Raja Pagaruyung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 6:
[[Berkas:Adityawarman.jpg|150px|right|thumb|Arca Adityawarman di [[Museum Gajah]], Jakarta.]]
=== Asal mula ===
Secara umum, [[Adityawarman]] diterima luas sebagai orang pertama yang berkuasa sebagai raja di [[alam Minangkabau]], yaitu berdasarkan manuskrip [[arca Amoghapasa]] (1347). Ia dipercaya memerintah di [[Malayapura]] dari tahun 1347 hingga wafatnya pada tahun 1375.<ref name="Kern">Kern, J.H.C., (1907), [https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13639811003665488?scroll=top&needAccess=true "De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka."], ''Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde''.</ref><ref name="Cas">{{cite journal |last=Casparis |first= J.G. |authorlink=Johannes Gijsbertus de Casparis |title=An ancient garden in West Sumatra |journal=Kalpataru |year=1990 |issue=9|pages= 40-49}}</ref> Adityawarman digantikan oleh puteranya [[Ananggawarman]], yang disebutkan pada [[Prasasti Batusangkar]] yang beraksara [[aksara Melayu|Melayu]]. Ia merupakan putra Adityawarman dengan [[Puti Reno Jalito]], dan memerintah antara tahun 1375 hingga 1417. [[Ananggawarman]] dipercaya merupakan raja Minangkabau pertama yang memeluk agama [[Islam]] dan mengambil gelar ''Sultan Alif''. Ia berperan memindahkan pusat kekuasaan dari [[Malayapura]] (kini sekitar [[Dharmasraya]]) ke ''nagari'' [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] di [[pedalaman Luak]]] [[Tanah Datar]].{{sfn|Tambo-BM}}
 
[[Tambo Minangkabau|Tambo alam Minangkabau]] secara spesifik menyebutkan beberapa orang yang diyakini sebagai penguasa Pagaruyung setelah Adityawarman dan Ananggawarman, namun tidak ada riset modern yang dapat menjelaskan kapan persisnya mereka memerintah. Terdapat seorang penguasa perempuan bernama [[Puti Panjang Rambut II|Puti Panjang Rambut]], seorang perempuan yang dicatat sebagai [[Bundo Kanduang]] pertama di Minangkabau, yang merupakan putri dari [[Yang Dipatuan Rajo Nan Sati]]. Ia digantikan oleh putranya yang bergelar Dang Tuanku Sutan Rumanduang.{{sfn|Tambo-BM}}
 
Tambo juga mencatat seorang penguasa lain bernama [[Cindua Mato]] gelar Rajo Mudo dan putranya Sutan Lembak Tuah (bernama lain Sutan Aminullah), hasil perkawinannya dengan Putri Reno Bulan. Menurut Tambo, Bundo Kanduang, Dang Tuanku, dan Puti Bungsu pergi menyelamatkan diri ke negeri [[Lunang]] (kini di [[Pesisir Selatan]]) di [[Kerajaan Inderapura]] untuk menghindari serangan dari pasukan Kerajaan Sungai Ngiang. Pengungsian ini dipercaya melahirkan keturunan [[Mande Rubiah]].{{sfn|Tambo-BM}}
 
=== Kesultanan ===
Selepas masuknya [[agama Islam]] ke pedalaman Minangkabau, para Raja Alam mulai mengambil gelar Yang Dipertuan Sakti atau [[Yang Dipertuan Pagaruyung]]. Catatan sejarah pertama tentang perubahan gelar ini adalah surat [[Jacob Pits]], seorang pegawai [[Vereenigde Oostindische Compagnie|Kongsi Dagang Hindia Timur]] kepada "[[Ahmadsyah dari Pagaruyung|Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas]]" bertanggal 9 Oktober 1668. Catatan lanjutan Belanda memperkirakan bahwa Ahmadsyah memerintah sampai kematiannya pada tahun 1674.{{sfn|Dobbin}}
 
Ahmadsyah digantikan sebagai Raja Alam oleh puteranya [[Indermasyah dari Suruaso|Indermasyah]], yang memerintah antara tahun 1670 hingga 1730. Indermasyah juga melakukan korespondensi dengan [[VOC]] yang berkedudukan di [[Padang]] dan menyebutkan dirinya sebagai "raja Suruaso". Ia tercatat berbalas surat secara reguler dengan para pegawai Belanda sampai tahun 1730.{{sfn|Dobbin}}
 
=== Perang Padri ===
{{main|Perang Padri}}
[[Perang Padri]] pecah pada masa kekuasaan [[Muningsyah dari Pagaruyung|Muningsyah]] dan [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Bagagarsyah]]. Pada tahap-tahap awal, Sultan Muningsyah melakukan perundingan dengan kaum Padri yang dipimpin oleh ''[[Harimau nan Salapan]]'' yang terdiri atas [[Haji Miskin]], [[Haji Sumanik]], [[Haji Piobang]], [[Tuanku Nan Renceh]], dan beberapa pemimpin ulama lainnya. Kaum Padri mendesak agar Sultan meninggalkan beberapa kebiasaan yang menurut mereka bertentangan dengan agama Islam. Namun, perundingan tersebut tidak mencapai kata sepakat, sehingga pada tahun 1815 [[Tuanku Pasaman]] melancarkan serangan atas wilayah Raja Alam di Pagaruyung yang menyebabkan Sultan Muningsyah melarikan diri.
 
[[Bagagarsyah]], seorang kerabat Sultan Muningsyah, melakukan perundingan dengan Belanda yang berkedudukan di [[Padang]]. Oleh Belanda, Bagagarsyah dianggap menyerahkan kedaulatan Pagaruyung dan mengangkatnya sebagai ''Regent'' Tanah Datar pada tanggal 10 Februari 1821.{{sfn|Stuers}} Beberapa tokoh kaum adat pada saat itu menganggap bahwa Bagagarsyah tidak berhak untuk mengadakan perjanjian dengan Belanda, tetapi pada titik ini Belanda sudah terlibat dalam pertempuran melawan kaum Padri.<ref>Kepper, G., (1900), ''Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900'', M.M. Cuvee, Den Haag.</ref> Sultan Muningsyah masih memerintah, tetapi ia wafat pada tahun 1825 dan dimakamkan di Pagaruyung yang telah direbut kembali dari kaum Padri.{{sfn|Dobbin}} Bagagarsyah kemudian ditabalkan sebagai pengganti Muningsyah.
 
Selepas penaklukan [[Lintau]] pada bulan Agustus 1831, seluruh Luak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda, dan Bagagarsyah dapat kembali ke Pagaruyung di mana ia memerintah sebagai Sultan dan Regent sekaligus.{{sfn|Dobbin}} Namun, pada bulan Mei 1833, ia ditangkap oleh Kolonel [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Cornelis Elout]] atas tuduhan pengkhianatan di Batusangkar. Kedudukan Regent Tanah Datar diberikan kepada [[Tuan Gadang]] di [[Batipuah]], salah seorang pembesar kerajaan yang termasuk ke dalam ''[[Basa Ampek Balai]]''. Bagagarsyah dibuang ke [[Batavia]] dan hidup di sana sampai akhir hayatnya pada bulan Februari 1849.{{sfn|Dobbin}}