Hinduisme Bali
Agama Hindu Bali (disebut pula Agama Hindu Dharma atau Agama Tirtha ("Agama Air Suci")[1] adalah bentuk agama Hindu yang dipraktikkan oleh mayoritas penduduk Bali.[2][3] Hal ini terutama terkait dengan masyarakat Bali yang tinggal di pulau tersebut, dan merupakan bentuk yang berbeda dari pemujaan Hindu yang menggabungkan animisme lokal, pemujaan leluhur atau Pitri Paksha, dan penghormatan untuk orang suci Buddha atau Bodhisatwa.
Total populasi | |
---|---|
~ 4,300,000 | |
Pendiri | |
Tidak diketahui | |
Wilayah dengan populasi signifikan | |
Bali • Nusa Tenggara Barat • Lampung • Jawa Timur • Sulawesi Tenggara | |
Agama | |
Agama Hindu | |
Kitab suci | |
Berbagai sastra kuno Bali seperti lontar yang beberapa bersumber dari Weda | |
Bahasa | |
Sanskerta • Bali | |
Kelompok etnik terkait | |
suku Bali |
Populasi pulau-pulau Indonesia sebagian besar Muslim (86%).[4] Pulau Bali adalah pengecualian di mana sekitar 87% penduduknya beragama Hindu (sekitar 1,7% dari total penduduk Indonesia).[4]
Setelah merdeka dari penjajahan Belanda, Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara.[5] Pada tahun 1952, kata Michel Picard, seorang antropolog dan sarjana sejarah dan agama Bali, Kementerian Agama Indonesia berada di bawah kendali kaum konservatif yang sangat membatasi definisi "agama" yang dapat diterima.[5] Agar dapat diterima sebagai agama resmi Indonesia, kementerian mendefinisikan "agama" sebagai agama monoteistik, telah mengkodifikasi hukum agama dan menambahkan beberapa persyaratanq.[5][2]
Selanjutnya, Indonesia menolak hak kewarganegaraan (seperti hak untuk memilih) bagi siapa pun yang bukan penganut agama monoteistik yang diakui secara resmi.[2] Minoritas Hindu Bali mengadaptasi dan menyatakan bentuk agama Hindu mereka menjadi monoteistik, dan mempresentasikannya dalam bentuk yang secara politis memenuhi syarat untuk status agama. Dengan demikian, Hindu Bali telah diakui secara formal oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu agama resmi yang dianut di Bali.[2][5]
Sejarah
Peninggalan terkuno yang dikenal di Indonesia berkaitan dengan agama Hindu adalah arca Ganesha dan Siwa yang ditemukan di pulau Panaitan dan diperkirakan dari abad pertama setelah Masehi.[6] Selain itu, ada juga tujuh buah yupa yang ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur, dan diperkirakan dari sekitar tahun 400 Masehi.[7] Di Bali, peninggalan terkuno yang dikenal adalah arca Siwa yang ditemukan di Bedulu, Gianyar, dan diperkirakan dari abad ke-8[7] yang coraknya mirip dengan arca Siwa yang ditemukan pada abad ke-8 di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.
Caturwarna
Di Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Caturwarna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan kata warna yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Caturwarna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Caturwarna itu ialah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
Warna Waisya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.
Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Caturwarna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Padahal Caturwarna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.
Hari Raya
Umat Hindu Bali memiliki sistem kalender sendiri yang berbeda dengan sistem penanggalan hari raya Hindu di India dan Nepal. Hari raya keagamaan bagi umat Hindu Bali umumnya dihitung berdasarkan wewaran dan pawukon, kombinasi antara Pancawara, Saptawara, dan Wuku. Namun adapula Hari raya yang menggunakan penanggalan Saka dari India.
Hari Raya berdasarkan Wewaran
- Galungan — Jatuh pada: Buda, Kliwon, Dungulan
- Kuningan — Jatuh pada: Saniscara, Kliwon, Kuningan
- Saraswati — Jatuh pada: Saniscara, Umanis, Watugunung. Hari Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati.
- Banyupinaruh — Jatuh pada: Redite, Pahing, Shinta
- Pagerwesi
Hari Raya berdasarkan Kalender Saka
- Siwaratri
- Nyepi
Upacara Keagamaan
Upacara keagamaan yang dilakukan dalam Agama Hindu Dharma, berkolaborasi dengan budaya lokal. Ini menjadi kekayaan dan keunikan yang hanya ditemukan di Bali.
Manusa Yadnya
- Otonan, adalah upacara yang dilakukan pada hari lahir, seperti perayaan hari ulang tahun, dilakukan 210 hari.
- Upacara Potong Gigi, adalah upacara keagamaan yang wajib dilaksanakan bagi pemeluknya. Upacara ini dilakukan pada pemeluk yang telah beranjak remaja atau dewasa. Bagi wanita yang telah mengalami menstruasi, dan bagi pria yang telah memasuki akil balik.
Pitra Yadnya
- Upacara Ngaben, adalah prosesi upacara pembakaran jenazah, Sebagaimana dalam konsep Hindu mengenai pembakaran jenazah, upacara ini sebagai upaya untuk mempercepat pengembalian unsur-unsur/zat pembentuk dari raga/wadag/badan kasar manusia.Ada empat lontar utama yang memberi petunjuk tentang adanya upacara Pitra yadnya, yaitu Yama Purwa Tatwa (mengenai sesajen yang digunakan), Yama Purana Tatwa (mengenai filsafat pembebasan atau pencarian atma dan hari baik-buruk melaksanakan upacara), Yama Purwana Tatwa (mengenai susunan acara dan bentuk rerajahan kajang), dan Yama Tatwa (mengenai bentuk-bentuk bangunan atau sarana upacara).
Lihat pula
Rujukan
- ^ oleh para penganutnya juga sering disebut sebagai "agama Hindu" saja.
- ^ a b c d McDaniel, June (2013), A Modern Hindu Monotheism: Indonesian Hindus as ‘People of the Book’. The Journal of Hindu Studies, Oxford University Press, DOI:10.1093/jhs/hit030
- ^ "Sensus Penduduk 2010 - Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut" [2010 Population Census - Population by Region and Religious Affiliations]. Badan Pusat Statistik. Diakses tanggal 2014-05-27.
- ^ a b Indonesia: Religions, Encyclopaedia Britannica
- ^ a b c d Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamapicard
- ^ Mal Clarbrough, 1996
- ^ a b Midastra, I Wayan; dkk. (2007). I.G.B. Widyantara, ed. Widya Dharma Agama Hindu untuk SMP Kelas VIII. Jakarta: Ganeca Exact. hlm. 27. ISBN 979-744-737-5.
Pranala luar
- Babad Bali
- Hindu & Adat Bali, iloveblue.com Diarsipkan 2012-03-26 di Wayback Machine.