Piagam Jakarta

Draf pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Piagam Jakarta adalah rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Rancangan ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)[a] di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.

Piagam Jakarta
Naskah Piagam Jakarta yang ditulis dengan menggunakan Ejaan yang Disempurnakan. Kalimat yang mengandung "tujuh kata" yang terkenal dicetak tebal dalam gambar ini
Naskah Piagam Jakarta yang ditulis dengan menggunakan Ejaan yang Disempurnakan. Kalimat yang mengandung "tujuh kata" yang terkenal dicetak tebal dalam gambar ini
PengarangPanitia Sembilan
Judul asliUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mukadimah
NegaraIndonesia
BahasaIndonesia (Ejaan Van Ophuijsen)
Tanggal terbit
22 Juni 2605 dalam kalender Jepang
(22 Juni 1945 dalam kalender Gregorius)
TeksPiagam Jakarta di Wikisource

Piagam ini mengandung lima sila yang menjadi bagian dari ideologi Pancasila, tetapi pada sila pertama juga tercantum frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Frasa ini, yang juga dikenal dengan sebutan "tujuh kata", pada akhirnya dihapus dari Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yaitu badan yang ditugaskan untuk mengesahkan UUD 1945. Tujuh kata ini dihilangkan atas prakarsa Mohammad Hatta yang pada malam sebelumnya menerima kabar dari seorang perwira angkatan laut Jepang bahwa kelompok nasionalis dari Indonesia Timur lebih memilih mendirikan negara sendiri jika tujuh kata tersebut tidak dihapus. Pada tahun 1950-an, ketika UUD 1945 ditangguhkan, para perwakilan partai-partai Islam menuntut agar Indonesia kembali ke Piagam Jakarta. Untuk memenuhi keinginan kelompok Islam, Presiden Soekarno mengumumkan dalam Dekret Presiden 5 Juli 1959 (yang menyatakan kembali ke UUD 1945) bahwa Piagam Jakarta "menjiwai" UUD 1945 dan "merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut". Makna dari kalimat ini sendiri terus memantik kontroversi sesudah dekret tersebut dikeluarkan. Kelompok kebangsaan merasa bahwa kalimat ini sekadar mengakui Piagam Jakarta sebagai suatu dokumen historis, sementara kelompok Islam meyakini bahwa dekret tersebut memberikan kekuatan hukum kepada "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta, dan atas dasar ini mereka menuntut pengundangan hukum Islam khusus untuk Muslim.

Piagam Jakarta kembali memicu perdebatan selama proses amendemen undang-undang dasar pada masa Reformasi (1999–2002). Partai-partai Islam mengusulkan agar "tujuh kata" ditambahkan ke dalam Pasal 29 UUD 1945, yaitu pasal yang mengatur soal kedudukan agama dalam negara dan kebebasan beragama. Namun, usulan amendemen dari partai-partai Islam tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Piagam Jakarta selama perumusan UUD 1945

Sidang Resmi Pertama BPUPK dan Panitia Sembilan

 
Sidang Resmi Pertama BPUPK dari 29 Mei hingga 1 Juni 1945

Pada tahun 1942, Kekaisaran Jepang menduduki Hindia Belanda. Semenjak awal pendudukan, pemerintahan militer Jepang sudah bekerja sama dengan para pemimpin kelompok kebangsaan dengan maksud untuk memenuhi keperluan perang dan pendudukan.[1] Agar kerja sama dengan kelompok kebangsaan di Jawa dapat dimaksimalkan, Jepang membentuk organisasi Jawa Hokokai pada awal Januari 1944,[2] dan organisasi ini merupakan pengganti Pusat Tenaga Rakyat yang telah dibubarkan.[3] Ketika Jepang mulai mengalami kekalahan dalam Perang Pasifik, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada seluruh bangsa Indonesia pada suatu hari.[4]

Pada 1 Maret 1945, Angkatan Darat ke-16, korps militer Jepang yang melaksanakan pemerintahan atas wilayah Jawa, membentuk Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK, bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Chōsa-kai).[5][6] Badan ini bertugas menetapkan dasar negara Indonesia dan merumuskan undang-undang dasarnya.[7] BPUPK terdiri dari 62 anggota, dengan 47 dari antaranya berasal dari golongan kebangsaan dan 15 dari golongan Islam.[8] Wakil-wakil kelompok Islam meyakini bahwa undang-undang dasar Indonesia sepatutnya dilandaskan pada syariat.[9] BPUPK menggelar sidang resmi pertamanya di Jakarta dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945.[10] Dalam sidang ini, Soekarno menyampaikan pidatonya yang terkenal, "Lahirnya Pancasila", pada tanggal 1 Juni 1945. Pidato ini menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia,[11] dengan "ketuhanan" sebagai sila kelimanya.[12] Terkait sila ini, Soekarno menjelaskan:

Sebelum memasuki masa reses, BPUPK membentuk sebuah Panitia Kecil yang terdiri dari delapan anggota dengan Soekarno sebagai ketuanya. Panitia ini bertugas mengumpulkan usulan-usulan dari anggota-anggota BPUPK lainnya untuk dibahas kelak.[14] Untuk mengurangi ketegangan antara kelompok kebangsaan dengan Islam, Soekarno membentuk Panitia Sembilan pada tanggal 18 Juni 1945. Panitia yang diketuai oleh Soekarno ini bertugas merumuskan mukadimah undang-undang dasar Indonesia yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.[15] Sesuai namanya, panitia ini terdiri sembilan anggota, dengan empat anggota berasal dari kelompok Islam dan lima dari kelompok kebangsaan. [16] Kesembilan anggota tersebut adalah:[17]

Nama (rentang kehidupan) Golongan Organisasi Gambar
Agus Salim (1884–1954) Islam Sarekat Islam  
Abikoesno Tjokrosoejoso (1897–1968) Islam Partai Syarikat Islam Indonesia  
Wahid Hasjim (1914–1953) Islam Nahdlatul Ulama  
Abdoel Kahar Moezakir (1907–1973) Islam Muhammadiyah  
Soekarno (1901–1970) Kebangsaan Partai Nasional Indonesia, Pusat Tenaga Rakyat  
Mohammad Hatta (1902–1980) Kebangsaan Partai Nasional Indonesia, Pusat Tenaga Rakyat  
Achmad Soebardjo (1896–1978) Kebangsaan  
Mohammad Yamin (1903–1962) Kebangsaan Pusat Tenaga Rakyat  
Alexander Andries Maramis (1897–1977) Kebangsaan, wakil Kristen Perhimpunan Indonesia  

Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan merumuskan naskah usulan Mukadimah Undang-Undang Dasar Indonesia, yang kemudian diberi julukan "Piagam Jakarta" oleh Mohammad Yamin.[18]

Naskah Piagam Jakarta

Ejaan Van Ophuijsen[19]
Bahwa sesoenggoehnja kemerdekaan itoe jalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itoe maka pendjadjahan diatas doenia haroes dihapoeskan, karena tidak sesoeai dengan peri-kemanoesiaan dan peri-keadilan.

Ejaan yang Disempurnakan[19]
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perdjoeangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat-sentaoesa mengantarkan rakjat Indonesia kedepan pintoe gerbang Negara Indonesia jang merdeka, bersatoe, berdaoelat, adil dan makmoer.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Koeasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, soepaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaanja.

Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemoedian dari pada itu untuk membentoek soeatu Pemerintah Negara Indonesia jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah-dara Indonesia, dan oentoek memadjoekan kesedjahteraan oemoem, mentjerdaskan kehidoepan bangsa, dan ikoet melaksanakan ketertiban doenia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disoesoenlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itoe dalam soeatu hoekoem dasar Negara Indonesia jang terbentuk dalam soeatu soesoenan negara Republik Indonesia, jang berkedaoelatan rakjat, dengan berdasar kepada: ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeloek-pemeloeknja, menoeroet dasar kemanoesiaan jang adil dan beradab, persatoean Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan/perwakilan serta dengan mewoedjoedkan soeatu keadilan sosial bagi seloeroeh rakjat Indonesia.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Naskah ini bertanggal 22 Juni 2605 dalam kalender Jepang (22 Juni 1945 dalam kalender Gregorius) dan ditandatangani oleh anggota-anggota Panitia Sembilan.[20]

Piagam Jakarta sebagai kompromi

Di paragraf keempat dan terakhir Piagam Jakarta, terkandung lima butir sila yang kini dianggap sebagai bagian dari Pancasila:[21]

  1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Dalam Piagam Jakarta, asas "ketuhanan" dijadikan sila pertama, sementara dalam rumusan Pancasila yang dikemukakan oleh Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, "ketuhanan" merupakan sila kelima.[22] Perbedaan terbesar antara Piagam Jakarta dengan rumusan Pancasila Soekarno adalah keberadaan frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Frasa yang dikenal dengan sebutan "tujuh kata" ini mengakui syariat untuk Muslim.[23] Anggota Panitia Sembilan Abdoel Kahar Moezakir kelak mengklaim dalam sebuah wawancara pada Desember 1957 bahwa anggota lain yang beragama Kristen, Alexander Andries Maramis, setuju "200%" dengan rumusan ini.[24] Rumusan tujuh kata sendiri dianggap rancu dan tidak diketahui apakah rumusan tersebut membebankan kewajiban menjalankan syariat Islam kepada perseorangan atau pemerintah.[23] Walaupun begitu, Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi dan sila pertamanya dapat ditafsirkan berbeda sesuai dengan kepentingan kelompok Islam ataupun kebangsaan.[25]

Sidang Resmi Kedua BPUPK

 
Sidang Resmi Kedua BPUPK dari 10 hingga 17 Juli 1945

Sesuai dengan saran dari Panitia Sembilan, BPUPK menggelar sidang resmi keduanya dari 10 hingga 17 Juli 1945 di bawah kepemimpinan Soekarno. Tujuannya adalah untuk membahas permasalahan terkait undang-undang dasar, termasuk rancangan mukadimah yang terkandung dalam Piagam Jakarta.[26] Pada hari pertama, Soekarno melaporkan hal-hal yang telah dicapai selama pembahasan pada masa reses, termasuk Piagam Jakarta. Ia juga mengabarkan bahwa Panitia Kecil telah menerima Piagam Jakarta secara bulat. Menurut Soekarno, piagam ini mengandung "segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai [BPUPK]".[27]

Pada hari kedua sidang (tanggal 11 Juli), tiga anggota BPUPK menyampaikan penolakan mereka terhadap tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Salah satunya adalah Johannes Latuharhary, seorang anggota beragama Protestan yang berasal dari Pulau Ambon. Ia merasa bahwa tujuh kata dalam Piagam Jakarta akan menimbulkan dampak yang "besar sekali" terhadap agama lain. Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tujuh kata tersebut akan memaksa suku Minangkabau untuk meninggalkan adat istiadat mereka dan juga berdampak terhadap hak tanah yang berlandaskan pada hukum adat di Maluku.[28] Dua anggota lain yang tidak setuju dengan tujuh kata adalah Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat. Menurut Djajadiningrat, tujuh kata dapat menimbulkan fanatisme karena seolah memaksakan umat Islam untuk menjalankan hukum syariat. Salah satu anggota Panitia Sembilan, Wahid Hasjim, menampik kemungkinan terjadinya pemaksaan karena adanya dasar permusyawaratan. Ia juga berkomentar bahwa meskipun ada anggota yang menganggap tujuh kata itu "tajam", ada pula yang menganggapnya "kurang tajam".[29]

Dua hari sesudahnya, pada 13 Juli, Hasjim menggagas perubahan Pasal 4 Rancangan Undang-Undang Dasar agar Presiden Indonesia harus beragama Islam. Ia juga mengusulkan agar Pasal 29 Rancangan Undang-Undang Dasar (yang berkaitan dengan agama) diamendemen untuk menjadikan Islam sebagai agama negara ditambah dengan klausul yang menjamin kebebasan beragama untuk kaum non-Muslim. Menurutnya, hal ini diperlukan karena hanya agama yang dapat membenarkan penggunaan kekuatan untuk mengambil nyawa dalam konteks pertahanan nasional.[30][31] Anggota BPUPK lainnya, Otto Iskandardinata, menentang usulan agar Presiden Indonesia harus Muslim, dan mengusulkan agar tujuh kata di Piagam Jakarta diulang dalam Pasal 29 Rancangan Undang-Undang Dasar.[32]

Piagam Jakarta kembali dibahas dalam rapat yang digelar pada 14 Juli, salah satunya karena terdapat rencana untuk menggunakan isi dari piagam tersebut dalam deklarasi kemerdekaan Indonesia.[33] Dalam rapat ini, Ketua Umum Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo mengusulkan agar frasa "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Soekarno menolak usulan tersebut dengan argumen bahwa tujuh kata merupakan hasil kompromi:[34]

Hadikoesoemo juga berpandangan bahwa umat Islam akan merasa dihina jika ada aturan yang berbeda untuk Muslim dan non-Muslim. Soekarno menjawab bahwa jika frasa tersebut dihapus, akan muncul tafsir bahwa kaum non-Muslim juga wajib menjalankan syariat Islam. Hadikoesoemo menampik kekhawatiran Soekarno karena menurutnya "Pemerintah tidak boleh memeriksa agama".[34] Pada akhirnya, Hadikoesoemo berhasil diyakinkan oleh anggota lain dari golongan Islam, Abikusno Tjokrosujoso, bahwa tujuh kata sebaiknya dibiarkan seperti itu demi persatuan dan perdamaian.[34]

Pada sore hari tanggal 15 Juli, Hadikoesoemo kembali mengajukan usulannya. Karena merasa kekhawatirannya tidak dijawab dengan memuaskan, ia menyatakan penolakannya terhadap kompromi dalam Piagam Jakarta.[36][37] Kemudian, pada tanggal 16 Juli, Soekarno membuka rapat dengan permohonan kepada kelompok kebangsaan untuk mau berkorban dengan memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam batang tubuh undang-undang dasar dan juga dengan menambahkan klausul bahwa Presiden Republik Indonesia harus Muslim.[38] Kelompok kebangsaan memenuhi permohonan ini, sehingga BPUPK menyetujui sebuah rancangan undang-undang dasar yang mengandung tujuh kata di Mukadimah dan Pasal 29, serta sebuah klausul yang menyatakan bahwa Presiden Indonesia harus beragama Islam.[39]

Penghapusan tujuh kata

 
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945
 
Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945

Pada tanggal 7 Agustus 1945, pemerintah Jepang mengumumkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kemudian, pada 12 Agustus, Soekarno diangkat sebagai ketuanya oleh Panglima Kelompok Ekspedisi Selatan Marsekal Medan Hisaichi Terauchi.[40] Hanya empat dari sembilan penandatangan Piagam Jakarta yang menjadi anggota PPKI, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, dan Wahid Hasjim.[41] Pada mulanya anggota PPKI akan berkumpul pada 19 Agustus untuk memfinalisasi undang-undang dasar Indonesia.[40] Namun, pada 6 dan 9 Agustus 1945, kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Sekutu. Kemudian, pada 15 Agustus, Kaisar Hirohito mengumumkan bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.[42]

Soekarno dan Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Kemudian, pada pagi hari tanggal 18 Agustus, PPKI berkumpul untuk mengesahkan undang-undang dasar Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, Hatta mengusulkan agar tujuh kata di Mukadimah dan Pasal 29 dihapus. Seperti yang kemudian dijelaskan Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, pada malam hari tanggal 17 Agustus, seorang opsir kaigun (Angkatan Laut) Jepang mendatanginya dan menyampaikan kabar bahwa kelompok nasionalis beragama Kristen dari Indonesia Timur menolak tujuh kata karena dianggap diskriminatif terhadap penganut agama minoritas, dan mereka bahkan menyatakan lebih baik mendirikan negara sendiri di luar Republik Indonesia jika tujuh kata tersebut tidak dicabut.[43]

Hatta lalu menjabarkan usulan perubahannya: istilah "ketuhanan" akan diganti dengan "ketuhanan yang maha esa",[44] sementara istilah "Mukadimah" yang berasal dari bahasa Arab diganti menjadi "Pembukaan".[43] Ayat yang menyatakan bahwa Presiden Indonesia harus Muslim juga dihapus.[45] Setelah usulan ini diterima, PPKI menyetujui Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pada hari yang sama, dan tujuh kata pun secara resmi dihapus.[46] Perwakilan Bali I Gusti Ketut Pudja juga mengusulkan agar "Allah" diganti dengan "Tuhan". Usulan tersebut diterima, tetapi saat konstitusi resmi dipublikasi, perubahan tersebut tak dilakukan.[45]

Tidak diketahui secara pasti mengapa PPKI menyetujui usulan Hatta tanpa adanya perlawanan dari golongan Islam.[47] Di satu sisi, komposisi anggota PPKI sangat berbeda dengan BPUPK: hanya 12% anggota PPKI yang berasal dari golongan Islam (sementara di BPUPK terdapat 24%).[48] Dari sembilan penandatangan Piagam Jakarta, hanya tiga yang hadir dalam pertemuan tanggal 18 Agustus. Ketiga orang itu pun bukan berasal dari golongan Islam; Hasjim yang datang dari Surabaya baru tiba di Jakarta pada 19 Agustus.[49] Di sisi lain, Indonesia pada masa itu tengah terancam oleh kedatangan pasukan Sekutu, sehingga yang menjadi prioritas adalah pertahanan nasional dan upaya untuk memperjuangkan aspirasi golongan Islam dapat ditunda hingga situasinya memungkinkan.[50]

Keputusan untuk menghapus tujuh kata mengecewakan golongan Islam.[51] Hadikoesoemo mengungkapkan kemarahannya dalam pertemuan Majelis Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa hari setelah sidang PPKI selesai.[51] Golongan Islam juga merasa semakin tidak puas setelah PPKI pada tanggal 19 Agustus menolak usulan untuk mendirikan Kementerian Agama.[52] Walaupun begitu, seiring dengan kedatangan pasukan Sekutu, golongan Islam memutuskan untuk memprioritaskan persatuan nasional demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.[53]

Pembahasan Piagam Jakarta pada masa penangguhan UUD 1945

Tuntutan dari partai Islam untuk mengakui Piagam Jakarta

Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, pada 27 Desember 1949, UUD 1945 digantikan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat. Tak lama sesudahnya, pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia diberlakukan.[54] Abikoesno Tjokrosoejoso, yang pernah menjadi bagian dari Panitia Sembilan, menerbitkan sebuah pamflet pada tahun 1953 dengan judul Ummat Islam Indonesia Menghadapi Pemilihan Umum. Di halaman pertama, tercetak Piagam Jakarta yang dianggap sebagai cita-cita yang akan diperjuangkan.[55]

 
Gedung Merdeka di Bandung pernah dijadikan Gedung Konstituante dari tahun 1956 hingga 1959

Pada Desember 1955, Indonesia menggelar pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante, yaitu lembaga yang bertugas merumuskan konstitusi baru. Piagam Jakarta menjadi topik yang penting bagi anggota-anggota lembaga ini. Secara keseluruhan, Konstituante terdiri dari 514 anggota, dengan 230 dari mereka (44,8%) berasal dari blok Islam, sementara kebanyakan anggota lainnya merupakan bagian dari blok kebangsaan.[56] Blok Islam, yang secara keseluruhan terdiri dari delapan partai (yaitu Nahdlatul Ulama, Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan empat partai gurem lainnya), berpendapat bahwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah suatu kesalahan yang hanya dibiarkan oleh golongan Islam di PPKI akibat situasi genting pada saat itu dan juga karena Soekarno telah berjanji bahwa majelis yang dipilih rakyat akan menyelesaikan masalah ini kelak. Abdoel Kahar Moezakir, yang pada saat itu telah bergabung dengan Partai Masyumi, menganggap penghapusan tujuh kata sebagai suatu "pengkhianatan" yang telah menghancurkan Pancasila itu sendiri karena asas-asas yang dianggap membawa akhlak mulia yang melahirkan Pancasila malah dihilangkan.[57] Partai Masyumi (yang memiliki 112 anggota dan merupakan partai Islam terbesar di Konstituante) juga menuntut pengakuan resmi atas Piagam Jakarta.[58]

Janji pengakuan pada awal 1959

Sementara anggota Konstituante tidak dapat menyepakati undang-undang dasar yang baru, Jenderal Abdul Haris Nasution menyatakan pada 13 Februari 1959 bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) "memelopori usaha" kembali ke UUD 1945.[59] Menurut pendapat anggota Konstituante dari Partai Masyumi Djamaluddin Datuk Singomangkuto dan teolog Belanda B.J. Boland, Soekarno mendukung kembalinya UUD 1945 agar ia dapat menerapkan gagasan demokrasi terpimpinnya.[60] Pada 19 Februari, Kabinet Djuanda menyetujui secara bulat "Putusan Dewan Menteri mengenai Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam Rangka Kembali ke UUD 1945". Putusan ini menyatakan bahwa UUD 1945 dapat menjamin penerapan demokrasi terpimpin. Selain itu, putusan ini juga menyatakan bahwa untuk memenuhi aspirasi golongan Islam, keberadaan Piagam Jakarta diakui. Di bagian penjelasan juga diterangkan bahwa tujuan pengembalian UUD 1945 adalah untuk memulihkan potensi nasional secara keseluruhan, termasuk dari kelompok Islam. Oleh sebab itu, pengakuan Piagam Jakarta telah ditafsirkan sebagai upaya untuk menunjukkan iktikad baik kepada para pemimpin Darul Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh, serta politikus-politikus Islam lainnya yang bersimpati dengan ideologi yang diperjuangkan oleh Darul Islam. Sementara itu, untuk mengembalikan UUD 1945, Soekarno telah bersepakat dengan kabinet bahwa ia akan berpidato di hadapan Konstituante di Bandung dan mengajak mereka untuk menerima UUD 1945.[61]

 
Perdana Menteri Indonesia Djuanda Kartawidjaja (1957–1959). Pada Maret 1959, ia menjelaskan bahwa "pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. Jadi pengaruh termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan."[62]

Pada 3 dan 4 Maret 1959, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada kabinet terkait dengan Putusan Dewan Menteri, dan pemerintah akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara tertulis. Sejumlah perwakilan partai Islam meminta penjelasan mengenai Piagam Jakarta. Anwar Harjono dari Partai Masyumi bertanya apakah Piagam Jakarta akan memiliki kekuatan hukum seperti halnya undang-undang dasar atau hanya diakui sebagai dokumen historis saja. Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja menjawab bahwa meskipun Piagam Jakarta bukan merupakan bagian dari UUD 1945, piagam tersebut tetap menjadi sebuah dokumen historis yang sangat penting dalam perjuangan bangsa Indonesia dan perumusan Pembukaan UUD 1945. Achmad Sjaichu dari Nahdhlatul Ulama juga bertanya "apakah pengakuan Piagam Jakarta berarti pengakuan sebagai dokumen historis saja ataukah mempunyai akibat hukum, yaitu perkataan 'Ketuhanan' dalam Mukaddimah UUD 1945 berarti 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’atnya', sehingga atas dasar itu bisa diciptakan perundang-undangan yang bisa disesuaikan dengan syari’at Islam bagi pemeluknya?" Djuanda menjawab bahwa "pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. Jadi pengaruh termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan."[62]

Kemudian, pada 22 April 1959, Soekarno menyampaikan pidatonya di hadapan Konstituante di Bandung. Dalam pidato tersebut, ia menyerukan agar UUD 1945 diberlakukan kembali. Terkait dengan Piagam Jakarta, ia juga menjelaskan bahwa piagam tersebut dijiwai oleh "amanat penderitaan rakyat". Menurutnya, "Piagam Jakarta ini memuat lengkap amanat penderitaan rakyat yang saya sebutkan tadi yaitu: satu masyarakat yang adil dan makmur, satu negara kesatuan yang berbentuk republik, satu badan permusyawaratan perwakilan rakyat." Ia juga menyatakan bahwa Piagam Jakarta adalah suatu "dokumen historis" yang telah "mempelopori dan mempengaruhi" UUD 1945. Atas dasar itu, Soekarno menyatakan akan menyampaikan naskah Piagam Jakarta secara resmi di hadapan Konstituante.[63] Ia lalu mengumumkan bahwa jika Konstituante menyetujui ketentuan-ketentuan ini, ketentuan-ketentuan tersebut akan diberi sebutan "Piagam Bandung", dan piagam ini akan secara resmi mengakui Piagam Jakarta sebagai suatu dokumen historis.[64]

Perdebatan mengenai Piagam Jakarta di Konstituante

Pada sidang Konstituante berikutnya, para tokoh Islam kembali mengangkat isu soal Piagam Jakarta.[65] Salah satunya adalah Saifuddin Zuhri dari Nahdlatul Ulama yang kelak akan menjadi Menteri Agama. Ia meminta agar pemerintah menyatakan bahwa Piagam Jakarta memiliki makna hukum dan dapat dijadikan sumber hukum untuk mengundangkan hukum Islam bagi Muslim.[66] Di sisi lain, perwakilan dari Partai Kristen Indonesia, Johannes Chrisos Tomus Simorangkir, menyatakan bahwa Piagam Jakarta hanyalah dokumen historis yang mendahului Pembukaan UUD 1945, sehingga piagam tersebut bukan dan tidak dapat dijadikan sumber hukum.[67] Abdoel Kahar Moezakir menyesalkan bahwa Piagam Jakarta diangkat lagi bukan untuk dijadikan undang-undang dasar, tetapi hanya untuk memuaskan kelompok Islam.[68] Perwakilan dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan Partai Syarikat Islam Indonesia menyatakan bahwa mereka akan mendukung pengembalian UUD 1945 jika Piagam Jakarta dijadikan Pembukaan UUD 1945. Perwakilan dari Partai Syarikat Islam Indonesia juga meminta agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta juga ditambahkan ke dalam Pasal 29 UUD 1945.[69]

 
Perwakilan dari Nahdlatul Ulama Zainul Arifin mengumpamakan Piagam Jakarta sebagai pelita yang menjadi sumber cahaya UUD 1945 dan menerangi jalan bangsa Indonesia. Perumpamaan cahaya ini berasal dari Surah An-Nur 24:35-36

Perdebatan mengenai Piagam Jakarta mencapai puncaknya ketika Zainul Arifin dari Nahdlatul Ulama menyampaikan pidatonya pada 12 Mei 1959. Menurutnya, yang sebenarnya menjadi landasan Republik Indonesia bukanlah Pembukaan UUD 1945, tetapi Piagam Jakarta, karena piagam tersebutlah yang dianggap telah membuka jalan menuju Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ia juga menggunakan perumpamaan cahaya dalam Surah An-Nur 24:35-36: Piagam Jakarta diumpamakan sebagai pelita yang menjadi sumber cahaya bagi UUD 1945 dan menerangkan jalan yang telah dan akan dilalui oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, ia meyakini bahwa Piagam Jakarta sepatutnya diakui sebagai norma dasar negara dan perundang-undangannya.[70] Pandangan semacam ini ditentang oleh anggota Konstituante dari Partai Komunis Indonesia, M.A. Khanafiah, yang meyakini bahwa Piagam Jakarta hanyalah rancangan Pembukaan UUD 1945 yang tidak pernah disahkan oleh lembaga yang berwenang pada saat itu, yaitu PPKI. [71]

Pada 21 Mei, Perdana Menteri Djuanda menjawab berbagai pertanyaan anggota Konstituante terkait dengan pidato Soekarno pada 22 April. Ia menjelaskan bahwa meskipun pengakuan Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bukan berarti bahwa piagam ini langsung memiliki kekuatan hukum, piagam ini diakui telah menjiwai UUD 1945, terutama Pembukaan dan Pasal 29.[72] Kemudian ia mempresentasikan rancangan Piagam Bandung yang berisi pengakuan tersebut. Terdapat perbedaan antara versi 21 Mei dengan versi yang dikemukakan pada bulan Februari dan April. Versi bulan Februari hanya mengakui keberadaan Piagam Jakarta, sementara versi April menambahkan keterangan bahwa Piagam Jakarta adalah suatu dokumen historis. Versi Mei bahkan mengakui bahwa Piagam Jakarta memainkan peranan penting dalam kelahiran UUD 1945.[73]

Versi Mei masih belum dapat memuaskan keinginan blok Islam. Pada 26 Mei, mereka meminta penambahan tujuh kata dalam Pembukaan dan Pasal 29 UUD 1945.[74] Namun, pada 29 Mei, usulan ini gagal memperoleh dukungan dua pertiga anggota Konstituante: hanya 201 dari 466 anggota (atau sekitar 43,1%) yang mendukung usulan tersebut. Akibatnya, blok Islam menolak mendukung pengembalian UUD 1945.[75][76]

Setelah pengembalian UUD 1945

Dekret Presiden 5 Juli 1959 dan Memorandum 1966

 
Soekarno ketika sedang membacakan Dekret 5 Juli 1959

Akibat kegagalan Konstituante dalam merumuskan konstitusi baru, Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan sebuah dekret yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945.[77] Di dalam dekret ini juga terkandung pernyataan "Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut."[78] Pernyataan ini muncul salah satunya atas dorongan dari tokoh Nahdlatul Ulama Muhammad Wahib Wahab, yang kemudian diangkat sebagai Menteri Agama.[79] Pada 22 Juni 1959, DPR secara aklamasi menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945.[80]

Pada 22 Juni 1963, hari lahir Piagam Jakarta untuk pertama kalinya dirayakan. Jenderal Abdul Haris Nasution, yang saat itu menjabat Menteri Pertahanan, mengumumkan bahwa Piagam Jakarta "banyak mendapat ilham daripada hikmah 52 ribu surat-surat dari alim ulama dan pemimpin-pemimpin Islam" yang dialamatkan kepada Jawa Hokokai.[81] Kemudian, pada 5 Juli 1963 (empat tahun setelah dikeluarkannya Dekret 5 Juli 1959), Soekarno membacakan seluruh naskah Piagam Jakarta dan sesudahnya Pembukaan UUD 1945 untuk menunjukkan keterkaitan di antara kedua dokumen tersebut.[82]

Selanjutnya, pada 5 Juli 1966, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR, salah satu lembaga bentukan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin) mengeluarkan sebuah memorandum mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) lalu "menerima baik" isi memorandum tersebut dalam Ketetapan Nomor XX/MPRS/1966. Di dalam memorandum ini terkandung pernyataan mengenai peranan historis Piagam Jakarta dalam proses penyusunan UUD 1945: "Penyusunan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sesungguhnya dilandasi oleh jiwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945, sedangkan Piagam Jakarta itu dilandasi pula oleh jiwa pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang kini terkenal sebagai 'Pidato Lahirnya Pancasila'." Pada saat yang sama, memorandum ini juga menyatakan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila tidak boleh diubah oleh siapapun, termasuk MPR, karena "merubah isi Pembukaan berarti pembubaran Negara". Menurut cendekiawan Muslim Indonesia Mujiburrahman, bila dibandingkan dengan Pancasila, kedudukan Piagam Jakarta dalam memorandum ini tidak jelas dan lemah, tetapi piagam ini masih disebutkan oleh memorandum tersebut.[83]

Tuntutan penerapan Piagam Jakarta oleh kelompok Islam

 
Menurut Mohamad Roem, kewajiban dalam tujuh kata Piagam Jakarta bukanlah kewajiban hukum, tetapi kewajiban agama yang pelaksanaannya tergantung pada masing-masing individu

Pengakuan Piagam Jakarta oleh Dekret 5 Juli 1959 ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai kelompok politik. Di satu sisi, kelompok kebangsaan dan partai-partai non-Islam serta anti-Islam mengamati bahwa Piagam Jakarta hanya disebutkan di bagian pertimbangan, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum. Di sisi lain, kelompok Islam berpendapat bahwa Dekret 5 Juli 1959 telah memberikan kekuatan hukum bagi tujuh kata, sehingga dengan ini Muslim akan diwajibkan untuk menjalankan syariat Islam. Bagi kelompok Islam, dekret ini juga menandakan bahwa hukum Islam khusus untuk Muslim Indonesia dapat diundangkan.[84]

Politikus dari Nahdlatul Ulama Saifuddin Zuhri, yang diangkat menjadi Menteri Agama pada tahun 1962, mengumumkan pada tahun 1963 saat perayaan hari lahir Piagam Jakarta bahwa piagam tersebut telah memicu Revolusi Nasional Indonesia, memiliki status konstitusional, dan berpengaruh terhadap setiap perundang-undangan dan kehidupan ideologis bangsa.[85] Sebagai Menteri Agama, ia juga mencoba mengarahkan bawahannya untuk melaksanakan Dekret 5 Juli 1959.[79] Pada saat perayaan hari jadi ke-40 Nahdlatul Ulama (31 Januari 1966), diadakan sebuah pawai, dan pesertanya memegang spanduk yang menuntut kembalinya Piagam Jakarta.[86] Pada bulan yang sama, Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh merumuskan sebuah rancangan Pedoman Dasar. Pasal 4 Pedoman Dasar ini menyatakan bahwa tujuan organisasi mereka adalah untuk menyatukan semua ulama dan umat dalam upaya untuk menerapkan Piagam Jakarta dan memberlakukan syariat Islam untuk Muslim di provinsi tersebut.[87]

Politikus Muslim Mohamad Roem mengambil sikap yang lebih moderat. Dalam sebuah pidato yang ia sampaikan di Medan pada Februari 1967, ia menegaskan bahwa umat Islam wajib menerapkan syariat Islam terlepas dari apakah tujuh kata dimasukkan ke dalam Pembukaan UUD 1945 atau Dekret 5 Juli 1959. Menurutnya, kewajiban ini bukanlah kewajiban hukum, tetapi kewajiban agama, dan pelaksanaan kewajiban ini bergantung kepada masing-masing pribadi.[88] Kemudian, saat sidang MPRS pada Maret 1968, kelompok Islam meminta agar Piagam Jakarta juga dimasukkan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), tetapi upaya ini gagal akibat penolakan dari kelompok militer, Kristen, dan kebangsaan.[89]

Perdebatan antara kelompok Islam dan Kristen terkait makna historis Piagam Jakarta

 
Lambang Partai Katolik. Partai ini meyakini bahwa Piagam Jakarta tidak pernah memiliki kekuatan hukum di Indonesia

Setelah sidang MPRS pada Maret 1968, perdebatan mengenai Piagam Jakarta kembali mencapai puncaknya dengan diterbitkannya artikel-artikel oleh kelompok Kristen dan Islam.[89] Majalah Katolik Peraba menerbitkan sejumlah artikel yang mengkritik argumen pendukung Piagam Jakarta. Dalam salah satu artikel tersebut, Partai Katolik berpendapat bahwa Piagam Jakarta tidak pernah memiliki kekuatan hukum karena piagam tersebut hanyalah rancangan Pembukaan UUD 1945. Partai Katolik bahkan mengutip Sayuti Melik (salah satu anggota PPKI) yang menyatakan bahwa tidak ada bukti Panitia Sembilan pernah menandatangani rancangan Pembukaan yang dirumuskan pada 22 Juni 1945, dan hanya Mohammad Yamin yang menyebut rancangan ini dengan sebutan Piagam Jakarta. Oleh sebab itu, menurut Partai Katolik, tidak ada yang salah dengan keputusan PPKI untuk menghapus tujuh kata.[90] Sehubungan dengan Dekret 5 Juli, Partai Katolik menafsirkan kata "menjiwai" sebagai pernyataan bahwa Pembukaan UUD 1945 berasal dari Piagam Jakarta. Walaupun begitu, Partai Katolik menegaskan bahwa istilah ini tidak menjadikan tujuh kata sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia, karena jika hal tersebut diasumsikan benar, maka Piagam Jakarta bukan menjiwai, tetapi malah menggantikan Pembukaan UUD 1945. Selain itu, bagi Partai Katolik, penggunaan frasa "kami berkeyakinan" menandakan bahwa keyakinan tersebut hanyalah keyakinan Soekarno saja dan tidak memiliki kekuatan hukum.[91]

Redaksi majalah Peraba juga menyatakan bahwa pihak yang menuntut pengakuan Piagam Jakarta telah bertentangan dengan persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka juga menegaskan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak ada kaitannya dengan Piagam Jakarta. Mereka merujuk pada sejarah ketika Soekarno dan Hatta diculik dan didesak oleh para pemuda untuk mempercepat proklamasi. Para pemuda ini tidak ingin kemerdekaan Indonesia dikait-kaitkan dengan Jepang, sehingga mereka menolak penggunaan Piagam Jakarta untuk mengumandangkan proklamasi, mengingat piagam tersebut merupakan hasil dari badan bentukan Jepang, BPUPK.[92]

Di sisi lain, politikus-politikus Muslim mencoba menunjukkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Piagam Jakarta. Tokoh Muslim Hamka berpendapat bahwa sebelum Piagam Jakarta, gerakan kemerdekaan Indonesia terpecah menjadi dua golongan, yaitu Islam dan kebangsaan. Keduanya tidak saling menghormati, dan Hamka meyakini bahwa kompromi Piagam Jakarta-lah yang berhasil membuat kedua kelompok ini bersatu. Namun, tujuh kata dalam Piagam Jakarta kemudian malah dihapus satu hari setelah kemerdekaan. Bagi Hamka, ini adalah tindakan yang tidak jujur atau bahkan curang dari pihak golongan kebangsaan.[90] Sementara itu, Menteri Agama Indonesia Muhammad Dahlan menyampaikan sebuah pidato saat hari jadi Piagam Jakarta pada tahun 1968 yang menyatakan bahwa piagam tersebut merupakan sebuah langkah menuju kemerdekaan yang kemudian menjadi penggerak dan sumber inspirasi bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Dahlan juga meyakini bahwa isi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sejalan dengan isi Piagam Jakarta, dan ia juga mengklaim bahwa piagam tersebut sebenarnya menandai akhir dari pergerakan kemerdekaan Indonesia pada abad ke-20.[89] Selain itu, Dahlan menegaskan bahwa Dekret 5 Juli 1959 dan Memorandum DPRGR yang telah diterima oleh MPRS menjadikan Piagam Jakarta sebagai sumber hukum.[93]

Pandangan militer mengenai Piagam Jakarta sendiri terpecah. Abdul Haris Nasution, yang telah menjadi Ketua MPRS, menyatakan di sebuah seminar yang diselenggarakan di Kota Malang, Jawa Timur, pada Juli 1968 bahwa ia menolak gagasan pendirian negara Islam, tetapi ia mendukung keinginan umat Islam untuk mengembalikan Piagam Jakarta.[94] Namun, ketika Pemuda Mahasiswa dan Pelajar Islam ingin merayakan hari jadi Piagam Jakarta pada tahun 1968, mereka tidak mendapatkan izin dari Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta. Pemerintah saat itu juga meminta pegawai negeri sipil untuk tidak membuat pernyataan apapun mengenai Piagam Jakarta dan meminta mereka untuk tidak mengikuti perayaan hari jadi Piagam Jakarta. Pada tahun berikutnya, Panglima Komando Daerah Militer XII/Tanjungpura Kolonel Soemadi melarang perayaan hari jadi Piagam Jakarta karena menurutnya ideologi negara sudah jelas tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.[95]

Upaya menerapkan Piagam Jakarta melalui peraturan perundang-undangan

Semenjak akhir tahun 1960-an, para perwakilan dari golongan Islam mulai mencoba menerapkan isi Piagam Jakarta melalui peraturan perundang-undangan.[96] Namun, mereka masih harus menentukan apa makna dari kewajiban menjalankan syariat Islam.[97] Seorang mantan pegiat Masyumi yang bernama Mohammad Saleh Suaidy menyatakan bahwa pada akhir 1960-an, Piagam Jakarta dapat direalisasikan dengan: (1) menyelesaikan rancangan hukum perkawinan Islam yang masih dibahas DPR; (2) mengatur pengumpulan dan pembagian zakat dan jika sistem ini berhasil, rancangan undang-undang mengenai zakat dapat diusulkan ke DPR; (3) menyatukan kurikulum pesantren di seluruh negeri; (4) meningkatkan keefisienan dan koordinasi dakwah; (5) mengaktifkan kembali Majelis Ilmiah Islam untuk mengembangkan konsep-konsep penting dalam agama Islam.[98]

Pada 22 Mei 1967, Departemen Agama mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Peraturan Perkawinan Ummat Islam kepada DPRGR.[99] Di bagian penjelasan, tercantum pernyataan bahwa dengan adanya Dekret 5 Juli 1959, Piagam Jakarta dianggap sebagai bagian dari undang-undang dasar. Namun, pada Februari 1969, Fraksi Partai Katolik di DPRGR menyatakan penolakannya terhadap rancangan undang-undang ini. Mereka mengeluarkan sebuah memorandum yang membuat sebuah dikotomi antara negara kebangsaan atau negara Islam. Menurut mereka, jika rancangan undang-undang ini disahkan, berarti landasan negara akan diganti dengan Piagam Jakarta.[100] Pada akhirnya Presiden Indonesia saat itu Soeharto menarik rancangan undang-undang tersebut pada Juli 1973.[101]

Secara keseluruhan, pada masa Orde Baru, pemerintah berupaya menanamkan ideologi Pancasila, sehingga mereka tidak memberi ruang untuk pembahasan mengenai Piagam Jakarta.[102] Pada tahun 1973, semua partai Islam dilebur menjadi satu partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada tahun 1980-an, pemerintah Orde Baru juga mewajibkan semua partai politik untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.[103]

1988: pembentukan peradilan agama dan ketakutan akan Piagam Jakarta

 
Mohammad Natsir mengkritik reaksi kelompok Kristen terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama

Pada 1988, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama. Partai Demokrasi Indonesia dan fraksi partai kebangsaan lainnya merasa khawatir bahwa pemerintah melalui rancangan undang-undang ini akan menerapkan syariat Islam.[104] Teolog Yesuit Franz Magnis-Suseno memperingatkan bahwa tujuan penghapusan tujuh kata dari Pembukaan UUD 1945 dimaksudkan untuk memastikan bahwa tidak ada kelompok yang dapat memaksakan kehendak mereka kepada kelompok lain.[105] Pada awal Juli 1989, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) meminta agar setiap warga Muslim dapat dengan bebas memilih peradilan sipil atau agama, karena menurut mereka perbedaan antara Pancasila dan Piagam Jakarta adalah Pancasila tidak mewajibkan pelaksanaan syariat Islam.[106]

Soeharto menjawab kritik dengan pernyataan bahwa rancangan undang-undang ini hanya ingin mewujudkan gagasan Pancasila dan UUD 1945, dan menurutnya rancangan undang-undang ini tidak ada kaitannya dengan Piagam Jakarta.[104] Para tokoh Muslim juga menampik keterkaitan antara rancangan undang-undang peradilan agama dengan Piagam Jakarta.[107] Mohammad Natsir menyatakan bahwa kelompok Kristen telah bertindak intoleran terhadap aspirasi-aspirasi umat Islam semenjak dikeluarkannya "ultimatum" untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945. Menurutnya, jika aspirasi umat Islam terus menerus dijegal oleh penolakan kelompok Kristen, umat Islam bisa merasa seperti warga kelas dua.[108]

Di sisi lain, cendekiawan Muslim Nurcholis Madjid dapat memahami mengapa kelompok Kristen menyatakan penolakan mereka. Menurutnya, kecurigaan bahwa Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan upaya untuk mewujudkan Piagam Jakarta dipicu oleh trauma politik dari masa lalu. Ia lalu mengajak semua untuk melupakan trauma masa lalu dan memandang rancangan undang-undang tersebut sebagai suatu proses nasional.[109] Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) juga menyatakan bahwa mereka bisa memahami ketakutan masyarakat terkait rancangan undang-undang tersebut dan Piagam Jakarta, karena mereka mengamati bahwa dalam sejarah telah terjadi beberapa upaya untuk mengganti ideologi Pancasila dengan agama.[110]

Tuntutan pengembalian Piagam Jakarta pada awal Reformasi (1999–2002)

Desakan partai Islam

Setelah tumbangnya Soeharto dan pencabutan pembatasan terhadap kebebasan berpendapat pada tahun 1998, kembali muncul seruan untuk mendirikan negara Islam dan mengembalikan Piagam Jakarta.[111] Pada Oktober 1999, MPR untuk pertama kalinya menyelenggarakan sidang untuk mengamendemen UUD 1945.[112] Kemudian, saat Sidang Tahunan MPR pada tahun 2000, dua partai Islam, yaitu PPP dan Partai Bulan Bintang (PBB, penerus Partai Masyumi), memulai kampanye untuk menambahkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam Pasal 29 UUD 1945.[113] Berdasarkan usulan ini, rumusan Pancasila di Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah.[114] Pasal 29 sendiri berbunyi:[115]

  1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Politikus dari PBB M.S. Kaban menjelaskan bahwa pandangan fraksi partainya didasarkan pada Dekret 5 Juli 1959. Menurutnya, dekret ini telah menerangkan bahwa Piagam Jakarta dan UUD 1945 merupakan suatu kesatuan. Ia juga menampik kekhawatiran bahwa pembahasan Piagam Jakarta akan mengakibatkan disintegrasi nasional.[116]

 
Habib Rizieq, pendiri Front Pembela Islam, menulis bahwa jika Piagam Jakarta dijadikan bagian dari undang-undang dasar, hal ini akan memperbaiki apa yang ia anggap sebagai sebuah kesalahan sejarah

Kongres Mujahidin Indonesia I yang diselenggarakan pada Agustus 2000 juga menyerukan agar Piagam Jakarta menjadi bagian dari undang-undang dasar dan agar syariat Islam diberlakukan sebagai hukum negara.[117] Upaya untuk mengembalikan Piagam Jakarta turut didukung oleh Front Pembela Islam (FPI). Pendiri FPI Habib Rizieq menerbitkan sebuah buku yang berjudul Dialog Piagam Jakarta pada Oktober 2000. Dalam buku ini, ia menyatakan bahwa jika Piagam Jakarta dijadikan bagian dari undang-undang dasar, hal ini akan memperbaiki sebuah kesalahan sejarah dan menjadi landasan moral yang kuat untuk negara Indonesia.[118] Rizieq mengamati bahwa Soekarno sendiri menganggap Piagam Jakarta sebagai hasil dari perundingan yang sangat alot antara golongan Islam dan kebangsaan, dan menurutnya Soekarno telah menandatangani piagam tersebut tanpa keraguan.[119] Ia menolak pendapat bahwa pengembalian Piagam Jakarta akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Menurutnya, Piagam Jakarta adalah jalan tengah antara dua keinginan yang sangat berbeda, yaitu keinginan golongan Islam untuk mendirikan negara Islam dan keinginan golongan kebangsaan untuk mendirikan negara sekuler. Bagi Rizieq, peniadaan Piagam Jakarta merupakan pengkhianatan demokrasi dan penumbangan konstitusi, yang membuat banyak orang kecewa dan sedih. Pengembalian tujuh kata ke dalam undang-undang dasar dianggap oleh Rizieq sebagai obat yang dapat memulihkan hak yang telah dirampas. Dengan ini, Rizieq yakin bahwa konflik ideologi di Indonesia bisa diselesaikan.[120]

Salah satu juru bicara untuk Fraksi PPP, Ali Hardi Kiai Demak, menyatakan pada tahun 2002 bahwa sebenarnya sudah ada perundang-undangan yang berlandaskan syariat Islam, seperti Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), Undang-Undang Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (UU No. 17 Tahun 1999), Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat (UU No. 38 Tahun 1999), serta Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (UU No. 44 Tahun 1999). Oleh sebab itu, ia berpendapat bahwa perkembangan-perkembangan ini sepatutnya diterima secara resmi dengan memasukkan Piagam Jakarta ke dalam Pasal 29 UUD 1945.[113]

Di MPR pada saat itu juga terdapat sebuah fraksi yang disebut "Perserikatan Daulatul Ummah" (PDU). Fraksi ini terdiri dari berbagai partai kecil yang berhaluan Islam, yaitu Partai Nahdlatul Ummat, Partai Kebangkitan Ummat, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Daulat Rakyat, dan Partai Politik Islam Indonesia Masyumi.[121] Atas desakan dari FPI, Hizbut Tahrir, dan Majelis Mujahidin Indonesia, Fraksi PDU menuntut agar tujuh kata Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam ayat kedua Pasal 29 UUD 1945, sementara yang ingin diamendemen PBB dan PPP adalah ayat pertama.[122] Kemudian, saat MPR menggelar sidang terakhirnya untuk mengamendemen konstitusi pada tahun 2002, PBB dan PDU secara resmi meminta agar tujuh kata dimasukkan ke dalam Pasal 29.[114]

Penolakan Piagam Jakarta

 
Lambang Muhammadiyah. Penolakan Muhammadiyah terhadap usulan untuk memasukkan tujuh kata ke dalam Pasal 29 UUD 1945 telah mengecewakan Laskar Jihad di Kota Surakarta

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menentang dimasukannya Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945.[123] Organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga menolak usulan PBB dan PDU tahun 2002 terkait amendemen Pasal 29.[124] Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menyatakan pada September 2001 bahwa penerapan kembali Piagam Jakarta hanya akan membebankan negara yang baru saja terancam bubar.[125] Beberapa cendekiawan Muslim lainnya, seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Masdar F. Mas'udi, dan Ulil Abshar Abdalla, juga menolak usulan tersebut.[126] Penolakan dari Muhammadiyah sendiri sangat mengecewakan Laskar Jihad di Kota Surakarta, Jawa Tengah.[127]

Piagam Madinah: usulan alternatif dari Fraksi Reformasi

Sehubungan dengan amendemen Pasal 29(1) UUD 1945, fraksi-fraksi berhaluan kebangsaan (seperti Fraksi PDIP, Partai Golongan Karya, Kesatuan Kebangsaan Indonesia, dan Partai Demokrasi Kasih Bangsa) dan Fraksi Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia (TNI/POLRI) ingin mempertahankan pasal tersebut sebagaimana adanya, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.".[128] Sementara itu, Fraksi PPP, PBB, dan PDU menginginkan agar tujuh kata dimasukkan ke dalam tersebut sehingga menjadi berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".[128] Di sisi lain, dua partai berhaluan Islam yang tergabung dalam "Fraksi Reformasi", yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan (PK, kini disebut Partai Keadilan Sejahtera), mengajukan alternatif yang berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya".[129] Usulan ini mendapatkan dukungan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).[130] Usulan Fraksi Reformasi diberi julukan "Piagam Madinah" karena dianggap mencerminkan piagam dengan nama yang sama yang disusun oleh Nabi Muhammad untuk mengatur hubungan antaragama.[129] Pakar hukum tata negara Indonesia Arskal Salim berkomentar bahwa Piagam Madinah akan menciptakan sistem yang sangat mirip dengan sistem millet (sistem yang mengizinkan masing-masing umat agama untuk menjalankan hukum mereka sendiri) di Kesultanan Utsmaniyah.[131]

Fraksi PK menjelaskan bahwa terdapat tiga alasan mengapa mereka mendukung Piagam Madinah alih-alih Piagam Jakarta. Pertama, Piagam Jakarta dirasa masih belum final, dan piagam tersebut bukan dianggap sebagai satu-satunya cara yang sah untuk menjalankan syariat Islam di Indonesia. Kedua, naskah Piagam Jakarta diyakini hanya berlaku untuk Muslim, dan ini dianggap tidak sejalan dengan Islam yang berupa "rahmatan lil alamin" (rahmat bagi seluruh alam). Ketiga, bila dibandingkan dengan Piagam Jakarta, Piagam Madinah dinilai lebih sesuai dengan Islam, karena Piagam Madinah mengakui kebebasan hukum masing-masing agama, sementara Piagam Jakarta hanya memberi keistimewaan hukum bagi satu agama saja.[132]

Sementara itu, Presiden PK pada saat itu Hidayat Nur Wahid berpendapat bahwa peran Piagam Jakarta sebagai kompromi antara dua golongan sudah selesai.[130] Salah satu tokoh PK, Mutammimul Ula, juga menjelaskan bahwa partainya sebagai partai kecil ingin menghindari sentimen yang terkait dengan Piagam Jakarta. Menurutnya, Piagam Madinah juga menjalankan syariat Islam seperti halnya Piagam Jakarta. Dengan usulan alternatif Piagam Madinah, partainya dapat mempertimbangkan situasi politik nasional saat itu yang tidak mendukung pemberlakuan Piagam Jakarta, sekaligus memenuhi aspirasi pemilih PK yang menginginkan penegakan syariat Islam melalui amendemen Pasal 29 UUD 1945.[133]

Kegagalan upaya mengembalikan Piagam Jakarta lewat amendemen

Pada tahun 1999, Badan Pekerja MPR menugaskan persiapan materi pokok-pokok amendemen kepada Panitia Ad Hoc I, yaitu sebuah panitia yang terdiri dari 45 anggota dengan perwakilan proporsional dari semua fraksi di MPR.[112] Tiga alternatif rancangan untuk mengamendemen Pasal 29 (tidak ada perubahan, Piagam Jakarta, dan Piagam Madinah) dibahas oleh panitia ini pada Juni 2002.[134] Ketiga alternatif ini dirangkum oleh tabel berikut:[135]

Fraksi Pendukung Rancangan Bunyi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Kesatuan Kebangsaan Indonesia, Partai Demokrasi Kasih Bangsa, TNI/POLRI Alternatif Pertama
(tidak ada perubahan)
"Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa"
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, Perserikatan Daulatul Ummah Alternatif Kedua
(Piagam Jakarta)
"Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"
Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan, Partai Kebangkitan Bangsa Alternatif Ketiga
(Piagam Madinah)
"Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya"
Sumber: Salim 2008, hlm. 104

Mengingat ketiga alternatif ini tidak ada yang mendapatkan dukungan mayoritas, Yusuf Muhammad dari PKB mengusulkan sebuah kompromi pada 13 Juni. Ia menggagas agar dalam rumusan tujuh kata, istilah "kewajiban" diganti menjadi "kesungguhan", sehingga rancangan kalimatnya berbunyi "dengan kesungguhan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".[136] Kompromi ini juga gagal memperoleh dukungan mayoritas, sehingga ia mengusulkan agar ayat pertama Pasal 29 dibiarkan sebagaimana adanya, tetapi ayat kedua diamendemen menjadi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya".[137]

Setelah pembahasan panjang yang tak kunjung membuahkan hasil, ketiga alternatif ini diajukan ke Sidang Tahunan MPR pada Agustus 2002 untuk melalui mekanisme pemungutan suara. Perwakilan dari Fraksi PDU dan PBB sekali lagi menegaskan pentingnya mengembalikan kesatuan Piagam Jakarta dan UUD 1945 dengan memasukkan tujuh kata ke dalam Pasal 29. Hartono Marjono dari PDU bahkan mengklaim bahwa penentang usulan ini telah dipengaruhi oleh propaganda dan kampanye Zionis.[138] Walaupun begitu, usulan ini gagal mendapatkan dukungan mayoritas.[139] Usulan mengenai Piagam Madinah juga ditolak.[140] Fraksi PKB bahkan berubah haluan dan mendukung agar Pasal 29 dipertahankan sebagaimana adanya.[141]

Walaupun kedua usulan partai-partai Islam gagal mendapatkan dukungan mayoritas, usulan-usulan ini masih didukung oleh banyak orang Muslim di Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh surat kabar Kompas pada Agustus 2002, usulan Piagam Madinah didukung oleh 49,2% responden, sementara usulan Piagam Jakarta mendapat dukungan dari 8,2% responden. Jika keduanya digabung, 57,4% dapat dikatakan mendukung amendemen Pasal 29 UUD 1945, sementara hanya 38,2% yang ingin agar pasal tersebut dibiarkan seperti sebelumnya.[131]

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Nama resmi badan ini sebenarnya adalah "Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan". Nama ini tidak mencakup "Indonesia" karena badan ini pertama kali dibentuk oleh Angkatan Darat ke-16 Jepang yang hanya berwenang di Jawa, dan maklumat yang mengumumkan pendirian badan ini juga hanya menyebut wilayah Jawa. Angkatan Darat ke-25 yang berwenang di Sumatra baru mengizinkan pembentukan BPUPK untuk Sumatra pada 25 Juli 1945. Di sisi lain, Angkatan Laut Jepang yang memiliki wewenang di Kalimantan dan Indonesia Timur tidak mengizinkan pembentukan badan persiapan kemerdekaan. Lihat Kusuma & Elson 2011, hlm. 196-197, catatan kaki 3

Catatan kaki

  1. ^ Hosen 2007, hlm. 60.
  2. ^ Benda 1958, hlm. 153.
  3. ^ Formichi 2012, hlm. 75.
  4. ^ Anshari 1976, hlm. 14.
  5. ^ Elson 2009, hlm. 108-109 & catatan kaki 24.
  6. ^ Kusuma & Elson 2011, hlm. 196-197, catatan kaki 3.
  7. ^ Hosen 2007, hlm. 61.
  8. ^ Anshari 1976, hlm. 37.
  9. ^ Butt & Lindsey 2012, hlm. 227.
  10. ^ Kusuma 2004, hlm. 80.
  11. ^ Elson 2009, hlm. 111-112.
  12. ^ Boland 1971, hlm. 22.
  13. ^ Taniredja & Suyahmo 2020, hlm. 245.
  14. ^ Elson 2009, hlm. 112.
  15. ^ Fealy & Hooker 2006, hlm. 47.
  16. ^ Madinier 2012, hlm. 76.
  17. ^ Hosen 2007, hlm. 62.
  18. ^ Boland 1971, hlm. 25.
  19. ^ a b Schindehütte 2006, hlm. 229-230.
  20. ^ Schindehütte 2006, hlm. 230.
  21. ^ Jegalus 2009, hlm. 25.
  22. ^ Elson 2009, hlm. 113.
  23. ^ a b Boland 1971, hlm. 27.
  24. ^ Elson 2009, hlm. 112-113.
  25. ^ Salim 2008, hlm. 64.
  26. ^ Schindehütte 2006, hlm. 125.
  27. ^ Elson 2009, hlm. 114.
  28. ^ Elson 2009, hlm. 115.
  29. ^ Boland 1971, hlm. 29.
  30. ^ Anshari 1976, hlm. 28-29.
  31. ^ Elson 2009, hlm. 115-116.
  32. ^ Anshari 1976, hlm. 29.
  33. ^ Anshari 1976, hlm. 56.
  34. ^ a b c Elson 2009, hlm. 116.
  35. ^ Kusuma 2004, hlm. 329.
  36. ^ Salim 2008, hlm. 65-66.
  37. ^ Elson 2009, hlm. 117.
  38. ^ Madinier 2012, hlm. 77.
  39. ^ Elson 2013, hlm. 379.
  40. ^ a b Elson 2009, hlm. 119.
  41. ^ Anshari 1976, hlm. 46.
  42. ^ Salim 2008, hlm. 68.
  43. ^ a b Elson 2009, hlm. 120.
  44. ^ Boland 1971, hlm. 36.
  45. ^ a b Elson 2009, hlm. 121.
  46. ^ Jegalus 2009, hlm. 45.
  47. ^ Anshari 1976, hlm. 42.
  48. ^ Anshari 1976, hlm. 65.
  49. ^ Elson 2009, hlm. 122.
  50. ^ Anshari 1976, hlm. 64.
  51. ^ a b Elson 2009, hlm. 127.
  52. ^ Boland 1971, hlm. 106.
  53. ^ Elson 2009, hlm. 126.
  54. ^ Boland 1971, hlm. 90.
  55. ^ Boland 1971, hlm. 82.
  56. ^ Madinier 2012, hlm. 319.
  57. ^ Elson 2013, hlm. 393.
  58. ^ Madinier 2012, hlm. 79.
  59. ^ Anshari 1976, hlm. 79.
  60. ^ Anshari 1976, hlm. 79-80.
  61. ^ Boland 1971, hlm. 92.
  62. ^ a b Boland 1971, hlm. 93.
  63. ^ Anshari 1976, hlm. 83.
  64. ^ Anshari 1976, hlm. 84.
  65. ^ Boland 1971, hlm. 94.
  66. ^ Boland 1971, hlm. 95.
  67. ^ Anshari 1976, hlm. 84-85.
  68. ^ Anshari 1976, hlm. 86.
  69. ^ Anshari 1976, hlm. 86-87.
  70. ^ Boland 1971, hlm. 96.
  71. ^ Elson 2013, hlm. 397-398.
  72. ^ Anshari 1976, hlm. 88.
  73. ^ Anshari 1976, hlm. 89.
  74. ^ Anshari 1976, hlm. 89-90.
  75. ^ Anshari 1976, hlm. 90-91.
  76. ^ Boland 1971, hlm. 98.
  77. ^ Jegalus 2009, hlm. 31.
  78. ^ Salim 2008, hlm. 86.
  79. ^ a b Mujiburrahman 2006, hlm. 130.
  80. ^ Anshari 1976, hlm. 95.
  81. ^ Anshari 1976, hlm. 26.
  82. ^ Anshari 1976, hlm. 113.
  83. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 108.
  84. ^ Boland 1971, hlm. 101.
  85. ^ Anshari 1976, hlm. 107.
  86. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 107.
  87. ^ Salim 2008, hlm. 146.
  88. ^ Boland 1971, hlm. 160-161.
  89. ^ a b c Mujiburrahman 2006, hlm. 109.
  90. ^ a b Mujiburrahman 2006, hlm. 110.
  91. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 112.
  92. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 111.
  93. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 113.
  94. ^ Abdillah 1997, hlm. 50.
  95. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 114.
  96. ^ Jegalus 2009, hlm. 66.
  97. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 115.
  98. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 117.
  99. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 160.
  100. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 161.
  101. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 163.
  102. ^ Butt & Lindsey 2012, hlm. 230.
  103. ^ Salim 2008, hlm. 49.
  104. ^ a b Abdillah 1997, hlm. 33.
  105. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 195.
  106. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 196.
  107. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 199.
  108. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 198.
  109. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 200.
  110. ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 202.
  111. ^ Jegalus 2009, hlm. 62, 68.
  112. ^ a b Elson 2013, hlm. 404.
  113. ^ a b Salim 2008, hlm. 95.
  114. ^ a b Butt & Lindsey 2012, hlm. 232.
  115. ^ Jegalus 2009, hlm. 196.
  116. ^ Elson 2013, hlm. 411.
  117. ^ Hosen 2005, hlm. 425.
  118. ^ Fealy & Hooker 2006, hlm. 234.
  119. ^ Fealy & Hooker 2006, hlm. 235.
  120. ^ Fealy & Hooker 2006, hlm. 236.
  121. ^ Salim 2008, hlm. 97.
  122. ^ Salim 2008, hlm. 98.
  123. ^ Salim 2008, hlm. 89.
  124. ^ Salim 2008, hlm. 93.
  125. ^ Hosen 2007, hlm. 93-94.
  126. ^ Jahroni 2008, hlm. 69.
  127. ^ Hosen 2005, hlm. 426.
  128. ^ a b Salim 2008, hlm. 90, 104.
  129. ^ a b Salim 2008, hlm. 99-100.
  130. ^ a b Salim 2008, hlm. 101.
  131. ^ a b Salim 2008, hlm. 174.
  132. ^ Salim 2008, hlm. 100.
  133. ^ Hosen 2005, hlm. 432.
  134. ^ Salim 2008, hlm. 103, 108.
  135. ^ Salim 2008, hlm. 104.
  136. ^ Salim 2008, hlm. 102.
  137. ^ Salim 2008, hlm. 103.
  138. ^ Elson 2013, hlm. 418-419.
  139. ^ Elson 2013, hlm. 418.
  140. ^ Salim 2008, hlm. 106.
  141. ^ Salim 2008, hlm. 101-102.

Daftar pustaka

  • Abdillah, Masykuri (1997), Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy (1966–1993), Hamburg: Abera 
  • Anshari, Saifuddin (1976), The Jakarta Charter of June 1945: A History of the Gentleman’s Agreement between the Islamic and the Secular Nationalists in Modern Indonesia (Disertasi), Montreal: McGill University 
  • Benda, Harry (1958), The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942–1945, Den Haag dan Bandung: W. Van Hoeve 
  • Boland, B.J. (1971), The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Den Haag: Martinus Nijhoff 
  • Butt, Simon; Lindsey, Tim (2012), The Constitution of Indonesia: A Contextual Analysis, Oxford: Hart Publishing 
  • Elson, R.E. (2009), "Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945", Indonesia, 88: 105–130 
  • Elson, R.E. (2013), "Two Failed Attempts to Islamize the Indonesian Constitution", Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, 28 (3): 379–437 
  • Fealy, Greg; Hooker, Virginia (2006), Voices of Islam in Southeast Asia. A Contemporary Sourcebook, Singapura: ISEAS 
  • Formichi, Chiara (2012), Islam and the Making of the Nation: Kartosuwiryo and Political Islam in 20th Century Indonesia, Leiden: KITLV Press 
  • Hosen, Nadirsyah (2005), "Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate", Journal of Southeast Asian Studies, 36 (3): 419–440 
  • Hosen, Nadirsyah (2007), Shari’a & Constitutional Reform in Indonesia, Singapura: ISEAS 
  • Jahroni, Jajang (2008), Defending the Majesty of Islam: Indonesia’s Front Pembela Islam 1998–2003, Chiang Mai: Silkworm Books 
  • Jegalus, Norbertus (2009), Das Verhältnis von Politik, Religion und Zivilreligion untersucht am Beispiel der Pancasila, München: Herbert Utz Verlag 
  • Kusuma, A.B. (2004), Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia 
  • Kusuma, A.B.; Elson, R.E. (2011), "A Note on the Sources for the 1945 Constitutional Debates in Indonesia" (PDF), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 167 (2–3): 196–209 
  • Madinier, Rémy (2012), L’Indonesie, entre démocratie musulmane et Islam intégral: histoire du parti Masjumi (1945–1960), Paris: Karthala 
  • Mujiburrahman (2006), Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order, Leiden/Amsterdam: Amsterdam University Press 
  • Salim, Arskal (2008), Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia, Honolulu: University of Hawaii Press 
  • Schindehütte, Matti (2006), Zivilreligion als Verantwortung der Gesellschaft – Religion als politischer Faktor innerhalb der Entwicklung der Pancasila Indonesiens, Hamburg: Abera Verlag 
  • Taniredja, Tukiran; Suyahmo (2020), Pancasila Dasar Negara Paripurna, Jakarta: Kencana 

Bacaan lanjut

  • Anshari, Endang Saifuddin (1997), Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945–1959) (edisi ke-3), Jakarta: Gema Insani Press 
  • Anshari, Saifuddin (1979), The Jakarta Charter 1945: The Struggle for an Islamic Constitution in Indonesia, Kuala Lumpur: ABIM 
  • Hilmy, Masdar (2010), Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism, Singapura: ISEAS 
  • Indrayana, Denny (2008), Indonesian Constitutional Reform, 1999-2002: An Evaluation of Constitution-making in Transition, Jakarta: Penerbit Buku Kompas 
  • Kim, Hyung-Jun (1998), "The Changing Interpretation of Religious Freedom in Indonesia", Journal of Southeast Asian Studies, 29 (2): 357–373