Papua: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Envapid (bicara | kontrib)
→‎1900–Sampai Sekarang: tambahan dokumen risalah bpupki dan ppki
Envapid (bicara | kontrib)
Baris 128:
Setelah mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, Indonesia mencari dukungan baik secara militer maupun diplomasi. Beberapa usaha perjuangan diplomasi oleh pihak RI dilakukan melalui Perjanjian Linggarjati pada 1946, Perjanjian Renville pada 1948, dan Perjanjian Roem-Royen pada 1949.
 
Pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945, berbeda dengan mayoritas anggota BPUPKI yang menginginkan Indonesia merdeka meliputi seluruh bekas Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, [[Mohammad Hatta]] tidak setuju, “Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta. Lanjutnya “Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang mengatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia,” walaupun ia menambahkan "Akan tetapi kalau Pemerintah Nippon memberikan Papua yang dulu dibawah Pemerintah Belanda kepada Indonesia, saya tidak berkeberatan, hanya saya tidak menuntutnya, dan kalau sekiranya ditukar-tukar dengan Borneo Utara, saya tidak berkeberatan, malah bersyukur, karena, seperti yang saya katakan dahulu, saya tidak minta lebih dari pada tanah-air Indonesia yang dulu dijajah oleh Belanda, tetapi kalau ditukar memang merupakan satu kedaulatan." yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.<ref name="Sitompul 2019">{{cite web | last=Sitompul | first=Martin | title=Ketika Hatta Menolak Papua | website=Historia | date=2019-05-17 | url=https://historia.id/amp/politik/articles/ketika-hatta-menolak-papua-vqjeJ | language=id | access-date=2022-01-30 | archive-date=2022-01-30 | archive-url=https://web.archive.org/web/20220130174855/https://historia.id/amp/politik/articles/ketika-hatta-menolak-papua-vqjeJ | dead-url=no }}</ref><ref name="rslhbpupkippki">{{cite web | title=Himpunan Risalah Sidang-Sidang | website=luk.staff.ugm.ac.id | url=https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/RisalahSidangBPUPKI-PPKU-UUD1945.pdf | language=id | access-date=2022-01-30 | archive-date=2022-01-30 | archive-url=https://web.archive.org/web/20240116103529/https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/RisalahSidangBPUPKI-PPKU-UUD1945.pdf | dead-url=no }}</ref> Dengan demikian, hingga 1956, Papua yang meliputi wilayah jajahan Belanda dan bukan meliputi Papua Nugini yang dijajah Inggris, berada di dalam lingkup Provinsi Maluku.
 
Tahun 1945, oleh Residen JP Van Eechoud dibentuklah sekolah Bestuur. Di sana ia menunjuk Atmoprasojo, mantan tahanan diguli, menjadi direktur sekolah Bestuur untuk mendidik kaum terpelajar Papua. Sementara itu [[Soegoro Atmoprasodjo|Admoprasojo]] menggunakan posisinya untuk membujuk murid-muridnya bahwa pemerintah Belanda adalah [[penjajah]] dan upaya pemerintah Belanda adalah upaya melanjutkan [[penjajahan]] di Papua maka ia meminta kaum terpelajar harus ikuti kemerdekaan Indonesia. Beberapa murid yang setuju<ref name="Wanggai 2008"/> melakukan pertemuan tertutup di Tobati, [[Jayapura|Hollandia]]. Untuk melawan upaya Pemerintah Belanda turut dibicarakan penggantian sebuah nama oleh Frans Kaisiepo selaku ketua panitia kemudian mengambil sebuah nama yaitu [[Irian]] dari sebuah mitos Manseren Koreri, sebuah legenda yang dikenal luas oleh masyarakat luas Biak, yaitu [[Irian]]. Pada perkembangan selanjutnya nama [[Irian]] menjadi akronim untuk "Ikuti Republik Indonesia Anti Nederlands" sebagai kampanye menentang Pemerintah Belanda.<ref name="Wanggai 2008"/>