Perang Padri: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k Membatalkan 2 suntingan oleh 111.95.116.2 (bicara) ke revisi terakhir oleh Rahmatdenas
Tag: Pembatalan
(6 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 24:
 
== Latar Belakang ==
Perang Padri dianggap dimulai pada tahun 1803, sebelum campur tangan [[Belanda]], dan merupakan konflik yang pecah di negeri [[Orang Minangkabau|Minangkabau]] ketika kaum Padri mulai memberangus adat istiadat yang mereka anggap sebagai tidak [[Islami]]. Namun setelah pendudukan [[Kerajaan Pagaruyung]] oleh [[Tuanku Pasaman]], salah satu pemimpin Padri pada tahun 1815, pada tanggal 21 Februari 1821, kaum bangsawan Minangkabau membuat kesepakatan dengan Belanda di [[Padang]] untuk melawan mereka memerangi kaum Padri.<ref>Sjafnir Aboe Nain(abu Nain) , 2004, ''Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.''</ref>
 
Kaum Padri, seperti halnya para jihadis sezaman di [[Kekhalifahan Sokoto]] di [[Afrika Barat]], adalah kaum puritan Islam yang telah menunaikan ibadah [[haji]] ke [[Makkah]] dan kembali<ref>The port where they embarked and disembarked, Pedir, Sumatra, gave them their name.</ref> dengan terinspirasi untuk membawa [[Al-Qur'an|Al-Quran]] dan [[Syariat Islam|syariah]] ke posisi yang lebih besar pengaruhnya di Sumatera. Gerakan Padri terbentuk pada awal abad ke-19 dan berusaha untuk membersihkan budaya dari tradisi dan kepercayaan yang dipandang oleh para pengikutnya sebagai tidak Islami.
Baris 35:
Sepulangnya tiga orang [[Ulama Minangkabau|alim ulama]] dari [[Mekkah]] sekitar tahun 1803, yaitu [[Haji Miskin]], [[Haji Sumanik]] dan [[Haji Piobang]], mereka mengungkapkan keinginan mereka yang ingin menyempurnakan penerapan syariat Islam di masyarakat [[Minangkabau]].<ref>Azra, Azyumardi (2004). ''The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries''. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.</ref> Mengetahui hal tersebut, [[Tuanku Nan Renceh]] sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang ulama. Bersama dengan ulama lain, delapan tokoh ini dikenal sebagai Harimau Nan Salapan (Harimau yang Delapan).<ref>Ampera Salim, Zulkifli (2005). ''Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer''. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.</ref>
 
Harimau Nan Salapan kemudian meminta [[Tuanku Lintau]] yang memiliki kedekatan dan kekerabatan dengan [[Raja Pagaruyung|Yang Dipertuan Pagaruyung]] [[Muningsyah dari Pagaruyung|Sultan Arifin Muningsyah]] untuk mengajak Kaum Adat agar meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa kali perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Konflik ini mendorong terjadinya gejolak di antara beberapa [[nagari]] dalam Kerajaan Pagaruyung, sampai pada 1815, Kaum Padri di bawah pimpinan [[Tuanku Pasaman|Tuanku Lintau]] menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di [[Koto Tangah, Tanjung Emas, Tanah Datar|Koto Tangah]]. Serangan ini menyebabkan [[Sultan Arifin Muningsyah]] terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.<ref name="Aboe">Nain, Sjafnir Aboe (2004). ''Memorie Tuanku Imam Bonjol''. Padang: PPIM.</ref> Catatan [[Stamford Raffles|Thomas Stamford Raffles]] yang pernah mengunjungi [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa [[Istano Basa|Istana Kerajaan Pagaruyung]] yang sudah terbakar.<ref>Raffles, Sophia (1830). ''Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles''. London: J. Murray.</ref>
 
=== Keterlibatan Belanda 1821-1825 ===
Baris 44:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Fort van der Capellen Sumatra`s Westkust TMnr 60003554.jpg|jmpl|ka|''Fort van der Capellen'']]
 
Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari [[Pagaruyung]]. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di [[Batusangkar]] dengan nama [[Fort Van der Capellen]], sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di [[Lintau Buo, Tanah Datar|Lintau]].<ref name="Lange">H. M. Lange (1852). ''Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845)''. ‘S Hertogenbosch: Gebroeder Muller. I: 20-1</ref>
 
Pada 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di [[Tanjung Alam, Tanjung Baru, Tanah Datar|Tanjung Alam]] dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke [[Luhak Agam]]. Pada 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di [[Baso, Agam|Baso]], Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan [[Kaum Padri]] yang dipimpin oleh [[Tuanku Nan Renceh]].