Masjid Mantingan

masjid di Indonesia
Revisi sejak 30 September 2020 15.56 oleh Hidayy (bicara | kontrib) (Menambah referensi konten)

Masjid Mantingan adalah sebuah masjid kuno di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Masjid ini konon didirikan pada masa Kesultanan Demak.

مسجد مانتنجان
Masjid Astana Mantingan
Agama
AfiliasiIslam
Lokasi
LokasiMantingan
Jepara, Jawa Tengah, Indonesia
Arsitektur
TipeMasjid
Gaya arsitekturTajug
Rampung1559
Berkas:Masjid Astana Mantingan Zaman Dahulu-Jepara.JPG
Masjid Mantingan Zaman Dahulu
Berkas:Masjid Astana Mantingan di Jepara.JPG
Masjid Mantingan
Berkas:Gapura Keagungan di Mantingan Jepara.JPG
Gapura Keagungan
Berkas:Gapura Paduraksa di Mantingan Jepara.JPG
Gapura Paduraksa
Berkas:Candi Bentar di Mantingan Jepara.jpg
Gapura Candi Bentar

Letak dan Aksesibilitas

Masjid dan Makam Mantingan terletak 5 km arah selatan dari pusat kota Jepara di desa Mantingan kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara. Masjid dan Makam Mantingan berdiri dalam satu kompleks yang mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat dari berbagai jurusan dengan sarana jalan aspal. Objek wisata sejarah ini dengan sarana angkutan jurusan Terminal Jepara – Mantingan yang dapat ditempuh beberapa menit.

Sejarah dan Legenda

Masjid Mantingan merupakan masjid kedua setelah Masjid Agung Demak, yang dibangun pada tahun 1481 Saka atau tahun 1559 Masehi berdasarkan candrasengkala yang terukir pada mihrab Masjid Mantingan berbunyi “Rupa Brahmana Warna Sari”. Pembangunan masjid ini berkait dengan anak R. Muhayat Syeh, sultan Aceh, yang bernama R. Toyib. Pada awalnya R. Toyib yang dilahirkan di Aceh ini menimba ilmu ke Tanah Suci dan Negeri Tiongkok (Campa) untuk dakwah Islamiyah. Ia pergi ke Jawa (Jepara) dan menikah dengan Ratu Kalinyamat (Retno Kencono). Ratu ini adalah putri Sultan Trenggono, sultan Kerajaan Demak. Akhirnya dia mendapat gelar Sultan Hadlirin dan sekaligus dinobatkan sebagai adipati Jepara hingga wafat.[1]

Masjid ini merupakan salah satu pusat aktivitas penyebaran agama Islam di pesisir utara Pulau Jawa dan merupakan masjid kedua setelah masjid Agung Demak. Konon, pengawas pekerjaan pembangunan masjid ini adalah Babah Liem Mo Han.

Masjid Mantingan sebagai salah satu konsep Masjid-Makam-Keraton, karena disanalah disemayamkan Sultan Hadlirin, pada tahun 1559 dengan sengkala Rupa Brahmana Warna Sari. Di Masjid Mantinganini kebudayaan dikembangkan pada ornament-ornamen yang digunakan berupa ukiran dengan motif suluran flora dan fauna yang disamarkan. Tipologi bangunan dengan konsep perpaduan Islam-Hindu terlihat jelas pada bentuk bangunan serta gapura yang berbentuk lengkung. Di dekat Masjid mantingan tersebut di dalamnya terdapat petilasan sebuah candi hindu yang sudah hilang.

Arsitektur Masjid

Akulturasi budaya Jawa, Tiongkok, dan Hindu tampak melekat pada arsitektur Masjid Mantingan [2]. Hal itu bisa dilihat dari bangunan dan gapura rumah ibadah tersebut dengan bentuk lengkungan. Lalu, terdapat petilasan candi di dekat bangunan utama masjid, meskipun sudah tidak tampak utuh.

Wajah akulturasi budaya Cina dan Hindu juga bisa dilihat dari atap tumpang dan bentuk mustaka yang bercorak budaya Hindu. Selain itu, pengaruh kebudayan hindu yang bisa kita lihat yaitu relief dinding masjidnya. Masjid Mantingan didirikan dengan lantai tinggi yang ditutup dengan ubin buatan Tiongkok.

Didirikan dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin buatan Tiongkok, dan demikian juga dengan undak-undakannya. Semua benda tersebut didatangkan dari Makao. Bangunan atap termasuk bubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru, sedang dinding sebelah tempat imam & khatib dihiasi dengan relief-relief persegi.

Salahsatu ciri masjid ini adalah reliefnya. Beberapa di antaranya memiliki pola tanaman yang membentukkan rupa makhluk hidup, sehingga tidak dapat dikatakan melanggar larangan agama Islam.

Galeri

Kompleks Makam dan Kepercayaan Masyarakat

Berdekatan dengan kompleks masjid[3] terdapat makam Sultan Hadlirin (atau Sunan Mantingan). Selain itu terdapat pula makam Ratu Kalinyamat, Patih Sungging Badarduwung seorang keturunan Tionghoa yang bernama Cie Gwi Gwan. Terdapat juga makam Mbah Abdul Jalil, yang disebut-sebut sebagai nama lain Syekh Siti Jenar.

Makam ini selalu ramai dikunjungi pada saat khol untuk memperingati wafatnya Sunan Mantingan berikut upacara ganti luwur (Penggantian Kelambu). Upacara ini diselenggarakan setiap satu tahun pada tanggal 17 Rabiul 'Awal, sehari sebelum peringatan Hari Jadi Jepara. Makam Mantingan sampai sekarang masih dianggap sakral dan mempunyai tuah bagi masyarakat Jepara dan sekitarnya. Pohon pace yang tumbuh di sekitar makam, konon bagi Ibu-ibu yang sudah sekian tahun menikah belum dikarunia putra diharapkan sering berziarah ke Makam Mantingan dan mengambil buah pace yang jatuh untuk dibuat rujak kemudian dimakan bersama suami.[1]

Air keramat

Kepercayaan lain adalah adanya tuah[4] air mantingan yang menurut kisahnya ampuh untuk menguji kejujuran seseorang dan membuktikan hal mana yang benar dan yang salah. Biasanya air keramat ini digunakan masyarakat Jepara dan sekitarnya bila sedang menghadapi suatu sengketa. Air ini diberi mantra dan doa lalu diminum.

Butuh Perhatian Pemerintah

  • Gapura Yang Berbentuk Lengkung

Memasang lampu spot, yang ditujukan pada Gapura Mantingan sehingga memiliki keindahan seperti gapura di negara Prancis yang bernama Arc de Triomphe.

Meski belum dikembangkan dengan baik area ini telah ramai dikunjungi, apalagi pasca dikembangkan nantinya. Sehingga, dalam hal ini pemerintah kabupaten Jepara bersama pemerintah desa Mantingan harus segera mengembangkan potensi yang telah ada.

Rujukan