Krisis finansial Asia 1997: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(47 revisi perantara oleh 26 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Expert-subject}}
[[Berkas:Asian Financial Crisis EN-2009-05-05 vector.pngsvg|jmpl|350px|Negara-negara yang terkena dampak krisis keuangan Asia 1997]]
'''Krisis keuangan Asia''' adalah periode [[krisis keuangan]] yang menerpa hampir seluruh Asia TimurTenggara pada Juli 1997 dan menimbulkan kepanikan bahkan ekonomi dunia akan runtuh akibat [[penularan keuangan]].
 
Krisis ini bermula di [[Thailand]] (dikenal dengan nama ''krisis tom yum kung'' di Thailand; [[bahasa Thai|Thai]]: วิกฤตต้มยำกุ้ง) seiring jatuhnya nilai mata uang [[baht]] setelah pemerintah Thailand terpaksa [[mata uang mengambang|mengambangkan]] baht karena sedikitnya [[daftar mata uang beredar|valuta asing]] yang dapat mempertahankan [[nilai tukar tetap|jangkarnya]] ke [[dolar Amerika Serikat]]. Waktu itu, Thailand menanggung beban [[utang luar negeri]] yang besar sampai-sampai negara ini dapat dinyatakan [[kebangkrutan|bangkrut]] sebelum nilai mata uangnya jatuh.<ref>{{Cite web|url = http://www.euromoney.com/Article/1005746/When-the-world-started-to-melt.html|title = Asian Financial Crisis: When the World Started to Melt|date = |accessdate = 16 November 2015|website = EuroMoney|publisher = |subscription = yes}}</ref> Saat krisis ini menyebar, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara dan Jepang ikut turun,<ref>{{Cite journal|url = http://www.ide.go.jp/English/Publish/Periodicals/De/pdf/98_03_05.pdf|title = The Asian Economic Crisis and Japan|last = Yamazawa|first = Ippei|date = September 1998|journal = The Developing Economies|doi = |pmid = |access-date = 16 November 2015|pages = 332–351|volume = 36|issue = 3|archive-date = 2015-09-24|archive-url = https://web.archive.org/web/20150924032900/http://www.ide.go.jp/English/Publish/Periodicals/De/pdf/98_03_05.pdf|dead-url = yes}}</ref> bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh, dan [[utang swasta]]nya naik drastis.<ref>Kaufman: pp. 195–6</ref>
 
[[Indonesia]], [[Korea Selatan]], dan [[Thailand]] adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah. [[Hong Kong]], [[Laos]], [[Malaysia]], dan [[Filipina]] juga terdampak oleh turunnya nilai mata uang. [[Brunei]], [[CinaTiongkok]], [[Singapura]], [[Taiwan]], dan [[Vietnam]] tidak kentara dampaknya, namuntetapi sama-sama merasakan turunnya permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia.
 
Rasio utang luar negeri terhadap [[Produk domestik bruto|PDB]] naik dari 100% menjadi 167% di empat negara besar [[ASEAN]] pada tahun 1993–96, lalu melonjak hingga 180% pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Di Korea Selatan, rasionya naik dari 13% menjadi 21%, lalu memuncak di angka 40%. [[Negara industri baru]] lainnya masih lebih baik. Kenaikan rasio pembayaran utang ekspor hanya dialami oleh Thailand dan Korea Selatan.<ref>{{Cite journal|url = http://www.adb.org/publications/key-indicators-developing-asian-and-pacific-countries-2003|title = Key Indicators of Developing Asian and Pacific Countries 2003|date = August 2003|journal = Asian Development Bank|doi = |pmid = |access-date = 16 November 2015}}</ref>
 
Meski sebagian besar negara di Asia memiliki [[kebijakan fiskal]] yang bagus, [[Dana Moneter Internasional]] (IMF) turun tangan melalui program senilai US$40 miliar untuk menstabilkan mata uang Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, negara-negara yang terdampak parah dalam krisis ini. Upaya menghambat krisis ekonomi global gagal menstabilkan situasi dalam negeri di Indonesia. Setelah 3031 tahun berkuasa, [[Presiden Indonesia|Presiden]] [[Soeharto]] [[Jatuhnya Soeharto|terpaksa mundur]] pada tanggal 21 Mei 1998 di bawah tekanan demonstran massa serta aspirasi rakyat NKRI yang memprotesmengeluh kebijakan kenaikan harga secara tajam akibat devaluasi [[rupiah]]. Dampak krisis masih terasa hingga 1998. Tahun 1998, pertumbuhan Filipina anjlok hingga nol persen. Hanya Singapura dan Taiwan yang agak terhindar dari krisis ini, tetapi keduanya sempat mengalami tekanan besar; Singapura ikut tertekan karena ukuran dan letak geografisnya antara Malaysia dan Indonesia. Tahun 1999, sejumlah analis mengamati bahwa [[ekonomi Asia|ekonomi di Asia]] mulai pulih.<ref>Pempel: pp 118–143</ref> Setelah krisis tahun 1997, ekonomi di Asia mulai stabil di bawah pengawasan keuangan.<ref>{{Cite web |url=http://www.adbi.org/files/2012.08.28.wp377.central.banking.financial.stability.asia.pdf |title=Salinan arsip |access-date=2012-10-18 |archive-date=2012-10-18 |archive-url=https://web.archive.org/web/20121018154416/http://www.adbi.org/files/2012.08.28.wp377.central.banking.financial.stability.asia.pdf |dead-url=no }}</ref>
 
Sebelum tahun 1999, Asia menarik hampir separuh arus [[modal]] ke [[negara berkembang]]. Negara-negara Asia Tenggara mempertahankan nilai tukar tinggi demi menarik investor asing yang mencari [[tingkat pengembalian saham]] tinggi. Hasilnya, Asia Tenggara menerima arus uang yang besar dan mengalami lonjakan harga aset. Pada saat yang sama, Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Korea Selatan mengalami tingkat pertumbuhan tinggi, PDB 8–12%, pada akhir 1980-an dan awal 1993. Prestasi ini diakui oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan [[Bank Dunia]] dan dijuluki sebagai "[[Empat Macan Asia|keajaiban ekonomi Asia]]".
Baris 15:
== Sejarah ==
=== Gelembung kredit dan nilai tukar tetap ===
Penyebab krisis ini masih diperdebatkan. Ekonomi Thailand berkembang menjadi [[gelembung ekonomi]] yang digerakkan oleh "dana panas" ([[dana]] yang masuk ke sebuah pasar hanya untuk keuntungan jangka pendek dan spekulatif). Seiring membesarnya gelembung, semakin banyak pula dana yang diperlukan. Situasi serupa terjadi di Malaysia dan Indonesia melalui "[[kapitalisme kroni]]".<ref>Hughes, Helen. Crony Capitalism and the East Asian Currency Financial 'Crises'. ''Policy''. Spring 1999.</ref> Arus modal jangka pendek mahal dan dirancang untuk meraup [[untung]] cepat. Dana pembangunan tersalurkan secara tak terkendali ke orang-orang tertentu saja, bukan orang yang pantas atau layak, melainkan orang yang dekat dengan pusat kekuasaan.<ref>Blustein: p. 73</ref>
 
Pada pertengahan 1990-an, Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan memiliki defisit transaksi berjalan sektor swasta yang besar. Penerapan [[nilai tukar tetap]] meningkatkan pinjaman luar negeri dan memperbesar keterpaparan [[risiko valuta asing]] di sektor keuangan dan perusahaan.
Baris 36:
Salah satu dugaan penyebab goncangan risiko yang mendadak adalah [[penyerahan kedaulatan Hong Kong|penyerahan kedaulatan Hong Kong tanggal 1 Juli 1997]]. Sepanjang 1990-an, dana panas masuk Asia Tenggara lewat [[penghubung keuangan]] seperti Hong Kong. Para investor abai dengan profil risiko negara tujuan investasinya. Setelah krisis menerpa kawasan tersebut, diperparah dengan ketidakpastian politik terkait masa depan Hong Kong sebagai pusat keuangan Asia, banyak investor yang memutuskan untuk keluar dari Asia. Menyusutnya investasi malah memperparah kondisi keuangan di Asia<ref>{{Cite news|url = http://spyonstocks.com/history-lesson-asian-financial-crisis/|title = History Lesson: Asian Financial Crisis|last = Ho|first = Sam|date = 19 September 2011|work = Spy on Stocks|access-date = 16 November 2015|via = |archive-date = 2015-11-17|archive-url = https://web.archive.org/web/20151117133309/http://spyonstocks.com/history-lesson-asian-financial-crisis/|dead-url = yes}}</ref> dan mendorong depresiasi [[baht Thailand]] pada tanggal 2 Juli 1997.<ref>Stiglitz: pp. 12–16</ref>
 
Ada beberapa studi kasus terkait topik ini, misalnya penerapan [[analisis jaringan sosial|analisis jaringan]] sistem keuangan yang menjelaskan [[kesalingterhubungan]] [[pasar keuangan]] dan pentingnya [[teori jaringan#kelayakan jaringan|kelayakan]] [[teori jaringan#percampuran berurut dan tak berurut|penghubung]] atau titik utama.<ref name="AFC-NA-15">[[Albert-Laszlo Barabasi]] {{cite web |date=|title = explaining ''(at 26:02)'' Network Theory and Hubs in the BBC Documentary |work = BBC |url=http://topdocumentaryfilms.com/six-degrees-of-separation/|work=BBC|publisher= |page = |date=|accessdate=11 June 2012}} "Unfolding the science behind the idea of six degrees of separation"</ref><ref name="AFC-NA-11">{{cite web|date=July 2009|title = Financial Crisis and Global Governance: A Network Analysis |work = |url=http://www.growthcommission.org/storage/cgdev/documents/gcwp067web.pdf|work=|publisher= |page = |date=July 2009|accessdate=11 June 2012}} by Andrew Sheng, Adj. Prof., [[Tsinghua University]] and [[University of Malaya]]</ref><ref name=AFC-NA-12>{{cite web|title=Measuring Risk – A network analysis|work=|url=http://mfi.uchicago.edu/sysrisk/sysrisk_summary.pdf|publisher=|page=|date=15 December 2010|accessdate=11 June 2012|archive-date=2013-05-03|archive-url=https://web.archive.org/web/20130503082823/https://bfi.uchicago.edu/sysrisk/sysrisk_summary.pdf|dead-url=yes}}University of Chicago</ref> [[Eksternalitas#Contoh|Eksternalitas negatif]] apapun di dalam penghubung menciptakan [[dampak riak|riak]] yang bergerak ke seluruh sistem keuangan dan ekonomi .<ref name="AFC-NA-16">[[Albert-Laszlo Barabasi]] {{cite web |date=|title = explaining ''(at 32:01)'' significance of the Robustness of Hubs in the BBC Documentary |work = BBC |url=http://topdocumentaryfilms.com/six-degrees-of-separation/|work=BBC|publisher= |page = |date=|accessdate=11 June 2012}} "Unfolding the science behind the idea of six degrees of separation"</ref><ref name="AFC-NA-13">{{cite web|date=July 2009|title = Financial Crisis and Global Governance: A Network Analysis |work = |url=http://docs.google.com/viewer?url=http%3A%2F%2Fwww.andrewsheng.com%2Fdocs%2F2009-08%2F090731Financial%2520Crisis%2520and%2520Global%2520Governance.doc|work=|publisher= |page = |date= July 2009|accessdate=11 June 2012}} by Andrew Sheng, Adj. Prof., [[Tsinghua University]] and [[University of Malaya]]</ref><ref name=AFC-NA-14>{{cite web |title=Analyzing Systemic Risk with Financial Networks During a Financial Crash |work= |url=http://www.institutlouisbachelier.org/risk2011/papers/Session_3_Taylan_Eren_Yenilmez_slides.pdf |publisher= |page= |date=10 March 2011 |accessdate=8 December 2015 |deadurl=yes |archiveurl=https://web.archive.org/web/20121120075648/http://www.institutlouisbachelier.org/risk2011/papers/Session_3_Taylan_Eren_Yenilmez_slides.pdf |archivedate=2012-11-20 }}</ref>
 
Menteri luar negeri dari 10 negara ASEAN yakin bahwa manipulasi mata uang direncankaan dengan sengaja untuk menggoyahkan ekonomi ASEAN. Mantan Perdana Menteri Malaysia, [[Mahathir Mohamad]], menuduh [[George Soros]] mengacaukan ekonomi Malaysia melalui "[[spekulasi mata uang]] besar-besaran". Soros [[George Soros#Spekulasi mata uang|mengaku membeli]] ringgit saat nilainya jatuh dan melakukan [[jual kosong]] pada tahun 1997.
Baris 45:
 
== Thailand ==
Dari 1985 sampai 1995, [[Ekonomi Thailand]] tumbuh rata-rata 9%. Pada tanggal 14-15 [[Mei 1997]], mata uang [[bahtBaht]], terpukul oleh serangan spekulasi besar. Pada tanggal [[30 Juni]], Perdana MentriMenteri [[Chavalit Yonchaiyudh]] berkata bahwa dia tidak akan [[devaluasi|mendevaluasi]] bahtBaht, tetapi pemerintah Thailand yang tak memiliki cukup cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar tetap dengan dolar AS akhirnya mengambangkan mata uang lokal tersebut pada [[2 Juli]].<BRbr>Pada 1996, "[[dana hedge]]" Amerika telah menjual US$400 juta dalam bentuk mata uang Thailand. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok pada 25 kepada [[dolar AS]]. Baht jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Baht jatuh ke titik terendah di 56 ke dolar AS pada [[Januari 1998]]. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997. [[Finance One]], perusahaan keuangan Thailand terbesar [[bangkrut]]. Pada [[11 Agustus]], [[Bank Dunia]] dan [[IMF]] membuka paket penyelamatan dengan lebih dari US$16 miliarmilliar (kira-kira Rp160 triliun). Pada [[20 Agustus]], Bank Dunia dan IMF menyetujui, paket "[[bailout]]" sebesar US$3,9 miliar.
[[Berkas:Small FX Thailand US 10yrs.png|bingkai|Pertukaran uang Baht-dollar]]
 
Dari 1985 sampai 1995, [[Ekonomi Thailand]] tumbuh rata-rata 9%. Pada tanggal 14-15 [[Mei 1997]], mata uang [[baht]], terpukul oleh serangan spekulasi besar. Pada tanggal [[30 Juni]], Perdana Mentri [[Chavalit Yonchaiyudh]] berkata bahwa dia tidak akan [[devaluasi|mendevaluasi]] baht, tetapi pemerintah Thailand yang tak memiliki cukup cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar tetap dengan dolar AS akhirnya mengambangkan mata uang lokal tersebut pada [[2 Juli]].<BR>Pada 1996, "[[dana hedge]]" Amerika telah menjual US$400 juta dalam bentuk mata uang Thailand. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok pada 25 kepada [[dolar AS]]. Baht jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Baht jatuh ke titik terendah di 56 ke dolar AS pada [[Januari 1998]]. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997. [[Finance One]], perusahaan keuangan Thailand terbesar [[bangkrut]]. Pada [[11 Agustus]], [[IMF]] membuka paket penyelamatan dengan lebih dari US$16 miliar (kira-kira Rp160 triliun). Pada [[20 Agustus]] IMF menyetujui, paket "bailout" sebesar US$3,9 miliar.
== Filipina ==
Bank sentral Filipina menaikkan suku bunga sebesar 1,75 persentasi point pada Mei dan 2 point lagi pada [[19 Juni]]. Thailand memulai krisis pada 2 Juli. Pada [[3 Juli]], bank sentral Filipina dipaksa untuk campur tangan besar-besaran untuk menjaga [[peso Filipina]], menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen dalam satu malam.
Baris 54:
[[Korea Selatan]] adalah ekonomi terbesar ke-11 dunia pada 1997. Mereka memiliki landasan [[makroekonomi]] yang bagus namun perbankannya dibebani kredit macet. Utang berlebihan menuntun ke kegagalan besar dan pengambil-alihan. Contohnya, pada Juli, pembuat [[mobil]] ketiga terbesar Korea, [[Kia Motors]] meminta pinjaman darurat. Di awal penurunan pasar Asia, [[Moody's]] menurunkan [[rating kredit]] Korea Selatan dari A1 ke A3 pada [[28 November]] 1997, dan diturunkan lagi ke Baa2 pada [[11 Desember]]. Yang menyebabkan penurunan lebih lanjut di saham Korea sejak jatuhnya pasar saham di November. Bursa saham Seoul jatuh 4% pada [[7 November]] 1997. Pada [[8 November]], jatuh 7%, penurunan terbesar yang pernah tercatat di negara tersebut. Dan pada [[24 November]], saham jatuh lagi 7,2 persen karena ketakutan IMF akan meminta reform yang berat. Pada 1998, [[Hyundai Motor]] mengambil alih Kia Motors.
== Malaysia ==
Pada 1997, [[Malaysia]] memiliki defisit neraca modal besar, lebih dari 6 persen dari [[Gross domestic product|GDP]]. Pada bulan Juli, [[ringgit]] Malaysia diserang oleh [[spekulasi|spekulator]]. Malaysia mengambangkan mata uangnya pada [[17 Agustus]] 1997 dan ringgit jatuh secara tajam. Empat hari kemudian [[Standard and Poor's]] menurunkan [[rating hutang]] Malaysia. Seminggu kemudian, agensi rating menurunkan rating [[Maybank]], bank terbesar Malaysia. Pada hari yang sama, Bursa saham Kuala Lumpur jatuh 856 point, titik terendahnya sejak 1993. Pada [[2 Oktober]], ringgit jatuh lagi. [[Perdana MentriMenteri Malaysia]] [[Mahathir bin Mohamad]] memperkenalkan kontrol modal. Tetapi, mata uang jatuh lagi pada akhir 1997 ketika [[Mahathir bin Mohamad]] mengumumkan bahwa pemerintah akan menggunakan 10 miliar ringgit di proyek jalan, rel dan saluran pipa.
 
Pada 1998, pengeluaran di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9 persen dan agrikultur 5,9 persen. Keseluruhan GDP negara ini turun 6,2 persen pada 1998. Tetapi, Malaysia merupakanialah negara tercepatpertama di dunia yang pulihsukses darimemulihkan krisis keuangan ini dalam waktu singkat dengan menolak bantuantawaran langsung [[Bank Dunia]] dan [[IMF]].
 
Pada 1998, pengeluaran di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9 persen dan agrikultur 5,9 persen. Keseluruhan GDP negara ini turun 6,2 persen pada 1998. Tetapi Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis ini dengan menolak bantuan IMF.
== Indonesia ==
[[File:IDR USD exchange 1997-07-02 to 1998-05-21.png|thumb|300px|Indonesia mengikuti Kerajaan Thailand mengambangbebaskan nilai tukar mata uangnya pada 14 Agustus 1997.{{sfn|NY Times|1997|p=D6}} Rupiah terdevaluasi lebih jauh ke titik terendahnya setelah penandatanganan nota kesepahaman ke-2 dengan Bank Dunia dan IMF pada 15 Januari 1998.]]
Pada bulan [[Juni 1997]], Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, surplus perdagangan lebih dari US$900 juta, cadangan devisa yang besar, lebih dari US$20 miliar, dan perbankan yang baik.<BRbr>
Tapi banyak perusahaan di Indonesia yang meminjam dalam bentuk dolar AS. Pada tahun berikutnya, ketika [[rupiah]] menguat terhadap dolar, kebijakan ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut—level efektivitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.<BRbr>
Pada bulan Juli 1997, Thailand mengambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada [[14 Agustus]] 1997, pertukaran mengambang teratur ditukar dengan pertukaran mengambang-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. [[Bank Dunia]] dan [[Dana Moneter Internasional|IMF]] datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tetapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "'''''[[junk bond"]]'''''.<BRbr>
Meskipun krisis rupiah dimulai pada bulan Juli dan Agustus 1997, krisis ini menguat pada bulan November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah. Akibatnya, banyak rakyat yang bereaksi dengan menukarkan rupiah dengan dolar AS, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.<BRbr>[[Inflasi]] rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di Indonesia. Pada bulan [[Februari 1998]], [[Soeharto|Presiden Soeharto]] memecat Gubernur [[Bank Indonesia]], [[Sudrajad Djiwandono]]. Akhirnya, [[Kejatuhan Soeharto|Presiden Soeharto dipaksa untuk mundur]] pada tanggal [[Kerusuhan Mei 1998|21 Mei 1998]] dan [[B. J. Habibie]] diangkat menjadi presiden. Mulai dari sini krisis moneter Indonesia memuncak.
 
== Singapura ==
[[Ekonomi Singapura]] berhasil mengatur performa yang relatif sehat dibandingkan dengan negara lain di Asia selama dan setelah krisis finansial, meskipun hubungan erat dan ketergantungan ekonomi regional tetap membawa efek negatif terhadap ekonominya. Tetapi, secara keseluruhan kemampuannya menghilangkan krisis diperhatikan secara luas, dan meningkatkan penelitian kebijakan fiskal Singapura sebagai pelajaran bagi negara tetangganya.<BRbr>Sebagai ekonomi terbuka, [[dolar Singapura]] terbuka terhadap tekanan spekulatif seperti telah terjadi pada [[1985]]. Ekonomi sangat penting dalam keberlangsungan Singapura sebagai negara merdeka, pemerintah Singapura berhasil mengatur suku pertukaran mata uangnya untuk menghindari potensi penyerangan speklulatif.
== Tiongkok daratan ==
[[Republik Rakyat Tiongkok]] tidak terpengaruh oleh krisis ini karena [[renminbi]] yang tidak dapat ditukar dan kenyataan bahwa hampir semua investasi luarnya dalam bentuk pabrik dan bukan bidang keamanan. Meskipun RRTTiongkok telah dan terus memiliki masalah "'''''solvency"''''' parah dalam sistem perbankannya, kebanyakan deposit di bank-semua bank RRTTiongkok adalah domestik dan tidak ada pelarian bank.
 
== Amerika Serikat dan Jepang ==
"'''''[[Flu Asia"]]''''' juga memberikan tekanan kepada [[Amerika Serikat]] dan [[Jepang]]. Ekonomi mereka tidak hancur, tetapi terpukul kuat.<BRbr>Pada [[27 Oktober]] 1997, Industri [[Dow Jones]] jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi Asia. [[Bursa Saham New York]] menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke jatuhnya [[kepercayaan konsumen|konsumsi]] dan [[keyakinan]] mengeluarkan uang.<BRbr>Jepang terpengaruh karena ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-negara Asia biasanya menjalankan [[defisit perdagangan]] dengan Jepang karena ekonomi Jepang dua kali lebih besar dari negara-negara Asia lainnya bila dijumlahkan, dan tujuh kali lipat RRT. Sekitar 40 persen ekspor Jepang ke Asia. Pertumbuhan nyata GDP melambat di 1997, dari 5 persen ke 1,6 persen dan turun menjadi resesi pada 1998. Krisis Finansial Asia juga menuntun ke kebangkrutan di Jepang.
 
== Laos ==
Laos terpengaruh ringan oleh krisis ini dengan nilai tukar [[Kip]] dari 4.700 ke 6.000 terhadap satu dolar AS.
== Konsekuensi ==
Krisis Asia berpengaruh ke [[mata uang]], [[pasar saham]], dan harga [[aset]] lainnya di beberapa negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah beberapa negara yang terpengaruh besar oleh krisis ini.<BRbr>
Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan politk, paling tercatat dengan mundurnya [[Suharto|Soeharto]] di Indonesia dan [[Chavalit Yongchaiyudh]] di Thailand. Ada peningkatan anti-Barat, dengan [[George Soros]] dan [[IMF]] khususnya, keluar sebagai kambing hitam.<BRbr>
Secara budaya, krisis finansial Asia mengakibatkan kemunduran terhadap ide adanya beberapa set "[[Asian value]]", yaitu Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik yang superior dibanding Barat. Krisis [[Asia]] juga meningkatkan prestise ekonomi [[Republik Rakyat Tiongkok|RRT]].<BRbr>
Krisis Asia menyumbangkan ke krisis Rusia dan Brasil pada [[1998]], karena setelah krisis Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang.<BRbr>
Krisis ini telah dianalisis oleh para pakar ekonomi karena perkembangannya, kecepatan, dinamismenya; dia mempengaruhi belasan negara, memiliki efek ke kehidupan berjuta-juta orang, terjadi dalam waktu beberapa bulan saja. Mungkin para pakar ekonomi lebih tertarik lagi dengan betapa cepatnya krisis ini berakhir, meninggalkan ekonomi negara berkembang tak berpengaruh. Keingintahuan ini telah menimbulkan ledakan di pelajaran tentang [[ekonomi finansial]] dan "litani" penjelasan mengapa krisis ini terjadi. Beberapa kritik menyalahkan tindakan [[IMF]] dalam krisis, termasuk oleh pakar ekonomi [[Bank Dunia]] [[Joseph Stiglitz]].
{{col|2}}
Baris 111 ⟶ 114:
|}
{{end-col}}
 
== Referensi ==
 
Baris 119 ⟶ 123:
* {{cite book
|last =Pettis|first =Michael|authorlink =|coauthors =|title =The Volatility Machine: Emerging Economies and the Threat of Financial Collapse|publisher =[[Oxford University Press]]
|date=2001|location =|pages =|url =https://archive.org/details/volatilitymachin0000pett|doi =|id =|isbn =0-19-514330-2 }}
* {{cite book
|last =Blustein|first =Paul|authorlink =|coauthors =|title =The Chastening: Inside the Crisis that Rocked the Global Financial System and Humbled the IMF|publisher =[[PublicAffairs]]
Baris 128 ⟶ 132:
 
=== Surat kabar ===
* Ngian Kee Jin (March 2000). [http://www.iseas.edu.sg/vr82000.pdf ''Coping with the Asian Financial Crisis: The Singapore Experience''] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20050223070039/http://www.iseas.edu.sg/vr82000.pdf |date=2005-02-23 }}. Institute of Southeast Asian Studies. ISSN 0219-3582
* Tiwari, Rajnish (2003). [http://www.rrz.uni-hamburg.de/RRZ/R.Tiwari/papers/exchange-rate.pdf ''Post-crisis Exchange Rate Regimes in Southeast Asia''] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20060326181141/http://www.rrz.uni-hamburg.de/RRZ/R.Tiwari/papers/exchange-rate.pdf |date=2006-03-26 }}, Seminar Paper, University of Hamburg.
* Kilgour, Andrea (1999). [http://www.geogr.uni-goettingen.de/kus/apsa/pn/pn12/vietnam.html ''The changing economic situation in Vietnam: A product of the Asian crisis?''] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20080817000329/http://www.geogr.uni-goettingen.de/kus/apsa/pn/pn12/vietnam.html |date=2008-08-17 }}
Baris 138 ⟶ 142:
 
<!-- setiap negara perlu disebutkan -->
 
{{Krisis keuangan}}
{{Bencana di Indonesia tahun 1990an}}
 
[[Kategori:Asia]]