Orang Indo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
 
(22 revisi perantara oleh 13 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
:''Artikel ini mengenai {{Tentang|kelompok etnis perpaduan antara Eropa dan Indonesia. Untuk |pengertian lain, silakan melihat [[|Orang Indo (disambiguasi)]]''}}
{{refimprove|date=Oktober 2018}}
:''Artikel ini mengenai kelompok etnis perpaduan antara Eropa dan Indonesia. Untuk pengertian lain, silakan melihat [[Orang Indo (disambiguasi)]]''
{{ethnic group|
|group=Indo <br />''Indo-Europeanen'' <br /> ''Indische Nederlanders''
|image =COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van een Indo-Europese familie op Sumatra voor een wandkast of scherm TMnr 60011339.jpg
|image =[[Berkas:E.du.perron.jpg|70px|E. du Perron]][[Berkas:Couperus.jpg|70px|Louis Couperus]][[Berkas:Douwes.jpg|70px|E.Douwes Dekker]] [[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Dick de Hoog Volksraadslid en voorzitter van het I.E.V TMnr 10001381.jpg|70px|Dick de Hoog]][[Berkas:MarionBloemWP-NL.JPG|70px|M.Bloem]][[Berkas:Leonard3.jpg|74px|Leonard Retel Helmrich]]
|caption = Keluarga Indo di Sumatra
|caption = {{nowrap|<small>[[Karel Zaalberg]]{{•}}[[E. du Perron]]{{•}}[[Louis Couperus]]<br/>[[Ernest Douwes Dekker]]{{•}}[[Dick de Hoog]]{{•}}[[P.F.Dahler|P. F. Dahler]]<br/>[[Marion Bloem]]{{•}}[[Leonard Retel Helmrich|Leonard R. Helmrich]]</small>}}
|poptime=sekitar 1.000.000 di Indonesia (pendugaan), sekitar 500.000 di Belanda
|popplace=[[Belanda]], [[Indonesia]], [[Amerika Serikat]], [[Australia]], [[Britania Raya]]
|langs=[[Bahasa Belanda|Belanda]], [[Bahasa Indonesia|Indonesia]], [[Bahasa Pecok|Pecok]], [[Bahasa Javindo|Javindo]], [[Bahasa Melayu|Melayu]], [[BahasaDaftar Jawabahasa di Indonesia|JawaBahasa Daerah di Indonesia]], [[Bahasa Inggris|Inggris]], [[Bahasa Portugis|Portugis]], [[bahasa Spanyol|Spanyol]], [[bahasa Jerman|Jerman]]
|rels='''Mayoritas'''<br>[[Kristen]] ([[Protestan]] terutama [[Lutheran]]; [[Katolik Roma]])<br>'''Minoritas'''<br>[[Islam]]
|related=[[Bangsa Belanda|Belanda]] • [[Daftar suku di Indonesia|suku-suku di Indonesia]], terutama [[orang Maluku|Maluku]], [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Sunda|Sunda]], dan [[Suku Minahasa|Minahasa]] • [[bangsa Portugis|Portugis]] • [[bangsa Spanyol|Spanyol]] • [[bangsa Jerman|Jerman]] • [[bangsa Inggris|Inggris]] • [[bangsa Arab|Arab]]
Baris 22:
 
=== Periode awal pembentukan: Era Portugis dan Spanyol (1500-1600) ===
Penjelajah dari [[Eropa]] mulai ramai datang ke [[Nusantara]] pada awal [[abad ke-16]], sebagai konsekuensi dari [[Zaman Penjelajahan]] (''Age of Exploration'') yang melanda Eropa.<ref>{{Cite book|last=Goor|first=Jurrien van|last2=Goor|first2=Foskelien van|date=2004|url=https://books.google.co.id/books?id=XORpOFX5o80C&lpg=PP1&pg=PA57#v=onepage&q&f=false|title=Prelude to Colonialism: The Dutch in Asia|location=|publisher=Uitgeverij Verloren|isbn=978-90-6550-806-5|pages=57|language=en|url-status=live}}</ref> Banyak di antara mereka yang tertarik untuk atau terpaksa menetap di negeri tujuan. Mereka adalah orang [[Portugis]] dan [[Spanyol]] beserta budak-budak mereka dari [[India]], [[Sri Lanka]], [[Malaka]], atau Nusantara bagian timur (seperti Maluku, Bali, atau Gowa/Bugis). Misi Eropa berdatangan karena bisnis dan perdagangan, namun ada pula yang menetap karena tugas keagamaan (misi). Cukup banyak yang kemudian menikah atau bahkan memiliki anak tanpa ikatan pernikahan dengan penduduk setempat, mengingat pendatang dari Eropa semuanya lelaki. Di [[Malaya]], keturunan mereka saat ini disebut sebagai '''Melayu Eropa'''. Di Indonesia, sisa-sisa dari masyarakat campuran ini dapat ditemukan di Maluku, Flores, Kampung Tugu ([[Cilincing, Jakarta Utara]]) serta Kampung Lamno Jaya, [[Aceh Barat]]. Masyarakat yang terakhir ini sekarang nyaris punah akibat bencana [[Tsunami Aceh 2004]].<ref>{{Cite web|last=Azis|first=Muhajir Abdul|date=19 November 2017|title=Telusur jejak turunan Portugis di Aceh|url=https://lokadata.id/artikel/telusur-jejak-turunan-portugis-di-aceh|website=Lokadata.ID|language=id|access-date=20 September 2020|archive-date=2020-11-26|archive-url=https://web.archive.org/web/20201126172431/https://lokadata.id/artikel/telusur-jejak-turunan-portugis-di-aceh|dead-url=yes}}</ref>
{{unreferenced section|date=Oktober 2018}}
Penjelajah dari [[Eropa]] mulai ramai datang ke [[Nusantara]] pada awal [[abad ke-16]], sebagai konsekuensi dari [[Zaman Penjelajahan]] (''Age of Exploration'') yang melanda Eropa. Banyak di antara mereka yang tertarik untuk atau terpaksa menetap di negeri tujuan. Mereka adalah orang [[Portugis]] dan [[Spanyol]] beserta budak-budak mereka dari [[India]], [[Sri Lanka]], [[Malaka]], atau Nusantara bagian timur (seperti Maluku, Bali, atau Gowa/Bugis). Misi Eropa berdatangan karena bisnis dan perdagangan, namun ada pula yang menetap karena tugas keagamaan (misi). Cukup banyak yang kemudian menikah atau bahkan memiliki anak tanpa ikatan pernikahan dengan penduduk setempat, mengingat pendatang dari Eropa semuanya lelaki. Di [[Malaya]], keturunan mereka saat ini disebut sebagai '''Melayu Eropa'''. Di Indonesia, sisa-sisa dari masyarakat campuran ini dapat ditemukan di Maluku, Flores, Kampung Tugu ([[Cilincing, Jakarta Utara]]) serta Kampung Lamno Jaya, [[Aceh Barat]]. Masyarakat yang terakhir ini sekarang nyaris punah akibat bencana [[Tsunami Aceh 2004]]
 
Walaupun periode relatif ini singkat, terdapat banyak warisan budaya masyarakat ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Cara bergaul orang Portugis yang relatif terbuka dan tidak [[rasisme|rasis]] membuat budayanya banyak terserap secara mudah. Berbagai tanaman asal Amerika tropis, beberapa jenis kue (terutama bolu), sejumlah produk rumah tangga umum, serta berbagai permainan dan hiburan dari Eropa mulai dikenal masyarakat Nusantara melalui pendatang ini dan keturunannya. Laporan Belanda pada abad ke-19 bahkan menyatakan bahwa bahasa Portugis bahkan masih dipakai oleh orang-orang keturunan campuran Eropa (mestizo) di [[Batavia]]. Musik [[keroncong]] adalah bentuk musik dari masyarakat campuran warisan masa ini dan kelak menjadi salah satu penciri kultur Eropa-Indonesia pada abad ke-20.<ref>{{Cite journal|last=Becker|first=Judith|date=1975|title=Kroncong, Indonesian Popular Music|url=https://www.jstor.org/stable/833923|journal=Asian Music|language=en|volume=7|issue=1|pages=14|doi=10.2307/833923|issn=0044-9202}}</ref>
 
=== Menjadi kelas masyarakat tersendiri : Di bawah VOC (1600-1799) ===
Baris 32 ⟶ 31:
Mereka dapat dipisahkan dalam dua kelompok: '''''trekkers''''' dan '''''blijvers'''''. ''Trekkers'' (atau masa kini disebut [[ekspatriat]]) adalah orang Eropa yang segera berkeinginan kembali ke Eropa setelah tugasnya selesai dan ''blijvers'' adalah mereka yang mampu beradaptasi, lalu menetap di Hindia Belanda. Blijvers ini banyak yang beristri orang setempat (dijuluki ''Nyai'', seperti dalam legenda [[Nyai Dasima]]) atau orang [[Tionghoa]]. Kedua kelompok ini juga berbeda orientasinya. Para trekkers cenderung mempertahankan nilai-nilai Eropa (barat) sehingga selalu eksklusif dan elitis, sementara para blijvers cenderung meleburkan diri ke dalam nilai-nilai lokal, meskipun mereka tetap merupakan representasi kultur Eropa. Namun, orang Belanda secara keseluruhan pada umumnya lebih banyak terserap dalam nilai-nilai setempat daripada sebaliknya.<ref>Osborne M 2004. ''Southeast Asia: An Introductory History''. Allen & Unwin Australia. hal 53</ref>
 
Mereka inilah yang menjadi inti masyarakat kelas menengah berciri kosmopolitan di Batavia pada masa itu. Orang-orang ini takut mandi, suka minum-minum (arak Batavia terkenal terbaik di seluruh Asia), dan suka bertaman. Contoh dari orang Eropa-Indonesia adalah [[Pieter Elberfeld]] (Erberfeld, menurut Vlekke<ref name="Vlekkeref1">Vlekke BHM 2008. [[Ibid.]]</ref>), seorang keturunan Jerman-Siam yang (dituduh) memimpin kerusuhan pada 1721, dan C. Suythoff, yang adalah menantu pelukis ternama Belanda, Rembrandt.
 
Pengaruh VOC sebenarnya hanya kuat di Batavia, sebagian Jawa, serta di Maluku & Minahasa. Di wilayah-wilayah ini mulai muncul perbedaan kelas sosial berdasarkan warna kulit, meskipun belum dilembagakan secara hukum. Masyarakat Eropa dan keturunannya menempati kawasan terpisah dari kelompok lainnya. Di dalam masyarakat ini juga mulai terjadi segregasi. Kaum trekkers serta blijvers yang tidak memiliki darah campuran (disebut "Belanda totok") menganggap dirinya lebih "tinggi" daripada mereka yang memiliki darah campuran. Kaum campuran (''miesling'') ini biasanya dipekerjakan di kantor-kantor dagang untuk membantu tugas-tugas pencatatan atau lapangan. Pendidikan mereka kurang diperhatikan dan banyak bergaul dengan para budak. Sebagai akibatnya, mereka banyak menyerap budaya lokal dan kurang memiliki kemampuan ber[[bahasa Belanda]] yang memadai. Bahkan tercatat bahwa pada akhir abad ke-18 banyak keturunan Belanda/Eropa yang lebih fasih berbahasa kreol-Portugis atau Melayu Pasar daripada bahasa Belanda. Dari mereka ini kemudian muncul dialek bahasa Belanda yang khas: [[Indisch Nederlands]], dan sejenis bahasa kreol yang dikenal sebagai [[bahasa Pecok]]. Pada masa ini pula sejumlah budak lokal yang dibebaskan dan kemudian memeluk agama Kristen lambat-laun ikut terserap dalam masyarakat Eropa-Indonesia.
Baris 46 ⟶ 45:
 
=== Masa suram: Pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1939-1950) ===
{{unreferenced section|date=Oktober 2018}}
Sejak masa ini mulai terjadi emigrasi besar-besaran orang Eropa-Indonesia ke luar Indonesia.
 
Pada [[Perang Dunia Kedua]], orang Indo mengalami masa yang suram, baik yang tinggal di [[Eropa]] maupun [[Asia]]. Di [[Eropa]], [[Jerman Nazi]] menduduki banyak [[negara]] dan memusuhi mereka yang bukan "Arya" asli (Eropa asli).{{Butuh rujukan}} Selama Perang Dunia II, Koloni Eropa di Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda, diserang dan dianeksasi oleh [[Kekaisaran Jepang]].<ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=The Dutch East Indies Campaign 1941-1942|url=https://dutcheastindies.webs.com/index.html|website=dutcheastindies.webs.com|access-date=23 September 2020|archive-date=2019-04-10|archive-url=https://web.archive.org/web/20190410231954/https://dutcheastindies.webs.com/index.html|dead-url=yes}}</ref> Tentara Jepang memperlakukan penduduk jajahannya dengan kejam, terlebih-lebih orang-orang dari [[Eropa]] (termasuk Indo). Semua orang Eropa asli dimasukkan ke dalam [[kamp konsentrasi Jepang]],<ref>{{Cite book|last=Smith|first=Andrea L.|date=2003|url=https://www.jstor.org/stable/j.ctt46mxq8.4|title=Europe's Invisible Migrants|location=Amsterdam|publisher=Amsterdam University Press|isbn=978-90-5356-571-1|editor-last=Smith|editor-first=Andrea L.|pages=16|url-status=live}}</ref> sementara orang Indo yang dapat membuktikan hubungan kekerabatan dengan pribumi dikenakan pembatasan-pembatasan tertentu.<ref>{{Cite web|last=Croix|first=Humphrey de la|date=|title=World War II and Bersiap Period (1945-1949) {{!}} Buitenkampers: Ignored and Untold stories {{!}}|url=http://www.indischhistorisch.nl/tweede/oorlog-en-bersiap/world-war-ii-and-bersiap-period-1945-1949-buitenkampers-ignored-and-untold-stories/|website=www.indischhistorisch.nl|access-date=23 September 2020}}</ref> Anak laki-laki berusia 15 tahun ke atas dipisahkan dari ibunya dan dimasukkan ke dalam kamp bersama dengan laki-laki dewasa. Sementara itu, perempuan diasingkan bersama anak-anak di kamp perempuan.<ref>{{Cite news|last=|first=|date=19 October 2014|title=The forgotten women of the 'war in the East'|url=https://www.bbc.com/news/magazine-29665232|work=|newspaper=BBC News|language=en-GB|access-date=23 September 2020}}</ref> Semua laki-laki usia kerja [[Kerja paksa|dipaksa kerja]] tanpa dibayar.<ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Information about the Prisoners of War of the Japanese 1939-1945|url=https://www.forces-war-records.co.uk/prisoners-of-war-of-the-japanese-1939-1945|website=www.forces-war-records.co.uk|access-date=23 September 2020|archive-date=2022-03-08|archive-url=https://web.archive.org/web/20220308184617/https://www.forces-war-records.co.uk/prisoners-of-war-of-the-japanese-1939-1945|dead-url=yes}}</ref>
Pada [[Perang Dunia Kedua]], orang Indo mengalami masa yang suram, baik yang tinggal di [[Eropa]] maupun [[Asia]]. Di [[Eropa]], [[Jerman Nazi]] menduduki banyak [[negara]] dan memusuhi mereka yang bukan "Arya" asli (Eropa asli). Di [[Asia]], pada [[perang Pasifik]], tentara Jepang memperlakukan penduduk jajahannya dengan kejam, apalagi terhadap orang-orang dari [[Eropa]] (termasuk Indo). Banyak di antara mereka yang dapat melarikan diri, pergi ke negara-negara seperti [[Amerika Serikat]], [[Inggris]] (salah satu negara Eropa yang tidak diduduki [[tentara]] [[Nazi]]), [[Australia]] (mengabaikan kebijakan ras- [[White Australia Policy]]), [[Selandia Baru]] dan [[Kanada]] karena mereka dapat diterima sebagai [[pelarian perang]].
 
Pada [[Perang Dunia Kedua]], orang Indo mengalami masa yang suram, baik yang tinggal di [[Eropa]] maupun [[Asia]]. Di [[Eropa]], [[Jerman Nazi]] menduduki banyak [[negara]] dan memusuhi mereka yang bukan "Arya" asli (Eropa asli). Di [[Asia]], pada [[perang Pasifik]], tentara Jepang memperlakukan penduduk jajahannya dengan kejam, apalagi terhadap orang-orang dari [[Eropa]] (termasuk Indo). Banyak di antara mereka yang dapat melarikan diri, pergi ke negara-negara seperti [[Amerika Serikat]], [[Inggris]] (salah satu negara Eropa yang tidak diduduki [[tentara]] [[Nazi]]), [[Australia]] (mengabaikan kebijakan ras- [[White Australia Policy]]), [[Selandia Baru]] dan [[Kanada]] karena mereka dapat diterima sebagai [[pelarian perang]].
 
Situasi sangat sulit dialami oleh mereka yang terkait dengan Jerman. Di periode awal (1939-1942) mereka ditangkapi oleh pemerintah Hindia Belanda dan diusir. [[Walter Spies]], seorang seniman terkenal, menjadi korban pada masa ini. Situasi agak membaik tetapi tetap buruk ketika Jepang masuk. Mereka dibebaskan (karena yang ditangkapi kemudian adalah orang-orang dari negara Sekutu, seperti Belanda, Inggris atau Prancis) namun menjadi sasaran salah tangkap karena penampilan yang sama. Akibatnya banyak yang memilih keluar dari Hindia Belanda.
Baris 70:
Kaum Indo memiliki ciri-ciri budaya percampuran dari [[kebudayaan Barat]] (Eropa) dan kebudayaan Timur (Indonesia atau Tionghoa). Percampuran budaya ini sedikit banyak berkaitan dengan derajat "ketercampuran" rasial masing-masing individu dan latar belakang etnis keluarga mereka. Hal ini membuat kelompok ini sukar didefinisikan, bahkan oleh anggotanya sendiri, sehingga mereka sulit menyatukan diri sebagai satu kekuatan politik. Situasi ini menjadi bencana bagi mereka ketika terjadi [[Perang Pasifik]] dan masa-masa awal Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
 
Kaum Eurasia (''Mesties'') mendominasi penampilan fisik kelompok etnik ini. Sensus penduduk tahun 1930 menunjukkan bahwa sekitar 75% golongan Europeanen memiliki garis keturunan campuran. Sisanya adalah orang Eropa ''totok'' ("murni") serta orang kelompok etnik lain yang dianggap layak sebagai anggota golongan legal ini.<ref name="cbs"/> Kerumitan latar belakang rasial ini membentuk suatu rentang [[fenotipe]] (penampilan luar) yang luas, meskipun tidak semua anggota golongan orang Eropa mengidentifikasi diri sebagai etnik Indo, terutama dari kalangan ''trekkers'' (ekspatriat). Muncul kemudian berbagai istilah untuk menyebutkan derajat kepekatan warna kulit, seperti ''koffie met melk'' ("kopi susu"), ''kwart over zes'' (pukul enam kurang seperempat), ''half zeven'' ("pukul setengah tujuh"), ''bijna zeven uur'' ("hampir pukul tujuh"), hingga ''zo zwart als mijn schoen'' ("segelap warna sepatuku") yang paling "kelam".<ref name="veur2">van der Veur, PW. 1968. [http://www.jstor.org/stable/3350710 Cultural aspect of The Eurasian Community in Indonesian Colonial Society]. ''Indonesia'' 6:38-53.</ref>. Dikenal pula di masyarakat julukan yang berkesan merendahkan, seperti "sinyo" atau "noni" diberikan kepada anak-anak Indo. Oleh masyarakat pribumi julukan ini diperluas bagi sebutan semua anak-anak golongan kulit putih.
 
Di kalangan Indo telah umum diketahui, semakin tinggi "derajat keeropaan" seseorang, semakin tinggi derajat sosialnya. Maka tidak mengherankan bahwa sebagian besar berusaha mengidentifikasi diri sebagai orang Eropa. Kaum perempuannya bercita-cita untuk menikah dengan orang Eropa.<ref name="veur1">Veur, P. van der. 1969. [http://www.jstor.org/stable/3350669 Race and Color in Colonial Society: Biographical Sketches by a Eurasian Woman concerning Pre-World War II Indonesia]. ''Indonesia'' 8:69-79.</ref> Aspek budaya lokal dianggap lebih "rendah" atau "kasar".<ref name="veur1"/>. Stratifikasi sosial bernuansa rasis ini sedikit banyak muncul dari asal usul orang Indo, yang kebanyakan adalah keturunan dari kebiasaan per[[gundik]]an meluas di kalangan pria Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 akibat kurangnya perempuan Eropa. Orang-orang Mestizo dianggap sebagai "keturunan hubungan gelap". Kebanyakan mereka dibesarkan oleh ibu mereka dalam tradisi lokal, sehingga pendidikannya dianggap kurang, juga dalam kemampuan berbahasa Belandanya. VOC, sebagai penguasa, tampaknya juga tidak terlalu peduli dengan situasi ini. Namun justru masuknya unsur budaya lokal yang menjadi pembeda mereka dan orang Belanda pendatang, bahkan masih dipertahankan hingga akhir abad ke-20.
 
Kaum Indo digunakan oleh penjajahan Belanda sebagai "penyangga" kultural agar tidak terjadi pergesekan yang menyebabkan kekacauan politik. Nasib yang sama dialami oleh kaum [[Tionghoa-Indonesia]], yang menjadi "bemper" ekonomi jajahan. Mereka dipandang rendah oleh kaum Belanda totok, tetapi juga memandang rendah kalangan pribumi yang dianggap tidak cakap dan malas. Orang Belanda totok memiliki ejekan bagi orang Indo: kata "Indo" dianggap sebagai singkatan dari ''indolent'' (pemalas).<ref name="veur1"/>. Orang Eropa ''totok'' secara sosial dan legal berposisi lebih tinggi daripada mereka yang berketurunan campuran. Walaupun pada beberapa hal mereka berbaur karena orientasi budaya yang sama, dalam banyak hal lainnya (seperti makanan dan kecenderungan [[estetika|estetik]]) kedua kelompok ini cukup berbeda. Hal ini terlihat nyata ketika terjadi [[diaspora]] orang Eropa-Indonesia ke Belanda seusai Perang Dunia Kedua. Orang Belanda banyak yang tidak siap menerima kehadiran orang-orang Indo sehingga sebagian dari mereka beremigrasi ke negara ketiga, seperti [[Amerika Serikat]], [[Kanada]], [[Australia]], atau [[Selandia Baru]].<ref name=krancher>Krancher J 2003. [http://krancher.org/indos.html "Indos: The Last Eurasian Community?"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20210610133426/http://www.krancher.org/indos.html |date=2021-06-10 }}. EurasianNation.</ref>
 
<!-- Peran kelompok Eropa-Indonesia sebagai satuan budaya lebih terlihat pada masa penguasaan Belanda di Indonesia serta beberapa tahun setelahnya. Masa paling nyata yang mencatat peran mereka barangkali adalah sejak paruh akhir abad ke-19 hingga berakhirnya [[Perang Pasifik]]. Pada periode awal Indonesia, sebagian besar orang Eropa (terutama [[Belanda]]) atau Indo terpaksa atau dipaksa meninggalkan Indonesia.
-->
Garis politik sebagian besar kalangan Eropa-Indonesia masa penjajahan cenderung pada ''status quo'': mereka menghendaki kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, ada sebagian kecil yang menghendaki pemerintahan sendiri. Kelompok terakhir inilah yang menjadi salah satu inti pergerakan kemerdekaan Indonesia. ''Indische Bond'' (1899) dan ''Insulinde'' dapat dianggap mewakili kelompok yang pro-pemerintahan sendiri (tidak di bawah Belanda). Sementara itu, ''Indo-Europeesch Verbond'' (IEV, 1919) dapat dianggap sebagai organisasi kaum Indo yang berorientasi ke Belanda.<ref>Wiseman, R. 2000. [http://www.asaa2000.unimelb.edu.au/papers/wiseman.html#_ednref25 "Assimilation Out: Europeans, Indo-Europeans and Indonesians seen through Sugar from the 1880s to the 1950s"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070830165135/http://www.asaa2000.unimelb.edu.au/papers/wiseman.html#_ednref25 |date=2007-08-30 }}. ''Paper'' presented to the ASAA 2000 Conference, University of Melbourne, July 3-5, 2000.</ref> [[Partai Hindia]] (''Indische Partij'', 1911) dapat dianggap sebagai artikulasi politik paling radikal mereka pada awal abad ke-20, karena organisasi inilah yang pertama kali terang-terangan menyatakan ide pro-independen (pemerintahan sendiri untuk ''Indiers''). Sayang sekali bahwa organisasi ini kurang mendapat banyak dukungan dan berumur pendek karena segera dibungkam pemerintah kolonial.
 
Hubungan yang intens dengan budaya lokal banyak membawa pengaruh kultural dalam kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia, dan sebaliknya. Van der Veur (1968) membahas banyak kebiasaan (customs) kalangan Indo.<ref name="veur2"/>. Ciri khas yang utama adalah hubungan kekeluargaan yang kuat. Orang Indo gemar berburu, juga berlatih pencak silat (terutama dari kalangan yang akrab dengan masyarakat lokal) dan bermain [[layang-layang]] laga.
 
Kebanyakan dari mereka adalah penganut [[agama Kristen]], namun mempercayai pula berbagai takhyul lokal dan juga mempraktikkan [[selamatan]]/kenduri untuk memperingati suatu tahapan kehidupan. Kalangan Indo ''pauper'' (mereka yang hidup dengan kalangan pribumi) bahkan mengenal [[guna-guna]].
Baris 92:
Orang Indo dikenal berbakat di bidang [[seni musik]] dan [[seni pertunjukan]]. Dalam seni musik orientasi ke musik barat cukup kental, bahkan boleh dikatakan kalangan Indo kelas menengah dan bawah adalah duta musik barat bagi masyarakat non-Eropa di Hindia Belanda/Indonesia. Bentuk musik [[keroncong]], berakar dari musik Portugis, dilestarikan oleh kaum Indo dan memperoleh gaung yang kuat di seluruh lapisan masyarakat di awal abad ke-20 melalui pertunjukan sandiwara [[komedi stambul]]. Komedi stambul diperkenalkan oleh [[August Mahieu]], seorang Indo yang menghimpun beberapa orang Indo lainnya untuk menyelenggarakan teater hibrida: bergaya Eropa tetapi dengan kostum a la Timur Tengah. Pertunjukan ini populer di semua kalangan masyarakat (bawah) Hindia Belanda, dan melahirkan berbagai epigon yang juga kemudian populer. Kalangan Indo juga kemudian yang memperkenalkan musik [[jazz]] di Hindia Belanda. [[Jack Lesmana]] (Jack Lemmers), seorang Indo yang menjadi tokoh utama jazz Indonesia, telah mengenal bentuk musik ini sejak masa kecilnya. Pada masa popularitas rock'n roll, orang-orang Indo juga menjadi motornya. Kebijakan anti-Barat [[Sukarno]] membuat musik ini berhenti berkembang di Indonesia, tetapi tetap berkembang di Eropa, seiring dengan diaspora kaum Indo. [[The Tielman Brothers]] adalah grup musik yang paling menonjol dari kalangan Indo dan sangat populer di Eropa.
 
Dari segi [[boga]], seni masak Eropa di tangan kaum Indo menjadi kaya rempah-rempah dan memiliki cita rasa yang khas. Orang Indo sangat menyukai masakan lokal, bahkan menikmati rujak.<ref name="veur1"/>. [[Rijsttafel]], suatu bentuk penyajian masakan khas Indisch, dikembangkan dari bentuk penyajian dalam upacara selamatan. Kue-kue khas juga muncul, seperti [[klappertart]], kue [[lapis legit]], dan [[bika ambon]], selain juga kue [[bolu]]. Perkembangan seni boga ini berkaitan pula dengan kegemaran orang Indo untuk berpesta.
 
Dari sisi busana, muncul pada abad ke-19 [[kebaya]] yang khas dipakai perempuan Eropa; bahkan kemudian muncul [[batik]] Belanda, batik dengan motif-motif pengaruh Eropa.<ref>[http://www.aboutbatik.com/backtobatik.php Back To Batik] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20100804005504/http://www.aboutbatik.com/backtobatik.php |date=2010-08-04 }}. An article in aboutbatik.com</ref>. Kebaya Belanda ini mengalami revivalisasi pada masyarakat Indonesia modern.
 
== Orang Indo masa kini ==
Semenjak [[Orde Baru]], orang Eropa-Indonesia di Indonesia hanya merupakan bagian yang sangat kecil dari penduduk Indonesia. Peraturan imigrasi yang ketat, praktis tidak memungkinkan masuknya orang Eropa ke Indonesia tanpa melalui naturalisasi yang memakan waktu bertahun-tahun. Secara kultural mereka biasanya terserap ke dalam kultur kosmopolitan Jakarta, atau kultur lokal tempat mereka tinggal. Mereka dapat dikatakan bukan merupakan subkultur yang khas di Indonesia.
 
Keadaan yang agak berbeda terjadi di Belanda. Badan statistik Belanda, CBS, pada tahun 1990 mencatat 472.600 orang penduduk Belanda memiliki keturunan Indonesia, 187.700 di antaranya lahir di Hindia Belanda/Indonesia. Menurut laporan demografi tahun 2003, pada tahun 2001 tercatat 458.000 orang yang merupakan generasi pertama dan kedua keturunan Hindia Belanda. Di Belanda mereka merupakan kelompok minoritas yang signifikan dan memiliki kekhasan budaya tersendiri. Secara statistik mereka masih dipisahkan dan dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar, sekaligus sebagai kelompok minoritas yang paling terintegrasi.<ref>[http://www.kiemnet.nl/nieuws/2006/04/Indische-Nederlander-voorbeeld-integratie_1013.html Indische Nederlander voorbeeld integratie]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}. NICIS Institute, edisi 20-04-2006.</ref> Festival tahunan Pasar Malam Besar merupakan kegiatan besar dari masyarakat Eropa-Indonesia di Belanda. Krancher, seorang warga negara AS keturunan Eropa-Indonesia yang pernah menetap di Indonesia mencatat secara kritis adanya "kebangkitan kembali" pada generasi ketiga keturunan kaum Indo di Belanda.<ref>Boot, Brederode and Krancher, 2006. [http://www.coert.org/indonesia/TheRiseOfANewGeneration.htm ''The Rise of a New Generation: The Dutch-Indonesian Cultural Renaissance in the Netherlands''.] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20081120213321/http://www.coert.org/indonesia/TheRiseOfANewGeneration.htm |date=2008-11-20 }} Laman [http://www.coert.org/index.html COERT] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070823114052/http://www.coert.org/index.html |date=2007-08-23 }}. Worldwide Family History.</ref>
 
Keturunan Eropa-Indonesia juga tersebar di seluruh dunia, baik langsung dari Indonesia atau punataupun dari Belanda. Banyak di antara mereka tinggal di [[Amerika Serikat]], [[Kanada]], atau [[Inggris]]. Beberapa di antaranya menjadi orang yang cukup terkemuka.
 
=== Masa depan ===
Banyak kalangan memperkirakan bahwa Eropa-Indonesia sebagai etnik dengan ciri-ciri khas tersendiri akan menghilang, bahkan dari kalangan mereka sendiri. Penyebab yang paling jelas adalah karena tidak ada lagi dorongan untuk menjaga warisan gaya hidup mereka. Kalangan muda pada umumnya cenderung menyerap budaya barat, yang memang sejak awal menjadi orientasi mayoritas orang Indo.<ref name=krancher/>. Di Indonesia, kultur Indo memudar karena kalangan generasi muda telah menjadi bagian utuh dari masyarakat modern Indonesia bahkan dapat dikatakan sedikit banyak turut membentuk budaya khas Indonesia. Tokoh kemerdekaan Indonesia, [[Sutan Sjahrir]], pernah menyinggung nasib orang Indo di Indonesia pascakemerdekaan:
<blockquote>"...posisi kaum Indo ... dalam masyarakat kolonial kita ini telah berubah. Seiring berjalannya waktu, kaum Indo secara perlahan-lahan menjadi orang Indonesia, atau dapat pula dikatakan bahwa orang Indonesia secara bertahap mencapai taraf yang sama dengan orang Indo. Perubahan yang terjadi dalam proses transformasi di dalam masyarakat kita ini pertama-tama menempatkan kaum Indo dalam posisi yang menguntungkan, dan sekarang proses yang sama mengambil keuntungan itu. Bahkan jika mereka mempertahankan status keeropaan mereka berdasarkan hukum, mereka tetap akan sejajar dengan orang Indonesia, karena semakin lama akan lebih banyak orang Indonesia yang terdidik daripada orang Indo. Posisi yang menguntungkan mereka kehilangan landasan sosialnya, dan sebagai hasilnya posisi itu akan lenyap." (Sutan Sjahrir, 1937)<ref>[{{Cite web |url=http://www.asaa2000.unimelb.edu.au/papers/wiseman.html#_edn55 |title=Panel paper ASAA conference by Dr Roger Wiseman, University of Adelaide] |access-date=2008-11-12 |archive-date=2007-08-30 |archive-url=https://web.archive.org/web/20070830165135/http://www.asaa2000.unimelb.edu.au/papers/wiseman.html#_edn55 |dead-url=yes }}</ref></blockquote>
 
== Tokoh-tokoh ==
Baris 142:
* {{nl}} [http://www.indischhistorisch.nl/ Informasi tentang warga Indo-Eropa di Belanda dari www.indischhistorisch.nl]
* {{en}} Schuyf, Judith. [http://www.oorlogsgetuigen.nl/Silence/uk/chapter_2/introduction/d_2.html The Occupation of the Dutch East Indies - How Civilians Were Affected]. Commemoration of the end of WW-III in 4th of May.
* [http://www.knaw.nl/indonesia/pdf/osm2003/ssh21.pdf Indo-europeans and The Challenge of Identity from Colonialism to Independence]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}. Abstrak.
* {{de}} Kortendick, O. 1990. [http://lucy.ukc.ac.uk/lien/gliederung.html Indische Nederlanders und Tante Lien: eine Strategie zur Konstruktion ethnischer Identität] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20100502075253/http://lucy.ukc.ac.uk/lien/gliederung.html |date=2010-05-02 }}. Tesis master.
 
{{Orang Indo}}
{{Suku bangsa di Indonesia}}
{{Diaspora Indonesia}}
 
[[Kategori:Orang Indo| ]]
[[Kategori:Eropa-Indonesia| ]]
[[Kategori:Suku bangsa di Indonesia|Indo]]
[[Kategori:KelompokSuku etnikbangsa di Belanda|Indo]]