Muhammad Luthfi Assyaukanie (lahir 27 Agustus 1967) adalah salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tanggal 8 Maret 2001, pengajar di Universitas Paramadina, serta deputi direktur di Freedom Institute. Di dalam daftar 50 tokoh Islam liberal di Indonesia, Assyaukanie berada pada kelompok "Para Penerus Perjuangan" (nomor 24-50), dan ia menempati nomor 37.

Sebagai salah satu perintis JIL yang termasuk kelompok "Para Penerus Perjuangan" tersebut, bersama Ulil Abshar Abdalla dan Nong Darol Mahmada, Assyaukanie sering melontarkan kalimat-kalimat kontroversial, terutama melalui akun media sosialnya, @idetopia.

Riwayat Pendidikan, Gelar Akademik, dan Beasiswa

  1. Pondok Pesantren At-Taqwa, Bekasi, Jawa Barat
  2. Fakultas Hukum Islam dan Filsafat - Universitas Yordania (1987-1993) : Ministry of Awqaf and Islamic Affairs Scholarship (1987-1988) dan Ministry of Education Scholarship (1988-1993)
  3. Gelar Master - ISTAC, Kuala Lumpur, Malaysia (1993-1995)
  4. Gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) - Universitas Melbourne, Australia : Australian Development Scholarship (2002-2005) dan The Melbourne Abroad Travelling Scholarship

Publikasi

Media Cetak

  1. Majalah Ummat
  2. Majalah Tempo
  3. Harian Kompas
  4. Media Indonesia
  5. Jawa Pos

Entri

  1. "Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar" ("Islamic Encyclopedia for Students"). 6 vols. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.
  2. "Ensiklopedi Tematis Dunia Islam" ("Thematical Encyclopedia of Islamic World"). 7 vols. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.

Buku

  1. "Politics, Human Rights, and The Issues of Technology in Contemporary Islamic Law". Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
  2. "Faces of Liberal Islam in Indonesia" (Editor and Foreword). Jakarta: Jaringan Islam Liberal, Teater Utan Kayu, 2002.
  3. "Freedom, the State, and Development: Arief Budiman’s Essays" (Editor and Foreword). Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.

Artikel jurnal

  1. "Bringing Fiqh Back to Urban Areas: Making Sense of Professor Sahal Mahfudh’s Idea of Social Fiqh". ICIP E-Journal, Volume 1
  2. "Democracy and the Islamic State: Muslim Arguments for Political Change in Indonesia". Vol 20 (2004). The Copenhagen Journal of Asian Studies.

Kontroversi

Teks Al-Qur'an Dianggap Mengalami Copy-Editing oleh Para Sahabat[1]

Menyamakan Kasus Lia Aminudin dengan Nabi Muhammad SAW[2]

Mengganti Pancasila

Meminta Pendidikan Agama Dihapus dari Kurikulum Pendidikan Nasional

Agama Dianggap Membuat Orang Menjadi Jahat[6]

Memojokkan Umat Islam Dalam Kasus Tanjung Balai, Sumatera Utara[7]

Menghina Adzan

Catatan kaki

  1. ^ Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, 9 Oktober 2009, 10:00 :
    "Bagaimana liciknya orang liberal dari Paramadina ini, memasukkan berbagai unsur termasuk kekuasaan sebagai pelaku copy-editing terhadap wahyu Allah. Di masa sekarang, perpolitikan yang sangat jauh dari Islam, dan penguasanya tidak takut kepada Allah, lalu digambarkan bahwa Al-Qur’an pun mengalami copy-editing oleh kekuasaan, maka bisa dibayangkan betapa tajamnya untuk menyuntikkan pemahaman yang keliru mengenai kemurnian Al-Qur’an. Betapa tega orang itu dalam menyuntikkan benih-benih untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an. Tangan penguasa dengan bermodal kekuasaannya dianggap telah mengedit Al-Qur’an. Meskipun ada celoteh semacam itu, namun umat Islam tetap yakin terhadap penegasan Allah : 'Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.' (Q.S. Al-Hijr (15) : 9). Pertanyaan yang perlu diajukan kepada Luthfi Assyaukanie, kenapa musuh Utsman Ibn Affan R.A. yang sampai membunuhnya, kemudian tidak membuat Al-Qur’an tandingan, kalau memang benar bahwa Utsman menggunakan kekuasaannya untuk mengedit Al-Qur’an?"
  2. ^ Pada tanggal 17 Februari 2010, Jaringan Islam Liberal (JIL) mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan uji materi terhadap Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama. Luthfi Assyaukanie sebagai saksi ahli melihat kasus yang dialami oleh Lia Aminudin (Lia Eden) seakan-akan mirip dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Assyaukanie menilai bahwa negara tidak boleh mengatur penafsiran agama. Hal tersebut memantik kemarahan dari pada pengunjung sidang yang mendukung agar PNPS No. 1 Tahun 1965 dipertahankan, bersamaan dengan pihak-pihak terkait dalam hal ini Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama (NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) yang mengajukan keberatan terhadap uji materi tersebut. Salah satu pengunjung sidang tersebut bahkan meneriaki Assyaukanie dengan sebutan "Munafik!" Assyaukanie akhirnya meminta maaf atas pernyataannya yang menyamakan Lia Eden dengan Nabi Muhammad. Ia juga mengakui pernyataan itu sangat sensitif.
  3. ^ Ketua Tim Pembela Islam (TPM), Mahendradatta. Surakarta, 19 Februari 2010 :
    "Untuk seorang yang mengaku bergelar Ph.D, pernyataan seperti itu jelas-jelas tidak masuk akal. Pernyataan seperti itu seperti pernyataan anak kecil yang masih kurang lengkap dalam mengambil kesimpulan dan dua hal yang diperbandingkan. Anak kecil mungkin saja menyamakan manusia dengan monyet hanya gara-gara keduanya suka memakan pisang. Namun jika itu disampaikan orang dewasa, apalagi yang bergelar doktor, maka itu adalah buah dari sesat pikir."
  4. ^ Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, 3 Juni 2011, 16:49 :
    "Akan tetapi, berlawanan akan hal itu, tesis terhadap konsep instrumen pluralisme agama dalam Pancasila juga dilakukan oleh Luthfi Assyaukanie dalam perspektif berbeda sekalipun memiliki misi sama. Jika sebagian kelompok pragmatis memakai Sila Ketuhanan untuk melegitimasi pluralisme agama, Luthfi menolak sila pertama justru dengan alasan memasung kebebasan beragama. Dalam diskusi di Jaringan Islam Liberal (JIL), tanggal 25 Mei 2011 yang mengambil tema 'Indonesia dan Doktrin Pancasila', doktor lulusan Australia itu melihat bahwa sila pertama bisa menjadi sangat bias monoteisme. Dengan ideologi yang bias monoteis tersebut, Luthfi menyangsikan apakah Buddha dan Hindu misalnya, bisa diterima 'secara ikhlas' di negeri ini. Belum lagi fenomena ateisme dan agnostisisme yang belakangan fenomenanya muncul ke permukaan (terkait niat asosiasi kelompok ateisme Indonesia yang berniat menyusun buku bertajuk: 'Apakah Ateisme Dapat Hidup di Indonesia?'). Akhirnya, dengan konstitusi yang bias monoteis itu, Luthfi menyangsikan apakah ateisme itu juga punya prospek legal di Indonesia. Dengan tafsir yang berbeda, seperti pemahaman Buya Syafi’i Ma’arif misalnya, sila pertama memang bisa membuka ruang untuk ateisme."
  5. ^ Abdul Mutaqien (Februari 2014 : 181) :
    "Kalau alasannya pelajaran agama bikin pelajar jadi radikal, kenapa cuma 50 persen? Mestinya bisa 100 persen. Sebab, hampir semua sekolah publik di Indonesia mengajarkan agama. Belum lagi pesantren, madrasah, diniyah, sekolah tinggi agama, dan kursus-kursus agama yang jumlahnya tidak sedikit."
  6. ^ Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc., 20 Maret 2016 :
    "Subhanallah… semakin beragama semakin jahat?! Mudah membunuh dan memprovokasi?! Akan dilatih menghasut dan membenci orang lain, setiap hari?! Sungguh, ini merupakan kebohongan yang nyata! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : 'Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.' (Q.S. Al-Hujurat (49) : 13)"
  7. ^ Muhammad Ibnu Masduki, 1 Agustus 2016 :
    "Luthfi itu orang JIL yang sedang merusak Islam. Kejadian di Tanjung Balai itu harus dilihat secara menyeluruh faktor penyebabnya. Kalau ada masjid di Tolikara di Papua dibakar, mengapa Luthfi hanya diam saja? Bukan hanya Islam yang dirusak, bangsa Indonesia pun dirusak. Ideologi ekonomi mereka itu liberal dan tidak Pancasilais."
  8. ^ Habib Munzir al-Musawa, 1 Agustus 2011 :
    "Mengenai pengeras suara, ia hanya alat syiar, dan adzan yang terdengar dari pengeras suara tidak wajib dijawab, karena ia bukan suara manusia, tapi suara alat yang memperbesar suara, sebagaimana siaran langsung di Masjidil Haram dalam shalat tarawih kita tak bisa bermakmum pada televisi, karena ia hanya alat penyampai dari siaran tersebut. Namun, di masa itu, belum banyak suara yang ribut, seperti suara televisi di dalam rumah, sepeda motor, mobil dan lain-lain yang itu semua membuat suara adzan muadzin tanpa pengeras suara tak akan terdengar walau hanya beberapa rumah dari masjid."
  9. ^ Kalimat ini disampaikan oleh Assyaukanie ketika menjawab pertanyaan dari Zen R.S. : "'Di pintu-Mu aku mengetuk'. Chairil yang seenak udelnya dalam bertingkah tahu cara memohon dengan doa. Mengetuk, bukan menggedor. Apalagi teriak-teriak.”

Pranala luar