Kekayaan intelektual

konsep hukum

Kekayaan intelektual, lebih lengkapnya adalah hak atas kekayaan intelektual (KI, HKI, atau HaKI) adalah jenis kekayaan yang memuat kreasi tak mewujud dari intelektualitas.[1][2] HaKI memiliki banyak jenis, dan banyak negara mengakui keberadaannya.[3][4][5][6][7] Contoh yang paling dikenal adalah hak cipta, paten, merek dagang, dan rahasia dagang. Konsep modern dari HaKI tercipta pada abad ke-17 dan ke-18 di Inggris. Istilah "kekayaan intelektual"—terjemahan bebas dari intellectual property—mulai dipakai pada abad ke-19, meski HaKI kelak menjadi bagian dari sistem hukum dunia pada abad ke-20.[8]

Undang-undang kekayaan intelektual seperti undang-undang merek dagang melarang penjualan barang-barang yang melanggar merek dagang seperti sandal "McDnoald's" [sic] dan "NKIE" [sic] ini.

Tujuan dari hukum HaKI adalah untuk mendorong pembuatan berbagai macam barang-barang intelektual.[9] Untuk memperoleh tujuan itu, peraturan perundang-undangan akan memberikan pelindungan HaKI kepada orang atau badan hukum untuk menggunakan, menggandakan, dan/atau mendistribusikan informasi dan barang-barang intelektual yang dibuatnya, umumnya dalam jangka waktu terbatas. Hal ini akan memberikan insentif ekonomi bagi pencipta barang, karena akan memungkinkan orang mendapatkan manfaat dari pembuatan barang tersebut, melindungi gagasannya, serta mencegah pembuatan barang tiruan.[9] Insentif ekonomi ini akan menstimulasi inovasi dan berkontribusi dalam perkembangan teknologi di negara, yang bergantung dengan pelindungan terhadap para inovator.[10]

Sifat HaKI yang tak mewujud sukar dibandingkan dengan kekayaan fisik, misalnya tanah atau barang. HaKI dianggap "tak bisa dibagi", mengingat ada banyak sekali orang dapat "menggunakan" barang intelektual tersebut tanpa menghabiskannya. Tambahannya lagi, investasi barang intelektual mengalami masalah dalam penghayatannya: sebagai contoh, pemilik lahan dapat melindungi batas pekarangan mereka dengan pagar atau menyewa seorang petugas bersenjata, tetapi pembuat informasi atau sastrawan mungkin tidak mampu bertindak untuk mencegah penggandaan oleh pembelinya dengan harga yang murah. Menyeimbangkan hak sehingga menguatkan penciptaan barang baru serta tidak terlalu kuat sehingga mencegah penggunaan barang secara luas adalah fokus utama hukum kekayaan intelektual modern.[11]

Teori

Teori kekayaan intelektual sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia lahir. Benda dalam pengertian tersebut tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitas manusia.[12][13]

Istilah atau terminologi hak kekayaan intelektual digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak milik di sini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya.[14] Istilah kekayaan intelektual terdiri dari tiga kata kunci, yaitu hak, kekayaan, dan intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Adapun kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan lain-lain yang berguna untuk manusia.[15] Objek yang diatur dalam kekayaan intelektual adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia l.[16] Sistem kekayaan intelektual merupakan hak privat (private rights). Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eklusif yang diberikan Negara kepada individu pelaku kekayaan intelektual (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya atau kreativitasnya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga dengan sistem kekayaan intelektual tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar. Disamping itu sistem kekayaan intelektual menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat dihindari atau dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.[16]

Ruang lingkup kekayaan intelektual

Secara garis besar kekayaan intelektual dibagi menjadi dua bagian, yaitu:[17]

  1. Hak Cipta (Copyrights) adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
  2. Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights) yang mencakup:
    1. Paten (Patent) adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut kepada pihak lain untuk melaksanakannya
    2. Desain Industri (Industrial Design) adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
    3. Merek (Trademark) adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan atau jasa.
    4. Indikasi Geografis (Geographical Indication) yaitu suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
    5. Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit) adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada Pendesain atau hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.
    6. Rahasia dagang (Trade secret) adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
    7. Perlindungan Varietas Tanaman (Plant Variety Protection) adalah perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman.[18]

Sifat hukum kekayaan intelektual

Hukum yang mengatur kekayaan intelektual bersifat teritorial, pendaftaran ataupun penegakan kekayaan intelektual harus dilakukan secara terpisah di masing-masing yurisdiksi bersangkutan. kekayaan intelektual yang dilindungi di Indonesia adalah kekayaan intelektual yang sudah didaftarkan di Indonesia.

Sejarah

Sejarah perkembangan sistem perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia[19]

  • Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual di Indonesia telah ada sejak tahun 1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan kekayaan intelektual pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek tahun 1885, Undang-undang Paten tahun 1910, dan UU Hak Cipta tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi angota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, anggota Madrid Convention dari tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works sejak tahun 1914. Pada zaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945, semua peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual tersebut tetap berlaku. Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan Kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU Merek tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan Paten dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan Paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda
  • Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang Paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman no. J.S 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan Paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.
  • Pada tanggal 11 Oktober 1961 Pemerintah RI mengundangkan UU No.21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan untuk mengganti UU Merek Kolonial Belanda. UU No 21 Tahun 1961 mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek ini untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan.
  • 10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967) berdasarkan keputusan Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 sampai dengan 12 dan Pasal 28 ayat 1.
  • Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta tahun 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
  • Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem kekayaan intelektual di tanah air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang kekayaan intelektual melalui keputusan No.34/1986 (Tim ini dikenal dengan tim Keppres 34) Tugas utama Tim Keppres adalah mencakup penyusunan kebijakan nasional di bidang kekayaan intelektual, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual dan sosialisasi sistem kekayaan intelektual di kalangan intansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas.
  • 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No.7 Tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
  • Tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden RI No.32 ditetapkan pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman.
  • Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU tentang Paten yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 1989 oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991.
  • 28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, yang mulai berlaku 1 April 1993. UU ini menggantikan UU Merek tahun 1961.
  • Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS).
  • Tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989 dan UU Merek 1992.
  • Akhir tahun 2000, disahkan tiga UU baru dibidang kekayaan intelektual yaitu: (1) UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, dan UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
  • Untuk menyelaraskan dengan Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) pemerintah Indonesia mengesahkan UU No 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No 15 tahun 2001 tentang Merek, Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002, disahkan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak di undangkannya.
  • Pada tahun 2000 pula disahkan UU No 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman dan mulai berlaku efektif sejak tahun 2004.
  • Pada tahun 2014, untuk menyesuaikan arus globalisasi, perkembangan zaman dan teknologi internet, menyempurnakan kekurangan dalam UU sebelumnya, DPR dan Pemerintah mengesahkan UU no. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.[20] Selanjutnya, Pada tahun 2016, DPR mengesahkan UU no. 13 tahun 2016 tentang Paten[21] dan UU no. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.[22]

Kelembagaan

Regulasi tentang Hak Kekayaan Intelektual diatur melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM, yang didalamnya terdapat juga Komisi Banding Paten, Komisi Banding Merk dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. Khusus untuk Perlindungan Varietas Tanaman, diatur oleh Kementerian Pertanian melalui Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian

Konsultan Hak Kekayaan Intelektual

Adalah orang yang memiliki keahlian di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang pengajuan dan pengurusan permohonan di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan terdaftar sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual [23]

Persyaratan Menjadi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual[23]

  • Warganegara Indonesia
  • Bertempat tinggal tetap di wilayah Republik Indonesia
  • Berijazah Sarjana S1
  • Menguasai Bahasa Inggris
  • Tidak berstatus sebagai pegawai negeri
  • Lulus pelatihan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual

Kritik

 
Demonstration in Sweden in support of file sharing, 2006
 
"Copying is not theft!" badge with a character resembling Mickey Mouse in reference to the "in popular culture" rationale behind the Sonny Bono Copyright Term Extension Act of 1998

Istilah "kekayaan intelektual"

Kritik terhadap penggunaan istilah ini mulai dari ketidakjelasannya, jangkauan abstraknya, hingga pertentangan langsung terhadap validitas makna semantisnya terhadap istilah "properti" dan "hak" dalam modus yang bertentangan dengan praktik dan hukum. Para pencela KI berpikir istilah ini bertujuan untuk melayani agenda doktrinal para penentang reformasi demi kepentingan publik dan/atau menyalahgunakan undang-undang terkait, dan bahwa istilah itu membatasi diskusi cerdas tentang aspek-aspek tertentu dan sering tidak memiliki hubungan terhadap hak cipta, paten, merek dagang, dll.[24]

Pendiri Yayasan Perangkat Lunak Bebas, Richard Stallman berpendapat bahwa, meskipun istilah kekayaan intelektual digunakan secara luas, ia menentangnya karena "secara sistematis terdistorsi dan membingungkan, dan penggunaannya telah dimanfaatkan oleh setiap pihak yang meraup keuntungan dari kebingungan ini". Ia mengeklaim bahwa istilah ini "berfungsi sebagai alat pemersatu peraturan perundang-undangan yang memiliki latar belakang berbeda dan terpisah, cakupannya yang berbeda, ketentuan yang berbeda, mengangkat masalah kebijakan publik yang berbeda" sehingga menciptakan "bias" dengan menyamakan bentuk monopoli dengan kepemilikan barang fisik yang terbatas, serta menyetarakannya dengan "hak milik".[25] Stallman menganjurkan agar negara konsisten dengan istilah hak cipta, paten, dan merek dagang dalam bentuk tunggal dan mengingatkan agar tidak mengabstraksikan peraturan perundang-undangan yang latar belakangnya berbeda itu dalam satu istilah kolektif. Ia berpendapat bahwa "untuk menghindari penyebaran bias dan kebingungan yang tidak perlu, yang terbaik adalah mengadopsi kebijakan tegas untuk tidak membahas atau memikirkan dalam istilah (kolektif) 'kekayaan intelektual'."[26]

Pakar ekonomi Michele Boldrin dan David K. Levine lebih menyukai "monopoli intelektual" sebagai istilah yang jelas dan tegas berkaitan dengan konsep itu, mengingat bahwa KI berbeda dengan hak kekayaan fisik.[27] Mereka beranggapan bahwa "penegakan hak paten sedikit atau bahkan sama sekali tidak mendorong inovasi", terutama dijelaskan oleh kecenderungannya untuk menciptakan monopoli pasar, sehingga membatasi inovasi lanjutan dan transfer teknologi.[28]

Bila diasumsikan KI adalah hak nyata, Stallman beranggapan bahwa klaim tersebut tidak sesuai dengan tujuan historis peraturan perundang-undangannya, dalam hal ini hak cipta berfungsi sebagai alat penyensoran, lalu, model regulasi untuk perusahaan percetakan. sehingga lebih mungkin menguntungkan sang pengarang, tetapi tidak pernah mengganggu kebebasan pembaca rata-rata.[29] Masih mengacu pada hak cipta, ia mengutip literatur hukum seperti Konstitusi Amerika Serikat dan hukum kasus untuk menunjukkan bahwa UU tersebut bertujuan sebagai sarana tawar-menawar opsional dan eksperimental untuk sementara memperdagangkan hak milik dan kebebasan berpendapat di muka umum, bukan pribadi, dalam bentuk peningkatan produksi seni dan pengetahuan. Dia menyebutkan, "jika hak cipta adalah hak alamiah, tidak dibenarkan untuk menyetop hak ini setelah jangka waktu tertentu".[30]

Guru besar ilmu hukum, penulis, dan politikus Lawrence Lessig, bersama dengan aktivis copyleft dan perangkat lunak bebas, mengkritik implikasi analogis KI dengan kekayaan fisik (seperti tanah, bangunan, dan mobil). Analogi tersebut, menurut mereka, dianggap gagal karena kekayaan fisik memiliki rivalitas sementara karya intelektual tidak (misalnya, jika seseorang membuat gandaan suatu ciptaan, penikmatannya tidak mencegah penikmatan karya aslinya).[31][32] Argumentasi lainnya yang setara adalah, tidak ada kelangkaan alamiah terhadap gagasan atau informasi: meski ada secara keseluruhan, semua itu dapat digunakan kembali dan digandakan tanpa batas waktu tanpa mengurangi keaslian. Stephan Kinsella juga menentang konsep ini dan menganggap bahwa kekayaan itu memiliki kelangkaan, yang dasarnya tidak dapat berlaku untuk sebuah gagasan.[33]

Pengusaha dan politikus Rickard Falkvinge serta peretas Alexandre Oliva secara independen membandingkan dialek fiksi George Orwell Newspeak dengan terminologi yang digunakan oleh pendukung KI sebagai senjata linguistik untuk membentuk pendapat publik berkaitan debat hak cipta dan DRM.[34][35]

Bentuk alternatif

Di beberapa yurisdiksi civil law, KI sering disebut sebagai hak intelektual, dan secara tradisional konsepnya lebih luas dan memasukkan hak moral dan perlindungan pribadi yang tak dapat ditransfer, dibeli, atau dijual. Penggunaannya menyusut pada awal 1980-an mengingat istilah kekayaan intelektual digunakan.

Istilah lainnya seperti monopoli informasi dan monopoli intelektual, juga muncul di antara orang-orang yang menentang asumsi "kekayaan", "hak", atau "intelek", seperti Richard Stallman. Keratabasa terhadap IP seperti intellectual protectionism dan intellectual poverty,[36] juga didukung oleh mereka termasuk keratabasa untuk DRM, digital restrictions management.[37][38]

Argumen bahwa HaKI harus (dalam hal menyeimbangkan minat publik dan pribadi) disebut sebagai intellectual monopoly privilege (IMP, hak istimewa monopoli intelektual) juga didukung akademikus seperti Birgitte Andersen[39] dan Thomas Alured Faunce.[40]

Lihat pula

Referensi

Kutipan

  1. ^ World Intellectual Property Organization (WIPO) (2016). Understanding Industrial Property. World Intellectual Property Organization. doi:10.34667/tind.36288. ISBN 9789280525939. Diakses tanggal 6 December 2018. 
  2. ^ "Intellectual, industrial and commercial property | Fact Sheets on the European Union". European Parliament. Diakses tanggal 6 December 2018. 
  3. ^ "What are intellectual property rights?". World Trade Organization. World Trade Organization. Diakses tanggal 23 May 2016. 
  4. ^ "Intellectual property", Black's Law Dictionary, 10th ed. (2014).
  5. ^ "Understanding Copyright and Related Rights" (PDF). World Intellectual Property Organization. hlm. 4. Diakses tanggal 6 December 2018. 
  6. ^ World Intellectual Property Organization (2021). What is Intellectual Property?. WIPO publication. World Intellectual Property Organization (WIPO). doi:10.34667/tind.43765. ISBN 9789280532210. Diakses tanggal 23 October 2020. 
  7. ^ "Understanding Industrial Property" (PDF). World Intellectual Property Organization (WIPO). Diakses tanggal 7 December 2018. 
  8. ^ "property as a common descriptor of the field probably traces to the foundation of the World Intellectual Property Organization (WIPO) by the United Nations." in Mark A. Lemley, Property, Intellectual Property, and Free Riding Diarsipkan 26 February 2009 di Wayback Machine., Texas Law Review, 2005, Vol. 83:1031, page 1033, footnote 4.
  9. ^ a b Goldstein & Reese (2008), hlm. 17.
  10. ^ Rod Falvey and Neil Foster (2006): “The Role of Intellectual Property Rights in Technology Transfer and Economic Growth”: Theory and Evidence, In cooperation with Olga Memedovic UNITED NATIONS INDUSTRIAL DEVELOPMENT ORGANIZATION (UNIDO), available: https://www.unido.org/sites/default/files/2009-04/Role_of_intellectual_property_rights_in_technology_transfer_and_economic_growth_0.pdf
  11. ^ Goldstein & Reese (2008), hlm. 18–19.
  12. ^ Locke, Two Treatises of Government, edited and introduced by Peter Laslett, 1988, halaman 285.
  13. ^ Hukum tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual dalam Menghadapi Era Globalisasi, halaman 7. Syafrinaldi. 2010. UIR Press. ISBN 979-8885-40-6
  14. ^ Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi, halaman 13. Syafrinaldi. 2010. UIR Press. ISBN 979-8885-40-6
  15. ^ Sutedi, A. Hak Atas Kekayaan Intelektual, halaman 38. Sinar Grafika, 2009
  16. ^ a b Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, halaman 7. Ditjen kekayaan intelektual, 2006
  17. ^ [1]
  18. ^ ""UU no. 29 tahun 2000"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-02. Diakses tanggal 2017-01-02. 
  19. ^ Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, halaman 9-12. Ditjen kekayaan intelektual, 2006
  20. ^ "Menguak dampak UU Hak Cipta nomor 28 tahun 2014"
  21. ^ ""RUU Paten disahkan, ini beberapa perubahan penting"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-02. Diakses tanggal 2017-01-02. 
  22. ^ "Tok Tok Tok, DPR sahkan UU Merek dan Indikasi Geografis"
  23. ^ a b PP No 2 tahun 2005 Tentang Konsultan Hak Kekayaan Intelektual
  24. ^ Mike Masnick (6 March 2008). "If Intellectual Property Is Neither Intellectual, Nor Property, What Is It?". techdirt.com. Techdirt. Diakses tanggal 17 August 2014. 
  25. ^ Stallman, Richard M. "Did You Say "Intellectual Property"? It's a Seductive Mirage". GNU.org. Free Software Foundation, Inc. Diakses tanggal 28 March 2008. 
  26. ^ Richard M. Stallman. "Words to Avoid (or Use with Care) Because They Are Loaded or Confusing". gnu. The GNU Project. Diakses tanggal 1 December 2016. 
  27. ^ Boldrin, Michele, and David K. Levine. Against intellectual monopoly Diarsipkan 6 December 2017 di Wayback Machine.. Cambridge: Cambridge University Press, 2008.
  28. ^ Michele Boldrin and David K. Levine (2009): “Intellectual Property Rights and Economic Growth in the Long-Run”; A model Discovery, available; http://levine.sscnet.ucla.edu/papers/aea_pp09.pdf Diarsipkan 9 August 2017 di Wayback Machine.
  29. ^ Stallman, Richard (19 April 2001). "copyright and globalization in the age of computer networks". mit.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 March 2015. Diakses tanggal 21 October 2015. 
  30. ^ Stallman, Richard. "Misinterpreting Copyright". gnu.org. Diakses tanggal 21 October 2015. 
  31. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama lessigperpetual
  32. ^ Doctorow, Cory (21 February 2008). ""Intellectual property" is a silly euphemism". The Guardian. Diakses tanggal 23 February 2008. 
  33. ^ Stephan Kinsella (2001) Against Intellectual Property Journal of Libertarian Studies 15(2):1–53
  34. ^ Rick Falkvinge (14 July 2013). "Language Matters: Framing The Copyright Monopoly So We Can Keep Our Liberties". torrentfreak.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 June 2014. Diakses tanggal 17 August 2014. 
  35. ^ Alexandre Oliva. "1984+30: GNU speech to defeat e-newspeak" (PDF). Diakses tanggal 17 August 2014. 
  36. ^ Stephan Kinsella for Ludwig von Mises Institute blog, 6 January 2011. Intellectual Poverty
  37. ^ Official drm.info site run by the Free Software Foundation Europe (FSFE)
  38. ^ "What is DRM?". defectivebydesign. Defective by Design. Diakses tanggal 17 August 2015. 
  39. ^ Birgitte Andersen. "'Intellectual Property Right' Or 'Intellectual Monopoly Privilege: Which One Should Patent Analysts Focus On?" CONFERENCIA INTERNACIONAL SOBRE SISTEMAS DE INOVAÇÃO E ESTRATÉGIAS DE DESENVOLVIMENTO PARA O TERCEIRO MILÊNIO. Nov 2003
  40. ^ Martin, G; Sorenson, C; Faunce, TA (2007). "Balancing intellectual monopoly privileges and the need for essential medicines". Globalization and Health. 3: 4. doi:10.1186/1744-8603-3-4. PMC 1904211 . PMID 17565684. Balancing the need to protect the intellectual property rights (IPRs) (which the third author considers are more accurately described as intellectual monopoly privileges (IMPs)) of pharmaceutical companies, with the need to ensure access to essential medicines in developing countries is one of the most pressing challenges facing international policy makers today. 

Daftar pustaka

  • Arai, Hisamitsu. "Intellectual Property Policies for the Twenty-First Century: The Japanese Experience in Wealth Creation", WIPO Publication Number 834 (E). 2000. wipo.int
  • Bettig, R. V. (1996). Critical Perspectives on the History and Philosophy of Copyright. In R. V. Bettig, Copyrighting Culture: The Political Economy of Intellectual Property. (pp. 9–32). Boulder, CO: Westview Press.
  • Boldrin, Michele and David K. Levine. "Against Intellectual Monopoly", 2008. dkleving.com
  • Hahn, Robert W., Intellectual Property Rights in Frontier Industries: Software and Biotechnology, AEI Press, March 2005.
  • Branstetter, Lee, Raymond Fishman and C. Fritz Foley. "Do Stronger Intellectual Property Rights Increase International Technology Transfer? Empirical Evidence from US Firm-Level Data". NBER Working Paper 11516. July 2005. weblog.ipcentral.info
  • Connell, Shaun. "Intellectual Ownership". October 2007. rebithofffreedom.org
  • De George, Richard T. "14. Intellectual Property Rights." In The Oxford Handbook of Business Ethics, by George G. Brenkert and Tom L. Beauchamp, 1:408–439. 1st ed. Oxford, England: Oxford University Press, n.d.
  • Farah, Paolo and Cima, Elena. "China's Participation in the World Trade Organization: Trade in Goods, Services, Intellectual Property Rights and Transparency Issues" in Aurelio Lopez-Tarruella Martinez (ed.), El comercio con China. Oportunidades empresariales, incertidumbres jurídicas, Tirant lo Blanch, Valencia (Spain) 2010, pp. 85–121. ISBN 978-84-8456-981-7. Available at SSRN.com
  • Farah, Paolo Davide, Tremolada Riccardo, Desirability of Commodification of Intangible Cultural Heritage: The Unsatisfying Role of IPRs, in TRANSNATIONAL DISPUTE MANAGEMENT, Special Issues "The New Frontiers of Cultural Law: Intangible Heritage Disputes", Volume 11, Issue 2, March 2014, ISSN 1875-4120 Available at SSRN.com
  • Farah, Paolo Davide, Tremolada Riccardo, Intellectual Property Rights, Human Rights and Intangible Cultural Heritage, Journal of Intellectual Property Law, Issue 2, Part I, June 2014, ISSN 0035-614X, Giuffre, pp. 21–47. Available at SSRN.com
  • Goldstein, Paul; Reese, R. Anthony (2008). Copyright, Patent, Trademark and Related State Doctrines: Cases and Materials on the Law of Intellectual Property (edisi ke-6th). New York: Foundation Press. ISBN 978-1-59941-139-2. 
  • Gowers, Andrew. "Gowers Review of Intellectual Property". Her Majesty's Treasury, November 2006. hm-treasury.gov.uk ISBN 978-0-11-840483-9.
  • Greenhalgh, C. & Rogers M., (2010). Innovation, Intellectual Property, and Economic Growth. New Jersey: Princeton University Press.
  • Kinsella, Stephan. "Against Intellectual Property". Journal of Libertarian Studies 15.2 (Spring 2001): 1–53. mises.org
  • Lai, Edwin. "The Economics of Intellectual Property Protection in the Global Economy". Princeton University. April 2001. dklevine.com
  • Lee, Richmond K. Scope and Interplay of IP Rights Accralaw offices.
  • Lessig, Lawrence. "Free Culture: How Big Media Uses Technology and the Law to Lock Down Culture and Control Creativity". New York: Penguin Press, 2004. free-culture.cc Diarsipkan 16 September 2009 di Wayback Machine..
  • Lindberg, Van. Intellectual Property and Open Source: A Practical Guide to Protecting Code. O'Reilly Books, 2008. ISBN 0-596-51796-3 | ISBN 978-0-596-51796-0
  • Maskus, Keith E. "Intellectual Property Rights and Economic Development". Case Western Reserve Journal of International Law, Vol. 32, 471. journals/jil/32-3/maskusarticle.pdf law.case.edu
  • Mazzone, Jason. "Copyfraud". Brooklyn Law School, Legal Studies Paper No. 40. New York University Law Review 81 (2006): 1027. (Abstract.)
  • Miller, Arthur Raphael, and Michael H. Davis. Intellectual Property: Patents, Trademarks, and Copyright. 3rd ed. New York: West/Wadsworth, 2000. ISBN 0-314-23519-1.
  • Moore, Adam, "Intellectual Property", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2011 Edition), Edward N. Zalta (ed.),
  • Morin, Jean-Frédéric, Paradigm Shift in the Global IP Regime: The Agency of Academics, Review of International Political Economy, vol. 21(2), 2014, pp. 275–309.
  • Mossoff, A. 'Rethinking the Development of Patents: An Intellectual History, 1550–1800,' Hastings Law Journal, Vol. 52, p. 1255, 2001
  • Rozanski, Felix. "Developing Countries and Pharmaceutical Intellectual Property Rights: Myths and Reality" stockholm-network.org
  • Perelman, Michael. Steal This Idea: Intellectual Property and The Corporate Confiscation of Creativity. Palgrave Macmillan, 2004.
  • Rand, Ayn. "Patents and Copyrights" in Ayn Rand, ed. 'Capitalism: The Unknown Ideal,' New York: New American Library, 1966, pp. 126–128
  • Reisman, George. 'Capitalism: A Complete & Integrated Understanding of the Nature & Value of Human Economic Life,' Ottawa, Illinois: 1996, pp. 388–389
  • Schechter, Roger E., and John R. Thomas. Intellectual Property: The Law of Copyrights, Patents and Trademarks. New York: West/Wadsworth, 2003, ISBN 0-314-06599-7.
  • Schneider, Patricia H. "International Trade, Economic Growth and Intellectual Property Rights: A Panel Data Study of Developed and Developing Countries". July 2004. mtholyoke.edu
  • Shapiro, Robert and Nam Pham. "Economic Effects of Intellectual Property-Intensive Manufacturing in the United States". July 2007. the-value-of.ip.org. Retrieved 2008-04-09.
  • Spooner, Lysander. "The Law of Intellectual Property; or An Essay on the Right of Authors and Inventors to a Perpetual Property in their Ideas". Boston: Bela Marsh, 1855.
  • Vaidhyanathan, Siva. The Anarchist in the Library: How the Clash Between Freedom and Control Is Hacking the Real World and Crashing the System. New York: Basic Books, 2004.
  • Burk, Dan L.; Mark A. Lemley (2009). The Patent Crisis and How the Courts Can Solve It. University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-08061-1. 

Pranala luar