Pembicaraan Wikipedia:Pintasan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Balas
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Balas
 
(14 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 8:
: Vandalisme oleh pengguna. Sudah dikembalikan. Maaf. [[Pengguna:Rintojiang|Rinto Jiang]] 10:26, 21 November 2006 (UTC)
 
== Permintaan penyuntingan halaman dilindungi sebagian pada 29 Maret 2024 ==
== Suku Angkola & Mandailing ==
 
{{edit semi-protected|Wikipedia:Jalan pintas|answered=yes}}
Suku Angkola Dan Mandailing Bukan Rumpun Suku Batak
[[Istimewa:Kontribusi pengguna/120.188.76.127|120.188.76.127]] 29 Maret 2024 01.58 (UTC)
 
:{{ditolak}}: Anda tidak merincikan mana yang mau disunting. [[Istimewa:Kontribusi pengguna/2001:448A:1021:28B1:152D:D661:78C5:EA81|2001:448A:1021:28B1:152D:D661:78C5:EA81]] 29 Maret 2024 10.14 (UTC)
 
Hubungan Marga Dalimunthe dan Marga Lubis suku mandailing & Suku angkola
 
Asal Usul Marga Lubis
 
SELASA, 03 APRIL 2012
 
Asal Usul Marga Lubis
 
Nenek moyang marga Lubis berasal dari suku Bugis di Sulawesi Selatan. Adalah seorang bangsawan Bugis bernama Daeng Malela, bergelar Angin Bugis, yang mengembara ke sigalangan dengan membawa seekor Ayam jago.Daeng Malela disambut oleh seorang raja bermarga Dalimunte, dan mendapatkan kehormatan untuk tinggal di kerajaan tersebut. Oleh karena di saat itu masih sering terjadi perang antar kerajaan atau perang antar marga, maka Daeng Malela menawarkan jasa untuk membalas budi baik sang raja. Entah dari mana asal keahliannya, Daeng Malela menawarkan untuk membuatkan senjata yang handal untuk pasukan kerajaan, karena saat itu tidak ada pandai besi yang cakap dan senjata yang beredar di kerajaan pun kurang. Konon, apa yang dilakukan Daeng Malela serupa benar dengan yang dilakukan Empu Supa dalam abad Tanah Jawa. Kepada raja, Daeng Malela minta disediakan sebatang besi dan sejumlah takar atau batok kelapa sebagai bahan bakar tungku. Setelah besi dibakar hingga membara, maka Daeng Malela menempah besi tersebut menjadi sebilah pisau hanya dengan kedua belah tangannya. Konon pisau tersebut hingga sekarang masih ada, dengan cap jari-jemari Daeng Malela tertera di bilah pisau tersebut.
 
Maka Kerajaan Dalimunte pun beroleh kemenangan dengan senjata-senjata tempahan Daeng Malela. Oleh jasanya tersebut, Daeng Malela pun beroleh kehormatan, diangkat menjadi pandai besi kerajaan dengan gelar Namora Pande Bosi, artinya Pandai Besi Yang Terhormat, bahkan dinikahkan pula dengan putri raja yang bernma Putri Dalimunte naparila,artinya Putri dalimunte yang pemalu.
 
Suatu ketika, Putri dalimunte meminta Namora pande bosi untuk membawa burung yang di tembak di atas air.Namora pande bosi pun pergi menyumpit burung di tengah hutan dan seekor burung yang sedang berdiri di atas air berhasil di tembak nya.Kemudian,Burung itu di ambil oleh gadis cantik dari orang Bunian/makhluk halus yang bertubuh kasar/berwujud manusia.Gadis cantik itu meminta agar Namora pande bosi menikahi nya.Namora pande bosi pun menurutinya.pernikahan tersebut disembunyikannya agar tak diketahui sang raja. dari pernikahan tersebut lahirlah sepasang anak kembar yang bernama Si Langkitang dan Si Baitang.
 
Setelah beberapa masa, kala kedua putranya beranjak kanak-kanak, Namora Pande Bosi terpaksa meninggalkan mereka sebab sudah terlampau lama meninggalkan kerajaan, dan tentunya, istri sahnya.dari istri nya Putri Dalimunte, lahir lah sepasang anak kembar yang bernama Sultan Bugis dan Sultan Borayun.
 
Saat si Langkitang dan si Baitang beranjak dewasa mereka pergi ke kerajaan Dalimunte di sigalangan untuk mencari Ayah mereka, bertemulah mereka dengan Ayah nya dan mereka berdua tinggal bersama Namora pande bosi di Kerajaan Dalimunte.
 
Suatu ketika terjadi pertengkaran hebat antara Si Baitang dan Sultan Borayun karna berebut anak Namboru(anak paman), sehingga Namora pande bosi mengusir Si Baitang dan Sultan Borayun. Sebelum berpisah, Namora Pande Bosi menyerahkan seekor ayam kepada kedua putranya tersebut, dengan pesan agar dalam perjalanan mereka, hendaknya ayam tersebut dilepaskan dan di mana ayam tersebut berhenti, agar didirikan perkampungan.
 
Maka, dari Si Baitang dan Sutan Borayun lah menyebar marga Lubis di seantero Mandailing.Semua keturunan Si Langkitang dan Sultan Borayun menggunakan nama Lubis di belakang nama nya. Si Baitang adalah anak Namora pande bosi dari seorang gadis Bunian/Makhluk halus dan Sultan Borayun adalah anak Namora pande bosi dari seorang gadis manusia biasa.
 
Kata Bapak ku orang yang bermarga Lubis terbagi 2,Yaitu :
 
1.      Keturunan Si Baitang(Anak Bunian),ciri-ciri nya penakut  sama hal-hal yang berkesan Seram/Horror mungkin karna Si Baitang selalu mendekati.
 
2.      Keturunan Sultan Borayun(Anak Manusia biasa),ciri-ciri nya pemberani sama hal-hal yang berkesan Seram/Horror.
 
 
Terdapat beberapa daerah yang berkaitan dengan sejarah marga Lubis, antara lain Kota nopan yang namanya berasal dari kata uta panopaan (kampung tempat penempaan/menempah besi), Muara Patontang yang namanya berasal dari muara sungai yang saling bertentangan (patontang: saling menentang), yaitu salah satu tempat ayam mereka berhenti, dan Muara Soro, tempat akhirnya sang ayam dimangsa singa, hingga Lubis yang berasal dari Muara Soro sering dijuluki Lubis Singa Soro. Begitupun, tempat yang dianggap sebagai cikal-bakal marga Lubis adalah Singengu, barangkali karena di Singengulah terdapat bagas godang (rumah adat) marga Lubis sekaligus tempat menyimpan tarombo (silsilah) marga Lubis.
 
Adapun kata lubis sendiri konon berasal dari kata bugis. Entah mengapa bisa sedemikian jauhnya berubah, barangkali saja orang Mandailing jaman dahulu terlampau acap mengunyah sirih hingga lidahnya bebal. Dari Bugis jadi LUBlS
 
Ibn Khaldun Lubis
 
<nowiki>https://m.facebook.com/groups/930599203661282?view=permalink&id=1584138281640701</nowiki>
 
KERAJAAN DALIMUNTHE NAMANYA APA YA ? DENGAN LELUHURNYA BERNAMA PANGLIMA ARU / Barumun padang lawas ?
 
Mohon maaf mungkin kisah ini
 
Gak ada hubungan dgn karo maupun batak
 
Karena Tidak terdapat titik temu tentang Oppu Panglima aru dalimunthe  dgn hikayat suku karo maupun suku batak
 
tks
 
Tahun berapakah ?
 
Putri Lenggana Boru Dalimunthe dipersunting Mpu Daeng Malela dan lalu Mpu  Daeng Malela  Diberi gelar Namora pande Bosi oleh pihak kerajaan Dalimunthe ! Benarkah ada hikayat ini !
 
SEKILAS HUBUNGAN MARGA DALIMUNTHE DENGAN MARGA LUBIS
 
  Pembuat Patung lokanatha
 
Suatu kemungkinan !
 
Pembuat Patung Lokanatha adalah Namora pande bosi  ( DAENG MALELA )
 
Setelah menikah dgn Boru Dalimunthe
 
tradisi menurut dari adat istiadat Angkola memberikan Hauma atau tanah bagian waris / wakaf  untuk hak anak boru  terlebih dahulu  karena rasa sayang orang tua terhadap anak boru agar anak borunya tersebut Nyaman dan tidak menuntut hak waris dikemudian hari kepada saudara laki laki dari atas peninggalan orang tua.
 
Dari pembagian tersebut , berdirilah suatu kerajaan , untuk mengenang peristiwa perjalanan tersebut mungkin membuat patung Lokanatha dan tergoret Nama surya mengingatkan nama dari matahari
 
Karena permaisurinya boru dalimunthe  adalah bergelar Putri Laen Bulan
 
Mungkin menurut keyakinan masing masing dimana pihak perempuan disebut pihak Bulan  dan pihak laki laki pihak matahari.
 
Ada seorang juru pandai  pembuat Lokanatha, sedangkan ada juga Pandai Bosi yang   
 
Dari beberapa sumber dapat diambil kesimpulan  bahwa sebelum Namora Pande Bosi yang bermukim di Hutalobu Hatongga Sigalangan dan  Namora Pande Bosi pernah juga tinggal Hutalobu .
 
Namora Pande Bosi tersebut bermukim di Padang Bolak Ruar Tonga
 
Menoleh latar belakang  dapat diperkirakan mengenai kapan Namora Pande Bosi itu , telah Exsis Di MAndailing Angkola sekitar Sumtera timur tempo dulu
 
Diyakini  Yakni:
 
1) Cerita Rakyat sekitar tempat kejadian dari klan Dalimunthe dan klan Lubis diakui kejadian tersebut pernah terjadi dan di aamini oleh Tokoh tokoh adat dan tokoh tokoh masyarakat hingga kini dimana dalam hikayat tersebut :
 
Putri Dari kerajaan Dalimunthe bernama Putri Lenggana  diperistri oleh seorang pemuda dari bugis bernama Daeng Malela
 
Pada acara pernikahan adat tersebut :
 
Putri lenggana  boru dalimunthe diberi gelar Permaisuri  Laen Bulan  dan Daeng Malela diberi gelar Namora Pande bosi
 
2) Telah Terberita hikayat Lakitang dan baitang
 
Zaman Surya tahun 946 Saka atau sekitar tahun 1024 M, karena Surya adalah seorang juru pandai besi
 
Mengenai zaman Surya, kemungkinanya dapat dilihat tulisan Prasasti  dari patung Lokanatha di mana disebut ada seorang pandai besi bernama Surya ( identik dgn Matahari ) Yg tidak lain suatu kemungkinan orang yg sama bernama Daeng Malela ( Namora pande bosi ) sehingga apa yang diketahui adalah gelar yang diambil dari keistimewaannya, yaitu Namora Pande Besi nama yg diberikan oleh Mertuanya atau pihak  dari Kerajaan Dalimunthe  
 
Bahwa jarak zaman itu cukup jauh dengan apa yang sebegitu jauh diketahui oleh penduduk nama keturunan terdekat sesudah Namora Pande Bosi, si Langkitang dan si Baitang (putra kembar Namora Pande Bosi) bukan sesuatu yang mustahil.
 
Mempunyai anak kembar lainnya
 
3) Zaman eskpansi Majapahit tahun Caka 1287 (1365 M) karena Gajah Mada mengetahui suatu kerajaan Mandailing  yang tentunya dipimpin oleh seorang terkemuka, diperkirakan Namora Pande Bosi
 
Mengenai masa perlawanan zaman Majapahit, kemungkinannya dapat dilihat dari masa kerajaan Majapahit tersebut ke sumatera mungkin ke Mandailing, yaitu sekitar tahun 1365.
 
Bukan mustahil bahwa wilayah mandailing Angkola dan sekitarnya  di bawah kekuasaan Raja raja keturunan  Namora Pande Bosi dan Kerajaan Dalimunthe
 
kerajaan Majapahit terdengar kepada Mangkubumi Gajah Mada, yang membuat ia merencanakan nama Mandailing turun dalam sumpah Palapanya.
 
4) Zaman  sekitar abad ke 16 M. Menurut tambo (stamboom) yang dibuat atau disimpan oleh Soetan Koemala Boelan.
 
Mengenai marga lubis  , bila diambil dari nama tokoh-tokoh yang diketahui menjadi keturunan dinasti Pande Bosi dari ABAD 16  mendapatkan 12 generasi  sampai Soetan Koemala Boelan
 
Kata marga di Mandailing atau Mandahiling bisa berarti clan yang berasal dari bahasa Sanskrit, varga yaitu warga atau warna, ditambah imbuhan ma atau mar, menjadi mavarga atau marvarga, artinya berwarga, dan disingkat menjadi marga. Marga itu sendiri bermakna kelompok atau puak orang yang berasal dari satu keturunan atau satu dusun. Marga juga bisa berasal dari singkatan 'naMA keluaRGA'. Namun, tidak semua orang Mandailing mencantumkan marga dalam namanya, karena dianggap cukup sebagai identitas antara orang Mandailing/Mandahiling sendiri. Selain itu, di antara orang Mandailing ada juga yang tak memakai sistem patrilineal atau sistem marga, melainkan memakai sistem matrilineal atau yang diistilahkan sebagai sistem suku dalam bahasa Minang, seperti contohnya etnis Lubu yang merupakan penduduk asli Mandahiling. Selain itu, marga juga bisa diartikan sebagai dusun, seperti halnya arti marga di wilayah Sumatra Selatan.
 
Asal Usul
 
Etnis Mandahiling adalah 'suku bangsa' yang mendiami 3 Provinsi di Pulau Sumatra, yaitu Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Asahan dan Kabupaten Batubara di Provinsi Sumatra Utara, Indonesia beserta di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat, di Provinsi Sumatra Barat, dan di Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Pada masa penjajahan Belanda, kesemuanya masuk dalam Afdeeling Mandahiling di bawah Sumatra's West Kust Gouvernement (Gubernuran Pesisir Barat Sumatra). Pada masyarakat Minangkabau, Mandailing atau Mandahiliang menjadi salah satu nama 'suku' atau nama keluarga dari garis ibu (matrilineal) yang ada pada masyarakat Minangkabau.
 
Seperti halnya orang Arab dan Tionghoa, orang Mandailing atau Mandahiling mempunyai pengetahuan mengenai silsilah, yang dalam bahasa Mandailing disebut sebagai (Tarombo atau Tambo). Silsilah orang Mandailing bisa mencapai beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek moyang mereka. Pada mulanya silsilah sesuatu marga, diriwayatkan turun-temurun secara lisan (tambo atau terombo), kemudian diturunkan secara tertulis. Menurut Abdoellah Loebis yang menulis mengenai asal usul orang Mandailing dalam majalah Mandailing yang diterbitkan di Medan pada awal kurun ke-20: "Yang masih ada memegang tambo turun-turunannya, yaitu marga Lubis dan Nasution, sebagaimana yang sudah dikarang oleh Almarhum Raja Mulya bekas Kuriahoofd (daerah) Aek (Sungai) Nangali..." Ini tidak bermakna marga-marga Mandailing yang lain tidak memelihara silsilah mereka.
 
Penelitian silsilah marga Lubis Singengu (keturunan Silangkitang) di Kotanopan dan Lubis Singasoro (keturunan Sibaitang) di Pakantan, beserta Harahap (keturunan Sutan Bugis) dan Hutasuhut (keturunan Sutan Borayun) di Angkola]], yang merupakan keturunan Namora Pande Bosi, menunjukkan bahwa marga itu mula menetap di Mandailing Julu dan Mandailing Jae (Angkola) pada kurun abad ke-16 M, keturunan dari Raden Patah gelar Angin Bugis dari Majapahit, yang bersama pasukan Bugis dari Palembang, yang kalah adu kerbau dengan Kerajaan Pagaruyung di Padang Sibusuk. Sementara Lubis-Lubis lainnya, seperti Parinduri, Batubara, Daulae, Raorao, Tanjung, dan lainnya, yang bukan keturunan Namora Pande Bosi, umumnya sampai sekarang belum banyak dipublikasikan.
 
Sementara pada umumnya marga Nasution Sibaroar yang berada di Mandailing Godang merupakan keturunan Si Baroar gelar Sutan (Sultan) Di Aru, dan marga-marga Nasution lainnya, antara lain Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain, berdasarkan nama dusun masing-masing, yang awalnya memakai sistem matrilineal.
 
Umumnya marga-marga di Mandailing, kisah asal-usulnya tidak menunjukkan berasal dari Toba, seperti opini yang ditebarkan. Antara lain, Batu Bara, Daulae dan Matondang yang berasal dari satu nenek moyang. Tokoh nenek moyang ketiga marga tersebut menurut kisahnya dua orang bersaudara, yakni Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo. Sekitar Tahun 1560 M, keduanya bersama rombongan berangkat dari Batu Bara, Tanjung Balai menuju kawasan Barumun. Di tempat itu, mereka mendirikan kampung bernama Binabo, dan di situlah akhirnya Parmato Sopiak meninggal dunia. (Pada 1981, beberapa tokoh marga Daulae, Matondang dan Batu Bara dari Mandailing telah memugar makam Parmato Sopiak yang terletak dekat desa Binabo di kawasan Barumun.) Kemudian hari, dua putera Parmato Sopiak yang bernama Si Lae dan Si Tondang bersama pengikut mereka pindah ke Mandailing Godang, dan mendirikan kampung bernama Pintu Padang. Di situlah, keturunan mereka berkembang dan bermarga Daulae dan Matondang. Datu Bitcu Rayo kemudian berpindah, dan mendirikan kampung Pagaran Tonga. Di tempat itu, keturunannya berkembang menjadi marga Batu Bara.
 
Orang-orang Mandailing bermarga Rangkuti dan pecahannya marga Parinduri, juga tidak mendukung pendapat, yang mengatakan mereka berasal dari Toba. "...sampai kini tidak seorang pun Marga Rangkuti yang menganggap dirinya Batak, tidak marmora (punya hubungan kerabat mertua) dan tidak maranak boru (punya hubungan kerabat bermenantu) ke Tanah Batak." Sebab, menurut penuturan yang dihimpun dari orang-orang tua di Mandailing dan disesuaikan pula dengan tarombo marga Rangkuti, bahwa Ompu Parsadaan Rangkuti (nenek moyang orang-orang bermarga Rangkuti) di Runding, bernama Sutan Pane Paruhuman, yang datang dari Ulu Panai membuka Huta Runding dan mendirikan kerajaan di sana. Kerajaan tersebut berhadapan dengan Harajaon (kerajaan) Pulungan di Hutabargot di kaki Tor (gunung) Dolok Sigantang di seberang sungai Batang Gadis kira-kira 16 km dari Panyabungan"[1]
 
Marga-Marga Mandailing
 
Etnis Mandailing hanya mengenal sekitar belasan marga, antara lain Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang​,​Harahap​,​Hasibuan (Nasibuan), Rambe, Dalimunthe, Rangkuti (Ra Kuti), Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, Hutasuhut.
 
Menurut Abdoellah Loebis, marga-marga di Mandailing Julu dan Pakantan adalah seperti berikut: Lubis (yang terbahagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro), Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan. Marga-marga di Mandailing Godang adalah Nasution yang terbagi kepada Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain; Lubis, Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti, Mardia, Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai Monte, Panggabean, Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya satu marga.)
 
Menurut Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, di Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Di Padang Lawas, terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis.
 
. [[Istimewa:Kontribusi pengguna/116.206.28.3|116.206.28.3]] 9 Mei 2023 18.24 (UTC)
 
:Setuju [[Istimewa:Kontribusi pengguna/116.206.28.3|116.206.28.3]] 9 Mei 2023 18.26 (UTC)
Kembali ke halaman Wikipedia "Pintasan".