa]]). Secara khusus, gerakan politik penentuan nasib sendiri di Bali pada pertengahan [[1950]]-an berujung pada petisi bersama tahun [[1958]] yang menuntut [[pemerintah Indonesia]] mengakui [[Agama Hindu|Hindu Dharma]].<ref name=mramstedt/> Petisi bersama ini mengutip mantra Sansekerta berikut dari kitab suci Hindu:<ref>Michel Picard (2003), in Hinduism in Modern Indonesia, Routledge; {{ISBN|978-0700715336}}, Chapter 4, pp. 56-74</ref>
=== Hari Raya berdasarkan Wewaran ===
 
{{Quote|Om tat sat ekam eva advitiyam<br><br>Terjemahan: Sang Hyang (Tuhan), demikianlah esensi dari yang meliputi segalanya, tak terbatas, tak terbagi.|Petisi bersama oleh umat Hindu di Bali|14 Juni 1958<ref name=mramstedt/>|source=}}
* [[Galungan]] — Jatuh pada: Buda, Kliwon, Dungulan
* [[Hari Raya Kuningan|Kuningan]] — Jatuh pada: Saniscara, Kliwon, Kuningan
* [[Hari Raya Saraswati|Saraswati]] — Jatuh pada: Saniscara, Umanis, Watugunung. Hari Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati.
* Banyupinaruh — Jatuh pada: Redite, Pahing, Shinta
* Pagerwesi
 
Fokus petisi pada "yang tak terbagi" adalah untuk memenuhi persyaratan konstitusional bahwa [[Kewarganegaraan|warga negara]] [[Indonesia]] memiliki kepercayaan [[Monoteisme|monoteistik]] pada satu [[Tuhan]]. Para pemohon mengidentifikasi [[Sang Hyang Widhi|Ida Sanghyang Widhi Wasa]] sebagai yang tidak terbagi. Dalam [[bahasa Bali]], istilah ini memiliki dua arti: "Penguasa Ilahi Semesta Alam" dan "Hukum Kosmik Mutlak Ilahi". Ungkapan kreatif ini memenuhi persyaratan monoteistik [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama Indonesia]] dalam pengertian sebelumnya, sementara arti terakhir dari maknanya melestarikan ide sentral dharma dalam tulisan kuno Hindu.<ref name=mramstedt>Martin Ramstedt (2003), Hinduism in Modern Indonesia, Routledge; {{ISBN|978-0700715336}}, pp. 9-12</ref>
=== Hari Raya berdasarkan Kalender Saka ===
* Siwaratri
* Nyepi
 
[[Bali]] menjadi satu-satunya bagian Indonesia yang tetap didominasi Hindu.<ref name="Jones11">Jones (1971) p11</ref><ref name="Ricklefs13">Ricklefs (1989) p13</ref> Penduduk pulau-pulau di lepas pantai timur Bali juga sebagian besar beragama [[Agama Hindu|Hindu]], dan ada desa-desa Hindu yang tersebar di dekat pantai timur Jawa.
== Upacara Keagamaan ==
Upacara keagamaan yang dilakukan dalam Agama Hindu Dharma, berkolaborasi dengan budaya lokal. Ini menjadi kekayaan dan keunikan yang hanya ditemukan di Bali.
 
==Kunci keyakinan==
=== Manusa Yadnya ===
Hindu Bali adalah perpaduan agama [[India]] dan adat [[animisme]] asli yang ada di kepulauan [[Indonesia]] sebelum kedatangan [[Islam]] dan kemudian [[kolonialisme]] [[Belanda]].<ref name=nsimmonds>Nigel Simmonds, Bali: Morning of the World, Periplus; {{ISBN|978-0804843966}}, pp. 41-43</ref>
[[Berkas:Nelu Bulanin 1.jpg|200px|jmpl|Nelu Bulanin.]]
* [[Otonan]], adalah upacara yang dilakukan pada hari lahir, seperti perayaan hari ulang tahun, dilakukan 210 hari.
* Upacara [[Potong Gigi]], adalah upacara keagamaan yang wajib dilaksanakan bagi pemeluknya. Upacara ini dilakukan pada pemeluk yang telah beranjak remaja atau dewasa. Bagi wanita yang telah mengalami menstruasi, dan bagi pria yang telah memasuki akil balik.
 
Ini mengintegrasikan banyak kepercayaan inti Hindu dengan seni dan ritual masyarakat [[Bali]]. Di zaman [[Seni kontemporer|kontemporer]], Agama Hindu di Bali secara resmi disebut oleh [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama Indonesia]] sebagai Agama Hindu Dharma, tetapi secara tradisional agama itu disebut dengan banyak nama seperti ''[[Air|Tirta]], [[Trimurti]], [[Agama Hindu|Hindu]], Agama Tirta, [[Siwa]], Buda,'' dan ''Siwa-Buda.''<ref name=mprm>Michel Picard and Rémy Madinier, The Politics of Religion in Indonesia - Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali, Routledge; {{ISBN|978-0415613118}}, Chapter 5 and notes to the chapter.</ref>
=== Pitra Yadnya ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De lijkentoren met het stoffelijk overschot van Cokorda Gede Oka Sukawati wordt tijdens diens crematie naar de verbrandingsplaats gedragen TMnr 20017975.jpg|jmpl|Jenazah dibawa di dalam menara ke tempat pembakaran.]]
* Upacara [[Ngaben]], adalah prosesi upacara pembakaran jenazah, Sebagaimana dalam konsep Hindu mengenai pembakaran jenazah, upacara ini sebagai upaya untuk mempercepat pengembalian unsur-unsur/zat pembentuk dari raga/wadag/badan kasar manusia.Ada empat lontar utama yang memberi petunjuk tentang adanya upacara Pitra yadnya, yaitu Yama Purwa Tatwa (mengenai sesajen yang digunakan), Yama Purana Tatwa (mengenai filsafat pembebasan atau pencarian atma dan hari baik-buruk melaksanakan upacara), Yama Purwana Tatwa (mengenai susunan acara dan bentuk rerajahan kajang), dan Yama Tatwa (mengenai bentuk-bentuk bangunan atau sarana upacara).<!--
{{rapikan}}
Pitra Yadnya berasal dari bahasa Kawai.Pitr artinya leluhur dan Yadnya berarti korban suci yang tulus iklhas.Pitra Yadnya adalah suatu kewajiban dari preti sentana sebagai wujud bakti kepada leluhur sesuai dengan Panca Srada yaitu Widhi Tatwa, Atma Tatwa, Purnabhawa,Karma Phala,dan Moksa.Anak yang berbakti kepada orang tua dinamakan Putra, dalam bahasa sansekerta Putt berarti neraka dan ra berarti menghindarkan atau menyelamatkan.Maka putra berarti anak yang menghindarkan orang tua atau leluhurnya dari neraka.Seorang suputra (su artinya baik) yang melaksanakan pitra yadnya bertujuan mensucikan arwah atau roh atau atma leluhurnya yang telah meninggal dunia.Atma perlu disucikan terus agarsuatu ketika dapat manunggal (bersatu) demngan ParamaAtma (Brahman atau Hyang Widhi).Pensucian atma setelah manusia meninggal dunia diartikan sebagai upaya membebaskan atma dari ikatan-ikatannya yaitu Stula Sarira (Panca Maha Butha) dan Sukma Sarira (Panca Tan Matra).Panca Maha Butha adalah badan atau tubuh yang terdiri atas unsur-unsur padat (yaitu tulang dan daging), cair (yaitu darah,air seni,dan cairan dalam tubuh), udara (yaitu paru-paru), panas atau cahaya (yaitu sinar mata dan panas tubuh), ether atau langit-langit(yaitu urat saraf).Panca Tan Matra adalah pengaruh semua panca indra (mata,telinga,hidung,lidah,dan kulit) terhadap atma ketika masih hidup.Pensucian atma ketika manusia masih hidup dapat dilaksanakan oleh setiap manusia dengan cara tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran,jiwa dibersihkan dengan ilmu pengetahuan dan tapa (pengendalian sad ripu),akal dibersihkan dengan kedyatmikaan atau kebijaksanaan berdasarkan ajaran agama Hindu.
Adapun pahala bagi seorang suputra dapat dijabarkan sebagai berikut:
Kirti yaitu mendapat pujian dan kerahayuan atau kesejahteraan
Mahayusa yaitu umur panjang
Bala yaitu tangguh menghadapi gejolak kehidupan
Yasa Patitingal Rahayu yaitu jasa mulia yang dikenang, diteladani, serta membuat kesejahteraan bagi keturunannya.
Pitra Yadnya terdiri atas tiga tahapan sebagai berikut: Ngaben,Nyekah, dan Mapaingkup.Apabila ketiga tahapan ini diselesaikan dalam waktu 1 hari atau 12 jam maka dinamakan Nandang Mantri .Sedangkan pada upacara yang biasa ada tenggang waktu beberapa hari antara Ngaben,Nyekah, dan Mapaingkup.Ngaben dengan ngebet tulang dinamakan Asti Wedana,sedangkan yang tidak ngebet tulang atau langsung dari jenazah yang baru meninggal dinamakan dunia disebut Sawa Sedana.
Upacara ngaben memiliki kata Ngaben yang berasal dari kata ngabuin (huruf u dan i dipolahkan menjadi e) yang berarti menjadikan abu (diperabukan).Upacvara ngaben merupakan serangkaian upacara untuk mengembalikan unsur-unsur Panca MahaButha ke tempatnya masing-masing yaitu unsur padat ke tanah (Pertiwi), unsur cair ke Apah, unsur udara ke Bayu, unsur panas atau cahaya ke Teja, dan unsur ether ke Akasa.Upacara ini dimulai dengan Ngulapin di pura Dalem,memungkah di setra,Meseh lawang di catus Pata atau di cangkem Setra, masiram, lalu Ngaskara,Narpana,lalu ngeseng dan nganyut ke Segara Agung atau Alit.Ngulapin di pura Dalem bertujuan untuk memohon ijin Ida Bethara Durga sebagai sakti Siwa bahwa sang Suputra akan melaksanakan Pitra Yadnya.mamungkah di Setra bertujuan untuk membuat simbolswa berupa kayu (cendana atau sebagai) atas ijin Ida bethara Mrajapati.Bagi jenazah baru simbol ini tidak digunakan.Meseh Lawang bertujuan untuk memulihkan secara simbolis cacat-cacat tubuh jenazah yang diperoleh semasa hidup.Masiram atau mabersih bertujuan untuk membersihkan sawa (mayat) dengan cara memandikan mayat.Ngaskara adalah upacara pensucian atma tahap awal.Narpana adalah manghaturkan sang Lina (yang meninggal) sesajen seperlunya.Ngeseng sawa adalah membakar sawa di setra dirangkai dengan nyepit,nguyeg,dan ngereka abu jenazah.Upacara ngaben diakhiri dengan nganyut abu ke segara sebagai pengembalian unsur cair ke apah.Setelah ngaben status sang Lina meningkat menjadi sang Pitara.
Nyekah disebut juga Nyekar karena nama sang Pitra sudah diganti dengan nama bunga, misal sandat,cempaka,jempiring,dan sbeagainya (untuk sawa wanita), sedangkan untuk sawa pria memakai nama kayu yaitu cendana,majagau,ketewel,damulir,dan sebagainya.Sering juga upacara ini dinamakan Ngeroras, yang berasal dari kata Ro (dua) dan Ras (pisah), yang secara harfiah berarti pisah dua kali.Tujuan upacara ini adalah menghilangkan Sukma Sarira atau Panca tan matra sebagai langkah kedua mensucikan atma.Nyekah diawali dengan Ngulapin di Segara,kemudian Ngajum Sekah,lalu Ngaskara Sekah,Narpana Sekah,Ngeseng Sekah, dan Nganyut Sekah.Ngulapin di Segara bertujuan untuk mohon ijin Ida Bethara Baruna sebagai penguasa laut untuk melanjutkan upacara Pitra Yadnya .Ngajum Sekah adalah membuat simbol Panca Tan Matra yang disebut Puspa Lingga.Ngaskara Sekah adalah mendak dan mensucikan Puspa Lingga.Narpana Sekah adalah menghaturkan sesajen kepada atman yang sudah disucikan.Ngeseng sekah dilaksanakan dengan membakar Puspa Lingga sebagai simbol menghilangkan Panca Tan Matra bertujuan agar atma dapat dengan damai menuju khayangan, tidak lagi terikat dengan keduniawian.Nganyut Sekah adalah kelanjutan dari membuang panca tan matra serta mensucikan atma dengan air dari tujuh sungai yang ada di India (Sapta Gangga), yaitu gangga, Yamuna, Serayu,kaweri,Sindu,Saraswati, dan Narmada.Ketujuh sungai suci itu bermuara ke laut, sehingga laut dapat dipandang sebagai perwakilan ketujuh sungai tersebut.Setelah Nyekah, ikatan atma sudah terbebas dari Panca maha Butha dan panca tan matra, sehingga yang masih melekat dan ditanggung jawabkan oleh atman ke hadapan Hyang Widhi adalah karma Wasana, yaitu baik buruknya karma (Subha Asubha Karma) sewaktu masih hidup.Kondisi Karma Wasana inilah yang menentukan baik buruknya kehidupan dimasa yang akan datang setelah berinkarnasi (lahir kembali) ke dunia.
Upacara mapaingkup disebut juga sebagai upacara Ngerajeg Linggih, karena mepaingkup artinya menyatukan serta menstanakan, dalam hal ini menyatukan atma yang baru diupacarai dengan atma-atma yang yang sudah lama diupacarai yang berstana di Sanggah Pamerajan.Upacara ini terdiri dari dua bagian yaitu Masakapana Nilapati dan Nawur danda Kalepasan.Masakapan Nilapati diawali dengan Ngulapin di Segara sebagai permohonan ijin kepada Ida Bhatara Baruna, kemudian Nyegara Gunung yang tujuannya mohon kesejahteraan kepada Hyang Widhi dan dilanjutkan di sangah merajan untuk proses panunggalan dan penstanaan disaksikan oleh Catur Dewata (Iswara,Brahma,Mahadewa,dan Wisnu).Bagian kedua upacara Mapaingkup adalah Nawur Danda Kalepasan yang dilaksanakan dengan persembahyangan oleh preti sentana, memohon kepada Hyang Widhi agar atma yang telah diupacarai mendapat tempat yang baik serta dimaafkan segala kesalahannya ketika amsih hidup, termasukjanji-jani sesangi atau saud-saud yang belum terbayar, agar dipulihkan serta tidak lagi menjadi beban bagi preti sentana.Setelah mepangkur, status atma sudah menjadi Bethara Dewa Hyang atau Bethara Raja Dewata.
Setelah upacara mapaingkup atau ngerajeg linggih,dilaksanakan upacara maajar-ajar.Tujuannya adalah nagkilang Bhatara Raja Dewata ke pura pura stana para Dewa (Hyang Widhi) agar mendapat restu serta dikenal sebagai atma yang sudah disucikan.Kemiripan upacara ini seperti pelaksanaan TirtaGamana bagi manusia yang masih hidup.Adapun pura-pura yang wajib dikunjungi ketika meajar-ajar antara lain:
1. Pura Khayangan Tiga setempat
2. Kelompok pura di Lempuyang Stana Hyang Giri Jaya
3. Silayukti, stana Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah
4. dasar Bhuwana Gelgel stana Mpu Ghana
5. Pura kawitan
6. Besakih, meliputi pura Dalem Puri,Manik Mas,Pedharman masing-masing,Penataran Agung
Bilamana ada kesempatan, alangkah baiknya jika dilanjutkan ke pura Uluwatu,Pulaki,Batur,Penulisan,RambutSiwi,dan sebagainya.Setelah meajar-ajar,maka selesailah seluruh rangkaian upacara Pitra yadnya.
Kematian merupakan mata rantai terakhir dalam siklus kehidupan manusia, karenanya ritus kematian selalu ditandai dengan upacara tradisional yang meriah. Hampir setiap suku bangsa di Indonesia menempatkan ritus kematian sebagai upacara besar, meriah, dan tentu saja mengeluarkan banyak biaya. Di Toraja kita mengenal upacara Rambu Solo’ dengan mengorbankan puluhan kerbau. Di pedalaman Kalimantan Timur (Dayak Tunjung), upacara in dikenal dengan nama Kwangkai, di Jawa puncak pelepasan arwah ditandai dengan upacara Nyewu, bertepatan dengan 1000 hari setelah hari kematian. Sementara itu, di Bali puncak ritus kematian populer dengan nama Ngaben (kremasi) yang ditandai dengan upacara Pitra Yadnya.
Pitra Yadnya merupakan upacara yang yang bertujuan untuk mengembalikan jasad pada asal-usulnya. Ketika roh kembali pada Sang Pencipta, maka jasad juga harus dikembalikan pada alam yang merupakan unsur-unsur Panca Maha Bhuta: Pertiwi (bumi), Apah (air), Teja (api), Bayu (angin), dan Akasa (kekal). Melepasnya jasad dengan roh, akan mengantar pada kehidupan baru setelah kematian (reinkarnasi) yang diyakini masyarakat Hindu Bali. Karena orang Bali percaya adanya kehidupan baru setelah kematian, upacara Ngaben berlangsung dengan penuh suka cita. Ngaben merupakan ritual terakhir dan terpenting bagi keluarga Bali sebagai bentuk rasa kasih sayang.
Prosesi upacara Ngaben berlangsung selama beberapa hari dan membutuhkan biaya hingga puluhan juta. Mahalnya biaya upacara ini membuat orang Bali tidak dapat secara langsung menyelenggarakan Ngaben begitu kerabatnya meninggal. Umumnya mereka menunggu beberapa saat, kadang hingga bertahun-tahun, untuk mengumpulkan biaya. Upacara ini pun sering diselenggarakan secara massal untuk meringankan biaya.
Persiapan Ngaben dimulai dengan pengangkatan kerangka jenasah dan pencarian air suci sejak tiga hari sebelumnya. Sementara itu, piranti upacara berupa tiruan binatang lembu dan wadah menyerupai menara berhias kain dan janur mulai dipersiapkan oleh anggota keluarga dan seluruh warga banjar. Konon, tinggi rendahnya menara menunjukkan status sosial keluarga penyelenggara Ngaben. Dahulu para bangsawan Bali biasanya membuat menara hingga setinggi 20 meter, bahkan lebih.
Pada hari upacara Ngaben, menara dan lembu yang sudah dihias disiapkan di pinggir jalan untuk diupacarai sebelum diarak ke setra, tempat dilangsungkannya Ngaben. Sesaat kemudian, dimulailah keriuhan dan kemeriahan arak-arakan menara menuju setra. Alunan musik gong mengiringi puluhan orang yang mengusung menara yang berisi jenasah/kerangka. Di atas menara itu pula seorang anak/cucu lelaki tertua berdiri membawa seekor burung sebagai simbol penghantar arwah menuju ke tempat tertinggi. Di setiap persimpangan jalan yang dilalui, wadah dan arak-arakan ini diputar ke empat penjuru mata angin sebanyak tiga kali untuk mengusir roh jahat yang dapat mengganggu jalannya upacara.
Setibanya di setra, kerangka jenasah dimasukkan ke dalam badan lembu dan siap untuk dibakar. Prosesi pembakaran dan upacara di setra ini berlangsung kurang lebih 2 jam. Abu dan tulang jenasah yang telah dikumpulkan selanjutnya dilarung ke laut. Rangkaian upacara diakhiri dengan sembahyang bersama di pura keluarga, mendoakan arwah agar menemukan tempat yang layak di sisi Sang Hyang Widhi. Om Shanti Shanti Shanti Om.
 
Istilah ''[[Air|Tirta]]'' dan ''[[Trimurti]]'' berasal dari agama [[Agama Hindu|Hindu India]], masing-masing sesuai dengan ''Tirta'' (ziarah ke spiritualitas di dekat [[air suci]]) dan ''Trimurti'' ([[Brahma]], [[Wisnu]], dan [[Siwa]]). Seperti di [[India]], agama Hindu di [[Bali]] tumbuh dengan fleksibel, menampilkan cara hidup yang beragam. Ini mencakup banyak ide spiritual India, menghargai legenda dan mitos [[orang India]] ''[[Purana]]'' dan ''[[Itihasa]]'', dan mengungkapkan tradisinya melalui serangkaian [[festival]] dan kebiasaan unik yang terkait dengan segudang [[hyang]] - roh lokal dan [[leluhur]], serta bentuk pengorbanan hewan yang tidak umum di India.<ref name=mprm/>
d. Upacara Pitra Yadnya (Ngaben )
 
{{multiple image
Pitra artinya arwah manusia yang sudah meninggal.
| width1 = 150
Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
| image1 = Acintya_Bali.jpg
| width2 = 265
| image2 = Altar in Ubud.JPG
| footer = [[:en:Acintya|Sang Hyang Widhi Wasa]] (kiri), Keesaan Ilahi dan dewa tertinggi (Brahmana) dari Hindu Bali. Sang Hyang adalah bagian dari kuil, rumah pemujaan dan upacara, dikenang dengan kursi batu yang dihias dengan warna-warni, ''Padmasana'' (kanan).<ref name="Wiener1995p51"/>
}}
 
Keyakinan umum dan praktik [[Agama Hindu|Agama Hindu Dharma]] seperti yang dipraktikkan di Bali adalah campuran dari [[Tradisi|tradisi kuno]] dan tekanan kontemporer yang ditempatkan oleh [[Hukum di Indonesia|hukum Indonesia]] yang hanya mengizinkan kepercayaan monoteis di bawah ideologi nasional [[pancasila]].<ref name="junemcdaniel">{{cite journal|last=McDaniel|first=June|date=1 August 2010|title=Agama Hindu Dharma Indonesia as a New Religious Movement: Hinduism Recreated in the Image of Islam|journal=Nova Religio|volume=14|issue=1|pages=93–111|doi=10.1525/nr.2010.14.1.93}}<!--|access-date=2012-09-23--></ref>
Upacara Pitra Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dilaksanakan dengan tujuan untuk penyucian dan meralina ( kremasi) serta penghormatan terhadap orang yang telah meninggal menurut ajaran Agama Hindu.
 
Secara tradisional, [[Agama Hindu|Hinduisme]] di [[Indonesia]] memiliki jajaran dewa-dewi dan tradisi kepercayaan itu terus berlanjut dalam praktiknya; lebih lanjut, [[Hindu di Indonesia|agama Hindu di Indonesia]] memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada umat Hindu tentang kapan, bagaimana dan di mana harus berdoa.<ref name=syamashita>Shinji Yamashita (2002), Bali and Beyond: Explorations in the Anthropology of Tourism, Berghahn, {{ISBN|978-1571813275}}, pp. 57-65</ref> Namun secara resmi, [[pemerintah Indonesia]] menganggap dan menyiarkan agama Hindu Indonesia sebagai agama monoteistik dengan keyakinan tertentu yang diakui secara resmi yang sesuai dengan ideologi nasionalnya.<ref name=junemcdaniel/><ref name=syamashita/><ref>Michel Picard (2003), in Hinduism in Modern Indonesia (Editor: Martin Ramstedt), Routledge, {{ISBN|978-0700715336}}, pp. 56-72</ref>
Yang dimaksud dengan meralina (kremasi menurut Ajaran Agama Hindu) adalah mengubah suatu wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula.
 
Buku teks sekolah Indonesia menggambarkan [[agama Hindu]] memiliki satu makhluk tertinggi, umat Hindu melakukan [[sembahyang]] wajib tiga kali sehari, dan Hindu sebagai memiliki kepercayaan umum tertentu yang sebagian paralel dengan [[Islam]].<ref name=syamashita/><ref name=mcdaniel/> Para ahli [[sarjana]]<ref name=syamashita/><ref>Anthony Forge (1980), ''Balinese Religion and Indonesian Identity, in Indonesia: The Making of a Culture'' (Editor: James Fox), Australian National University; {{ISBN|978-0909596590}}</ref><ref>Putu Setia (1992), Cendekiawan Hindu Bicara, Denpasar: Yayasan Dharma Naradha; {{ISBN|978-9798357008}}, pp. 217-229</ref> menggelar kontes apakah [[pemerintah Indonesia]] ini benar-benar mengakui kepercayaan yang ditetapkan untuk mencerminkan kepercayaan tradisional Hindu Bali dan praktik sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaan dari penjajahan [[Belanda]].
 
Beberapa kepercayaan Hindu yang diakui secara resmi oleh [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama Indonesia]] antara lain:<ref name=syamashita/><ref name=mcdaniel/>
*Keyakinan pada satu makhluk tertinggi disebut "Ida Sanghyang Widi Wasa", "Sang [[Hyang]] Tunggal", atau "[[Sang Hyang Widhi]]".
*Keyakinan bahwa semua dewa adalah manifestasi dari makhluk tertinggi ini. Keyakinan ini sama dengan keyakinan [[Smarta]], yang juga berpendapat bahwa bentuk dewa dan dewi yang berbeda, [[Wisnu]], [[Siwa]], Shakti adalah aspek yang berbeda dari Yang Mahatinggi yang sama. Siwa juga disembah dalam bentuk lain seperti "Batara Guru" dan "Maharaja Dewa" ([[Siwa|Mahadewa]]).
 
Teks suci yang ditemukan dalam Agama Hindu Dharma adalah [[Weda]] dan [[Upanisad]].<ref name="Martin Ramstedt 2003">Martin Ramstedt (2003), ''Hinduism in Modern Indonesia'', Routledge; {{ISBN|978-0700715336}}, Chapter 1</ref> Mereka adalah basis Hindu [[India]] dan [[Bali]]. Sumber informasi keagamaan lainnya termasuk Universal Hindu yaitu [[Purana]] dan [[Itihasa]] (terutama [[Ramayana]] dan [[Mahabharata]]). Cerita [[Mahabharata]] dan [[Ramayana]] menjadi tradisi abadi di antara kepercayaan orang [[Indonesia]], yang diekspresikan dalam [[wayang kulit]] dan pertunjukan tari. Seperti di [[India]], Hinduisme Indonesia mengakui empat jalan spiritualitas, menyebutnya ''Catur Marga''.<ref name=murdana>Murdana, I. Ketut (2008), BALINESE ARTS AND CULTURE: A flash understanding of Concept and Behavior, Mudra - JURNAL SENI BUDAYA, Indonesia; Volume 22, page 5-11</ref> Ini adalah ''bhakti mārga'' (jalan pemujaan kepada para dewa), ''jnana mārga'' (jalan pengetahuan), ''karma mārga'' (jalan karya), dan ''raja mārga'' (jalur [[Semadi|meditasi]]). ''Bhakti mārga'' memiliki pengikut terbesar di Bali.<ref name=murdana/>
 
Sama halnya seperti umat Hindu di India, umat Hindu Bali percaya bahwa ada empat tujuan hidup manusia yang tepat, sebut saja ''Catur Purusartha''–''[[dharma]]'' (mengejar kehidupan moral dan etis), ''[[artha]]'' (mengejar kekayaan dan aktivitas kreatif), ''[[kama]]'' (mengejar kebahagiaan dan cinta), dan ''[[moksha]]'' (mengejar pengetahuan diri dan pembebasan).<ref>Ida Bagus Sudirga (2009), Widya Dharma - Agama Hindu, Ganeca Indonesia; {{ISBN|978-9795711773}}</ref><ref>IGP Sugandhi (2005), Seni (Rupa) Bali Hindu Dalam Perspektif Epistemologi Brahma Widya, Ornamen, Vol 2, Number 1, pp. 58-69</ref>
 
=== Tuhan dan dewa ===
{{multiple image
| width1 = 200
| image1 = Downtown Ubud Bali Indonesia - panoramio (23).jpg
| alt1 = Ganesha
| width2 = 216
| image2 = Garuda Wishnu Bali.JPG
| alt2 = Wisnu on Garuda
| footer = Beberapa dewa dan dewi Hindu Bali: Ganesa (kiri), Wisnu di Garuda (kanan).
}}
 
Hindu Bali termasuk konsep trinitas India disebut ''[[Trimurti]]'' terdiri dari:
*[[Brahma]]
*[[Wisnu]] atau Vishnu
*Çiwa atau [[Siwa]] atau Shiwa
 
Dalam teks-teks Hindu Bali, konsep [[Tripartisme|tripartit]] alternatif [[Siwa]] dari [[Syaiwa]] [[India]] juga ditemukan. Ini biasanya disebut dalam [[bahasa Bali]] sebagai "''Siwa-Sadasiwa-Paramasiwa''", di mana Siwa adalah pencipta, pemelihara dan penghancur siklus keberadaan.<ref>{{cite book|author=Helen M. Creese|title=Bali in the Early Nineteenth Century: The Ethnographic Accounts of Pierre Dubois|url=https://books.google.com/books?id=tQpRDAAAQBAJ |year=2016|publisher=BRILL Academic|isbn=978-90-04-31583-9|pages=226–227}}</ref>
 
Seiring dengan trinitas Hindu tradisional, umat Hindu Bali menyembah berbagai dewa dan dewi (''[[Hyang]], [[Dewata]]'', ''dan'' ''[[Batara-Batari dalam pewayangan|Batara-Batari]]''), serta lainnya yang unik dan tidak ditemukan dalam agama Hindu India.<ref name="Haeretal46">Haer et al (2000) p 46</ref> [[Sang Hyang Widhi]] secara harfiah berarti "Tatanan Ilahi",<ref name="Wiener1995p51" /> juga dikenal sebagai ''[[Sang Hyang Widhi|Acintya]]'' ("Tak terbayangkan")<ref name="Wiener1995p51" /> atau Sang Hyang Tunggal ("Keesaan Ilahi"),<ref name="Wiener1995p51">{{cite book|author=Margaret J. Wiener|title=Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali|url=https://books.google.com/books?id=5Kpbq-5J1ioC |year=1995|publisher=University of Chicago Press|isbn=978-0-226-88580-3|pages=51–55 }}</ref> adalah konsep dalam tradisi Hindu Bali yang sejajar dengan konsep metafisika [[Brahman]] di kalangan umat Hindu India. Upacara termasuk kursi tinggi yang kosong. Itu juga ditemukan di bagian atas [[kuil]] [[Padmasana]] di luar rumah dan dalam rumah yang dipersembahkan untuk Sang Hyang Widhi Wasa.<ref name="Eiseman274">Eiseman (1989) p 274</ref> Menurut ajaran Hindu Bali, banyak manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk dewa seperti [[Dewi Sri]] - dewi padi, dan banyak dewa lain yang berhubungan dengan gunung, danau, dan laut.
 
===Ethical values===
[[File:DailyTributeBali.jpg|thumb|Persembahan [[canang sari]]|alt=]]
Gagasan [[Aksiologi|aksiologis]] Hinduisme Bali sejajar dengan yang ada dalam Hinduisme India. Namun, Martin Ramstedt mengatakan–seorang sarjana Hindu di [[Asia Tenggara]], mereka disebut agak berbeda dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai komunitas dan pada upacara [[spiritual]]. Berbeda dengan sekolah [[Islam di Indonesia]] dan [[Ashram]] [[Agama Hindu|Hindu di India]], dan mengingat representasi resmi Hindu Bali, ajaran dan nilai-nilai tradisional diperoleh di rumah, [[ritual]], dan simbol-simbol keagamaan.<ref name="Ngurah" /><ref>{{cite book|author=Martin Ramstedt | title= Hinduism in Modern Indonesia|url=https://archive.org/details/isbn_9780700715336 | publisher= Routledge | isbn =978-0-7007-1533-6| year=2004 | pages=[https://archive.org/details/isbn_9780700715336/page/26 26]–28}}</ref>
 
Misalnya, [[simbolisme]] yang berhubungan dengan percikan "''tirtha'' (air)", atau [[air suci]] yang menjembatani materi dan spiritual, air ini pertama-tama dipercikkan di atas kepala dan dipahami sebagai “pemurnian dari ''manah'' (pikiran)", kemudian menghirup untuk dipahami sebagai "pemurnian dari ''wak'' (perkataan)", dan kemudian ditaburkan di atas tubuh melambangkan "penyucian ''kaya'' (sikap dan perilaku)". Dengan demikian, Ngurah Nala mengatakan, generasi muda menjadi “mengenal nilai-nilai etika yang terkandung dalam konsep ''Tri Kaya Parisudha'', atau pencapaian pikiran yang murni atau baik (''manacika''), ucapan yang murni atau baik (''wacika''), dan perilaku murni (''kayika'')".<ref name="Ngurah">{{cite book|author=Ngurah Nala|editor =Martin Ramstedt | title= Hinduism in Modern Indonesia|url=https://archive.org/details/isbn_9780700715336| publisher= Routledge | isbn =978-0-7007-1533-6| year=2004 | pages=[https://archive.org/details/isbn_9780700715336/page/77 77]–79}}</ref>
 
===Kelahiran dan kehidupan===
[[File:Nelu Bulanin 1.jpg|thumb|Ritual dari ''[[Nelu Bulanin]]'']]
Ada total tiga belas upacara yang berkaitan dengan kehidupan sejak [[pembuahan]] hingga, tetapi tidak termasuk, kematian, yang masing-masing memiliki empat unsur: penenangan [[roh]] jahat, penyucian dengan [[air suci]], membawa esensi, dan doa. Upacara ini menandai peristiwa besar dalam kehidupan seseorang, termasuk kelahiran, [[pubertas]], memberi makan biji-bijian, dan pernikahan.<ref name="Eiseman362363">Eiseman (1989) pp 362-63</ref>
 
Seorang bayi yang baru lahir diyakini mewakili jiwa [[leluhur]] dan dianggap sebagai [[dewa]] selama 42 hari pertama kehidupannya. Namun, sang ibu dianggap [[najis]] dan tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan keagamaan apa pun selama periode ini. Seorang bayi tidak boleh menyentuh tanah najis sampai berusia 105 hari, setengah dari perayaan ulang tahunnya yang pertama menurut penanggalan [[Pawukon|Pawukon Bali]] selama 210 hari. Begitu anak mencapai pubertas, enam gigi taring atas dikikir sampai rata.<ref name="Haeretal52">Haer et al (2000) p 52</ref><ref name="Eiseman91">Eiseman (1989) p. 91</ref>
 
===Kematian dan reinkarnasi===
Upacara (''[[ngaben]]'') terjadi setelah kematian dan mengakibatkan jiwa dibebaskan untuk akhirnya [[Reinkarnasi|bereinkarnasi]]. Berbeda dengan ritus kematian agama lain, tubuh fisik bukanlah fokusnya, karena dipandang tidak lebih dari wadah sementara jiwa dan hanya cocok untuk pembuangan yang bijaksana. Nyatanya, tubuh harus dibakar sebelum jiwa dapat meninggalkannya sepenuhnya. [[Kremasi|Upacara kremasi]] untuk mewujudkan hal ini bisa sangat mahal karena upacara yang rumit adalah caranya menunjukkan rasa hormat kepada jiwa yang ditakdirkan untuk menjadi dewa dengan kekuatan besar atas mereka yang tertinggal. Oleh karena itu, jenazah terkadang dikubur sementara sampai keluarga dapat mengumpulkan cukup dana untuk kremasi, meskipun [[jenazah]] [[pendeta]] atau keluarga kelas atas diawetkan di atas tanah.<ref name="Haeretal53">Haer et al (2000), p. 53</ref><ref name="Eiseman116117">Eiseman (1989) pp. 116–17</ref>
 
==Festival==
[[Berkas:Bali-celebration.jpg|jmpl|Sesajian sewaktu hari raya.]]
 
===Galungan dan Kuningan===
Yang dimaksud dengan asal semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yang terdiri dari air, api, tanah, angin dan akasa.
[[File:Nyepifest auf Bali.jpg|thumb|Prosesi ''[[ogoh-ogoh]]'' pada malam hari raya [[Nyepi]]|alt=]]
Festival terpenting adalah [[Galungan]] (terkait dengan [[Dipawali]]), perayaan kemenangan [[dharma]] atas adharma. Dihitung menurut penanggalan [[Pawukon|Pawukon Bali]] 210 hari dan berlangsung pada hari Rabu (''Buda'') minggu kesebelas (''Dunggulan''). Menurut tradisi, [[Roh|arwah]] orang mati turun dari [[Surga]], untuk kembali sepuluh hari kemudian [[Hari Raya Kuningan|Kuningan]].
 
===Nyepi===
Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk pralina digunakan api pralina (api alat kremasi).
{{main|Nyepi}}[[Nyepi]], atau Hari Raya Ketenangan, memulai [[Kalender Saka|tahun Saka]] [[Bali]] dan ditandai pada hari pertama bulan ke-10, ''Kedasa''. Biasanya jatuh pada bulan [[Maret]].<ref name="Eiseman186187">Eiseman (1989) pp 186–187</ref>
 
===Festival lainnya===
Watugunung, hari terakhir penanggalan [[Pawukon]], dikhususkan untuk [[Saraswati]], dewi pembelajaran. Meskipun dikhususkan untuk buku, membaca tidak diperbolehkan. Hari keempat tahun itu disebut [[Pagerwesi]], yang berarti "pagar besi". Itu memperingati pertempuran antara yang baik dan yang jahat.<ref name="Eiseman184185">Eiseman (1989) pp 184–185</ref>
PITRA YADNYA
Pitra yadnya adalah suatu upacara pemujaan dengan hati yang tulus ikhlas dan suci yang di tujukan kepada para Pitara dan roh-roh leluhur yang telah meninggal dunia. Pitra yadnya juga berarti penghormatan dan pemeliharaan atau pemberian sesuatu yang baik dan layak kepada ayah-bunda dan kepada orang-orang tua yang telah meninggal yang ada di lingkungan keluarga sebagai suatu kelanjutan rasa bakti seorang anak ( sentana ) terhadap leluhurnya. Pelaksanaan upacara Pitra Yadnya di pandang sangat penting, karena seorang anak ( sentana ) mempunyai hutang budi, bahkan dapat di katakana berhutang jiwa kepada leluhurnya.
Carirakrt pranadata yasya
Cannami bhunjate,
Kramenaite trayo’pyuktah
Pitaro dharmasadhane.
( Sarasamuccaya 242 )
 
==Sistem warna==
Tiga perinciannya ( yang disebut ) Bapa menurut tingkah lakunya, carirakrta, pranadata ( dan ) annadata; carirakrta artinya yang menjadikan tubuh, pranadata yaitu yang memberi hidup ( dan ) annadata artinya yang memberi makan serta mengasuhnya. Dengan memperhatikan jasa-jasa orang tua tersebut, maka seorang anak( sentana ) berkewajiban melaksanakan Pitra Yadnya di dalam hidupnya, yang berintikan rasa bakti yang tulus ikhlas demi untuk pengabdian kepada orang tua dan leluhur. Upacara Pitra Yadnya bertujuan untuk meningkatkan kedudukan Pitara atau roh-roh leluhur yang telah meninggal sesuai dengan tingkatan yadnya yang di selenggarakan. Jadi menurut agama Hindu, bahwa orang yang masih hidup dapat juga turut berusaha mengangkat kedudukan Pitara, dari tingkat rendah menuju tingkat yang lebih tinggi. Ada beberapa upacara aygn termasuk pelaksanaan Upacara Pitra Yadnya, yaitu Upacara Penguburan Mayat, Upacara Ngaben dan Nyekah.
{{Main|Sistem kasta Bali | Sampradaya}}
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Pedanda-Buddha en Pedanda-Istri in functie Bali TMnr 10001145.jpg|thumb|''Buda pedanda'' dengan istrinya|alt=]]
Struktur [[kasta]] [[Bali]] telah dijelaskan dalam literatur [[Eropa]] awal abad ke-20 berdasarkan tiga kategori–''triwangsa'' (tiga kelas) atau [[bangsawan]], ''dwijati'' (dua kali lahir) berbeda dengan ''ekajati'' (sekali lahir) orang biasa. Empat status diidentifikasi dalam studi [[Sosiologi sastra|sosiologis]] ini, dieja sedikit berbeda dari kategori kasta di [[India]]:<ref name="boon">{{cite book|title=The Anthropological Romance of Bali 1597–1972: Dynamic Perspectives in Marriage and Caste, Politics and Religion|url=https://archive.org/details/anthropologicalr0000boon|author=James Boon|year=1977|isbn=978-0-521-21398-1}}</ref>
 
* ''[[Brahmana|Brahma]] –'' pendeta
a. Upacara Penguburan Mayat.
* ''[[Kesatria]]''–kekesatrian
Upacara ini meliputi proses penguburan dari sejak upacara memandikan mayat, memendem ( menanam ) sampai pada upacara setelah mayat di tanam atau di pendem.
* ''[[Waisya]]''–perdagangan
* ''[[Sudra]]''–pelayan
 
Kasta [[Brahmana]] dibagi lagi oleh para ahli [[etnografi]] [[Belanda]] ini menjadi dua: ''[[Siwa]]'' dan ''[[Sampradaya|Buda]]''. Kasta Siwa dibagi menjadi lima–''Kemenuh, Keniten, Mas, Manuba,'' dan ''Petapan.'' Klasifikasi ini untuk mengakomodasi perkawinan yang diamati antara laki-laki kasta Brahmana yang lebih tinggi dengan perempuan kasta yang lebih rendah. Kasta-kasta lain juga disubklasifikasikan lebih lanjut oleh para ahli etnografi abad ke-19 dan awal abad ke-20 ini berdasarkan berbagai kriteria mulai dari [[profesi]], [[endogami]], [[eksogami]], [[poligami]], dan sejumlah faktor lain dengan cara yang mirip dengan kasta di [[Imperium Spanyol|koloni Spanyol]] seperti [[Meksiko]], dan studi sistem kasta di [[Jajahan mahkota|koloni Inggris]] seperti [[India]].<ref name="boon" />
b. Upacara Ngaben.
Upacara ini adalah penyelesaian terhadap jasmani orang yang telah meninggal. Upacara ngaben disebut pula upacara pelebon atau Atiwa-tiwa dan hanya dapat dilakukan satu kali saja terhadap seseorang yang meninggal. Tujuannya adalah untuk mengembalikan unsur-unsur jasmani kepada asalnya yaitu Panca Maha Bhuta yang ada di Bhuana Agung. Jenis-jenis Upacara Ngaben adalah:
1. Sawa Wedana, adalah pembakaran yang secara langsung di mana mayat orang meninggal langsung di bawa kekuburan ( setra ) untuk di bakar.
2. Asti Wedana, adalah suatu upacara yang di lakukan setelah selesai upacara pembakaran mayat, kemudian tulang-tulang yang telah menjadi abu di hanyut ke laut atau ke sebuah sungai yang bermuara ke laut.
3. Swasta Wedana, adalah suatu upacara pembakaran atas mayat yang tidak lagi dapat di ketemukan, sehingga mayat tersebut dapat di wujudkan dengan kuasa ( lalangan ), air dan lain-lainnya.
4. Ngelungah, adalah upacara pembakaran mayat yang masih kanak-kanak atau yang belum tanggal gigi.
5. Atma Wedana, adalah upacara pengembalian atma dari alam Pitara ke alam Hyang Widhi. Upacara ini di sebut juga dengan “ Upacara Nyekah “, yang bertujuan untuk meningkatkan kesucian dan kesempurnaan atma orang yang meninggal agar dapat kembali ke asalnya
-->
 
== Lihat pula ==
Baris 178 ⟶ 162:
[[Kategori:Hindu di Indonesia]]
[[Kategori:Sekte Hindu]]
[[Kategori:Agama etnisetnik]]
[[Kategori:Kepercayaan tradisional Indonesia]]
[[Kategori:Bali]]