Perang Tiongkok-Jepang Pertama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Muntawai9963 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(10 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 22:
|}}
 
'''Perang Tiongkok-Jepang Pertama''' (中日甲午战争/中日甲午戰爭 - Zhōngrì Jiǎwǔ Zhànzhēng); (日清戦争 [[Romaji]]: Nisshin Sensō) ([[1 Agustus]] [[1894]]–[[17 April]] [[1895]]) adalah sebuah perang antara [[Dinasti Qing]] [[Tiongkok]] dan [[Zaman Meiji|Meiji]] [[Jepang]] dalam perebutan kendali atas [[Korea]]. Perang Tiongkok-Jepang merupakan simbol kemerosotan Dinasti Qing dan juga menunjukkan kesuksesan modernisasi [[Jepang]] sejak [[Restorasi Meiji]] dibandingkan dengan [[Gerakan Penguatan Diri]] di [[Tiongkok]]. Keberhasilan modernisasi Jepang pasca Restorasi Meiji tidak lepas dari semangat kuat setiap orang, mulai dari perdana menteri hingga masyarakat umum, setia kepada negara dan melakukan modernisasi secepat mungkin. Bahkan ada orang-orang di eselon atas angkatan laut yang rela bunuh diri demi mendapatkan dua kapal perang tambahan.
 
Peperangan ini berakhir dengan kekalahan Dinasti Qing dan penandatanganan [[Perjanjian Shimonoseki]] pada tahun 1895 yang berakibat pada ganti rugi 30 juta tael kepada Jepang.
Baris 29:
 
== Latar belakang ==
Setelah lebih dari dua abad menerapkan kebijakan [[Sakoku|mengasingkan diri]] dibawah pemerintahan [[Zaman Edo|Keshogunan]], Jepang akhirnya mebukamembuka perdagangan luar negeri, dengan disetujuinya [[Persetujuan Kanagawa]] pada tahun 1854. Kejatuhan Keshogunan yang diikuti dengan [[Restorasi Meiji]], membuat pemerintahan Meiji yang baru dibentuk, bisa memulai reformasi untuk menjadikan jepangJepang negara yang terpusat dan modern.{{sfn|Jansen|2002|p=343}} Jepang juga mengirimkan beberapa delegasi dan pelajar-pelajar Jepang ke seluruh dunia, untuk mempelajari dan menerima budaya danserta ilmu pengetahuan bangsa barat, dengan tujuan untuk memajukan dan mebuatmembuat Jepang sejajar dengan kekuatan Barat.{{sfn|Jansen|2002|p=335}} Reformasi ini membuat Jepang yang tadinya masyarakat [[feodal]], menjadi negara industri yang modern.
 
Dinasti Qing di tiongkok juga mulai menerapkan reformasi politik dan militer, tetapi masih sangat jauh dari kesuksesan.
 
Selanjutnya, sebelum perang ini, Dinasti Qing mengunjungi Jepang dengan beberapa kapal perang untuk tujuan pemaksaan, dan Heihachiro [[Togo Heihachiro]] yang diundang naik kapal tersebut menyerahkan Kode Hukum Internasional kepada Ding Ruchang, Laksamana Angkatan Laut Tiongkok.
 
===Politik Korea===
Baris 41:
Pada tanggal 26 Februari 1876, setelah konfrontasi antara Jepang dan Korea, Perjanjian Ganghwa yang membuka Korea untuk perdagangan Jepang ditandatangani. Pada tahun 1880, Raja mengirimkan misi ke Jepang yang dipimpin oleh [[Kim Hong-jip]], seorang pengamat yang antusias terhadap reformasi yang terjadi di sana. Saat berada di Jepang, diplomat Tiongkok Huang Zunxian memberinya sebuah penelitian berjudul "Strategi untuk Korea". Penelitan itu memperingatkan akan ancaman yang ditimbulkan oleh Rusia terhadap Korea dan merekomendasikan agar Korea menjaga hubungan persahabatan dengan Jepang, yang pada saat itu terlalu lemah secara ekonomi untuk menjadi ancaman langsung, bekerja sama dengan Tiongkok, dan mencari aliansi dengan Amerika Serikat sebagai penyeimbang bagi Rusia. Setelah kembali ke Korea, Kim menyerahkan dokumen tersebut kepada Raja Gojong, yang sangat terkesan dengan dokumen tersebut sehingga ia membuat salinannya dan membagikannya kepada para pejabatnya.{{sfn|Seth|2011|p=235}}
 
Pada tahun 1880, mengikuti saran Tiongkok dan melanggar tradisi, Raja Gojong memutuskan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat.[13] Setelah negosiasi melalui mediasi Tiongkok di [[Tianjin]], Perjanjian Shufeldt yang berisi tentang perjanjian perdamaian, persahabatan, perdagangan, dan navigasi secara resmi ditandatangani antara Amerika Serikat dan Korea di [[Incheon]] pada tanggal 22 Mei 1882. Namun, ada dua masalah penting yang diangkat dalam perjanjian tersebut. Masalah pertama berkaitan dengan status Korea sebagai negara merdeka. Selama pembicaraan dengan Amerika, Tiongkok bersikeras bahwa perjanjian tersebut berisi sebuah artikel yang menyatakan bahwa Korea adalah bagian dari Tiongkok dan berpendapat bahwa negara tersebut telah lama menjadi negara "anak sungai" Tiongkok. Namun Amerika dengan tegas menentang pasal tersebut, dengan alasan bahwa perjanjian dengan Korea harus didasarkan pada Perjanjian Ganghwa, yang menetapkan bahwa Korea adalah negara merdeka. Sebuah kompromi akhirnya tercapai saat Shufeldt dan Li Hongzhang setuju bahwa Raja Korea akan memberi tahu presiden AS melalui surat bahwa Korea memiliki status khusus sebagai negara "anak sungai" Tiongkok. Perjanjian antara pemerintah Korea dan Amerika Serikat menjadi model bagi semua perjanjian antara pemerintah Korea dan negara-negara Barat lainnya. Korea kemudian menandatangani perjanjian perdagangan dan perdagangan serupa dengan Inggris Raya dan Jerman pada tahun 1883, dengan Italia dan Rusia pada tahun 1884, dan dengan Perancis pada tahun 1886. Selanjutnya, perjanjian komersial dibuat dengan negara-negara Eropa lainnya.{{sfn|Kim|2012|p=289}}
 
===Reformasi Korea===
Baris 49:
 
===Kegelisahan Jepang===
Selama tahun 1880-an, diskusi di Jepang mengenai keamanan nasional terfokus pada isu reformasi Korea. Wacana politik kedua negara saling terkait; seperti yang dinyatakan oleh penasihat militer Jerman Mayor [[Jacob Meckel]], Korea adalah "belati yang diarahkan ke jantung Jepang".[20]{{sfn|Duus|1998|p=49}} Apa yang membuat Korea menjadi perhatian strategis bukan hanya kedekatannya dengan Jepang tetapi juga ketidakmampuannya mempertahankan diri dari pihak luar. Jika Korea benar-benar merdeka, hal ini tidak akan menimbulkan masalah strategis bagi keamanan nasional Jepang, namun jika negara tersebut tidak berkembang maka negara tersebut akan tetap lemah dan akibatnya akan mengundang mangsa dominasi asing. Konsensus politik di Jepang adalah bahwa kemerdekaan Korea, seperti halnya Jepang Meiji, terletak melalui masuknya "peradaban" dari Barat.[20]{{sfn|Duus|1998|p=49}} Korea memerlukan program penguatan diri seperti reformasi pasca-Restorasi yang diberlakukan di Jepang. Kepentingan Jepang terhadap reformasi Korea tidak semata-mata bersifat altruistik. Reformasi ini tidak hanya akan memungkinkan Korea untuk menolak campur tangan asing, yang merupakan kepentingan langsung Jepang, namun dengan menjadi saluran perubahan, mereka juga akan memiliki kesempatan untuk memainkan peran yang lebih besar di semenanjung tersebut.
 
Jepang pada awal tahun 1880-an dalam kondisi lemah, akibat pemberontakan petani dan ''samurai'' pada dekade sebelumnya. Negara ini juga mengalami kesulitan finansial, dengan inflasi yang disebabkan oleh faktor-faktor internal ini. Selanjutnya, pemerintahan Meiji mengadopsi kebijakan pasif, mendorong monarki Korea untuk mengikuti model Jepang tetapi hanya menawarkan sedikit bantuan nyata kecuali pengiriman misi militer kecil yang dipimpin oleh Letnan [[Horimoto Reizo]] untuk melatih ''Pyŏlgigun''. Hal yang mengkhawatirkan Jepang adalah Tiongkok, yang telah melonggarkan kekuasaannya atas Korea pada tahun 1876 ketika Jepang berhasil menetapkan dasar hukum kemerdekaan Korea dengan mengakhiri status "anak sungainya". Tindakan Tiongkok tampaknya menggagalkan kekuatan reformasi di Korea dan menegaskan kembali pengaruh mereka terhadap negara tersebut.{{sfn|Duus|1998|p=50}}
Baris 61:
Para perusuh kemudian pindah ke gudang senjata tempat mereka mencuri senjata dan amunisi, dan kemudian menuju penjara. Setelah mengalahkan para penjaga, mereka tidak hanya membebaskan orang-orang yang ditangkap hari itu oleh Min Gyeom-ho tetapi juga banyak tahanan politik.{{sfn|Keene|2002|p=373}} Min kemudian memanggil tentara untuk memadamkan pemberontakan tetapi sudah terlambat untuk menekan pemberontakan tersebut. Jumlah asli para pemberontak telah bertambah karena warga kota yang miskin dan tidak terpengaruh; juga ikut serta melakukan pemberontakan.{{sfn|Keene|2002|p=373}} Para perusuh kini mengalihkan perhatian mereka ke Jepang. Satu kelompok menuju ke tempat tinggal Letnan Horimoto dan membunuhnya. Kelompok lain yang beranggotakan sekitar 3.000 orang, menuju kedutaan Jepang, tempat tinggal dari [[Hanabusa Yoshitada]], menteri Korea dan dua puluh tujuh anggota kedutaan. Massa mengepung kedutaan sambil meneriakkan niat mereka untuk membunuh semua orang Jepang di dalamnya. Hanabusa memberi perintah untuk membakar kedutaan dan dokumen penting. Saat api menyebar dengan cepat, para anggota kedutaan melarikan diri melalui gerbang belakang, lalu mereka melarikan diri ke pelabuhan dan menaiki perahu yang membawa mereka menyusuri [[Sungai Han]] menuju Chemulpo. Mereka berlindung pada komandan Incheon, kemudian mereka kembali terpaksa melarikan diri setelah tersiar kabar tentang kejadian di Seoul dan sikap warga lokal yang berubah. Mereka melarikan diri ke pelabuhan saat hujan lebat dan dikejar oleh tentara Korea. Enam orang Jepang tewas, sementara lima lainnya luka berat. Para penyintas yang membawa korban luka kemudian menaiki perahu kecil dan menuju laut terbuka dimana tiga hari kemudian mereka diselamatkan oleh kapal survei Inggris, [[HMS Flying Fish|HMS ''Flying Fish'']],{{sfn|Keene|2002|p=374}} yang membawa mereka ke [[Nagasaki]]. Keesokan harinya, setelah penyerangan terhadap kedutaan Jepang, para perusuh memaksa masuk ke istana kerajaan di mana mereka menemukan dan membunuh Min Gyeom-ho, serta selusin perwira tinggi lainnya.{{sfn|Keene|2002|p=374}} Mereka juga mencari Ratu Min. Namun sang ratu lolos, dengan berpakaian seperti nyonya istana biasa dan digendong di punggung seorang penjaga setia yang mengaku bahwa dia adalah saudara perempuannya.{{sfn|Keene|2002|p=374}} ''Daewongun'' menggunakan insiden itu untuk menegaskan kembali kekuasaannya.
 
Tiongkok kemudian mengerahkan sekitar 4.500 tentara ke Korea, di bawah Jenderal Wu Changqing, yang secara efektif dapat memulihkan ketertiban dan memadamkan pemberontakan.{{sfn|Seth|2011|p=236}} Sebagai tanggapan, Jepang juga mengirimkan empat kapal perang dan satu batalion pasukan ke Seoul untuk menjaga kepentingan Jepang dan menuntut reparasi. Namun, ketegangan mereda dengan Perjanjian Chemulpo yang ditandatangani pada malam tanggal 30 Agustus 1882. Perjanjian tersebut menetapkan bahwa para konspirator Korea akan dihukum dan ¥50.000 dan akan dibayarkan kepada keluarga dari orang Jepang yang terbunuh. Pemerintah Jepang juga akan menerima ¥500.000 sebagai permintaan maaf resmi, dan izin untuk menempatkan pasukan di kedutaan diplomatik mereka di Seoul. Setelah pemberontakan, ''Daewongun'' dituduh mengobarkan pemberontakan dan kekerasan, dan ditangkap oleh Tiongkok untuk dibawa ke Tianjin. Dia kemudian dibawa ke sebuah kota sekitar enam puluh mil barat daya Beijing, di mana selama tiga tahun dia dikurung di satu ruangan dan diawasi dengan ketat.{{sfn|Keene|2002|p=377}}
 
===Kudeta Gapsin===
Baris 96:
 
==Peristiwa Selama Perang==
Pada bulan Juli 1894, pasukan Tiongkok di Korea berjumlah 3.000–3.500 dan kalah jumlah dengan pasukan Jepang. Pasokan mereka hanya bisa dilakukan melaluilewat laut melalui Teluk Asan. Tujuan Jepang pertama-tama adalah memblokade pasukan Tiongkok di Asan dan kemudian mengepung mereka dengan pasukan darat. Strategi awal Jepang adalah menguasai laut, yang sangat penting bagi operasinya di Korea.[82] Komando laut akan memungkinkan Jepang untuk mengangkut pasukan ke daratan. Divisi KelimaKe-5 Jepang akan mendarat di Chemulpo di pantai barat Korea, untuk melawan dan mendorong pasukan Tiongkok di barat laut semenanjung dan untuk menarik Armada Beiyang ke [[Laut Kuning]], di mana mereka akan terlibat dalam pertempuran yang menentukan. Tergantung pada hasil pertempuran ini, Jepang akan mengambil satu dari tiga pilihan. Jika Armada Gabungan menang telak, sebagian besar tentara Jepang akan segera melakukan pendaratan di pantai antara Shan-hai-kuan dan [[Tientsin]] untuk mengalahkan tentara Tiongkok dan mengakhiri perang dengan cepat. Jika pertempuran tersebut berakhir imbang dan tidak ada pihak yang menguasai laut, tentara akan berkonsentrasi pada pendudukan Korea. Terakhir, jika Armada Gabungan dikalahkan dan akibatnya kehilangan komando laut, sebagian besar tentara akan tetap berada di Jepang dan bersiap untuk mengusir invasi Tiongkok, sementara Divisi KelimaKe-5 di Korea akan diperintahkan untuk bertahan dan melawan pasukan dari belakang.
 
===Tenggelamnya ''Kow-shing''===
Baris 147:
 
Pada tanggal 17 September 1894, Armada Gabungan Jepang menghadapi Armada Beiyang Tiongkok di muara Sungai Yalu. Pertempuran laut yang berlangsung dari pagi hingga senja, menghasilkan kemenangan Jepang.{{sfn|Evans|Peattie|1997|p=42}} Meskipun Tiongkok berhasil mendaratkan 4.500 tentara di dekat Sungai Yalu saat matahari terbenam, armada Beiyang berada di ambang kehancuran total – sebagian besar armada telah melarikan diri atau tenggelam dan dua kapal terbesar ''Dingyuan'' dan ''Zhenyuan'' hampir kehabisan amunisi. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang menghancurkan delapan dari sepuluh kapal perang Tiongkok, memastikan komando Jepang di Laut Kuning. Faktor utama kemenangan Jepang adalah keunggulannya dalam kecepatan dan daya tembak.{{sfn|Evans|Peattie|1997|p=44}} Kemenangan tersebut menghancurkan moral angkatan laut Tiongkok.{{sfn|Paine|2003|p=82}} Pertempuran Sungai Yalu adalah pertempuran angkatan laut terbesar dalam perang tersebut dan merupakan kemenangan propaganda besar bagi Jepang.{{sfn|Paine|2003|pp=182–183}}<ref name ="JC Perry 1964">{{cite journal |first1=John Curtis |last1=Perry |author-link=John Curtis Perry |date=1964 |title=The Battle off the Tayang, 17 September 1894 |journal=The Mariner's Mirror |volume=50 |issue=4 |pages=243–259 |doi=10.1080/00253359.1964.10657787 }}</ref>
 
===Invasi Manchuria===
[[File:Illustration of the Decapitation of Violent Chinese Soldiers by Utagawa Kokunimasa 1894.png|thumb|upright=1.5|Ilustrasi oleh Utagawa Kokunimasa saat tentara Jepang memenggal [[Tahanan perang|tahanan perang]] Tiongkok sebagai peringatan ke tawanan lainnya]]
 
Dengan kekalahan di Pyongyang, Tiongkok meninggalkan Korea utara dan mengambil posisi bertahan di benteng di sepanjang sisi Sungai Yalu dekat [[Dandong|Jiuliancheng]]. Setelah menerima bala bantuan pada 10 Oktober, Jepang dengan cepat bergerak ke utara menuju Manchuria.
 
Pada malam tanggal 24 Oktober 1894, Jepang berhasil menyeberangi Sungai Yalu tanpa terdeteksi dengan mendirikan jembatan ponton. Sore berikutnya tanggal 25 Oktober pukul 17:00, mereka menyerang pos terdepan Hushan, sebelah timur Jiuliancheng. Pada pukul 20.30 para pasukan Tiongkok meninggalkan posisi mereka dan keesokan harinya mereka mundur sepenuhnya dari Jiuliancheng.
 
Dengan direbutnya Jiuliancheng, Korps Angkatan Darat ke-1 Jenderal Yamagata Aritomo menduduki kota terdekat Dandong, sementara di utara, unsur-unsur Tentara Beiyang yang mundur membakar kota [[Fengcheng]]. Jepang telah membangun pijakan yang kokoh di wilayah Tiongkok dengan hanya kehilangan empat prajuri yang tewas dan 140 luka-luka.
 
Korps Angkatan Darat ke-1 Jepang kemudian dibagi menjadi dua kelompok dengan Divisi Provinsi ke-5 pimpinan Jenderal [[Nozu Michitsura]] maju menuju kota [[Shenyeng|Mukden]] (sekarang Shenyang) dan Divisi Provinsi ke-3 pimpinan Letnan Jenderal [[Katsura Taro|Katsura Tarō]] mengejar pasukan Tiongkok yang melarikan diri ke barat menuju Semenanjung Liaodong.
 
Pada bulan Desember, Divisi Provinsi ke-3 telah merebut kota Tatungkau, Takushan, Xiuyan, Tomucheng, Haicheng dan Kangwaseh. Divisi Provinsi ke-5 berbaris selama musim dingin Manchuria yang parah menuju Mukden.
 
Korps Angkatan Darat ke-2 Jepang di bawah pimpinan [[Oyama Iwao|Ōyama Iwao]] mendarat di pantai selatan Semenanjung Liaodong pada tanggal 24 Oktober dan dengan cepat bergerak untuk merebut [[Jinzhou]] dan Teluk Dalian pada tanggal 6–7 November. Jepang mengepung pelabuhan strategis Lüshunkou (Port Arthur).
 
Ilustrasi oleh kokunimasa Utagawa ini menunjukkan tentara Jepang mengeksekusi, sesuai dengan hukum internasional, 38 tentara Tiongkok yang menyerang rumah sakit Palang Merah dan membantai tentara Tiongkok yang sedang dirawat karena luka-luka mereka.
 
===Jatuhnya Lüshunkou===
{{Main|Pembantaian Port Arthur (Tiongkok)}}
 
Pada tanggal 21 November 1894, Jepang telah merebut kota Lüshunkou (Port Arthur) dengan sedikit perlawanan dan korban jiwa yang minim. Dengan dalih melihat sisa-sisa jenazah tentara Jepang yang dimutilasi, pasukan Jepang melanjutkan pembantaian terhadap warga sipil selama [[Pembantaian Port Arthur (Tiongkok)|Pembantaian Port Arthur]] dengan jumlah ribuan korban. Peristiwa ini pada saat itu dipandang secara luas dengan skeptis, karena dunia pada umumnya masih tidak percaya bahwa Jepang mampu melakukan tindakan seperti itu – hal ini sepertinya hanya rekayasa propaganda pemerintah Tiongkok yang dilebih-lebihkan untuk mendiskreditkan hegemoni Jepang. Kenyataannya, pemerintah Tiongkok sendiri tidak yakin bagaimana harus bereaksi dan awalnya menyangkal bahwa Port Arthur telah jatuh ke tangan Jepang.
 
{{Blockquote
|text = Saat kami memasuki kota Port Arthur, kami melihat kepala tentara Jepang dipajang di tiang kayu. Hal ini membuat kami marah dan ingin menghancurkan semua tentara Tiongkok. Kami membunuh siapapun yang kami lihat. Jalanan dipenuhi mayat, begitu banyak sehingga menghalangi jalan kami. Kami membunuh orang-orang di rumah mereka; pada umumnya, tidak ada satu rumah pun tanpa tiga hingga enam orang tewas. Darah mengalir dan baunya sangat menyengat. Kami mengirimkan regu pencari. Kami menembak beberapa, menusuk yang lain. Pasukan Tiongkok hanya menjatuhkan senjatanya dan melarikan diri. Menembak dan menggorok, itu adalah kenikmatan yang tak terbatas. Saat ini, pasukan artileri kami berada di belakang, memberikan tiga sorakan [''banzai''] untuk kaisar.
|author = Makio Okabe
|source = diary{{sfn|Lone|1994|p=155}} }}
 
Pada tanggal 10 Desember 1894, Kaipeng (sekarang [[Gaizhou]]) jatuh ke tangan Korps Angkatan Darat ke-1 Jepang.
 
===Jatuhnya Weihaiwei===
[[File:Weihaiwei surrender.jpg|thumb|Penggambaran revisionis tentang delegasi Tiongkok, dipimpin oleh Laksamana Ding Ruchang dan penasihat asing mereka, menaiki kapal Jepang untuk merundingkan penyerahan diri dengan Laksamana [[Ito Sukeyuki|Itō Sukeyuki]] setelah Pertempuran Weihaiwei. Kenyataannya, Ding bunuh diri setelah kekalahannya, dan tidak pernah menyerah]]
 
Armada Tiongkok kemudian mundur ke belakang benteng Weihaiwei. Namun, mereka kemudian dikejutkan oleh pasukan darat Jepang yang mengepung pertahanan pelabuhan melalui koordinasi dengan angkatan laut.{{sfn|Evans|Peattie|1997|p=46}} Pertempuran Weihaiwei adalah pengepungan selama 23 hari dengan pertempuran besar di darat dan laut yang terjadi antara tanggal 20 Januari dan 12 Februari 1895. Sejarawan Jonathan Spence mencatat bahwa "laksamana Tiongkok menyandarkan armadanya di balik tirai pelindung ranjau kontak dan tidak ambil bagian lagi dalam pertempuran itu."<ref name=":0">{{Cite book|title=[[The Search for Modern China]]|last=Spence|first=Jonathan|author-link=Jonathan Spence|publisher=[[W.W. Norton & Company]]|year=2013|isbn=978-0-393-93451-9|location=New York|page=2012}}</ref> Komandan Jepang mengerahkan pasukannya melintasi semenanjung Shandong dan mencapai sisi darat Weihaiwei, tempat pengepungan tersebut akhirnya berhasil bagi Jepang.<ref name=":0" />
 
Setelah jatuhnya Weihaiwei pada 12 Februari 1895, dan meredanya kondisi musim dingin yang keras, pasukan Jepang terus menekan Manchuria selatan dan Tiongkok bagian utara. Pada bulan Maret 1895, Jepang telah membentengi pos-pos yang memerintahkan pendekatan laut ke Beijing. Meskipun ini adalah pertempuran besar terakhir yang terjadi, banyak pertempuran kecil yang terjadi setelahnya. Pertempuran Yingkou terjadi di luar kota pelabuhan Yingkou, Manchuria, pada tanggal 5 Maret 1895.
 
===Pendudukan Pulau Pescadores===
Bahkan sebelum perundingan perdamaian dimulai di Shimonoseki, Jepang telah memulai persiapan untuk merebut Taiwan. Namun, operasi pertama tidak ditujukan terhadap pulau itu sendiri, namun terhadap Kepulauan Pescadores, yang karena posisinya yang strategis di lepas pantai barat akan menjadi batu loncatan untuk operasi lebih lanjut terhadap pulau tersebut.{{sfn|Olender|2014|p=163}} Pada tanggal 6 Maret, pasukan ekspedisi Jepang yang terdiri dari resimen infanteri yang diperkuat dengan 2.800 tentara dan baterai artileri berangkat dengan lima kapal angkut, dan berlayar dari Ujina ke Sasebo, tiba di sana tiga hari kemudian. Pada tanggal 15 Maret, lima kapal angkut, dikawal oleh tujuh kapal penjelajah dan lima kapal torpedo dari Armada ke-4, meninggalkan Sasebo menuju selatan. Armada Jepang tiba di Pescadores pada malam tanggal 20 Maret, tetapi menghadapi cuaca badai. Karena cuaca buruk, pendaratan ditunda hingga 23 Maret, ketika cuaca cerah.{{sfn|Olender|2014|p=164}}
 
Pada pagi hari tanggal 23 Maret, kapal perang Jepang mulai membombardir posisi Tiongkok di sekitar pelabuhan Lizhangjiao. Sebuah benteng yang menjaga pelabuhan dengan cepat dibungkam. Sekitar tengah hari, pasukan Jepang mulai mendarat. Di luar dugaan, saat operasi pendaratan sedang berlangsung, senjata benteng kembali melepaskan tembakan yang menimbulkan kebingungan di kalangan pasukan Jepang. Namun mereka segera dibungkam lagi setelah ditembaki oleh kapal penjelajah Jepang. Pada pukul 14:00, Lizhangjiao berada di bawah kendali Jepang. Setelah memperkuat posisi yang direbut, keesokan paginya, pasukan Jepang bergerak ke kota utama [[Magong]]. Pasukan Tiongkok memberikan perlawanan dan setelah pertempuran singkat mereka meninggalkan posisi mereka, mundur ke Pulau Xiyu di dekatnya. Pada pukul 11:30, Jepang memasuki Magong, tetapi segera setelah mereka merebut benteng pantai di kota tersebut, mereka ditembaki oleh pasukan pesisir Tiongkok di Pulau Xiyu. Rentetan serangan tersebut tidak terbalas hingga malam tiba, karena Tiongkok telah menghancurkan semua senjata di Magong sebelum mereka mundur, dan kapal perang Jepang takut memasuki selat antara Kepulauan Penghu dan Xiyu karena potensi ancaman ranjau. Namun, hal itu tidak menimbulkan korban jiwa yang serius di kalangan pasukan Jepang. Pada malam hari, awak meriam angkatan laut kecil yang berjumlah 30 orang berhasil membuat salah satu senjata baterai pantai Magong beroperasi. Saat fajar, senjata mulai menembaki posisi Tiongkok di Xiyu, tetapi senjata Tiongkok tidak merespons. Selanjutnya, Jepang menyeberangi selat sempit tersebut, mencapai Xiyu, dan menemukan bahwa pasukan Tiongkok telah meninggalkan posisi mereka pada malam hari dan melarikan diri dengan kapal lokal.{{sfn|Olender|2014|p=164}}
 
Kapal perang Jepang memasuki selat itu keesokan harinya dan, setelah mengetahui bahwa tidak ada ladang ranjau, mereka memasuki pelabuhan Magong. Pada tanggal 26 Maret, seluruh kepulauan berada di bawah kendali Jepang, dan Laksamana Muda [[Tanaka Tsunatsune]] diangkat menjadi gubernur. Selama kampanye, Jepang menderita 28 orang tewas dan terluka, sedangkan kerugian Tiongkok hampir 350 orang tewas atau terluka dan hampir 1.000 orang ditawan.{{sfn|Olender|2014|p=164}} Operasi ini secara efektif mencegah penguatan pasukan Tiongkok di Taiwan, dan memungkinkan Jepang untuk memaksakan tuntutan mereka agar Taiwan menyerah dalam perundingan perdamaian.
 
==Akhir Perang==
===Perjanjian Shimonoseki===
[[File:Japan China Peace Treaty 17 April 1895.jpg|thumb|[[Traktat Shimonoseki|Perjanjian Shimonoseki]], 17 April 1895]]
Perjanjian Shimonoseki ditandatangani pada tanggal 17 April 1895. Tiongkok mengakui kemerdekaan total Korea dan menyerahkan Semenanjung Liaodong, [[Taiwan]], dan Kepulauan Penghu kepada Jepang "untuk selama-lamanya".[108] Pulau-pulau yang disengketakan yang dikenal sebagai pulau "Senkaku/Diaoyu" tidak disebutkan namanya dalam perjanjian ini, namun Jepang menganeksasi pulau-pulau tak berpenghuni ini ke Prefektur Okinawa pada tahun 1895. Jepang menegaskan bahwa tindakan ini diambil secara independen dari perjanjian yang mengakhiri perang, dan Tiongkok menegaskan bahwa tindakan tersebut tersirat sebagai bagian dari penyerahan Taiwan.
 
Selain itu, Tiongkok harus membayar Jepang 200 juta [[Tahil|tahil]] (8.000.000 kg/17.600.000 lb) perak sebagai pampasan perang. Pemerintahan Qing juga menandatangani perjanjian komersial yang mengizinkan kapal-kapal Jepang beroperasi di [[Sungai Yangtze]], mengoperasikan pabrik manufaktur di pelabuhan-pelabuhan perjanjian, dan membuka empat pelabuhan lagi untuk perdagangan luar negeri. Rusia, Jerman dan Perancis dalam beberapa hari melakukan ''Triple Intervention'', dan memaksa Jepang menyerahkan Semenanjung Liaodong dengan imbalan 30 juta tahil perak (setara dengan sekitar 450 juta yen).
 
Setelah perang, pemerintah Qing membayar 200 juta tahil Kuping, atau setar 311.072.865 yen, menjadikan perang tersebut menjadi keuntungan bersih bagi Jepang, karena dana perang mereka hanya 250.000.000 yen.<ref>Paine, Sarah. 'The Sino-Japanese War of 1894–1895 – Perceptions, Power, and Primacy'. Cambridge University Press, 2002, pp. 269–270.</ref>
 
== Lihat pula ==