Ngalaksa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.2
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
 
(7 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 15:
== Tahapan Upacara ==
=== ''Badanten'' ===
''Badanten'' atau [[musyawarah]] adalah tahap pertama dalam upacara ''ngalaksa''. Bila pelaksanaannya di masyarakat, para rurukan sudah mempersiapkan acara ''badanten'' sejak bulan ''Mulud'' ([[Rabiul’awal]]) atau ''Silih Mulud'' ([[Rabiul’akhir]]) untuk ''ngalaksa'' bulan Jumadil’akhir, atau selepas [[Lebaran]] ([[Syawal]]) untuk ''ngalaksa'' di bulan ''Hapit'' ([[Dzulqaidah]]) pada tahun ketiga menjelang keempat. Adapun bila pelaksanaannya menurut pada [[agenda]] [[pemerintah]] di [[Desa]] [[Wisata]], sebelumnya para ketua rurukan sudah mengetahui rurukan mana yang akan menjadi penanggung jawab penyelenggaraan kegiatan setiap tahunnya. Antara bulan Mei sampai dengan Juli ([[kalender]] [[pemerintah]]) untuk menentukan waktu terbaiknya. ''Badanten'' dilakukan oleh para ketua rurukan dengan mengundang empat ketua rurukan lainnya, perangkat desa, sesepuh [[laki-laki]] dan [[perempuan]] atau para ''saéhu'', juga para pendukung lainnya. Dalam ''badanten'' dilakukan musyawarah tentang segala persiapan dan pelaksanaan upacara ''ngalaksa''. Mulai dari waktu ([[hari]] dan [[tanggal]]) yang harus dihitung berdasarkan [[palintangan Sunda]], kepanitiaan atau ''panata calagara'', ''candoli'', bahan yang harus disediakan, perlengkapan (peralatan dapur dan peralatan listrik), transportasi, dan penabuh [[kesenian]] tarawangsa. Struktur tahapan ''badanten'' adalah sebagai berikut.<ref name=":3">{{Cite web|url=http://jurnal.isbi.ac.id/index.php/panggung/article/download/158/209|title=Rekontruksi  Model  Manajemen  Rurukan Dalam  Upacara  Adat|website=webcache.googleusercontent.com|access-date=2019-04-11|archive-date=2020-02-15|archive-url=https://web.archive.org/web/20200215112341/https://jurnal.isbi.ac.id/index.php/panggung/article/download/158/209|dead-url=yes}}</ref>
 
* '''''Saur'' atau ''Béwara''''', setelah ''badanten'' dilaksanakan secara ''tatalépa'' atau dari [[mulut]] ke mulut ''saur'' ([[informasi]]) segera menyebar. Prosesnya disebut ''bewara'' atau mengumunkan dalam waktu [[satu]] [[minggu]].<ref name=":6">{{Cite web|url=https://docplayer.info/52432561-Bab-iii-kebudayaan-desa-sukahayu-kecamatan-rancakalong-kota-sumedang.html|title=BAB III Kebudayaan Desa Sukahayu Kecamatan Rancakalong Kota Sumedang - PDF|website=docplayer.info|access-date=2019-04-22}}</ref>
Baris 57:
* '''''Nyepitan Nyai''''', atau meng[[khitan]] Nyai. Alat mengkhitan Nyai adalah ''jambangan'' yang terdiri dari ''titihan'' dan ''cacadan.'' Sebelum kegiatan itu dilakukan, juru ijab kembali mengucapkan ''ijab kabul'' yang intinya memohon ijin pada Dewi Sri karena tubuhnya akan di[[tekan]] atau ''disepitan.'' Setelah ijab selesai, ''orok'' tersebut kemudian dimasukkan ke dalam ''titihan'' berlubang, lalu dengan ''cacadan'' orok tersebut di''gencét'' atau ditekan dengan ''cacadan,'' maka keluarlah ''laksa'' atau ''laksa gencét,'' laksa yang sesungguhnya yang berupa lembaran-lembaran laksa menyerupai [[mie]] atau semacam ''spageti.'' Nyepitan ini hanya dibuat satu kali saja dan harus dilakukan dengan sekuat [[tenaga]] agar orok berubah menjadi laksa (mentah).
* '''''Membuat Laksa''''', laksa mentah yang berupa [[lembaran]]-lembaran menyerupai mie itu kemudian ditampung dengan ayakan lalu direbus di atas tungku. Ketika lembaran itu matang, maka laksa akan menyembul dari dalam air yang panas, semua orang berteriak [[bahagia]] seraya berkata, ''Geulis! Geulis! Geulis!,'' atau [[Cantik]]! Cantik! Cantik! Lembaran-lembaran laksa yang telah [[matang]] itu diambil untuk ''dihurip''. Sisa laksa yang masih dalam dandang dan tidak menyembul menyerupai mie akan disimpan.
* '''''Ngahurip''''', proses terakhir dalam membuat ''laksa gencét'' ini adalah ''ngahurip''. ''Ngahurip'' adalah mendoakan lembaran laksa yang telah diangkat dari tempat rebusan. Prosesnya seperti ''ngahurip'' pada bayi, yaitu seorang sesepuh laki-laki menimang dan mendoakan laksa yang dialasi selembar daun yang [[lebar]], lalu diserahkan pada sesepuh perempuan yang seolah-olah menjadi ''Ma [[Parajiparaji|ma paraji]]'' atau [[(dukun]] beranak) yang juga mendoakan dengan penuh [[kasih]] [[sayang]]. Setelah itu acara ditutup oleh ''saéhu'' dengan menyampaikan [[pidato]] tradisional yang isinya berupa nasihan agar masyarakat yang mengikuti upacara ''Ngalaksa'' senantiasa melaksanakan [[amanat]] leluhurnya supaya terhindar dari kesulitan.<ref name=":4" />
 
'''''Wawarian'''''
Baris 75:
'''Ketua Rurukan'''
 
Ketua ''Rurukan'' atau Ketua [[Kampung]], bertugas memimpin upacara serta mengatur jalannya upacara. Ketua rurukan yang membuka acara dan diawali dengan memberikan contoh kepada [[peserta]] upacara mengenai semua kegiatan yang akan dilaksanakan. Seorang ketua rurukan harus bisa menjaga jalannya upacara sehingga tidak ke luar dari [[kaidah]]-kaidah yang berlaku dan sudah disepakati sebelumnya.
 
'''Saehu'''
Baris 199:
'''Pertunjukan tarawangsa'''
[[Berkas:Tarawangsa.png|jmpl|Pertunjukan Tarawangsa dalam upacara ngalaksa.]]
Tarawangsa adalah seni [[pusaka]] yang sangat dihormati di [[Desa]] [[Rancakalong]], sehingga dijuluki seni ''ormatan''. Tarawangsa sendiri memiliki [[arti]] dan dimaknai sebagai ''tatabeuhan rakyat wali nu salapan'' (alat [[musik]] [[Sembilan]] [[Wali]]) atau merupakan [[akronim]] dari ''narawang ka nu Maha Kawasa'' (menerawang pada Tuhan Yang Maha Esa).<ref>{{Cite web|url=http://gigipriadji.net/tarawangsa/|title=Tarawangsa Rancakalong – Gigi Priadji|language=en-US|access-date=2019-04-12|archive-date=2019-04-12|archive-url=https://web.archive.org/web/20190412151703/http://gigipriadji.net/tarawangsa/|dead-url=yes}}</ref> Tarawangsa juga memiliki fungsi khusus sebagai alat musik untuk menghormati ''Nyai Nu Geulis'', sebuah sebutan yang dituturkan [[orang]]-orang tua pada [[zaman]] dahulu di Tatar Sunda untuk makanan, khususnya beras dan [[nasi]].<ref>http://ojs.badanbahasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/jentera/article/download/277/103</ref> Alat musik yang dipakai dalam pertunjukan ini terdiri dari dua [[waditra]], yaitu waditra ''jentreng'' (sejenis [[kecapi]]) dan ''ngek-ngek'' (sejenis [[rebab]]). ''Jentreng'' bentuknya mirip dengan [[perahu]] yang berukuran panjang 75&nbsp;cm sampai dengan 104&nbsp;cm, lebarnya 12 sampai 14&nbsp;cm. Terdiri dari ''ruruma, geulang, inang, paksi'', lubang [[suara]] dan [[kawat]] atau [[dawai]] berjumlah 7 buah.<ref name=":5">{{Cite journal|last=Yulaeliah|first=Ela|date=2006|title=TARAWANGSA DAN JENTRENG DALAM UPACARA NGALAKSA DI RANCAKALONG SUMEDANG JAWA BARAT (Sebagai Sarana Komunikasi Warga)|url=http://journal.isi.ac.id/index.php/selonding/article/view/5|journal=SELONDING|language=en|volume=3|issue=1|doi=10.24821/selonding.v3i1.5}}</ref> Sedangkan ''ngek-ngek'' adalah alat musik [[gesek]] beresonansi dari [[kayu]], memiliki [[leher]] panjang dan dua buah kawat. Peranannya selain berfungsi sebagai [[melodi]] juga bisa menjadi [[goong]] untuk memperkuat [[aksen]] petikan pada akhir ketukan [[lagu]].<ref name=":1" /> Pertunjukan ini disajikan dalam bentuk [[Grup musik|ansambel]] [[kecil]] yang hanya dimainkan oleh dua orang yang terdiri dari satu orang [[pemain]] kecapi dan satu orang pemain rebab. Kecapi dalam tarawangsa memiliki tujuh dawai, sedangkan rebab nya memiliki dua dawai. Baik ''jentreng'' maupun ''ngek-ngek'', kedua istilahnya diambil dari masing-masing [[imitasi]] [[bunyi]] waditranya. ''Jentreng'' berasal dari bunyi yang di petik menghasilkan bunyi ''treng'' dan ''ngek-ngek'' berasal dari bunyi rebab yang di gesek menghasilkan bunyi ''ngek''. Dalam membunyikan waditra ''ngek-ngek'' terdapat berbagai keunikan di dalamnya, selain bunyi suaranya yang khas, cara memainkannya juga sangat berbeda dengan memainkan rebab. Dalam memainkan rebab sunda dawai ditekan menggunakan ujung [[jari]], sedangkan bila memainkan ''ngek-ngek'' dawai ditekan menggunakan [[sendi]] setiap jari-jari [[tangan]]. Waditra ''ngek-ngek'' hanya digunakan untuk memainkan lagu-lagu tarawangsa, karena fungsinya hanya sebagai pembawa melodi dari lagu tarawangsa tersebut. Berbeda dengan waditra rebab sunda yang dapat digunakan untuk mengiringi semua lagu-lagu sunda.<ref>{{Cite journal|last=Ismail|first=M. Taufik|date=2017-06-16|title=ORNAMENTASI WADITRA NGEK-NGEK GAYA ABUN DALAM LAGU REUNDEU PADA KESENIAN TARAWANGSA RANCAKALONG SUMEDANG|url=http://repository.upi.edu/|language=en|publisher=Universitas Pendidikan Indonesia}}</ref> Dalam pertunjukan Tarawangsa, [[penduduk]] menari sambil diiringi musik semalam suntuk, tak sedikit orang yang menari mengalami kerasukan [[ruh]] para [[leluhur]]. Pertujukan ini diawali oleh para para [[tokoh]] dan sesepuh dengan memanjatkan [[puji]] kepada Tuhan dan menghaturkan [[salawat]] kepada [[Nabi]] Muhammad Saw.<ref>{{Cite web|url=https://tirto.id/tarawangsa-menghormati-dewi-sri-sampai-hilang-kesadaran-cQcu|title=Tarawangsa: Menghormati Dewi Sri sampai Hilang Kesadaran|last=Teguh|first=Irfan|website=tirto.id|language=id|access-date=2019-04-12}}</ref>
 
Pertunjukan seni tarawangsa biasanya dilaksanakan pada malam hari mulai pukul 20.00 WIB sampai dengan pukul 04.00 WIB dini hari. Khusus dalam upacara adat Ngalaksa dilakukan selama satu minggu siang dan malam secara berturut-turut. Hal ini terjadi karena tarawangsa dijadikan pengiring upacara yang senantiasa harus dipagelarkan selama upacara berlangsung. Para pemain seni tarawangsa terdiri dari penari perempuan berjumlah 5,7, sampai 9 orang yang ber[[usia]] lanjut, nayaga (pemain musik), [[saksi]], dan Kuncen ([[juru kunci]]). Pertunjukannya dibagi ke dalam beberapa acara yaitu, ''tatalu'' (pembukaan), ''ngukus'' (membakar kemenyan), ''ijab kabul'' ([[ikrar]] serah terima), ''ngalungsurkeun'' (menurunkan)'', nema, nyumpingkeun'' (mendatangkan) ''dan nginebkeun'' (menyimpan). Lagu-lagu yang biasa dibawakan dari awal sampai akhir pertunjukan adalah ''Pamapag, Mataraman, Iring-iringan, Jemplang, Panimang, Sirna Galih, Dengdo, Angin-angin, Pangapungan, Buncis, Badud, dan Degung.'' [[Sesaji]] dalam seni tarawangsa memiliki ciri khas sebagai sebuah seni tradisi yang dianggap [[sakral]]. Makna-makna yang bisa diambil hikmahnya dari pertunjukan tarawangsa  yaitu wujudan [[rasa]] [[syukur]] kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu ingat bahwa setiap tindakan harus ''mipit kudu amit ngala kudu menta'' (mengambil itu harus minta ijin terlebih dahulu). Selain itu, [[manusia]] harus memperlakukan padi (Dewi Sri) dengan tertib, teliti, dan hati-hati.<ref name=":12">{{Cite book|last=Paluseri, D. D., dkk.|date=Oktober 2018|url=https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/dashboard/media/Buku%20Penetapan%20WBTb%202018.pdf|title=Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018|location=Jakarta|publisher=Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan|editor-last=Ratnawati|editor-first=Lien Dwiari|pages=143|url-status=live}}</ref> Sedangkan gambaran [[media]] yang digunakan adalah manusia hidup di alam dunia ini terdiri dari empat [[unsur]] yang dilambangkan dengan daun hanjuang (kehidupan), kendi (unsur [[bumi]]), hihid (unsur [[angin]] atau [[udara]]), dan air mengalir (unsur [[darah]]).<ref name=":1" />
 
Dalam kesenian ini, disediakan sesaji sebagai syarat berlangsungnya [[ritus]]. Sesaji dalam seni ini terdiri dari sesaji di tengah [[rumah]] dan sesaji di ''padaringan'' (tempat menyimpan padi). Sesaji yang disimpan adalah pakaian [[kebaya]] [[putih]], ''pangradinan'', [[sisir]] dan [[kaca]], [[minyak]] [[kelapa]], ''tektek'' juga beras yang di atasnya ditancapkan daun [[hanjuang]], [[bunga]] [[rampai]], dan kemenyan.<ref name=":1" />
Baris 223:
[[Kategori:Kabupaten Sumedang]]
[[Kategori:Rancakalong, Sumedang]]
 
 
{{Sunda-stub}}