Kekhalifahan Abbasiyah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Naval Scene (bicara | kontrib)
←Membatalkan revisi 1751444 oleh 125.164.112.69 (Bicara)rv copyvio
Baris 33:
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, [[Said bin Husain]], seorang muslim [[Syiah]] dari dinasti [[Fatimiyyah]] yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan [[Nabi Muhammad]], mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun [[909]], sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah [[Afrika Utara]]. Pada awalnya ia hanya menguasai [[Maroko]], [[Aljazair]], [[Tunisia]] dan [[Libya]]. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke [[Mesir]] dan [[Palestina]], sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun [[1171]]. Sedangkan [[Bani Umayyah]] bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di [[Spanyol]], kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun [[929]], sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun [[1031]].
 
== Menuju kekuasaan dan masa berkuasanya ==
Bani Abbasiyyah merupakan keturunan dari [[Abbas bin Abdul-Muththalib]] ([[566]]-[[652]]) yang juga merupakan paman dari [[Nabi Muhammad]], oleh karena itu mereka termasuk ke dalam [[Bani Hasyim]]. Sedangkan [[Bani Umayyah]] yang merupakan salah satu kabilah dalam [[Quraisy]], bukan termasuk yang seketurunan dengan Nabi.
 
[[Muhammad bin Ali]], [[cicit]] dari [[Abbas bin Abdul-Muththalib|Abbas]] menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga [[Bani Hasyim]] di [[Iran|Parsi]] pada masa pemerintahan Khalifah [[Umar bin Abdul Aziz]]. Pada masa pemerintahan Khalifah [[Marwan II]], pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun [[750]], [[Abu al-Abbas al-Saffah]] menang melawan pasukan [[Bani Umayyah]] dan kemudian dilantik sebagai khalifah.
 
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari [[khilafah Umayyah]], dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan [[Al-Abbas]], paman [[Nabi Muhammad]] ''Shallallahu ‘alaihi wa sallam'', yaitu [[Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas]] ''Rahimahullah''. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
 
Kekuasaan dinasti [[Bani Abbas]], atau [[khilafah Abbasiyah]], sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti [[Bani Umayyah]]. Dinamakan [[khilafah Abbasiyah]] karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan [[al-Abbas]] paman [[Nabi Muhammad]] ''Shallallahu ‘alaihi wa sallam''. Dinasti [[Abbasiyah]] didirikan oleh [[Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass]]. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari '''tahun 132 H (750 M)''' s/d. '''656 H (1258 M)'''.
 
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
 
<u>1. Periode Pertama</u> '''(132 H/750 M-232 H/847 M)''', disebut periode pengaruh [[arab]] dan [[Persia]] pertama.
<u>2. Periode Kedua</u> '''(232 H/847 M-334 H/945 M)''', disebut periode pengaruh [[Turki]] pertama.
<u>3. Periode Ketiga</u> '''(334 H/945 M-447 H/1055 M)''', masa kekuasaan dinasti [[Bani Buwaih]] dalam pemerintahan [[khilafah Abbasiyah]]. Periode ini disebut juga masa pengaruh [[Persia]] kedua.
 
<u>4. Periode Keempat</u> '''(447 H/1055 M-590 H/l194 M)''', masa kekuasaan daulah [[Bani Seljuk]] dalam pemerintahan [[khilafah Abbasiyah]]; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh [[Turki]] kedua (di bawah kendali) kesultanan [[Bani Seljuk]] (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
 
<u>5. Periode Kelima</u> '''(590 H/1194 M-656 H/1258 M)''', masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota [[Bagdad]] (invasi dari [[tar-tar]],dan ekspansi [[bani Utsmani]] secara besar-besaran).
 
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para [[khalifah]] betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan [[filsafat]] dan ilmu pengetahuan dalam [[Islam]]. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
 
Masa pemerintahan [[Abu al-Abbas]] ''Rahimahullah'' , pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun '''750-754 M'''. karena itu, pembina sebenarnya dari [[daulah Abbasiyah]] adalah [[Abu Ja'far al-Manshur]] ''Rahimahullah'' '''(754-775 M)'''. Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari [[Bani Umayyah]], [[Khawarij]], dan juga [[Syi'ah]] yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. [[Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali]], keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh [[khalifah]] sebelumnya di [[Syria]] dan [[Mesir]], karena tidak bersedia membaiatnya, dibunuh oleh [[Abu Muslim al-Khurasani]] atas perintah [[Abu Ja'far]] [[Rahimahullah]] . Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun '''755 M'''.
 
Pada mulanya ibu kota negara adalah [[al-Hasyimiyah]], dekat [[Kufah]]. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, [[Bagdad]], dekat bekas ibu kota [[Persia]], [[Clesiphon]], tahun '''762 M'''. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa [[Persia]]. Di ibu kota yang baru ini [[al-Manshur]] melakukan konsolidasi dan Penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen, Wazir pertama yang diangkat adalah [[Khalid bin Barmak]], berasal dari [[Balkh]],[[ Persia]]. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk [[Muhammad ibn Abdurrahman]] sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti [[Bani Umayyah]] ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
 
Khalifah [[al-Manshur]] ''Rahimahullah'' berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Diantara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di [[Asia]], kota [[Malatia]], wilayah [[Coppadocia]] dan [[Cicilia]] pada tahun '''756-758 M'''. Ke utara bala tentaranya melintasi [[pegunungan Taurus]] dan mendekati [[selat Bosphorus]]. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar [[Constantine V]] dan selama gencatan senjata '''758-765 M''', [[Bizantium]] membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan [[Turki Khazar]] di [[Kaukasus]], [[Daylami]] di [[laut Kaspia]], [[Turki]] di bagian lain [[Oksus]] dan [[India]].
 
Pada masa [[al-Manshur]] ''Rahimahullah'' pengertian [[khalifah]] kembali berubah. Dia berkata, ''"Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)"''. Dengan demikian, konsep [[khilafah]] dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari [[Allah]], bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa [[al- Khulafa' al-Rasyiduun]]. Disamping itu, berbeda dari daulat [[Umayyah]], khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar tahta", seperti [[al-Manshur]] adalah "gelar tahta"nya Sulthan Abu Ja'far. "gelar tahta" itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
 
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh [[Abul-Abbas]] dan [[Abu Ja'far al-Manshur]], maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu [[al-Mahdi]] '''(775-785 M)''', [[al-Hadi]] '''(775- 786 M)''', [[Harun al-Rasyid]] '''(786-809 M)''', [[al-Ma'mun]] '''(813-833 M)''', [[al-Mu'tashim]] '''(833-842 M)''', [[al-Watsiq]] [[(842-847 M)]] (ketiga khalifah tersebut berfaham [[jahmiyyah]]), dan [[al-Mutawakkil]] '''(847-861 M)'''. Pada masa [[al-Mahdi]] perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. [[Bashrah]] menjadi pelabuhan yang penting.
 
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah [[Harun al-Rasyid]] ''Rahimahullah'' '''(786-809 M)''' dan puteranya [[al-Ma'mun]] '''(813-833 M)'''. Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid Rahimahullah untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara [[Islam]] menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. [[Al-Ma'mun]], pengganti [[al-Rasyid]], dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku [[Yunani]], ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan [[Kristen]] dan penganut agama lain yang ahli (''wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah''). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa [[Al-Ma'mun]] inilah [[Baghdad]] mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
 
[[Al-Mu'tashim]], khalifah berikutnya '''(833-842 M)''', memberi peluang besar kepada orang-orang [[Turki]] untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa [[daulah Umayyah]], dinasti [[Abbasiyah]] mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang [[muslim]] mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa [[Bani Umayyah]] dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi [[al-Khawarij]] di [[Afrika Utara]], gerakan [[Zindiq]] di [[Persia]], gerakan [[Syi'ah]], dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan. Semuanya dapat dipadamkan.
 
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan [[Islam]] daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan [[Bani Umayyah]]. Disamping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
 
1. Dengan berpindahnya ibu kota ke [[Baghdad]], pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh [[Arab]] [[Islam]]. Sedangkan dinasti [[Bani Umayyah]] sangat berorientasi kepada [[Arab]] [[Islam]]. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan [[Persia]] sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa [[Turki]] sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
 
2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan [[Bani Umayyah]].
 
3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
 
A.Maktab/Kuttab dan [[masjid]], yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
 
B.Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
 
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa [[Arab]], baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman [[Bani Umayyah]], maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
 
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa [[Arab]] dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk [[Islam]]. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh [[Persia]], sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh [[India]] terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh [[Yunani]] masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
 
2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah [[al-Manshur]] hingga [[Harun al-Rasyid]]. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah [[al-Ma'mun]] hingga tahun '''300 H'''. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun '''300 H''', terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
 
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir ''bi al-ma'tsur'', yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari [[Nabi]] dan para sahabat. Kedua, tafsir ''bi al-ra'yi'', yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode [[bi al-ra'yi]], (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
 
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. [[Imam Abu Hanifah]] '''(700-767 M)''' dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di [[Kufah]], kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan [[Persia]] yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, [[Abu Yusuf]], menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman [[Harun al-Rasyid]].
Berbeda dengan [[Imam Abu Hanifah]], [[Imam Malik]] '''(713-795 M)''' banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh [[Imam Syafi'i]] '''(767-820 M)''',dan [[Imam Ahmad ibn Hanbal]] '''(780-855 M)''' mengembalikan sistim madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini beliau Rahimahullah lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran [[Islam]] dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
 
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji’ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
 
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama [[al-Fazari]] sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. [[Al-Farghani]], yang dikenal di [[Eropa]] dengan nama [[Al-Faragnus]], menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama [[ar-Razi]] dan [[Ibn Sina]]. [[Ar-Razi]] adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan [[Ibn Sina]]. [[Ibn Sina]] yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah ''al-Qoonuun fi al-Thibb'' yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
 
Dalam bidang optikal [[Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami]], yang di [[Eropa]] dikenal dengan nama [[Alhazen]], terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama[[ Jabir ibn Hayyan]]. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama [[Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi]], yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata ''"aljabar"'' berasal dari judul bukunya, ''al-Jabr wa al-Muqoibalah''. Dalam bidang sejarah terkenal nama [[al-Mas'udi]]. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah ''Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir''.
 
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain [[al-Farabi]], [[Ibn Sina]], dan [[Ibn Rusyd]]. [[Al-Farabi]] banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat [[Aristoteles]]. [[Ibn Sina]] juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah ''asy-Syifa'''. [[Ibn Rusyd]] yang di Barat lebih dikenal dengan nama [[Averroes]], banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan [[Averroisme]].
 
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan [[Islam]] pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran. ''Wallahul Musta’an''.
 
== Mamluk ==