Peraturan terhadap orang Tionghoa di Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext |
|||
(28 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{tentang|sejarah dan penerapan peraturan hukum yang pernah mengikat orang Tionghoa di Indonesia|pembahasan yang lebih luas tentang orang Tionghoa di Indonesia|Tionghoa-Indonesia}}
[[File:Letter for Name Change Request (Kwee Hway Swie, 1968).jpg|256px|right|thumb|Contoh surat permohonan penukaran nama Tionghoa, Januari 1968]]
Pada masa pemerintahan [[Soekarno]] ([[Orde Lama]]) dan [[Soeharto]] ([[Orde Baru]]), pemerintah [[Indonesia]] mengeluarkan beberapa '''peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur masyarakat [[Tionghoa]].''' Selepas [[Reformasi]], sebagian besar peraturan ini telah dihapuskan, seiring dipulihkannya hak-hak orang Tionghoa oleh hukum Indonesia.
== Masa Hindia Belanda ==
Peraturan hukum pertama yang mengatur tentang orang Tionghoa dikeluarkan pada tahun 1854 yang memberikan kewarganegaraan [[Hindia Belanda]] bagi seluruh orang Tionghoa yang lahir di wilayah Hindia. Namun, ketentuan tersebut berubah pada tahun 1892, ketika orang-orang Tionghoa digolongkan kembali menjadi "bangsa Timur Asing" (''Vreemde Oosterlingen'').<ref>{{Harvnb|Lohanda|2002|p=79}}</ref> [[Hukum perdata]] Hindia, yang mengambil asas-asas hukum perdata di Belanda sesuai [[asas konkordansi]], menganggap semua orang yang lahir di Belanda atau wilayah jajahannya sebagai warga negara Dalam ketentuan hukum perdata yang diatur oleh ''[[
Pada tahun 1910, Undang-Undang Kewarganegaraan Belanda yang telah diubah menetapkan status seluruh orang non-Eropa sebagai "kawula Belanda" (''Nederlandsch onderdonen''), yang berarti hak atas kewarganegaraan Belanda di luar negeri dan hak untuk diadili oleh pengadilan Eropa di Hindia. Salah satu penyebab perubahan ini adalah dikeluarkannya [[Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Tiongkok 1909]] yang mengakui seluruh orang yang berketurunan Tionghoa sebagai warga negara [[Republik Tiongkok]] sesuai asas ''[[jus sanguinis]]''.<ref name=Chandra>{{Cite journal|title=We the Chinese People: Revisiting the 1945 Constitutional Debate on Citizenship|journal=Indonesia|last=Chandra|first=Elizabeth|issue=94|year=2012|pages=85-110|url=https://ecommons.cornell.edu/handle/1813/54600}}</ref>
==
Pada [[Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945|Undang-Undang Dasar]] yang disahkan pada tahun 1945, warga negara Indonesia didefinisikan sebagai "orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara". Ketentuan ini menimbulkan "keadaan kewarganegaraan pasif"<ref>{{Cite
=== Undang-Undang Kewarganegaraan 1946 ===
{{utama|Perjanjian Kewarganegaraan Ganda Indonesia-Tiongkok}}
[[Berkas:Sino-Indonesian Dual Nationality Treaty signing, 1955.jpg|256px|right|thumb|Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri RRT [[Zhou Enlai]] berunding dengan Menteri Luar Negeri Indonesia [[Sunario Sastrowardoyo]] di Bandung, 1955.]]
Melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan (kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948), orang-orang "bangsa Indonesia asli" dan orang di atas usia 21 tahun yang telah tinggal lebih dari lima tahun di bekas wilayah jajahan Hindia Belanda ditetapkan sebagai warga negara Indonesia. Ketentuan ini menjamin hak kewarganegaraan Indonesia atas orang-orang Tionghoa yang sebelumnya berkewarganegaraan Belanda.<ref name=Chandra />
Namun, peraturan ini menimbulkan kondisi [[kewarganegaraan ganda]] bagi banyak orang Tionghoa di Indonesia, karena banyak yang juga masih berstatus warga negara Republik Tiongkok (atau [[Republik Rakyat Tiongkok]] setelah tahun 1949). Pada bulan April 1955, Indonesia dan RRT menandatangani [[Perjanjian Kewarganegaraan Ganda Indonesia-Tiongkok|Perjanjian Mengenai Kewarganegaraan Ganda]] (''Agreement on the Issue of Dual Nationality between the Republic of Indonesia and the People's Republic of China'') yang mengakui situasi kewarganegaraan ganda antara Indonesia dan Tiongkok. Perjanjian ini kemudian disahkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958.
Baris 21 ⟶ 22:
=== Program Benteng ===
{{main|Program Benteng}}
Pada bulan Maret 1950, pemerintah Indonesia melancarkan serangkaian program ekonomi yang bertujuan untuk mengembangkan kekuatan orang-orang Indonesia asli di dunia usaha. Kebijakan yang dikenal sebagai Program Benteng ini menjadi kebijakan resmi [[Kabinet Natsir]], yang mendasarkan kebijakan ini pada ketentuan hasil [[Konferensi Meja Bundar]] bahwa pemerintah Indonesia berhak untuk melindungi kepentingan nasional dan "golongan ekonomi lemah".<ref name=Nasionalisasi>{{Cite
Pada awalnya, yang menjadi target program ini adalah perusahaan-perusahaan yang masih dikuasai oleh pengusaha Belanda. Pada tahun 1953, [[Kabinet Wilopo]] jatuh karena perdebatan yang memanas tentang kuota impor untuk perusahaan asing, di mana pemerintah dituduh mendiskriminasi para importir Tionghoa. Pada era tersebut, orang-orang Tionghoa mendominasi perekonomian di kota-kota besar seperti [[Jakarta]] dan [[Surabaya]], seperti yang dicatat oleh sejarawan Betawi [[Alwi Sahab]].<ref>{{Cite news|title=Ratusan Ribu Warga Cina Diusir di Zaman Sukarno|url=https://www.republika.co.id/berita/selarung/nostalgia-abah-alwi/16/10/15/of2ggd282-ratusan-ribu-warga-cina-diusir-di-zaman-sukarno|last=Raharja Ucu|first=Karta|date=15 Oktober 2016|work=[[Republika]]|access-date=17 Mei 2020}}</ref>
Elemen rasial pada penerapan Program Benteng memanas pada bulan Maret 1956 setelah Mr. [[Assaat|Assaat Datuk Mudo]], bekas Pejabat Presiden, menuduh bahwa orang-orang Tionghoa telah melakukan kegiatan monopolistik dalam perekonomian dan tidak membuka jalan bagi kaum pribumi untuk ikut serta. Dalam pidatonya di hadapan Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di [[Surabaya]], Assaat menyerukan agar adanya perlindungan khusus di bidang ekonomi bagi bangsa Indonesia asli.<ref name=Peraturan /> Retorika Assaat ini dipandang tidak jauh berbeda dengan gagasan keadilan ekonomi berdasarkan ras yang mengutamakan bangsa Melayu di [[Malaysia]] dengan [[
Program Benteng akhirnya diakhiri pada tahun 1957 oleh Perdana Menteri [[Djuanda Kartawidjaja]].<ref name=Imlek>{{Cite news|title=Hari Raya Imlek, Sejarah Pelarangan Dagang Tionghoa Zaman Sukarno|url=https://tirto.id/hari-raya-imlek-sejarah-pelarangan-dagang-tionghoa-zaman-sukarno-dfRP|last=Matanasi|first=Petrik|date=5 Februari 2019|work=[[Tirto.id]]|access-date=17 Mei 2020}}</ref>
Baris 34 ⟶ 35:
=== Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959 ===
{{wikisource|Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1959}}
Pada tanggal 16 November 1959, Presiden [[Soekarno]] mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959 tentang "larangan bagi usaha perdagangan ketjil dan etjeran jang bersifat asing diluar ibukota Daerah Swatantra tingkat I dan II serta Karesidenan". Peraturan ini pada intinya melarang orang Tionghoa untuk melakukan perdagangan eceran di bawah tingkat kabupaten, kecuali di luar ibu kota daerah.<ref name=Peraturan>{{Cite
"Orang asing" yang dimaksud dalam
Di beberapa daerah,
Pemerintah [[Republik Rakyat Tiongkok]] memprotes keras penerapan
== Orde Baru ==
{{external media
| headerimage= [[File:Internet Archive logo and wordmark.svg|25px|right]]
| caption = via [https://archive.org The Internet Archive]
| topic = [https://archive.org/details/6835159292560423/321966/mode/2up Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966 Tahun 1966]
}}
{{Wikisourcelang|id|Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966}}
{{Wikisourcelang|id|Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967}}
{{Wikisourcelang|id|Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967}}
=== Ketetapan MPRS Nomor 32 Tahun 1966 Tentang Pembinaan Pers ===
Ketetapan ini melarang penggunaan [[aksara
=== Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 127 Tahun 1966 ===
Baris 57 ⟶ 63:
Surat edaran ini dikeluarkan pada bulan Juni 1967 dan menetapkan penggunaan istilah "Cina" sebagai pengganti "Tionghoa" dan "Tiongkok", dengan alasan "mengandung nilai-nilai yang memberi assosiasi-psykopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia". [[Pramoedya Ananta Toer]] mengajukan bahwa hal ini disebabkan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok" sudah mulai digunakan oleh [[Partai Komunis Indonesia]] sejak tahun 1948, sehingga pemerintah Soeharto merasa perlu untuk menggantikannya.<ref>{{Harvnb|Pramoedya|1960}}</ref>
=== Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 37/U/IN/6/
Instruksi tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina ini dirumuskan dari laporan Ketua Panitia Negara Perumus Kebijaksanaan Penyelesaian Masalah Cina. Peraturan ini melarang "warga negara asing Cina pendatang baru" untuk tinggal di Indonesia dengan tujuan bekerja dan berusaha, dengan perkecualian bagi anggota-anggota Korps Diplomatik dan Konsuler beserta keluarganya selama masa penugasannya di Indonesia, dan tenaga-tenaga ahli beserta istri dan anak sah di bawah umur, yang masih menjadi tanggungannya. Pasal 5 pada instruksi ini juga memungkinkan pemerintah untuk mengambil alih aset milik warga negara Indonesia yang berhijrah ke RRT sebagai "modal domestic asing" yang dianggap sebagai "kekayaan nasional yang berada di tangan penduduk asing; dan oleh karena itu harus dikerahkan, dibina dan dimanfaatkan untuk kepentingan rehabilitasi dan pembangunan."<ref>[https://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/fl56743/parent/28330 Instruksi Presidium Kabinet Nomor 37/U/IN/6/1967 Tahun 1967]. ''hukumonline.com''. Diakses 17 Mei 2020.</ref>
Baris 65 ⟶ 71:
Pada bulan Desember 1967, Soeharto (kini Pejabat Presiden) menetapkan Keputusan tentang "Kebidjaksanaan Pokok jang Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing". Keputusan ini menetapkan bahwa mereka adalah "Bangsa Indonesia jang tidak berbeda dalam hak dan kewadjiban dengan Bangsa Indonesia lainnja" dan menjamin "adalah sama kedudukannja di dalam Hukum Pemerintahan dengan Bangsa Indonesia lainnja".
Keputusan Presiden ini menegaskan bahwa orang-orang Tionghoa yang telah berkewarganegaraan Indonesia harus "melalui proses [[asimilasi
=== Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 ===
Baris 71 ⟶ 77:
=== Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1969 ===
Pada bulan April 1969, Perjanjian Mengenai Kewarganegaraan Ganda dengan RRT dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga orang-orang Tionghoa yang memiliki surat kewargenegaraan ganda sesuai ketentuan Undang-Undang Kewarganegaraan 1958 dinyatakan tidak berkewarganegaraan jika tidak menyatakan keinginan untuk menjadi warga negara Indonesia.<ref>[https://www.iki.or.id/sites/default/files/docs/pengumuman/UU%20Nomor%204%20Tahun%201969%20Persetujuan%20Perjanjian%20RI%20RRT%20mengenai%20Soal%20Kewarganegaraan.PDF Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1969 tentang Persetujuan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok Mengenai Soal Dwikewarganegaraan] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20170919015928/http://www.iki.or.id/sites/default/files/docs/pengumuman/UU%20Nomor%204%20Tahun%201969%20Persetujuan%20Perjanjian%20RI%20RRT%20mengenai%20Soal%20Kewarganegaraan.PDF |date=2017-09-19 }}. ''hukumonline.com''. Diakses 17 Mei 2020.</ref>
=== Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta Nomor K.898/I/A Tahun 1975 ===
{{utama|Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta 1975}}
Instruksi ini dikeluarkan oleh Wakil Kepala Daerah [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] [[Paku Alam VIII]] pada bulan Maret 1975, yang isinya melarang orang-orang non-pribumi Eropa dan ''Vreemde Oosterlingen'' (Tionghoa, Arab, India) untuk memiliki hak milik tanah di Yogyakarta.<ref>{{Cite news|title=Mengapa Nonpribumi Tak Boleh Punya Tanah di Yogya?|url=https://tirto.id/mengapa-nonpribumi-tak-boleh-punya-tanah-di-yogya-bQZl|last=Kresna|first=Mawa|date=5 Oktober 2016|work=[[Tirto.id]]|access-date=17 Mei 2020}}</ref>
Baris 80 ⟶ 86:
Instruksi rahasia yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri [[Amir Machmud]] ini memerintahkan agar [[Kartu Tanda Penduduk]] orang-orang Tionghoa diberikan tanda khusus sebagai warga negara Indonesia berketurunan asing. Tanda ini adalah "A01".<ref>{{Cite book|title=Peranakan idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya|last=Yahya|first=Yunus|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|location=Jakarta|url=https://books.google.co.id/books?id=DGkJaHwRg0MC&pg=PA215&lpg=PA215&dq=instruksi+mendagri+No.+X01/1977&source=bl&ots=IXbu3X2N_O&sig=ACfU3U1zngLv2Vs8shRtIU5ABVTtskQOsA&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjup8fC7brpAhVISX0KHaZuB9QQ6AEwAHoECAoQAQ#v=onepage&q=instruksi%20mendagri%20No.%20X01%2F1977&f=false|year=2002|page=215}}</ref>
=== Peraturan Menteri Kehakiman Nomor JB 3/4/12 Tahun
Pada bulan Maret 1978, [[Menteri Kehakiman Republik Indonesia|Menteri Kehakiman]] [[Mochtar Kusumaatmadja]] mengeluarkan peraturan yang mewajibkan "setiap warganegara yang perlu membuktikan kewarganegaraannya" untuk mengajukan permohonan untuk mendapatkan [[Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia]] (SBKRI).<ref>[http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/144963-%5B_Konten_%5D-PERMEN%20KEHAKIMAN%20NO.%20JB.3-4-12%20TH%201978.PDF Peraturan Menteri Kehakiman Nomor JB 3/4/12 Tahun
=== Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 455.2-360 Tahun 1988 ===
Peraturan ini melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas, atau memperbarui [[kelenteng]].<ref>{{Cite news|title=Setelah Enam Belas Abad
=== Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 ===
Keputusan tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia ini menghapuskan kewajiban untuk memiliki SBKRI.<ref>[http://hukum.unsrat.ac.id/pres/keppres1996_56.pdf Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20190712013502/http://hukum.unsrat.ac.id/pres/keppres1996_56.pdf |date=2019-07-12 }}. ''hukum.unsrat.ac.id''. Diakses 17 Mei 2020.</ref>
== Reformasi ==
{{Wikisourcelang|id|Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000}}
{{Wikisourcelang|id|Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014}}
=== Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 ===
Instruksi yang dikeluarkan Presiden [[B.J. Habibie]] ini menghentikan penggunaan istilah "pribumi" dan "non pribumi" dalam semua perumusan dan
Baris 105 ⟶ 112:
=== Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 ===
Keputusan yang dikeluarkan Presiden [[Susilo Bambang Yudhoyono]] ini mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 6 Tahun 1967 dan mengembalikan penggunaan istilah "Tionghoa" dan "Republik Rakyat Tiongkok".<ref>{{Cite news|title=Presiden SBY Ganti Istilah "China" Menjadi "Tionghoa"|url=https://nasional.kompas.com/read/2014/03/19/1458446/Presiden.SBY.Ganti.Istilah.China.Menjadi.Tionghoa|last=Gatra|first=Sandroh|date=19 Maret 2014|work=[[Kompas.com]]|access-date=17 Mei 2020}}</ref>
== Referensi ==
Baris 124 ⟶ 131:
[[Kategori:Rasisme]]
[[Kategori:Anti-Tionghoa]]
[[Kategori:Hukum di Indonesia]]
[[Kategori:Tionghoa-Indonesia]]
|