Poncke Princen: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: penggantian teks otomatis, (-masal +massal)
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 9:
Indonesia lewat [[proklamasi]] sudah memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945, tetapi perang antara penjajah dan negara bekas jajahan masih terus menerus berkecamuk. Tanggal 26 September 1948, serdadu Poncke yang muak menyaksikan sikap dan berbagai kebrutalan yang dilakukan bangsanya, meninggalkan KNIL di Jakarta menyeberangi garis demarkasi dan bergabung dengan pihak lawan yakni [[Tentara Nasional Indonesia]]. Ketika tentara negerinya menyerang Yogyakarta tahun 1949 dia telah bergabung dengan divisi Siliwangi dengan nomor pokok prajurit 251121085, kompi staf brigade infanteri 2, Grup Purwakarta. Malah ikut longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya. Isterinya, seorang peranakan republiken sunda dibunuh tentara Belanda dalam sebuah penyergapan dan pertempuran sengit. Tidak cuma isterinya, anaknya yang dalam kandungan ikut tewas. Poncke mendapat anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno pada tahun 1949. Pada tahun 1948 pula dia, walaupun seorang Belanda, secara langsung menerima penghargaan [[Bintang Gerilya]] dari Presiden Soekarno.
 
Pada tahun 1956, Princen menjadi politikus populer Indonesia dan menjadi anggota [[parlemen|parlemen nasional]] mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia ([[IPKI]]). Tetapi dia pun akhirnya juga menyaksikan berbagai penyelewengan yang terjadi di dalam birokrasi saat itu. Dia juga kecewa dengan iklim politik yang semakin tidak kondusif. Dia pun keluar dari parlemen dan mulai bersikap vokal terhadap pemerintahan yang mulai otoriter saat itu dengan pihak militer yang bertindak sewenang-wenang. Princen ditahan dan dipenjara dari 1957 hingga 1958. setelah bebas pada awal tahun 1960an, dia mulai lebih terfokus aktif dalam kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia dengan mendirikan Liga Demokrasi. karena aktivitasnya yang kritis tersebut peraih bintang gerilya ini akhirnya dipenjarakan pemerintah Soekarno(1962-1966).
 
Semenjak akhir tahun 1965, kekuasaan [[PKI|Partai Komunis Indonesia]] (yang saat itu menjadi massa utama pendukung Presiden [[Soekarno|Sukarno]] dan rival dari kekuatan militer), mulai merosot karena dibabat habis oleh [[Angkatan Darat]]. sehingga pamor kekuasaan Presiden Sukarno semenjak Maret 1966. Degradasi energi kekuasaan ini kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok faksi militer dukungan [[CIA]] untuk melakukan "kudeta merayap" yang mengantarkan [[Soeharto|Suharto]] menjadi presiden. Dan berdirilah rezim baru, [[Orde Baru]], menggantikan rezim yang lama - [[Orde Lama]]. Princen pun menikmati kebebasan kembali setelah dipenjara selama 4 tahun.Pengalaman hidupnya dari penjara ke penjara semakin mempertebal keyakinannya untuk mendesak negara memberikan perlindungan dan penegakan HAM dengan mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia [[LPHAM]] dan sekaligus memimpin lembaga pembela HAM pertama di Indonesia tersebut.
 
== Mengkritik Rezim Orde Baru ==
Tetapi Princen kembali dikecewakan dengan rezim yang baru, dan perjuangannya pun tak berhenti walaupun rezim yang berkuasa sudah ganti. Princen justru membela pihak yang dulu memojokkannya, ia membela korban-korban pelanggaran [[HAM]] dan pembantaian yang terdiri dari bekas anggota [[PKI]] dan orang-orang yang dituduh [[komunis]]. Pada tahun 1968 Poncke menitipkan sebuah perekam suara kepada Goenawan Moehammad yang saat itu bekerja di Harian Kami dan termasuk dalam rombongan pertama wartawan dari Jakarta yang akhirnya mendapat izin penguasa untuk melihat para tahanan politik di Pulau Buru. Poncke memintanya mewawancarai [[Pramoedya Ananta Toer]] diam-diam dan membuat sedikti laporan tentang keadaan di Kamp tahanan itu buat [[Amnesty International]] yang kemudian mengangkat Pramoedya sebagai ‘Prisoner of Conscience” lambang korban yang terinjak. Tahun berikutnya, Poncke Karena pembelaan terhadap korban-korban yang dituduh PKI ini, Princen sendiri di kalangan umum juga sempat mendapat cap 'komunis' - orang lupa bahwa dia juga menentang kekuasaan yang didominasi komunis pada masa [[Orde Lama]].
 
Pada tahun 1968-1969, lewat sebuah investigasi, Princen mengungkapkan sejumlah fakta dan memprotes pembantaian massal PKI di Purwodadi Jawa Tengah. Kritik itu jelas melahirkan murka penguasa yang baru dua tahun menikmati imperiumnya. Tidak hanya harus membantah pemberitaan yang menghebohkan tersebut, pemerintah juga perlu mengambil tindakan yang lebih serius tidak hanya terhadap Poncke tapi juga terhadap pers, masyarakat Jawa Tengah dan masyarakat Indonesia.
 
Tak ayal, Tuduhan pengikut komunis sebagai stigma yang paling terkenal untuk mengamputasi musuh politik orde baru digunakan Soeharto , Jenderal [[M. Panggabean]] (Panglima [[AD]]-[[KSAD]] pada waktu itu) dan Mayjen [[Soerono Reksodimedjo]] (Pangdam IV [[Diponegoro]]) disematkan kepada Princen agar kemudian lebih mudah untuk memenjarakannya.
 
Tidak hanya kritik yang dikeluarkan Poncke. Kakak dari Keis Princen ini juga menyarankan pemerintah membentuk tim independen untuk memeriksa laporan yang ia siarkan ke beberapa media nasional soal kasus Purwodadi. Hal itu ditujukan agar masyarakat dapat mengetahui apa yang sebenaranya terjadi pada kasus yang cukup menghebohkan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah tersebut. Begitu mengerikannya dampak kasus ini, pada tahun yang sama, ia bersama dengan rekan-rekannya mendirikan sebuah lembaga yang mencoba mengatasi trauma para korban PKI yang ia namakan Pusat Pemulihan Hidup Baru.