Langit Makin Mendung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Farras (bicara | kontrib)
.
Farras (bicara | kontrib)
done
Baris 1:
{{underconstruction}}
{{Infobox short story <!--See [[Wikipedia:WikiProject Novels]]-->
| name = Langit Makin Mendung
Baris 55 ⟶ 54:
==Polemik==
===Sastra===
Jassin menulis bahwa "Langit Makin Mendung", akibat imajinasi penulisnya, bukanlah dogma, sejarah, etika, atau realita objektif, namun sebuah karya yang berada di dalam dunianya sendiri. Hasilnya, Allah, Muhammad, dan tokoh agama lainnya hanya berupa [[tokoh (seni)|tokoh fiksi]] dan tidak mewakili yang aslinya. Ia juga berpendapat bahwa "Langit Makin Mendung" tidak ditujukan sebagai penghinaan, melainkan [[kritik sosial]] tentang anggapan kesalahan dan korupsi pada masa pemerintahan Soekarno. Ia menyamakan "Langit Makin Mendung" dengan ''[[Divine Comedy]]''-nya [[Dante]] dan ''[[Javid Nama]]''-nya [[Allama Muhammad Iqbal]] yang berfokus pada perjalanan seorang manusia bersama pemandunya{{sfn|Tahqiq|1995|pp=39–41}} dan dikritik karena pembacanya menyamakan buah imajinasi sebagai penghinaan agama.{{sfn|Tahqiq|1995|p=45}}
 
Kritikus lainnya, Bahrum Rangkuti, menulis bahwa "Langit Makin Mendung" harus dinilai berdasarkan tujuan Kipandjikusmin, yaitu menjauhkan Islam dari Nasakom yang dianggapnya tidak sesuai. Ia menyebutkan bahwa Muslim yang disindir oleh cerita ini adalah Muslim yang tidak berlaku sebagaimana ajaran Islam, misalnya minum-minum dan melakukan zina, sedangkan target lainnya adalah kepemimpinan lemah dan korupsi. Seperti Jassin, Rangkuti mencatat adanya sejumlah personifikasi Allah di dalam Quran dan [[hadits]]. Ia memandang personifikasi Allah di "Langit Makin Mendung" sebagai upaya untuk membuat Muslim semakin dekat dengan Allah.{{sfn|Tahqiq|1995|pp=42–43}}
 
Sukarsono berpendapat bahwa "Langit Makin Mendung" adalah kritik "monumental" dengan penggambaran degenerasi dan imoralitas yang jelas pada awal 1960-an yang cocoknya ditulis pada masa pemerintahan Soekarno, namun karena baru diterbitkan pada masa Orde Baru dampaknya tidak begitu terasa. ''[[The Prince]]'' karya [[Machiavelli]] adalah contoh karya yang diterbitkan pada waktu yang tepat. Ia mencatat bahwa kebanyakan personifikasi Allah sesuai dengan pandangan Allah dalam Islam, tetapi pemakaian perhiasan emas oleh Allah dianggap berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam.{{sfn|Tahqiq|1995|p=47}}
 
Kritikus sastra Indonesia M. Jusuf Lubis memberi pandangan yang berlawanan. Menurutnya, "Langit Makin Mendung" yang didasarkan pada peristiwa dan dogma asli ikut menyertakan [[Isra Mi'raj]] Muhammad. Ia menolak pandangan bahwa kontroversi ini muncul akibat ceritanya disalahpahami. Ia menulis bahwa Muslim Indonesia bereaksi karena mereka tidak akan menerima karya-karya yang mereka anggap menolak eksistensi Alah dan membanding-bandingkan [[Pancasila]] dengan Nasakom. Ia mencatat bahwa Jassin menyampaikan pendapat yang tidak konsisten. Jassin menyebut representasi Allah, Muhammad, dan Jibril sebagai bagian imajinasi penulis, tetapi menganggap Soekarno dan Nasakom sebagai hal yang memengaruhi penulis.{{sfn|Tahqiq|1995|pp=46–47}}
 
===Hukum===
[[File:Taufiq Ismail crop.jpg|thumb|alt=Taufiq Ismail in a black [[peci]]|Taufiq Ismail mendukung ''Sastra'', bukan "Langit Makin Mendung"]]
Banyak studi dilakukan untuk mempelajari aspek hukum kasus "Langit Makin Mendung". Salah satu opini menyatakan bahwa kantor jaksa tidak punya dasar hukum untuk bertindak sebagai hakim sekaligus kritikus sastra dalam kasus ini dan hukum penistaan agama yang dipakai tidak berada dalam tingkat pemerintahan atau parlemen. Pembredelan ''Sastra'' dikritik karena tidak berdasar hukum karena hukum pembredelan media cetak waktu itu hanya berlaku bagi terbitan luar negeri. Sesuai hukum pers yang berlaku, pembredelan majalah memerlukan persetujuan Dewan Pers. Perlunya [[kebebasan berpendapat]] juga diangkat dalam opini tersebut.{{sfn|Tahqiq|1995|pp=35–36}}
 
Pandangan lainnya adalah bahwa tindakan jaksa bisa dibenarkan, karena hukum pers tidak begitu jelas serta tujuan penerbitannya jelas jika dilihat dari penempatan cerita ini di bagian depan majalah. Menanggapi argumen bahwa pembredelan ''Sastra'' adalah pelanggaran kebebasan berpendapat, Sju'bah Asa berpendapat bahwa masyarakat dan jaksa memiliki hak yang sama yang dapat dilaksanakan melalui protes atau tindakan hukum. Penyair [[Taufiq Ismail]] menulis bahwa kebanyakan protes melawan aksi jaksa lebih ditujukan kepada ''Sastra'', sebuah terbitan bergengsi dan ternama, bukan "Langit Makin Mendung".{{sfn|Tahqiq|1995|pp=36–37}}
 
== Catatan ==