Kaidah iman

Revisi sejak 23 November 2023 12.00 oleh Stephanus Victor (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ''''Kaidah iman''' ({{lang-gr|κανών της πίστεως}}, ''kanon tes pisteos''; {{lang-la|'''regula fidei'''}}) adalah sebutan bagi tolok ukur atau kewibawaan tertinggi dalam hal ihwal keimanan. Frasa ini mengemuka di dalam karya-karya tulis para pujangga Kristen terdahulu, misalnya Tertulianus, dan adakalanya digunakan di dalam syahadat-syahadat perdana. == Arti == Sebagai tolok ukur ketaatan kepada akidah yang lurus...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Kaidah iman (Yunani: κανών της πίστεως, kanon tes pisteos; bahasa Latin: regula fidei) adalah sebutan bagi tolok ukur atau kewibawaan tertinggi dalam hal ihwal keimanan. Frasa ini mengemuka di dalam karya-karya tulis para pujangga Kristen terdahulu, misalnya Tertulianus, dan adakalanya digunakan di dalam syahadat-syahadat perdana.

Arti

Sebagai tolok ukur ketaatan kepada akidah yang lurus, kaidah iman mula-mula mengacu kepada Simbol Roma Lama, yakni versi yang lebih tua dan lebih ringkas dari Syahadat Para Rasul dan syahadat-syahadat terkemudian. Sebagai tolok ukur bersejarah dalam hal ihwal ketaatan kepada akidah yang lurus, kaidah iman juga mengacu kepada syahadat-syahadat lain, termasuk Syahadat Nikea, Syahadat Atanasius, Pengakuan Iman Augsburg, Pasal-Pasal Dort, Pengakuan Iman Westminster dan lain-lain, serta mengacu pula kepada cahaya batiniah dari Roh Kudus menurut keyakinan para ahli suluk Kristen.[1]

Kaidah iman adalah sebutan bagi tolok ukur atau kewibawaan tertinggi dalam hal ihwal keimanan, misalnya Sabda Allah (Dei verbum) yang terkandung di dalam Kitab Suci dan Tradisi Para Rasul[2] bagi umat Katolik; teoria bagi umat Ortodoks Timur; Sola scriptura (doktrin Alkitab belaka) bagi sebagian umat Protestan; Caturkona Wesley (Kitab Suci, tradisi, akal budi, dan pengalaman) bagi sebagian umat Protestan lainnya; dan akal budi belaka para filsuf Rasionalis.

Abad ke-2

Di dalam ruang lingkup Gereja Perdana, Ireneus memunculkan wacana "kaidah iman" atau "kaidah kebenaran" lewat karya tulisnya pada abad ke-2. Di dalam risalah Melawan Bidat-Bidat 1.9.4, Ireneus menjelaskan bahwa kaidah iman diperoleh melalui pembaptisan, disambung dengan penjelasan pada bab berikutnya sebagai berikut:

…iman ini, yakni iman akan satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, khalik langit dan bumi dan samudra dan segala isinya; dan dan akan satu Kristus Yesus, Putra Allah, yang menjadi manusia demi keselamatan kita; dan akan Roh Kudus, yang menyingkap rencana keselamatan melalui para nabi, dan akan kedatangan, dan kelahiran dari seorang perawan, dan sengsara, dan kebangkitan dari antara orang mati, dan kenaikan secara jasmaniah ke surga Kristus Yesus terkasih, Tuhan kita, dan kedatangannya dari surga kelak dalam kemuliaan Bapa untuk merangkum segala sesuatu dan untuk memperbaharui semua orang dari segala bangsa…

— Irenaeus, Melawan Bidat-Bidat 1.10

Di dalam karya tulis lain, pada bagian prakata risalah Pembabaran Pewartaan Para Rasul, Ireneus kembali menegaskan betapa perlunya orang "memegang teguh kaidah iman tanpa menyimpang."[3] Selanjutnya ia menjabarkan kaidah iman itu menjadi tiga akidah atau tiga pokok pikiran sebagai berikut:

Jadi inilah urut-urutan kaidah iman kita…: Allah, Sang Bapa, tidak diciptakan, tidak berwujud, tidak kasat mata; satu Allah, khalik sarwa sekalian alam: inilah akidah pertama dari keimanan kita. Akidah yang kedua adalah: Sabda Allah, putra Allah, Kristus Yesus Tuhan kita, yang menampakkan diri kepada para nabi sesuai dengan corak mereka dalam bernubuat dan sesuai dengan metode pengecualian Allah Bapa, yang melalui-Nya segala sesuatu dijadikan; yang juga pada akhir zaman, untuk menggenapi dan menghimpun segala sesuatu, dijadikan manusia di antara umat manusia, kasatmata dan dapat disentuh, guna meniadakan maut dan menerbitkan kehidupan dan melahirkan suatu jemaat persatuan antara Allah dan manusia. Dan akidah yang ketiga alah: Roh Kudus, yang melalui-Nya nabi-nabi bernubuat, dan bapa-bapa beroleh pengetahuan tentang hal ihwal Allah, dan orang benar dituntun menuju jalan kebenaran; dan yang pada akhir zaman dicurahkan dengan cara yang baru ke atas umat manusia di seluruh dunia, memperbaharui manusia bagi Allah.

Abad ke-3

Tertulianus memakai frasa "kaidah iman" maupun "kaidah kebenaran":

Oleh sebab itu hendaklah "pencarian" kita dilakukan di ranah kita sendiri, dan dari orang-orang kita sendiri, dan berkaitan dengan hal ihwal kita sendiri, – itulah, dan itu jualah yang dapat menjadi tujuan penyelidikan tanpa mencelakai kaidah iman.

Gereja Katolik

Di dalam ensiklik Humani generis, Paus Pius XII memakai istilah analogi iman untuk mengemukakan bahwa Kitab Suci haruslah ditafsirkan menurut penalaran Gereja, bukan sebaliknya ajaran Gereja dan para Bapa yang harus ditafsirkan dengan beberapa norma Kitab Suci yang diteorikan.[4]

Di dalam Gereja Katolik, Alkitab dan tradisi suci (yaitu hal-hal yang dipercaya pernah diajarkan oleh Yesus dan para rasul yang tidak termaktub di dalam Alkitab tetapi diwariskan melalui Gereja) dianggap sebagai kaidah bagi segenap umat beriman untuk menilai keimanan dan amalan.[5] Katekismus Gereja Katolik yang ada saat ini mengataakan bahwa "segala sesuatu yang sudah dikemukakan mengenai cara menafsirkan Kitab Suci pada akhirnya berpulang jua kepada penilaian Gereja yang menjalankan amanat dan tugas pelayanan dari Allah untuk mengawasi dan menafsirkan Sabda Allah[6] The analogy of faith, which was advanced by Augustine of Hippo, is sometimes contrasted with the analogy of being (bahasa Latin: analogia entis), which, according to Thomas Aquinas, allows one to know God through analogy with his creation.[7] According to the Bible, already mankind is made "in the image of God" (Genesis [[]] Gen:1:26-NIV: "Then God said, 'Let us make mankind in our image, in our likeness'.").[8]

See also


References

  1. ^ "Rule of Faith". The Nuttall Encyclopædia (1907).
  2. ^ "The Rule of Faith". Catholic Encyclopedia. New advent. Diakses tanggal 2007-02-18. 
  3. ^ Irenaeus. "Demonstration of the Apostolic Preaching". Christian Classics Ethereal Library. Diakses tanggal 25 January 2022. 
  4. ^ "Humani generis". 
  5. ^ Hodge, Charles, "5. Roman Catholic Doctrine Concerning the Rule of Faith", Systematic Theology, CCEL 
  6. ^ Catechism of the Catholic Church, Chapter 2, The Vatican, art. 3 Sacred Scripture, III. The Holy Spirit, interpreter of Scripture, diarsipkan dari versi asli tanggal 2001-01-25 
  7. ^ Introduction to Nature and Grace: Selections from the Summa Theologica of Thomas Aquinas, Philadelphia: The Westminster Press, 1954, p. 28.
  8. ^ McGrath, Alister E. (2011). The Open Secret. A New Vision for Natural Theology. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons. ISBN 9781444358063.  Quote.

Further reading

  • Sproul, R. C., et al. Knowing Scripture, revised edition, IVP Books, 2009. EBSCO host

Templat:Private revelation

-->