Politik Uni Eropa

Revisi sejak 11 Oktober 2021 11.18 oleh Rusudiyanto (bicara | kontrib) (menambahkan isi teks dan rujukan)

Politik Uni Eropa dibangun sebagai bentuk integrasi Eropa atas nilai-nilai demokrasi pada tiap negara anggota Uni Eropa. Rasa saling percaya menjadi prinsip utama yang disepakati bersama oleh anggota Uni Eropa dalam membangun dan memperkuat politiknya. Sejarah politik Uni Eropa dimulai sejak Uni Eropa didirikan. Politik Uni Eropa bertujuan untuk menciptakan keamanan bagi masyarakat Eropa dengan cara mengatasi semua masalah geopolitik yang dialaminya. Perhatian utamanya meliputi diplomasi, hukum internasional, negosiasi, dan multilateralisme. Politik Uni Eropa terbentuk sebagai usaha untuk menghapuskan tradisi perang secara militer dalam penyelesaian masalah antarnegara di Eropa.[1]

Kekuatan politik Uni Eropa dibangun atas dasar pengakuan, kendali dan kekuasaan atas wilayah Uni Eropa yang membentuk organisasi regional yang mempunyai kekuasaan yang bersifat mancanegara.[2] Sementara itu, integritas Eropa sebagai tujuan politik Uni Eropa dihambat oleh defisit demokrasi dengan pengadaan referendum oleh beberapa negara anggota Uni Eropa. Tujuan politik Uni Eropa juga dihambat oleh ketakutan masyarakat di negara anggota Uni Eropa terhadap hilangnya kedaulatan nasional.[3]

Landasan

Kriteria Kopenhagen

Politik Uni Eropa dibentuk atas dasar ekonomi dan politik di masing-masing negara anggotanya. Pada awalnya, landasan politik Uni Eropa lebih diutamakan pada kondisi ekonomi. Ini sejalan dengan sifat dari Uni eropa yang awalnya terbentuk sebagai organisasi ekonomi. Calon anggota harus memiliki kriteria tertentu di bidang ekonomi agar dapat bergabung ke dalam Uni Eropa. Penetapan kriteria ini telah ada sejak pembentukan Uni Eropa. Kriteria ini mengacu pada Kriteria Kopenhagen yang merupakan hasil keputusan dalam penyelenggaran Komisi Tingkat Tinggi Kopenhagen pada Juni 1993 M. Tiga kriteria ditetapkan sebagai landasan awal keanggotaan Uni Eropa. Pertama, adanya institusi yang stabil di dalam negara calon anngota yang memiliki kemampuan dalam memberikan jaminan terhadap demokrasi, supremasi hukum, hak asas manusia dan perlindungan hak minoritas. Kedua, calon negara anggota Uni Eropa harus menerapkan sistem ekonomi pasar yang memiliki kemampuan bertahan terhadap persaingan dan kekuatan pasar di dalam Uni Eropa. Ketiga, calon negara anggota Uni Eropa wajib mematuhi aturan keanggotaan dan kebijakan publik, kebijakan ekonomi dan kebijakan moneter yang diberlakukan oleh Uni Eropa.[4]

Perluasan pengaruh

Politik Uni Eropa dimulai pada tahun 1951 oleh Enam Negara Dalam. Perluasan politik Uni Eropa teramati dari bertambahnya jumlah anggota Uni Eropa menjadi 28 negara anggota pada tahun 2013. Politik Uni Eropa diperluas dengan penambahan anggota yang kandidatnya ditetapkan berdasarkan standar politik dan ekonomi yang berlaku di Uni Eropa. Sebuah negara di Eropa diterima sebagai anggota Uni Eropa ketika pandangannya sesuai dengan pandangan Uni Eropa. Sebaliknya, kandidat ditolak untuk bergabung jika pandangannya tidak sesuai dengan pandangan Uni Eropa. Kandidat anggota diwajibkan melakukan adaptasi terlebih dahulu dengan kebijakan Uni Eropa agar dapat bergabung, meskipun kebijakan terssebut bersifat merugikan dalam masyarakat di dalam negara calon anggota.[4]

Mekanisme perluasan politik Uni Eropa terbagi menjadi dua langkah yaitu melalui Kriteria Kopenhagen dan pemantauan politik secara teratur. Penolakan penerimaan keanggotaan pada langkah pertama terjadi ketika Kriteria Kopenhagen tidak terpenuhi. Sementara itu, penolakan pada langkah kedua terjadi ketika politik nasional di negara kandidat mengalami perubahan besar yang kemudian tidak memenuhi Kriteria Kopenhagen. Salah satu contoh kasus penolakan keanggotaan Uni Eropa adalah Turki. Permintaan Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa telah diadakan sejak tahun 1987, tetapi tidak terwujud karena adanya permasalahan pada kepala pemerintahan. Pada masa itu, Turki berada dalam pemerintahan Edogan. Uni Eropa menolak permintaan Turki untuk bergabung karena Erdogan memiliki kekuasaan yang otoriter dan mempunyai masalah terkait hak asasi manusia.[5]

Perluasan politik Uni Eropa meliputi sebagian besar wilayah di benua Eropa serta mempengaruhi masyarakat internasional dalam hal sistem internasional. Uni Eropa memperluas kebijakan politik dan ekonominya dengan menerapkan ketentuan-ketentuan tertentu. Tiga cara yang utama digunakan dalam perluasan ini adalah adopsi, akses bantuan kemanusiaan atau pembangunan, dan kebijakan perdagangan. Adopsi dilakukan dengan cara menganjurkan negara-negara di sekitar perbatasan Uni Eropa untuk meniru norma yang berlaku di Uni Eropa. Tiap negara di luar keanggotaan yang memerlukan bantuan kemanusiaan dan bantuan pembangunan. harus memiliki kondisi politik dan ekonomi yang serupa dengan Uni Eropa. Sementara itu, Uni Eropa menerapkan kebijakan perdagangan yang harus diterapkan oleh negara di luar anggotanya agar dapat menjalin kerja sama.[5]

Rintangan

Kesadaran politik nasional

Masyarakat di beberapa negara anggota Uni Eropa telah menyampaikan penentangan sejak ditandatanganinya Perjanjian Maastricht oleh 15 negara pendiri Uni Eropa. Adanya kesadaran politik nasional membuat masyarakat di Denmark, Prancis dan Inggris menentang keputusan pemerintah negaranya untuk bergabung ke dalam Uni Eropa. Politik Uni Eropa yang diusahakan oleh para pejabat Uni Eropa dengan tujuan untuk menyatukan Eropa dalam hal ekonomi dan politik, mendapatkan pertentangan dari para tokoh politik nasional dan para pemimpin bisnis nasional di beberapa negara anggota Uni Eropa. Masyarakat Uni Eropa tetap mempertahankan identitas nasional dari negaranya masing-masing. Pertentangan yang paling awal ialah penolakan terhadap penggantian mata uang Mark menjadi Euro.[6]

Opini publik

Opini publik dari masyarakat di negara-negara anggota Uni Eropa tidak memberikan pengaruh langsung terhadap perpolitikan Uni Eropa. Namun opini publik mempengaruhi keputusan politik di Komisi Eropa dan Parlemen Eropa. Opini publik membatasi kekuasaan Parlemen Eropa yang kemudian ditandai dengan pengunduran diri oleh beberapa anggotanya pada tahun 1999. Keberadaan opini publik ini membuat terhambatnya tujuan politik Uni Eropa untuk membentuk integrasi Eropa.[7]

Permasalahan politik Uni Eropa di kalangan masyarakat utamanya dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan politik negara-negara anggota Uni Eropa. Di Uni Eropa terdapat masalah internal dan masalah ekstrernal. Masalah internalnya adalah defisit demokrasi di dalam kepemimpinan Uni Eropa. Sedangkan masalah eksternalnya adalah maraknya imigran ilegal yang memasuki kawasan Uni Eropa. Kondisi ini kemudian membuat masyarakat Uni Eropa mendesak diadakannya referendum. Pilihan yang diberikan dalam referendum ini hanya dua, yaitu keluar dari keanggotaan Uni Eropa atau bertahan dalam keanggotaan.[8]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Azwar 2016, hlm. 86-87.
  2. ^ Azwar 2016, hlm. 84.
  3. ^ Azwar 2016, hlm. 89.
  4. ^ a b McGlinchey, Walters, dan Scheinpflug 2017, hlm. 39.
  5. ^ a b McGlinchey, Walters, dan Scheinpflug 2017, hlm. 40.
  6. ^ Azwar 2016, hlm. 87.
  7. ^ Azwar 2016, hlm. 88.
  8. ^ Azwar 2016, hlm. 83.

Daftar pustaka