Pembantaian Purwodadi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-resiko +risiko)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-  + )
Baris 13:
Atas informasi Romo Wignyo, Princen, Cees dan Henk mengunjungi seluruh kamp tahanan yang ada di [[Kabupaten Grobogan|Grobogan]]. Di [[Kuwu, Kradenan, Grobogan|Kuwu]], ia menemukan bukti kuat adanya pembunuhan terhadap sekitar 860 orang tahanan di sana. Poncke dan kedua kawannya mengumpulkan kesaksian dari penduduk sekitar yang mengetahui adanya pembunuhan massal terhadap orang-orang PKI. Dalam otobiografinya Poncke mengatakan, “orang-orang yang ditangkap pada aksi pembersihan telah dibunuh dengan cara memukul kepala para korban dengan batangan besi. Ini dilakukan pada malam hari setelah [[Kereta Api Indonesia|kereta api]] ke [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] lewat.”<ref name=":0" /><ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/57124951|title=Century of genocide : critical essays and eyewitness accounts|last=Samuel.|first=Totten,|last2=S.|first2=Parsons, William|last3=W.|first3=Charny, Israel|date=2004|publisher=Routledge|isbn=9780415944304|edition=2nd ed|location=New York|oclc=57124951}}</ref>
 
Tapi mendadak hati Poncke bimbang. Dia harus memilih antara kawan atau [[Warga Negara Indonesia|rakyat Indonesia]] yang dicintainya. “Aku berada dalam pilihan sulit. Kalau berita itu sampai dimuat lebih dulu dalam koran Belanda, dan kemudian baru pers internasional, maka kami Komisi Hak-Hak Manusia, bisa dituduh tidak berbuat apa-apa dan tutup mulut karena takut,” kata Poncke dalam otobiografinya,  ''Kemerdekaan Memilih''. Komisi Hak-Hak Manusia yang dimaksud Poncke adalah Lembaga Hak-Hak Azasi Manusia, di mana dia duduk sebagai Wakil Ketua II. Kebimbangan menerpanya karena dia berjanji kepada Cees van Caspel dan Henk Kolb, dua wartawan Belanda sahabatnya itu, untuk mengangkat kasus pembunuhan massal di Purwodadi sebagai berita ekslusif di''  De Haagsche Courant'', koran tempat mereka bekerja. Namun sebelum berita turun di Belanda, Poncke putar haluan, memutuskan untuk membuka skandal terbesar di awal berdirinya rezim Orde Baru itu di hadapan wartawan nasional di [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]].<ref name=":0" />
 
=== Siar Kabar oleh Poncke ===
Kabar itu pun segera tersiar. Poncke mengadakan jumpa pers di Jakarta pada 26 Februari 1969. Sehari setelah jumpa pers media nasional memberitakan tentang peristiwa di Purwodadi. Harian  ''KAMI,''  yang dikelola oleh para [[Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia|aktivis mahasiswa Angkatan 1966]], menurunkan  ''headline''  “Purwodadi dalam Ketakutan” pada keesokan harinya, Rabu, 27 Februari 1969. Dalam keterangan persnya Poncke mengungkapkan bahwa Dandim 0717/ Purwodadi, Letkol. Tedjo Suwarno, berperan penting dalam peristiwa tersebut. Pernyataan Tedjo Suwarno,“lebih baik kalian (masyarakat) membersihkan ([[Komunisme|komunis]]) sendiri daripada saya yang membersihkannya,” diperkirakan menjadi pendorong utama terjadinya kekerasan di Purwodadi. Kodim Purwodadi sendiri, atas perintah Kodam Diponegoro, menjalankan operasi penumpasan PKI melalui Operasi Kikis I (periode 4 Juli – Desember 1967) dan Kikis II (peiode 27 Juni – 7 Juli 1968). Dalam dua gelombang operasi itu, ribuan orang ditangkap dan disekap di beberapa kamp penahanan yang tersebar di wilayah [[Kabupaten Grobogan]].<ref name=":1" />
 
Berbagai media massa yang terbit di ibukota pun segera berlomba-lomba menyiarkan kabar ihwal skandal pembunuhan massal yang dibongkar oleh Poncke. Wartawan  ''[[Sinar Harapan]]''  Yopie Lasut dan wartawan  ''[[Harian Indonesia Raya|Indonesia Raya]]  ''Maskun Iskandar menuliskan serial laporan langsung dari Purwodadi.<ref>{{Cite web|url=http://historia.id/modern/di-balik-berita-purwodadi|title=Di Balik Berita Purwodadi|website=historia.id|language=id|access-date=2017-11-17}}</ref> Bahkan peristiwa ini menarik minat [[Soe Hok Gie]] yang saat itu juga tengah disibukkan meneliti kasus serupa di [[Bali]].<ref>{{Cite news|url=https://daerah.sindonews.com/read/1147702/29/soe-hok-gie-dan-pembantaian-massal-pki-1965-1966-1476649606/10|title=Soe Hok Gie dan Pembantaian Massal PKI 1965-1966|newspaper=SINDOnews.com|language=id-ID|access-date=2017-11-27}}</ref>
 
== Reaksi ==
Baris 29:
 
==== Reaksi di Belanda ====
Cees dan Henk yang gagal membuat berita Purwodadi ekslusif akhirnya tetap mengangkat kasus itu di  ''De Haagsche Courant''. Hasil reportase Cees dan Henk ternyata membawa dampak yang cukup besar. Berita itu menyulut reaksi dan gelombang protes dari masyarakat internasional, khususnya di [[Belanda]] terhadap rezim [[Orde Baru]]. Surat kabar Belanda  ''Trouw''  edisi 19 April 1969 menyiarkan “surat terbuka” dari  ''Comite Indonesie''  (Komite Indonesia) yang keberatan dengan niat jalinan kerjasama Belanda-Indonesia karena dengan demikian melegalkan pembunuhan massal yang telah dilakukan Indonesia. Di lain pihak pemimpin kelompok [[Indonesianis]] terkemuka, Dr. J.M. Pluvier menyatakan bahwa pemerintah Soeharto bertanggung jawab atas penangkapan terhadap orang-orang kiri dan diskriminasi terhadap [[Tionghoa-Indonesia|golongan Cina]].<ref name=":0" />
[[Berkas:Indonesia Ambassador to Belgium Frans Seda.jpg|jmpl|Frans Seda]]
Bola salju yang menggelinding sejak peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi terungkap semakin membesar. Dalam rangka lustrum [[Universitas Katolik Nijmegen]], pada tanggal 17 April 1969 diselenggarakan sebuah ceramah dengan mengundang Menteri Keuangan RI, Drs. [[Frans Seda]] sebagai penceramah. Begitu Frans Seda naik ke panggung untuk mulai berceramah, Y. van Herte seorang mahasiswa menyela dan bertanya perihal peristiwa pembunuhan massal anggota PKI selama bulan Oktober 1965. Frans menyanggupi untuk menjawab pertanyaan itu setelah ia diberi kesempatan untuk memberikan ceramah terlebih dahulu. Ternyata mereka menolak dan meminta pertanggungjawaban Frans atas [[Penumpasan pemberontakan|pembunuhan massal di Indonesia]]. Akibatnya suasana menjadi kacau, bahkan Frans Seda diteriaki sebagai  ''Moordenaar dan lafaard..!''. Akhirnya ceramah dibatalkan dan Frans Seda keluar meninggalkan Aula Universitas lewat pintu belakang.<ref name=":0" />
 
Prof. Dr. W.F. Wertheim, seorang Indonesianis yang juga menjadi salah satu anggota komite Indonesia, dalam sebuah wawancara dengan Majalah  ''Vrije Nederland''  juga menyatakan ketidaksetujuannya atas bantuan finansial pemerintah Belanda bagi [[Orde Baru|pemerintah Soeharto]]. Dalam wawancara lain dengan sebuah stasiun TV di Belanda, Wertheim kembali menegaskan, “tidak ada kerjasama” dengan rezim yang membiarkan pembunuhan massal terhadap 80.000 hingga 100.000 orang tahanan politik. Pemerintah Orde Baru yang dibuat berang oleh pernyataan Wertheim, kemudian melarangnya mengunjungi Indonesia.<ref name=":0" />
 
Posisi pemerintah Orde Baru semakin terpojok dengan terungkapnya kasus pembunuhan massal di Grobogan. Kasus Purwodadi yang dibongkar oleh Poncke telah menorehkan aib bagi Orde Baru di awal kekuasaannya. Tidak tanggapnya rezim Soeharto terhadap kasus Grobogan menimbulkan reaksi keras di luar negeri. Prof. Dr. Ernest Utrecht, dalam sebuah diskusi di Universitas Nijmegen, Belanda, mengatakan bahwa “''Repelita is onzin''” ([[Rencana Pembangunan Lima Tahun|Repelita]] adalah omong kosong). Ia mengatakan bahwa bantuan kepada Indonesia adalah sama dengan [[Imperialisme|imperialisme ekonomi]] yang membawa Indonesia memasuki [[Kapitalisme]] Barat. Kejatuhan Soekarno membawa angin segar bagi masuknya pemodal asing, karena Soeharto, yang baru saja memegang kendali pemerintahan selama dua tahun, telah mengambil serangkaian langkah-langkah untuk merealisasikan program perbaikan ekonomi dan memulihkan stabilitas politik dalam satu paket dan stabilitas politik dijadikan prasyarat bagi landasan [[Rencana Pembangunan Lima Tahun|pembangunan ekonomi]].<ref name=":0" />
Baris 40:
Bukan hanya pers Belanda, pers [[Thailand]] juga mengangkat kasus pembunuhan massal di Purwodadi sebagai berita, sehingga perhatian khalayak diarahkan ke Indonesia. Akibatnya Kedutaan Besar RI di Bangkok menjadi sasaran hujatan dan kritik pedas dari berbagai kalangan, baik dari pemerintah maupun organisasi sosial lainnya di [[Bangkok]]. Kasus Purwodadi tampaknya berdampak lebih jauh daripada yang diperkirakan. Soeharto yang merasa terganggu oleh peristiwa itu, akhirnya membatalkan kunjungannya ke sejumlah negara [[Eropa]] yang sejatinya akan dilakukan pada medio April 1969. Ia memutuskan baru akan mengunjungi Eropa termasuk Belanda tahun 1970.<ref name=":0" />
 
Berbeda dengan publik di Belanda, reaksi pers [[Amerika Serikat]] terhadap pembunuhan massal terbesar sesudah [[Perang Dunia II|Perang Dunia ke II]] itu dingin-dingin saja. Bahkan semenjak awal tersiar kabar penghancuran PKI di Indonesia, Majalah  ''[[Time]]''  edisi 5 Juli 1966 menuliskan hal itu sebagai “berita terbaik bagi dunia Barat selama bertahun-tahun di Asia.”<ref name=":0" />
 
== Referensi ==