Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara

Revisi sejak 7 September 2023 01.38 oleh Miminsastra (bicara | kontrib)

Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno. menyatakan Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Disingkat Jas Merah. Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Tidak Melupakan Sejarahnya.

Sampul buku terbitan Departemen P dan K, Bandung.

Bangsa yang Tidak mau belajar dari Sejarahnya dan bahkan secara sistematis menghapus sejarah saudaranya (Genoside) akan mengulangi kesalahan yang sama.

Terpecah belah, chaos, terjajah, melarat, sengsara, terbelakang dan dihinakan oleh bangsa lainnya.

Sehingga pendidikan formal universal, demikian juga pendidikan agama-agama besar dunia menuliskan peristiwa bersejarah ribuan tahun masa silam umat manusia.

Pepatah Melayu menyatakan "Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama"

Sehingga pencarian, eksplorasi, eksploitasi naskah-naskah Nusantara adalah bagian dari pembangunan karakter manusia Indonesia yang berkemajuan.

Supaya tidak mundur kembali ke abad-abad zaman kerajaan-kerajaan abad 14 masehi hingga 17 masehi yang saling berperang, meluaskan pengaruh dan kekuasaan dengan cara kekerasan.

Hijrah dari zaman Jahiliyah, yang tidak mengenal budaya tulis-baca (buta-huruf), pagan, pemuja kekerasan dan peperangan tanpa henti, menuju peradaban berdasar agama dan ilmu pengetahuan yang mencerahkan.

Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara, adalah sebuah naskah yang ditulis dalam bahasa Cirebon Pertengahan yang berasal dari Cirebon. Naskah ini merupakan bagian dari Naskah Wangsakerta yang diprakarsai oleh panitia Pangeran Wangsakerta.

Naskah Wangsakerta adalah sekumpulan naskah yang disusun oleh sebuah panitia yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta dari Cirebon. Penemuan naskah ini dianggap disusun sejak abad ke-17 masehi atau pada tahun 1677 s/d 1698, menurut keterangan yang tertulis di dalamnya.

Naskah ini sebagai hasil Gotrasawala/seminar Sejarah di Keraton Cirebon sebelum jatuh ke tangan Kolonial VOC. Penyelenggaraan Gotrasawala ini atas perintah Sultan Banten dan Sultan Cirebon yang mengharapkan menjadi sumber rujukan sejarah Nusantara.

Bagi pemerhati/ahli sejarah penyelenggaraan Gotrasawala/Seminar Sejarah pada sebuah dinasti kerajaan Sunda bukan sesuatu yang mustahil. Karena sedemikian banyaknya penemuan tulisan-tulisan dari abad 4 masehi hingga 17 masehi di Tatar Sunda dalam berbagai media.

Namun karena Sunda bukan dinasti/kerajaan Hindu-Bunda pertama Nusantara, maka tidak banyak ditemukan tulisan pada arca, patung, maupun candi besar di wilayah Sunda ini.

Apalagi abad 12-17 masehi sama sekali tidak ditemukan peninggalan Candi di wilayah Sunda, fakta bukti data fisik ini sangat kontroversial karena berbanding terbalik dengan penulisan buku sejarah, artikel, karya tulis ilmiah yang mati-matian menuliskan Kerajaan Sunda-Pajajaran beraliran Hindu.

Oleh karena Sunda bukan beraliran Hindu-Bunda seperti bukti fisik sejak awal masehi, maka tulisan-tulisan abad 4-5 masehi tatar Sunda disematkan pada prasati-prasasti batu (pengaruh Arab, Maqam Ibrahim?). Kemudian media logam, bambu, kayu, kulit, lontar, nipah, daluang hingga kertas.

Dapat dimengerti naskah-naskah ini tidak mempunyai salinan di Mataram maupun tempat lain, apalagi masa Raffles (tahun 1811-1816 masehi) berkuasa tercatat ribuan naskah Nusantara dibawa ke Inggris. Namun satu buah kapal pembawanya terbakar

Perpustakaan Kesultanan Cirebon mengoleksi 1703 judul naskah, yang 1213 di antaranya berupa karya Pangeran Wangsakerta beserta timnya. Naskah kontroversial ini kini tersimpan di Museum Sri Baduga di Bandung, karena ditemukan bukti bahwa naskah yang tersimpan sekarang merupakan naskah saduran dari naskah-naskah yang lebih buhun dan tua.

Naskah-naskah yang dihasilkan oleh panitia Wangsakerta dibagi menjadi beberapa naskah, yang masing-masing berjudul:

1. Pustaka Nagarakretabhumi

2. Pustaka Dwipantaraparwa

3. Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa

4. Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara

5. Pustaka Carita Parahyangan i Bhumi Jawa Kulwan

6. Pustaka Samastabhuwana

Isi buku

Isi naskah ini terutama membahas mengenai kerajaan-kerajaan di Nusantara, seperti disebut dalam judulnya. Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara dibagi ke dalam lima "parwa" (bab), yang masing-masing berjudul tersendiri:

  1. Pustaka Kathosana Rajyarajya i Bhumi Nusantara
  2. Pustaka Rajyawarnana Rajyarajya i Bhumi Nusantara
  3. Pustaka Kertajaya Rajyarajya i Bhumi Nusantara
  4. Pustaka Rajakawasa Rajyarajya i Bhumi Nusantara
  5. Pustaka Nanaprakara Rajyarajya i Bhumi Nusantara

Kontroversi

Kontroversi mengapa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 terjadi di Sunda Kalapa (Jakarta, sekarang), padahal banyak wilayah lainnya memiliki keunggulan luar biasa, kecerdasan, cerdik, pandai berperang, keberanian tanpa batas, ketrampilan fisik yang luar biasa dan kekayaan alam yang lebih banyak.

Namun tidak mampu menyelenggarakan dan mewujudkan deklarasi kemerdekaan tersebut, masih jadi ganjalan pertanyaan besar sebagian bangsa Nusantara yang sangat bangga dan cinta pada daerahnya masing-masing.

Sehingga penemuan naskah-naskah kuno, eksplorasi kejayaan masa silam Tatar Sunda selalu memunculkan sanggahan, dianggap sebagai sebatas mitos, legenda, cerita tanpa bukti, bahkan fiksi.

Demikianpun terhadap naskah-naskah Karya Wangsakerta dikritisi sebagai naskah kontroversial seperti kemerdekaan dan kemajuan luar biasa kota Jakarta dan sekitarnya yang dianggap terlalu maju dibanding wilayah lain yang jauh dari Jakarta.

Kritik banyak isi dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara yang sangat maju melampaui zamannya, dan hal serupa juga terjadi pada Negarakertabhumi. Ahli Epigraf, Boechari menyebut, kedua naskah itu justru sangat mengikuti teori sejarah Nusantara menurut interpretasi sejarawan Belanda, J.G de Casparis.

Mengenai tulisan yang dipergunakan, menurut keterangan Tien Wartini, (peneliti yang ikut dalam proyek kajian filologis naskah ini), bentuk huruf yang dipergunakan dalam naskah ini adalah huruf Jawa Kuna yang kurang bagus walau tidak bisa disebut buruk.

Bisa dipahami, setelah Sultan Cirebon menikah dengan salah seorang Putri keturunan Majapahit, kemudian terjalin kekerabatan dengan Mataram dengan menikahnya Sultan Cirebon dengan keturunan Mataram. Maka secara perlahan budaya Cirebon yang asal mulanya berakar dari Sunda-Pajajaran diasimilasikan dengan budaya Majapahit maupun Mataram.

Demikianpun dalam bahasa dan tulisan dikembangkan asimilasi, sinkretisme budaya Majapahit/Mataram di Keraton Cirebon. Pengaruh Ratu Tepasan sebagai keturunan Majapahit sedemikian kuat dalam perubahan tersebut. Namun perubahan dari huruf Sunda ke huruf Jawa tidak semulus yang diinginkan, sebagaimana terlihat kurang bagus pada saduran naskah Wangsakerta ini.

Rentang waktu 300 tahun semenjak naskah ini disusun tentu saja mengkhawatirkan pelapukan dan kerusakan naskah di perpustakaan Cirebon.

Sungguh menakjubkan upaya pelestarian, konservasi naskah-naskah ini dilakukan dengan segala keterbatasannya.

Dalam satu jilid, peneliti ini menemukan beberapa huruf yang beda. Kertas yang dipergunakan juga ada dua, kuning dan coklat (lihat majalah Mangle No 1265). Selanjutnya menurut Buchori, arkeolog UI yang bers[pesialisasi dalam tulisan kuno, kertas yang dipergunakan untuk naskah ini adalah kertas manila yang dicelup.

Rujukan