Nani Wartabone

Politikus dan pahlawan nasional Indonesia (1907-1986)
Revisi sejak 16 Agustus 2022 10.47 oleh Fiqhi Rizky (bicara | kontrib) (Memperbaiki artikel (wikifikasi))

H. Nani Wartabone, (30 April 1907 – 3 Januari 1986) adalah putra daerah Gorontalo dan tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia.

H. Nani Wartabone
Potret Nani Wartabone
Lahir30 April 1907
Belanda Suwawa, Hindia Belanda
Meninggal3 Januari 1986(1986-01-03) (umur 78)
Indonesia Suwawa, Indonesia
MakamDesa Bube Baru, Suwawa [1]
KebangsaanIndonesia
PekerjaanPolitisi
Tahun aktif1923–1986
Dikenal atasSang Proklamator Hari Patriotik 23 Januari 1942
PenghargaanPahlawan Nasional Indonesia

Wartabone adalah seorang Petani yang memiliki rasa patriotisme tinggi dan memimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia di Gorontalo.

Puncaknya, Nani bersama para tokoh pejuang kemerdekaan Gorontalo membentuk Komite 12 yang akhirnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Gorontalo 3 (tiga) tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.

Wartabone dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarno Putri, Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November tahun 2003.[2]

Atas dedikasi dan kontribusinya bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia di Gorontalo, Nani Wartabone dianugerahi pula gelar adat Pulanga dari Persekutuan 5 Kerajaan di Gorontalo, yaitu gelar "Ta Lo Duluwa Lo Lipu" yang berarti "Sang Pembela Negeri".

Sang Proklamator dari Timur

Nani Wartabone merupakan seorang pejuang revolusioner kemerdekaan Indonesia di Gorontalo. Semasa hidup, ia berorganisasi dan berjuang melawan kolonialisme di daerahnya pada masa perjuangan kemerdekaan. Ia mulai berjuang dengan mendirikan dan menjadi sekretaris Jong Gorontalo di Surabaya pada 1923. Lima tahun kemudian, ia menjadi Ketua PNI Cabang Gorontalo.[3]

Peristiwa Proklamasi Gorontalo yang dipimpin dan dibacakan oleh Nani Wartabone menjadi tonggak sejarah dan memotivasi para pejuang nasional, termasuk Soekarno dan Hatta dalam mempercepat perjuangan kemerdekaan dari tangan penjajah.

Proklamasi Gorontalo yang dilakukan oleh Nani Wartabone kemudian dikenal luas dengan nama Hari Patriotik 23 Januari 1942 atau Hari Proklamasi Gorontalo. Dari momen bersejarah inilah kemudian Nani Wartabone dikenal dengan julukan "Sang Proklamator dari Timur".

Kehidupan Awal

Nani Wartabone adalah putra dari Zakaria Wartabone, seorang aparat yang bekerja untuk Pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan ibunya adalah keturunan ningrat dari salah satu Kerajaan di Gorontalo.

Meskipun ayahnya bekerja di Belanda, Ia memiliki pandangan yang berbeda pada penjajah. Ia tak betah bersekolah karena menurutnya guru-gurunya yang berkebangsaan Belanda terlalu mengagung-agungkan bangsa Barat dan merendahkan Bangsa Indonesia.

Nani Wartabone bahkan pernah membebaskan tahanan orangtuanya karena tak sampai hati melihat rakyat dihukum.[2]

Awal Pergerakan Kemerdekaan

Nani Wartabone mulai aktif memperjuangkan Indonesia sejak bersekolah di Surabaya. Nani kemudian mendirikan organisasi Jong Gorontalo di Surabaya. Pada tahun 1928, Ia kembali ke Gorontalo dan membentuk perkumpulan tani (hulanga). Kepada para anggota hulanga ditanamkan rasa kebangsaan.

Nani Wartabone juga mendirikan cabang PNI dan Partindo. Setelah kedua organisasi itu dibubarkan, Nani Wartabone kemudian aktif di PersyarikatanMuhammadiyah Gorontalo, Sulawesi.

Tokoh Muhammadiyah Sulawesi

Di Persyarikatan Muhammadiyah Nani Wartabone terbilang aktif dan mampu menggerakan roda organisasi. Dalam buku Biografi Nani Wartabone yang disusun FKIP Unsrat di Gorontalo (1985) disebutkan bahwa sejak tahun 1930, Nani Wartabone bersama Imam A Nadjamuddin berinisiatif mendirikan grup muhammadiyah Suwawa.

Maksud Nani Wartabone masuk Muhammadiyah adalah untuk mengarahkan umat Islam agar sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya, sehingga pandangan yang merugikan Islam dapat dihilangkan dan rakyat dapat berjuang bersama untuk mencapai kemerdekaan.

Nani menggunakan kesempatan dakwah melalui kegiatan tabligh muhammadiyah di kampung-kampung, selain untuk menyampaikan ajaran islam, juga berusaha menanamkan kesadaran berpolitik rakyat untuk bersatu menggapai Indonesia merdeka.

Masyarakat Gorontalo ternyata sangat suka dengan ceramah-ceramah Nani Wartabone. Apabila masyarakat tahu bahwa yang memberikan dakwah adalah Nani Wartabone, maka mereka akan datang berbondong-bondong untuk menghadiri dan mendengarkan tabligh tersebut.

Oleh sebab itu aktivitas dakwahnya selalu dipantau pihak kepolisian Belanda. Bahkan beberapa kali pemerintah Belanda melalui kakaknya Ayuba Wartabone yang menjabat Wedana Gorontalo, memberikan peringatan kepada Nani Wartabone terkait kegiatan dakwahnya, termasuk ancaman akan diasingkan kalau tetap bergiat dalam persyarikatan.[4]

Peristiwa Hari Patriotik 23 Januari 1942

Nani Wartabone kemudian mendengar Jepang telah menduduki Manado di bagian utara Sulawesi. Orang-orang Belanda juga tengah melarikan diri ke Poso, Sulawesi bagian Tengah. Pada titik inilah membuat orang Belanda di Gorontalo menjadi ketakutan dan bersiap pergi. Sebelum meninggalkan Gorontalo, mereka pun tengah bersiap melakukan pembakaran atau upaya membumi-hanguskan daerah yang akan ditinggalkan. Melihat peluang tersebut, Nani Wartabone merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.[4]

Pada tanggal 22 Januari 1942, Belanda membakar kapal motor Kalio dan gudang kopra di pelabuhan. Mengetahui hal ini, Nani kemudian menyiapkan senjata dan para pemuda. Jumat pagi, tepat pada tanggal 23 Januari 1942, pasukan yang dipimpin langsung oleh Wartabone berangkat dari Suwawa menuju Kota Gorontalo. Sepanjang perjalanan, banyak rakyat ikut bergabung.[4]

Pukul 09.00 pagi semua pejabat Belanda di Gorontalo berhasil ditangkap. Setelah itu, Ia memimpin rakyat menurunkan bendera Belanda dan mengibarkan bendera Merah Putih yang diiringi lagu Indonesia Raya. Kemudian Ia berpidato:[5]

Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai ketuanya. Empat hari kemudian, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa di Tanah Lapang Besar Gorontalo. Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun.

Peristiwa bersejarah ini kemudian dikenal dengan Hari Patriotik 23 Januari 1942 atau Hari Proklamasi Gorontalo.

Zaman Pendudukan Jepang

Sebulan sesudah "Proklamasi Kemerdekaan Nasional" di Gorontalo, tentara Jepang mulai mendarat. Pada 26 Februari sebuah kapal perang Jepang yang bertolak dari Manado berlabuh di pelabuhan Gorontalo. Nani Wartabone menyambut baik bala tentara Jepang ini dengan harapan kehadiran mereka akan menolong PPPG. Ternyata sebaliknya, Jepang justru melarang pengibaran bendera Merah Putih dan menuntut warga Gorontalo bersedia tunduk pada Jepang.

 
Monumen Nani Wartabone

Nani Wartabone menolak permintaan ini. Namun karena tidak kuasa melawan Jepang, ia kemudian memutuskan meninggalkan kota Gorontalo dan kembali ke kampung kelahirannya Suwawa, tanpa ada penyerahan kedaulatan.

Di Suwawa Nani Wartabone mulai hidup sederhana dengan bertani. Rakyat yang berpihak kepada Nani Wartabone akhirnya melakukan mogok massal sehingga Gorontalo bagaikan kota mati. Melihat situasi ini, Jepang melalui kaki tangannya melancarkan fitnah, bahwa Nani Wartabone sedang menghasut rakyat berontak kepada Jepang.

Akibat fitnah itu, Nani Wartabone akhirnya ditangkap pada 30 Desember 1943 dan dibawa ke Manado. Di sini, Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan.

Salah satu siksaan Jepang yang masih melekat dalam ingatan masyarakat Gorontalo hingga saat ini adalah, ketika Nani Wartabone selama sehari semalam ditanam seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala di pantai di belakang Kantor Gubernur Sulawesi Utara sekarang. Hampir sehari kepala Nani Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir.

Nani Wartabone baru dilepaskan Jepang pada 6 Juni 1945, saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak.

Jepang Kalah terhadap Sekutu

Setelah menyerah kepada Sekutu, Jepang masih tetap menghormati Nani Wartabone sebagai pemimpin rakyat Gorontalo. Ini terbukti dengan penyerahan pemerintahan Gorontalo dari Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945. Sejak hari itu Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di bumi Gorontalo setelah diturunkan Jepang sejak 6 Juni 1942. Anehnya, setelah penyerahan kekuasaan itu, Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo tidak mengetahui telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta keesokan harinya. Mereka baru mengetahuinya pada 28 Agustus 1945.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945

Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno dan Hatta menjadi tonggak sejarah lepas dan merdekanya seluruh bangsa Indonesia, termasuk bagi rakyat Gorontalo di tanah Sulawesi.

Untuk memperkuat pemerintahan nasional di Gorontalo yang baru saja diambil alih dari tangan Jepang itu, Nani Wartabone kemudian merekrut 500 pemuda untuk dijadikan pasukan keamanan dan pertahanan. Mereka dibekali dengan senjata hasil rampasan dari Jepang dan Belanda.

Pasukan ini dilatih sendiri oleh Nani Wartabone, sedangkan lokasi latihannya dipusatkan di Tabuliti, Suwawa. Wilayah ini sangat strategis, berada di atas sebuah bukit yang dilingkari oleh beberapa bukit kecil, dan bisa memantau seluruh kota Gorontalo. Di tempat ini pula, raja-raja dari Kesultanan di Gorontalo zaman dahulu membangun benteng-benteng pertahanan mereka.

Pembentukan Dewan Nasional

Setelah menerima berita proklamasi di Jakarta, pada tanggal 1 September 1945 Nani Wartabone kemudian membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai perwakilan pemerintahan nasional Indonesia di Gorontalo, termasuk membentuk badan legislatif untuk mendampingi kepala pemerintahan.

Dewan yang beranggotakan 17 orang ini terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat dan ketua parpol. Diantaranya adalah G.A. Maengkom yang pernah menjadi Menteri Kehakiman Rl dan Muhammad Ali yang pernah menjadi Kepala Bea Cukai di Tanjung Priok adalah dua dari 17 orang anggota dewan tersebut.

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia di Gorontalo turut menghadapi upaya agresi militer Belanda yang ingin kembali menjajah nusantara. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini tentu harus melewati berbagai pengorbanan, penangkapan dan pengasingan oleh Belanda, termasuk yang dialami oleh Nani Wartabone.

Ditangkap Belanda

Sayangnya, keadaan ini tidak berlangsung lama karena Sekutu masuk. Bagi Belanda yang memboncengi Sekutu ketika itu, Nani Wartabone adalah ancaman serius bagi niat mereka untuk kembali menjajah Indonesia, khususnya Gorontalo.

Mereka berpura-pura mengundang Nani Wartabone berunding pada 30 November 1945 di sebuah kapal perang Sekutu yang berlabuh di pelabuhan Gorontalo, lalu Belanda menawannya. Nani Wartabone langsung dibawa ke Manado.

Hukuman Penjara dan Pengasingan

Di hadapan Pengadilan Militer Belanda di Manado, Nani Wartabone dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun dengan tuduhan makar pada tanggal 23 Januari 1942. Dari penjara di Manado, Nani Wartabone dibawa ke Morotai yang kemudian dipindahkah ke penjara Cipinang di Jakarta pada bulan Desember 1946.

Hanya sebelas hari di Cipinang, Nani kembali dibawa ke penjara di Morotai. Di sini ia kembali mengalami siksaan fisik yang sangat kejam dari tentara pendudukan Belanda. Dari Morotai, ia dikembalikan lagi ke Cipinang, sampai dibebaskan pada tanggal 23 Januari 1949, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia.

Kembali ke Gorontalo

Tanggal 2 Februari 1950, Nani Wartabone kembali menginjakkan kakinya di Gorontalo, negeri yang diperjuangkan kemerdekaannya. Rakyat dan Dewan Nasional yang berjuang bersamanya menyambut kehadirannya dengan perasaan gembira bercampur haru dan tangis.

Kapal Bateku yang membawa Nani Wartabone disambut di tengah laut oleh rakyat Gorontalo. Nani Wartabone kemudian ditandu dari pelabuhan dibawa keliling kota dengan semangat patriotisme.

Penolakan terhadap Republik Indonesia Serikat

Nani Wartabone merupakan salah satu tokoh dari Indonesia Timur yang menentang dibentuknya pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Dalam konsep Negara Republik Indonesia Serikat, Gorontalo dimasukkan ke dalam Negara Bagian dari Negara Indonesia Timur.

Penolakan keras dari Nani Wartabone dilandasi oleh keyakinannya bahwa RIS hanyalah pemerintahan boneka yang diinginkan Belanda agar Indonesia tetap terpecah dan mudah dikuasai lagi.

Nani Wartabone kembali menggerakkan rakyat Gorontalo dalam sebuah rapat raksasa pada tanggal 6 April 1950. Tujuan rapat raksasa ini adalah menolak untuk bergabung dengan RIS dan memilih untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Peristiwa ini menandakan, bahwa Gorontalo adalah wilayah Indonesia pertama yang menyatakan menolak keberadaan RIS.

Pada periode ini hingga tahun 1953, Nani Wartabone dipercaya mengemban beberapa jabatan penting, di antaranya kepala pemerintahan di Gorontalo, Penjabat Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara. Selepas itu, Nani Wartabone memilih tinggal di desanya, Suwawa. Di sini ia kembali turun ke sawah dan ladang dan memelihara ternak layaknya petani biasa di daerah terpencil.

Perlawanan terhadap PERMESTA

Kepemimpinan Nani Wartabone sebagai tokoh revolusioner Indonesia Timur kembali terusik, ketika PRRI/PERMESTA mengambil alih kekuasaan di beberapa wilayah di Sulawesi.

Di Gorontalo sendiri, pengaruh dari Letkol Ventje Sumual dan kawan-kawannya pun mulai terasa. Ventje Sumual memproklamasikan pemerintahan PRRI/PERMESTA di Manado pada bulan Maret 1957.

Jiwa patriotisme Nani Wartabone kembali bergejolak. la kembali memimpin massa rakyat dan pemuda untuk merebut kembali kekuasaan PRRI/PERMESTA di Gorontalo dan mengembalikannya ke pemerintahan pusat di Jakarta.

Sayangnya, pasukan Nani Wartabone masih kalah kuat persenjataanya dengan pasukan pemberontak. Oleh karena itu, ia bersama keluarga dan pasukannya terpaksa masuk keluar hutan sekadar menghindar dari sergapan tentara pemberontak. Saat bergerilya inilah, pasukan Nani Wartabone digelari "Pasukan Rimba".

Berbagai cara dilakukan Nani Wartabone agar bisa mendapat bantuan senjata dan pasukan dari Pusat. Kemudian pada bulan Ramadhan 1958 datang bantuan pasukan tentara dari Batalyon 512 Brawijaya yang dipimpin oleh Kapten Acub Zaenal dan pasukan dari Detasemen 1 Batalyon 715 Hasanuddin yang dipimpin oleh Kapten Piola Isa.

Berkat bantuan kedua pasukan dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan inilah, Nani Wartabone berhasil merebut kembali pemerintahan di Gorontalo dari tangan PRRI/PERMESTA pada pertengahan Juni 1958.

Residen Sulawesi Utara di Gorontalo

Setelah PRRI/PERMESTA dikalahkan di Gorontalo itu, Nani Wartabone kembali dipercaya memangku jabatan-jabatan penting mewakili wilayah Sulawesi Utara. Pada saat itu, Gorontalo menjadi ibukota dari wilayah Sulawesi Utara, terpisah dari Manado.

Nani Wartabone kemudian dilantik menjadi Residen Sulawesi Utara di Gorontalo. Selain itu, Wartabone juga pernah dilantik menjadi anggota DPRGR sebagai utusan golongan tani.

Perlawanan terhadap Komunisme

Pada saat terjadinya peristiwa G30S tahun 1965, Nani Wartabone kembali berdiri di barisan depan rakyat Gorontalo guna mengikis habis akar-akar komunisme di wilayah itu.

Wafat

Nani Wartabone yang pernah menjadi anggota MPRS Rl, anggota Dewan Perancang Nasional dan anggota DPA itu, akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya bersamaan dengan berkumandangnya adzan salat Jumat pada tanggal 3 Januari 1986, sebagai seorang petani di desa terpencil, di Suwawa, Gorontalo.

Penghargaan

  • Pada tanggal 29 Juni 1958, Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution selaku KASAD pada saat itu memberikan penghargaan kepada Nani Wartabone.
  • Nani Wartabone dianugerahi pula gelar adat Pulanga "Ta Lo Duluwa Lo Lipu" dari Persekutuan 5 Kerajaan di Gorontalo, yaitu berarti "Sang Pembela Negeri".
  • Pada peringatan Hari Pahlawan 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone melalui ahli warisnya yang diwakili oleh salah seorang anak laki-lakinya, H. Fauzi Wartabone, di Istana Negara, pada tanggal 7 November 2003. Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003.
  • Untuk mengenang perjuangannya, di Kota Gorontalo dibangun Tugu Nani Wartabone untuk mengingatkan masyarakat Gorontalo akan perjuangannya merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
  • Pemerintah daerah menetapkan Hari Patriotik 23 Januari atau Hari Proklamasi Gorontalo sebagai hari besar yang wajib diperingati setiap tahunnya dengan melaksanakan upacara bendera, pembacaan teks Proklamasi Gorontalo, dan napak tilas perjuangan para pejuang kemerdekaan, termasuk Nani Wartabone.

Referensi

  1. ^ markassemut.com: Monumen Nani Wartabone[pranala nonaktif permanen]
  2. ^ a b merdeka.com: Profil Nani Wartabone
  3. ^ "tokohindonesia.com: Nani Wartabone". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-13. Diakses tanggal 2016-01-31. 
  4. ^ a b c "pahlawanindonesia.com: Biografi Pahlawan Nani Wartabone". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-20. Diakses tanggal 2016-01-31. 
  5. ^ Media, Kompas Cyber (2022-08-16). "Ternyata, Gorontalo Mendeklarasikan Kemerdekaan Lebih Dulu dari Proklamasi 17 Agustus 1945". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2022-08-16. 

Pranala luar