Pandemi Covid-19 di Taiwan

tinjauan umum pandemi koronavirus 2019–2020 di Taiwan pada 2020

Pandemi koronavirus di Taiwan diawali dengan temuan penderita penyakit koronavirus 2019 (COVID-19) pada 21 Januari 2020 di Bandar Udara Internasional Taoyuan. Penderita pertama tersebut adalah seorang perempuan berusia 55 tahun yang baru kembali ke Taiwan dari melaksanakan tugas mengajar di Wuhan.[3] Per 4 April 2020, Taiwan telah mengonfirmasi 355 kasus positif COVID-19. Hal ini berarti bertambah tujuh kasus dari sebanyak 348 kasus yang tercatat pada 3 April 2020. Di antara tujuh kasus baru, enam kasus merupakan kasus impor, sementara sisanya ditularkan di dalam negeri[4]

Pandemi COVID-19 di Taiwan
Kasus terkonfirmasi positif per satu juta penduduk berdsarkan wilayah
PenyakitCOVID-19
Galur virusSARS-CoV-2
LokasiTaiwan
Kasus pertamaBandar Udara Internasional Taoyuan
Tanggal kemunculan21 Januari 2020
(4 tahun, 3 bulan, 3 minggu dan 6 hari)
AsalWuhan, Hubei, Tiongkok
Kasus terkonfirmasi348[1][2]
Kasus sembuh50[1][2]
Kematian
5[1][2]
Situs web resmi

www.cdc.gov.tw/En

Pandemi ini memiliki dampak yang moderat terhadap Taiwan secara keseluruhan dibanding dengan negara-negara lain, mengingat dekatnya jarak antara Tiongkok sebagai asal merebaknya COVID-19 dengan negara yang statusnya terisolasi secara internasional itu serta ramainya lalu lintas penerbangan antarselat yang mencapai ribuan penerbangan per pekan.[5] Per 5 Maret misalnya, Taiwan hanya memiliki 45 kasus positif COVID-19, lebih rendah lima kali lipat dibanding Belanda yang secara geografis, lokasinya jauh dari Tiongkok serta tidak memiliki lalu lintas transportasi yang semasif Taiwan dengan Tiongkok sendiri.[6] Keberhasilan Taiwan sejauh ini dalam mencegah meledaknya kasus positif COVID-19 dipuji banyak pihak.[7] Pencegahan yang efektif di Taiwan dihubungkan dengan sistem kesehatan negara itu yang merupakan salah satu yang terbaik di dunia, didukung pula dengan pengambilan keputusan yang cepat serta penggunaan teknologi tepat guna.[8]

Kronologi

COVID-19 kasus di Taiwan  ()
     Kematian        Sembuh        Kasus aktif
Tanggal
# kasus
# kematian
2020-01-20
0 0(=)
2020-01-21
1 0(=)
2020-01-22
1(=) 0(=)
2020-01-23
1(=) =
2020-01-24
3(+300%) 0(=)
2020-01-25
3(=) 0(=)
2020-01-26
4(+33%) 0(=)
2020-01-27
5(+25%) 0(=)
2020-01-28
8(+60%) 0(=)
2020-01-29
8(=) 0(=)
2020-01-30
9(+12%) 0(=)
2020-01-31
10(+11%) 0(=)
2020-02-01
10(=) 0(=)
2020-02-02
10(=) 0(=)
2020-02-03
10(=) 0(=)
2020-02-04
11(+10%) 0(=)
2020-02-05
11(=) 0(=)
2020-02-06
16(+45%) 0(=)
2020-02-07
16(=) 0(=)
2020-02-08
17(+6%) 0(=)
2020-02-09
18(+6%) 0(=)
2020-02-10
18(=) 0(=)
2020-02-11
18(=) 0(=)
2020-02-12
18(=) 0(=)
2020-02-13
18(=) 0(=)
2020-02-14
18(=) 0(=)
2020-02-15
18(=) 0(=)
2020-02-16
20(+11%) 1(=)
2020-02-17
22(+10%) 1(=)
2020-02-18
22(=) 1(=)
2020-02-19
24(+9%) 1(=)
2020-02-20
24(=) 1(=)
2020-02-21
26(+8%) 1(=)
2020-02-22
26(=) 1(=)
2020-02-23
28(+8%) 1(=)
2020-02-24
30(+7%) 1(=)
2020-02-25
31(+3%) 1(=)
2020-02-26
32(+3%) 1(=)
2020-02-27
32(=) 1(=)
2020-02-28
34(+6%) 1(=)
2020-02-29
39(+15%) 1(=)
2020-03-01
40(+3%) 1(=)
2020-03-02
41(+2%) 1(=)
2020-03-03
42(+2%) 1(=)
2020-03-04
42(=) 1(=)
2020-03-05
44(+5%) 1(=)
2020-03-06
45(+2%) 1(=)
2020-03-07
45(=) 1(=)
2020-03-08
45(=) 1(=)
2020-03-09
45(=) 1(=)
2020-03-10
47(+4%) 1(=)
2020-03-11
48(+2%) 1(=)
2020-03-12
49(+2%) 1(=)
2020-03-13
50(+2%) 1(=)
2020-03-14
53(+6%) 1(=)
2020-03-15
59(+11%) 1(=)
2020-03-16
67(+14%) 1(=)
2020-03-17
77(+15%) 1(=)
2020-03-18
100(+30%) 1(=)
2020-03-19
108(+8%) 1(=)
2020-03-20
135(+25%) 2(+100%)
2020-03-21
153(+13%) 2(=)
2020-03-22
169(+10%) 2(=)
2020-03-23
195(+15%) 2(=)
2020-03-24
215(+10%) 2(=)
2020-03-25
235(+9%) 2(=)
2020-03-26
252(+7%) 2(=)
2020-03-27
267(+6%) 2(=)
2020-03-28
283(+6%) 2(=)
2020-03-29
298(+5%) 2(=)
2020-03-30
306(+3%) 5(+150%)
2020-03-31
322(+5%) 5(=)
2020-04-01
329(+2%) 5(=)
2020-04-02
339(+3%) 5(=)
2020-04-03
348(+3%) 5(=)
2020-04-04
355(+2%) 5(=)
2020-04-05
355(+2%) 5(=)
Sumber: Taiwan Centers for Disease Control[9], Coronavirus COVID-19 Global Cases by the Center for Systems Science and Engineering (CSSE) at Johns Hopkins University (JHU)[10]

Pada 31 Desember 2019, wabah penyakit pernapasan yang nantinya terbukti disebabkan oleh jenis baru koronavirus (COVID-19), pertama kali muncul di Wuhan, sebuah kota besar dengan populasi lebih dari empat juta jiwa di Provinsi Hubei, Tiongkok. Dari Wuhan yang merupakan episentrum, COVID-19 menyebar secara cepat ke daerah-daerah lain di dan ke luar Tiongkok, tak terkecuali Taiwan, yang mendapati kasus pertama mereka pada 20 Januari 2020.[3] Taiwan yang terletak 81 mil seberang laut Daratan Tiongkok diprediksi sebagai daerah terparah kedua di dunia yang terpapar COVID-19, setelah Tiongkok, dikarenakan kedekatan geografis, demografi, sekaligus ekonomi antara keduanya. Pada tahun 2019, terdapat lebih dari 805.000 warga negara Taiwan yang tinggal di Tiongkok, 404.000 di antaranya merupakan pekerja. Pada tahun yang sama, Taiwan dikunjungi tak kurang dari 2,71 juta turis Tiongkok.[11]

Kasus COVID-19 terjadi beberapa waktu sebelum Tahun Baru Imlek yang umumnya ditandai dengan migrasi jutaan orang di Tiongkok dan Taiwan, baik untuk pulang kampung maupun pergi berwisata. Informasi mengenai penyakit pernapasan misterius di Wuhan menghidupkan alarm waspada di kalangan pemangku kebijakan Taiwan.[11] Mereka langsung melakukan konsolidasi dan menetatpkan pendekatan spesifik untuk mengidentifikasi kasus dan menanganginya, apabila pengidap penyakit pernapasan yang bersumber di Wuhan itu telah mencapai Taiwan. Taiwan memanfaatkan pangkalan data asuransi kesehatan nasional dan mengintegrasikannya dengan data-data keimigrasian dan cukai untuk mempermudah proses pendataan dan penyampaian informasi. Proses pendataan ini bertujuan untuk membantu otoritas dalam mengidentifikasi kasus, yang juga melibatkan penggunaan teknologi modern seperti pemindaian kode QR dan sistem pelaporan daring. Orang-orang yang memiliki riwayat perjalanan ke Wuhan dalam 14 hari terakhir akan dikarantina di rumah dan dilacak melalui ponsel untuk memastikan mereka tetap berada di rumah selama masa inkubasi.[11]

Keseriusan Pemerintah Taiwan tak berhenti sampai di situ. Mereka menggiatkan usaha untuk menguak pasien dengan gejala pernapasan parah dengan melakukan dua kali tes kepada orang-orang yang menunjukkan gejala influenza. Setelah tes pertama, Taiwan melakukan tes atau uji ulang terhadap orang-orang yang diawasi dari kemungkinan terpapar COVID-19, akhirnya dari 113 orang, ditemukan 1 kasus.[11]

Kasus Pertama

Kasus Bulan Januari

  • Januari

Kasus Bulan Februari

  • Februari

Kasus Bulan Maret =

  • Maret

Kasus Bulan April

  • 1 April
  • 2 April
  • 3 April Taiwan telah mengonfirmasi 348 kasus positif COVID-19. Hal ini berarti bertambah sembilan kasus dari sebanyak 339 kasus pada 2 April 2020. Di antara sembilan kasus baru, tujuh kasus merupakan kasus impor, sementara sisanya ditularkan di dalam negeri[12] Dua kasus penularan lokal dialami oleh dua perempuan yang masing-masing berusia 60 dan 40 tahun. Keduanya tidak memiliki riwayat bepergian ke luar negeri, tetapi sempat berinteraksi dengan penderita yang telah tertular lebih dulu. Ada pula kasus impor terjadi pada lima orang perempuan dan dua orang laki-laki, dengan rentang usia 20-60 tahun, serta memiliki catatan perjalanan luar negeri ke berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Austria, Ceko, Denmark, Inggris, dan Thailand.[12]
  • 4 April
  • 5 April

Kasus Keseluruhan

Kasus impor: 304; Kasus penularan lokal: 51

Kebijakan Pemerintah

Aksi cepat Pemerintah Taiwan dalam menyikapi wabah COVID-19 merupakan refleksi dari pembelajaran negara yang beribu kota di Taipei terhadap pengalaman mereka menghadapi SARS tahun 2003, yang memakan 71 korban jiwa. Saat menghadapi SARS, Taiwan terhambat karena tidak memiliki badan khusus yang menangangi kebijakan-kebijakan darurat. Pada tahun 2004, Taiwan akhirnya meremiskan Pusat Komando Epidemi Tersentralisasi (Central Epidemic Command Center), dikenal pula sebagai CECC.[13][14] Dalam menghadapi wabah COVID-19, Pemerintah Taiwan mulai mengaktifkan CECC pada 20 Januari, dengan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan bertindak sebagai komandan. Dalam beberapa pekan, CECC mulai menerapkan kebijakan yang diklaim berefek pada pencegahan dan meledaknya wabah di Taiwan. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud meliputi pengukuran suhu tubuh bagi pelancong, penjatahan masker untuk mencegah penimbunan, mewajibkan orang-orang yang pulang dari negara-negara yang rentan wabah COVID-19 untuk melakukan swakarantina, serta kontrol perbatasan.[13] Sejak 6 Februari, Taiwan mulai melarang orang-orang yang memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau Hongkong dalam jangak dua pekan terakhir. Saat penyebaran virus makin tak terkendali dan lebih banyak negara yang terimbas wabah, pembatasan atau pelarangan masuk diperluas, hingga pada 19 Maret, pelarangan bepergian ini telah ditujukan kepada hampir seluruh orang asing yang tak memiliki sertifikat kewarganegaraan Taiwan.[13]

Respons Pemerintah Taiwan yang cepat tanggap menghadapi kemungkinan wabah baru dikarenakan mereka tidak mempercayai data-data yang dikeluarkan oleh Tiongkok.[7] Menurut Chan Chang-Cuan, Tiongkok lalai dan terlambat dalam melaporkan mengenai wabah SARS tahun 2003 kepada WHO. Oleh karena itu, ketika ada gejala-gejala wabah baru di Tiongkok, tindakan yang tanggap harus diambil untuk mencegah kemungkinan terburuk. Hal ini diperparah dengan status Taiwan yang bukan anggota WHO karena permintaan Tiongkok. Permasalahan ini menyebabkan Taiwan terhambat dalam berkoordinasi dan menerima data-data penting.[7] Larangan kedatangan bagi orang-orang yang berasal dari Daratan Tiongkok yang Taiwan terapkan sejak 1 Februari 2020 berlawanan dengan ketetapan WHO yang menyebutkan bahwa larangan semacam itu tidak diperlukan.[15] Aksi cepat tanggap Taiwan ini mengorbankan sektor industri jasa, perhubungan, dan pariwisata. Hal ini disebabkan karena Taiwan bergantung pada Tiongkok selaku mitra dagang terbesar sekaligus sumber utama turis internasional pulau berpenduduk 23 juta jiwa itu. Walaupun demikian, kebijakan tersebut terbukti menghindarkan Taiwan dari kondisi buruk seperti yang dialami oleh Korea Selatan dan Jepang yang bertindak lamban, kurang efektif, serta terkesan meremehkan.[15]

Dampak Ekonomi

Respons Internasional

Meskipun mengaku kesulitan mendapatkan informasi dan kejelasan mengenai wabah COVID-19 dari WHO, Taiwan terhindar dari wabah yang perlahan meluas di negara-negara tetangga dan di berbagai tempat di seluruh dunia. Keberhasilan Taiwan ini menurut seorang peneliti di Stanford Health Policy yang mempublikasikan artikel ilmiahnya di Journal of the American Medical Association dikarenakan keberhasilan negara itu dalam melakukan 124 paket aksi dan koordinasi awal, yang meliputi pelarangan bepergian, karantina, pengawasan, dan jaga jarak fisik. Keberhasilan ini banyak diperhatikan oleh pihak luar Taiwan.[11] Negara berpenduduk 23 juta jiwa ini pun menuai respons positif dari pelbagai pihak dan The Economist menyebut bahwa Taiwan adalah pemenang dalam pertarungan melawan COVID-19. [16][17]

Koronavirus dan Diplomasi

Pandemi koronavirus 2019–2020 menjadi ajang terbaru persaingan dan kompetisi antara Taiwan atau Republik Tiongkok yang diakui secara terbatas secara internasional dengan Republik Rakyat Tiongkok. Persaingan keduanya mewujud dalam bentuk pengiriman bantuan medis kepada negara-negara lain yang terdampak wabah COVID-19. Taiwan juga berkomitmen untuk berbagi resep mengenai kesuksesan mereka dalam mencegah merebaknya COVID-19 di negara mereka.[18] Tiongkok, yang sejak lama menekankan bahwa hanya ada satu Tiongkok dan Taiwan adalah provinsi yang membangkang, telah mempengaruhi organisasi-organisasi multilateral untuk menolak keanggotaan Taiwan.[18]

Taiwan berencana untuk memberikan bantuan masker wajah sebanyak 10 juta buah kepada seluruh dunia. Fokus utama bantuan tersebut adalah [Amerika Serikat]], negara-negara Eropa, dan 15 negara sekutu. Amerika Serikat akan menerima 2 juta masker, negara-negara Eropa akan menerima 7 juta masker, dan sisanya untuk 15 negara sekutu. Setelah itu, target berikutnya adalah mitra-mitra di Asia Selatan dan Tenggara. Pengiriman bantuan masker wajah ini dilakukan Taiwan setelah mereka berhasil mengamankan pasokan untuk kebutuhan dalam negeri.[19]

Kapasitas produksi masker Taiwan mencapai 10 juta buah per hari, kalah jauh hampir sembilan kali lipat dibanding kapasitas produksi masker Tiongkok yang mencapai 116 juta buah per hari.[18] Namun, Yun Sun dari Stimson Center, sebuah think tank berbasis di Washington D.C. meyakini bahwa Taiwan masih dapat bersaing dengan Tiongkok meskipun kalah dari segi jumlah. Hal ini dikarenakan Taiwan berpotensi menjadi donor nonpolitis, apalagi situasi tengah memanas antara Tiongkok yang menjadi donor utama dunia dengan Amerika Serikat yang mencatat kasus positif COVID-19 terbanyak. Selain masker, Taiwan juga akan menyumbangkan 84 alat pendeteksi suhu tubuh kepada negara-negara sekutu.[18]

Kontroversi

Hubungannya yang kompleks dengan Tiongkok menyebabkan Taiwan tak dapat menjadi anggota Organsasi Kesehatan Dunia, dikenal pula sebagai WHO. Hal ini mmbuat Taiwan kesulitan dalam memperoleh informasi-informasi penting mengenai wabah yang berpotensi mengancam dunia serta tak diundang dalam pertemuan-pertemuan kegawatdaruratan dunia. Taiwan yang berhasil mengendalikan wabah COVID-19 di negara mereka menuduh WHO melakukan tindakan yang tidak fair dan bersifat diskriminatif. Melalui cuitan di media sosial twitter, Kementerian Luar Negeri Taiwan mengungkapkan kekecewaan terhadap Bruce Alyward, Asisten Direktur Jenderal WHO yang bahkan menghindari pertanyaan mengenai keanggotaan Taiwan yang diajukan oleh Yvonne Tong, dalam suatu wawancara dengan RTHK.[20] WHO pun menuai banyak kritikan atas tindakannya yang mengesampingkan Taiwan dan mengabaikannya, padahal negara yang berada di pulau Formosa itu telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menangani wabah.[20][21]

Di tengah semakin menyebarnya COVID-19, pada 30 Januari 2020, Perdana Menteri Jepang Abe Shinzō menyatakan bahwa partisipasi Taiwan sangat dibutuhkan bagi upaya bersama melawan wabah yang berasal dari Wuhan tersebut. Dan mengesampingkan Taiwan dengan alasan-alasan politis tidak membuat keadaan lebih baik.[22] Pernyataan PM Abe tersebut dilontar usai wakil dari partai posisi memberitahukan bahwa dalam pertemuan gawat darurat yang diadakan WHO di Jenewa pada 22 Januari, Taiwan dilarang ikut serta.[22]

Taiwan sendiri mengkritisi WHO karena dianggap gagal memberikan peringatan dini terhadap dunia mengenai kemungkinan wabah COVID-19.[23] Tokoh-tokoh kesehatan Taiwan mengatakan bahwa mereka telah memperingatkan WHO mengenai ancaman yang akan datang, setidak-tidaknya sejak bulan Desember 2019. Alih-alih mengkritisi Tiongkok yang diduga sempat menyembunyikan kasus COVID-19, WHO mengapresiasi habis-habisan negara itu. Hal ini diperkirakan terjadi karena Tiongkok adalah salah satu negara donor utama dan terbesar lembaga tersebut, alasan yang sama mengapa Taiwan tak dapat menjadi anggota.[23] Dokter-dokter di Taiwan mengaku telah mendengar informasi dari rekan dokter di Tiongkok mengenai staf medis yang terinfeksi penyakit pernapasan setelah menangani pasien. Hal ini merupakan tanda transmisi atau penularan antarmanusia. Pihak Taiwan melaporkannya ke International Health Regulations (IHR), sebuah framework WHO untuk pertukaran informasi dan data mengenai pencegahan epidemi yang melibatkan 196 negara, serta ke pihak otoritas kesehatan Tiongkok pada 31 Desember 2019. Namun, IHR tidak menampilkan informasi yang dibagikan Taiwan, tidak menindaklanjutinya, hingga pada akhirnya WHO terlambat untuk memberikan peringatan dini mengenai penyebaran COVID-19 antarmanusia.[23]

Referensi

  1. ^ a b c Taiwan Centers for Disease Control
  2. ^ a b c Latest figures on China's coronavirus outbreak
  3. ^ a b Shao-Chung, Cheng; Yuan-Chia, Chang; Yu-Long, Fan; Yu-Chan, Chien; Mingte, Cheng; Chin-hua, Yangbe; Chia-Husn, Huangg; Yuan-Nian, Hsuh (2020). "First case of Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) pneumonia in Taiwan". Journal of the Formosan Medical Association. Elsevier Taiwan LLC. 19 (3): 747–751. doi:10.1016/j.jfma.2020.02.007. 
  4. ^ Strong, Matthew (2020-04-04). "Taiwan adds 7 coronavirus patients to reach 355 cases". Taiwan News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-05. 
  5. ^ Lin, Hsien-Ming (2020-04-02). "Lessons from Taiwan's coronavirus response". East Asia Forum (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  6. ^ Piper, Kelsey (2020-03-10). "Taiwan has millions of visitors from China and only 45 coronavirus cases. Here's how". Vox (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  7. ^ a b c Scher, Isaac (2020-03-17). "Taiwan has only 77 coronavirus cases. Its response to the crisis shows that swift action and widespread healthcare can prevent an outbreak". The Business Insider (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-05. 
  8. ^ Yun, Michelle (2020-03-13). "How Taiwan is containing coronavirus – despite diplomatic isolation by China". The Guardian (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  9. ^ "Taiwan Centers for Disease Control". www.cdc.gov.tw. Diakses tanggal 26 March 2020. 
  10. ^ "Operations Dashboard for ArcGIS". Arcgis.com. Diakses tanggal 2020-03-30. 
  11. ^ a b c d e Wang, C. Jason; Ng, Chung Y; Brook, Robert H. (2020-03-03). "Response to COVID-19 in TaiwanBig Data Analytics, New Technology, and Proactive Testing". JAMA Network (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  12. ^ a b Strong, Matthew (2020-04-03). "Taiwan announces 9 new coronavirus cases for a total of 348". Taiwan News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  13. ^ a b c Shapiro, Don (2020-03-19). "Taiwan shows its mettle in coronavirus crisis, while the WHO is MIA". Brookings.edu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  14. ^ Duff-Brown, Beth (2020-03-03). "How Taiwan Used Big Data, Transparency and a Central Command to Protect Its People from Coronavirus". Freeman Spogli Institute for International Studies (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  15. ^ a b Barron, Laignee (2020-03-13). "What We Can Learn From Singapore, Taiwan and Hong Kong About Handling Coronavirus". Time (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  16. ^ Chen, Stacy (2020-03-16). "Taiwan sets example for world on how to fight coronavirus". ABC News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  17. ^ "Let Taiwan into the World Health Organisation". The Economist (dalam bahasa Inggris). 2020-03-26. Diakses tanggal 2020-04-04. 
  18. ^ a b c d Jennings, Ralph (2020-04-03). "Taiwan Competes with China through World Medical Diplomacy". VOA (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  19. ^ Aspinwall, Nick (2020-04-04). "Taiwan Will Donate 10 Million Masks in Bid to Aid Global Coronavirus Response". The Diplomat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  20. ^ a b Wong, Tessa (2020-03-30). "Why Taiwan has become a problem for WHO". BBC (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  21. ^ Stapczynski, Stephen (2020-02-20). "UN Agencies Criticized for Taiwan Exclusion Amid Virus". Bloomberg (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-04. 
  22. ^ a b "Japan PM Abe calls for Taiwan's participation in WHO as coronavirus spreads". Kyodonews.net (dalam bahasa Inggris). 2020-01-30. Diakses tanggal 2020-04-05. 
  23. ^ a b c "Taiwan says WHO failed to act on coronavirus transmission warning". Financial Times (dalam bahasa Inggris). 2020-03-20. Diakses tanggal 2020-04-04.