Rumah panggung Betawi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Pengembalian manual VisualEditor
 
(27 revisi perantara oleh 18 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:Tampak depan Rumah si Pitung Marunda.jpg|jmpl|Tampak depan [[Rumah siSi Pitung]] atau sering disebut Rumah Tinggi di Kelurahan [[Marunda, Cilincing, Jakarta Utara|Marunda]] [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]]. Rumah siSi Pitung merupakan rumah adat panggung khas Betawi di wilayah pesisir.|al=]]
[[Berkas:Rumah Panggung Betawi di Kampung Marunda Pulo.jpg|jmpl|Rumah panggung Betawi di Kampung Marunda Pulo [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]], salah satu rumah di Betawi Pesisir yang masih tersisa. Bangunannya tidak terawat karena sudah ditinggalkan penghuninya.|al=]]
'''Rumah panggung''' adalah salah satu jenis rumah tradisional [[suku Betawi]] yang lantainya ditinggikan dari tanah dengan menggunakan tiang-tiang kayu. Rumah ini berbeda dengan [[rumah darat Betawi|rumah darat]] yang menempel ke tanah. Rumah panggung Betawi dibangun di kawasan pesisir dengan tujuan untuk menanggulangi banjir atau air pasang. Sementara itu, rumah panggung yang terletak di tepi sungai seperti di [[Bekasi]] tidak hanya dibangun untuk menghindari banjir, tetapi juga untuk keamanan dari binatang-binatang buas.
Baris 8:
 
== Latar belakang ==
[[Berkas:Map of Batavia (Baedeker, 1914).jpg|jmpl|Peta Kota Batavia (kini Jakarta) pada tahun 1914]]
Suku Betawi lahir dari [[akulturasi]] antar etnisantaretnis Nusantara dan mancanegara, seperti etnis-etnis dari [[Suku Jawa|Jawa]], [[Bali]], [[Suku Makassar|Makassar]], [[Suku Bugis|Bugis]], [[Suku Ambon|Ambon]], Sumbawa, [[Melaka|Malaka]], [[Tionghoa]], [[Bangsa Arab|Arab]], [[Orang India|India]], dan [[Bangsa Portugis|Portugis]].{{Sfn|Leo, dkk|(2019)|p=10: "Suku Betawi berasal dari hasil perkawinan antaretnis dan bangsa pada masa lalu ..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=9: "Sebagai daerah pesisir yang mempunyai pelabuhan internasional, masyarakat yang mendiami kawasan [[Batavia]] tempo dulu banyak melakukan interaksi dengan pedagang dari berbagai macam daerah, seperti Jawa, Makassar, Bugis, Malaka, Tionghoa, Arab, India, dan Portugis. ..."}} Mereka membawa budaya masing-masing yang kelak mempengaruhi kebudayaan Betawi, mulai dari bahasa, pakaian daerah, kesenian, hingga arsitektur rumah etnik Betawi.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=16: "Beragamnya etnis, baik yang berasal dari kawasan Nusantara maupun mancanegara membuat rumah Betawi meninggalkan jejak yang khas serta penuh dengan pengaruh budaya yang berbeda-beda ..."}} Batavia, tempat Suku Betawi bermukim, merupakan daerah pesisir yang memiliki pelabuhan internasional.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=9: "Sebagai daerah pesisir yang mempunyai pelabuhan internasional, masyarakat yang mendiami kawasan Batavia tempo dulu banyak melakukan interaksi dengan pedagang dari berbagai macam daerah, seperti Jawa, Makassar, Bugis, Malaka, Tionghoa, Arab, India, dan Portugis. ..."}} Di muara salah satu sungainya, yakni [[Ci Liwung|Ciliwung]], terdapat Pelabuhan [[Sunda Kelapa]] yang merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara.{{Sfn|Karim|(2009)|p=xix: "Pada zaman Kerajaan sunda abad ke-10 hingga ke-16, di muara Ciliwung, yang berlokasi di wilayah Jakarta Kota sekarang, telah berdiri pelabuhan Kalapa. Cikal bakal pelabuhan sunda kelapa ini termasuk pelabuhan terbesar kala itu di Nusantara. ..."}}
 
Dari sekian banyak etnis yang masuk ke Batavia, pengaruh yang paling dominan terhadap rumah orang Betawi adalah dari etnis Jawa, Sunda, Arab, dan Tionghoa.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=16: "Dari sekian banyak pengaruh dari dalam dan luar daerah Indonesia terhadap ragam arsitektur rumah Betawi, yang paling dominan adalah Jawa, Sunda, Arab dan Cina. ..."}} Di antara etnis Nusantara yang masuk ke Batavia, budaya Sunda dan Jawa paling berpengaruh terhadap arsitektur etnik rumah Betawi. Letak wilayah etnis Betawi yang secara geografis memang berdekatan dengan wilayah kebudayaan Sunda dan Jawa menjadi penyebab utamanya. Tidak hanya letaknya yang berdekatan, wilayah etnis Betawi juga merupakan bagian dari kekuasaan [[Kesultanan Banten|kerajaan Banten]], [[Kesultanan Demak|Demak]], dan [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]]. Faktor-faktor tersebut menjadikan interaksi yang intensif antara orang-orang asli yang tinggal di wilayah Batavia dengan kedua etnik Nusantara tadi.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=17-18: "Pengaruh budaya lokal Jawa dan Sunda lebih dominan dibandingkan dengan daerah kawasan nusantara lainnya. ..."}} Meski berasal dari akulturasi budaya yang beragam, arsitektur rumah Betawi harus tetap dikatakan memenuhi syarat sebagai arsitektur etnis. Arsitektur rumah Betawi dikatakan demikian karena penciptaan struktur dan konstruksi, pengaturan tata letak ruang, penggunaan ragam hias, serta cara pembuatan bangunan yang merupakan pengaruh dari berbagai budaya tadi diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Betawi dan hanya ada dalam kebudayaan Betawi itu sendiri.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=16: "Arsitektur bangunan dikatakan etnik apabila penciptaan struktur dan konstruksi, pengaturan tata letak ruang, penggunaan ragam hias, serta cara pembuatan bangunan tersebut diwariskan turun-temurun dalam suatu kebudayaan atau lokalitas tertentu ..."}}
Baris 23:
Jika dilihat dari strukturnya, rumah etnik Betawi bisa dibedakan menjadi dua jenis, yakni rumah darat dan rumah panggung.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=50: ". Struktur rumah Betawi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu rumah darat dan rumah panggung ..."}} [[Rumah darat Betawi|Rumah darat]] atau rumah Depok menunjuk pada lantainya yang menempel langsung ke tanah (darat).{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=111: "Rumah yang beralaskan tanah yang diberi lantai tegel atau semen (sering juga disebut rumah Depok) ..."}} Sebaliknya, rumah panggung Betawi merupakan salah satu jenis struktur hunian tradisional etnik Betawi yang lantainya diangkat dari tanah menggunakan tiang-tiang kayu dengan alasan menyesuaikan kondisi lingkungan tempat rumah itu didirikan.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=50: ". Struktur rumah Betawi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu rumah darat dan rumah panggung ..."}}{{Sfn|Mustika|(2008)|p=13-14: "Masyarakat Betawi sebenarnya tinggal di habitat yang beragam, dari pesisir hingga pedalaman. Bahkan, saat ini tinggal di wilayah urban padat penduduk di tengah kota Jakarta. Inilah yang menyebabkan rumah panggung bukan satu-satunya sistem rumah tradisionalnya. Arsitektur rumah Betawi juga mulai mengenal rumah "darat” ..."}}{{Sfn|Sardjono|(2006)|p=24: "Secara umum, bentuk panggung dibuat dengan mengangkat lantai rumah dari tanah ..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=43: "Di atas fondasi umpak terdapat tiang kayu sebagai sako guru. Kayu yang digunakan biasanya pohon yang ada di sekitar rumah, seperti pohon nangka, pohon kecapi, dan pohon rambutan ..."}} Pemilihan konsep rumah panggung pada masyarakat Betawi utamanya dikarenakan faktor keadaan alam setempat.{{Sfn|Suwardi|(2009)|p=14: ". Arsitektur tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang menciptakannya maupun keadaan lingkungan yang mempengaruhinya ..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=15: "Sebenarnya penggunaan kolong pada rumah Betawi tidak semata-mata berdasarkan pembagian wilayah Betawi pesisir, tengah dan pinggiran semata, tetapi lebih dikarenakan keadaan alam setempat ..."}}{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=109: "Yang dimaksud dengan arsitektur di sini, ialah gaya bangunan sebagai salah satu bentuk hasil kebudayaan suatu masyarakat yang dipergunakan untuk berlindung dari pengaruh cuaca atau lingkungan hidupnya ..."}}
 
Pada umumnya arsitektur rumah masyarakat Betawi tidak memiliki bentuk bangunan yang khas. Cara membuat bangunannya pun hampir mirip dengan daerah-daerah lain di [[Nusantara|Nusantara:]]: Ada yang menyerupai gaya bangunan Jawa, Sunda, Melayu, bahkan bangunan [[Eropa]], tetapi dalam bentuk yang sederhana. Yang membuat rumah tradisional Betawi berbeda dengan daerah-daerah yang disebutkan tadi adalah detail dan peristilahannya.{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=108: "Masyarakat Betawi pada umumnya tidak memiliki gaya bangunan yang khas ..."}} Misalnya, pada rumah etnis Betawi tangga disebut ''balaksuji'', sedangkan pada rumah orang Sunda disebut ''golodog.''{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=22: "Di Jawa Barat tangga seperti ini disebut colodog. Anak tangga golodog biasanya tidak lebih dari tiga buah, dengan fungsi sebagai pembersih kaki tagi orang yang akan naik ke dalam rumah ..."}} Terkait dengan detail, salah satu contohnya bisa dilihat pada struktur kuda-kuda yang dipertemukan dengan batang tegak (sistem ''wider'').{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=39: "Atap rumah gudang berbentuk pelana atau perisai. Struktur atap tersusun dari kerangka kuda-kuda penuh dari depan ke belakang ..."}}
 
=== Orientasi ===
[[Berkas:Bagian belakang rumah si pitung berdekatan dengan sungai.jpg|kiri|jmpl|Dapur atau bagian belakang Rumah siSi Pitung yang membelakangi sungai]]
 
Secara umum rumah tradisional Betawi tidak memiliki peraturan yang baku dalam penentuan arah. Hal ini berbeda dengan etnis Tionghoa dengan ilmu ''[[Fengsui|feng shui]]''-nya atau pada etnis [[Suku Bali|Bali]] yang memiliki konsep ''sanga mandala'' dalam tata letaknya dan berorientasi kepada arah mata angin. Yang menjadi patokan bagi suku Betawi hanyalah fungsi dari orientasi bangunan itu sendiri. Orientasi bangunan ditentukan, misal, dengan alasan kemudahan mencapai jalan atau sekadar menyesuaikannya dengan kebutuhan.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=33: "Pola tapak rumah Betawi sangat terbuka, dalam artian masyarakat Betawi tidak mengenal ilmu feng shui dalam mendirikan rumah ..."}}{{Sfn|Moechtar, dkk|(2012)|p=141: "Rumah tradisional Betawi dapat dikatakan tidak memiliki arah mata angin maupun orientasi tertentu dalam peletakannya ..."}}{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=109: "Tata letak rumah orang Betawi tidak berorientasi terhadap arah mata angin, mereka lebih mengutamakan alasan-alasan praktis ..."}} Hunian Betawi Pesisir juga tidak mengikuti arah mata angin atau orientasi tertentu. Umumnya rumah panggung Betawi Pesisir menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai.{{Sfn|Salim|(2015)|p=398: "Di daerah pesisir kelompok-kelompok rumah umumnya menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai namun tidak tampak perencanaan tertentu atau keseragaman dalam mengikuti arah mata angin atau orientasi tertentu ..."}} Pola permukiman penduduk wilayah pesisir di [[Marunda, Cilincing, Jakarta Utara|Marunda]] berlaku seperti itu dengan tujuan untuk mempermudah transportasi laut. Dapur ditempatkan di bagian belakang rumah yang tidak jauh dari aliran sungai. Hal ini agar kegiatan masak yang membutuhkan air bisa berjalan efisien.{{Sfn|Mutholib, dkk|(1986/1987)|p=8: "Pola pemukiman Marunda pada umumnya terkonsentrasi dimuara sungai atau ditepian aliran sungai hal ini dilakukan untuk mempermudah transportasi laut. Penempatan denah rumah tegak lurus dengan alur sungai atau dengan kata lain membelakangi sungai ..."}} Begitupun dengan masyarakat Betawi Pinggir (masyarakat Melayu Betawi di [[Kota Bekasi|Bekasi]]). Bagian depan rumah dan pintu dibuat menghadap ke sungai dengan tujuan serupa dengan masyarakat Betawi Pesisir.{{Sfn|Nur|(2016)|p=18: "Masyarakat Melayu Betawi (Bekasi) pada awalnya adalah masyarakat sungai. Mereka tinggal secara berkelompok sepanjang sungai-sungai di kawasan tertentu. Pintu depan rumah menghadap ke sungai ..."}}
 
=== Panggung ===
Masyarakat Betawi di daerah pesisir menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan di laut. Bentuk rumah panggung mengikuti pola hidup mereka sebagai nelayan. Dalam sejarahnya, sebagian ibu kota Jakarta memang dibangun di atas daerah [[Rawa|rawa-rawa]]. Hunian berkolong tinggi pada masyarakat Betawi Pesisir bertujuan untuk mengatasi air laut yang pasang, sehingga air laut tidak sampai menjangkau lantai rumah.<ref name=":3">{{Cite webnews|url=https://www.medcom.id/properti/arsitektur/DkqqBqZk-apa-nama-tipe-rumah-si-doel-dalam-tradisi-betawi|title=Apa Nama Tipe Rumah Si Doel dalam Tradisi Betawi?|last=Badriyah|first=Laela|date=14 Februari 2019|websitework=medcom[[Medcom.id]]|access-date=15 April 2019}}</ref>{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=15:"Rumah Betawi pesisir umumnya berkolong tinggi untuk menghindari air laut pasang ..."}} Dengan demikian bentuk rumah panggung merupakan konsep yang dinilai paling aman.{{Sfn|Habitat for Humanity Indonesia|(2016)|p=9: " Selain itu, dalam sejarahnya sebagian ibu kota Jakarta juga dibangun di atas daerah rawa, sehingga bentuk rumah panggung ini dinilai paling aman ..."}} Kolong panggung rumah di Marunda biasanya tidak dimanfaatkan, hal ini karena kolong selalu digenangi air laut. Walaupun begitu, rumah tipe panggung memiliki keuntungan ekologis. Tanah di kolong bangunan bisa berfungsi sebagai resapan air. Jika pasang atau banjir datang, air yang menggenang akan terserap ke dalam tanah. Dengan demikian tempat tinggal keluarga tetap aman dan para anggota keluarga masih bisa menjalankan aktivitas mereka seperti biasa.{{Sfn|Habitat for Humanity Indonesia|(2016)|p=9: "Ada keuntungan ekologis dari rumah tipe Panggung,
yaitu tanah di bagian bawah bangunan akan berfungsi
sebagai tempat untuk resapan air ..."}} Salah satu dari sedikit rumah panggung milik Betawi Pesisir adalah [[Rumah siSi Pitung]] yang terletak di Marunda, Jakarta Utara. Total ada 40 tiang penyangga yang masing-masing tingginya mencapai 1,5 m.{{Sfn|Anom|(1996)|p=75: "Rumah Si Pitung ini menghadap ke laut utara. Rumah tersebut merupakan rumah panggung yang ditopang oleh 40 buah tiang berbentuk bulat dan persegi panjang tingginya kira-kira 1,5 m ..."}}<!-- Sangat mungkin rumah panggung orang Betawi Pesisir dipengaruhi oleh arsitektur bangunan penduduk asal [[Sumatra|Sumatera]], [[Kalimantan]] atau [[Sulawesi]] yang memang banyak berdatangan ke atau bermukim di Marunda.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=12:"Bentuk kolong bisa jadi merupakan pengaruh arsitektur bangunan dari penduduk yang berasal dari Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi yang memang banyak berdatangan ke kawasan ini ..."}} Contoh nyata adalah Rumah siSi Pitung yang pemilknya nyata-nyata berasal dari [[Suku Bugis]].<ref name=":2" />-->
 
Di sisi lain, rumah panggung Betawi Pinggir memiliki tiang-tiang yang pendek, hanya 20-30 20–30&nbsp;cm. Hal ini karena sebelumnya mereka tinggal di sepanjang aliran sungai sebelum akhirnya menyebar ke tempat sekarang. Rumah panggung bertiang pendek masih bisa ditemui di Pondok Rangon, Kranggan, dan Tipar. Rumah panggung pada Betawi Pinggir merupakan peralihan dari menggunakan panggung ke tanpa panggung. Rumah panggung yang tersisa di sana hanyalah dalam rangka mempertahankan sisa-sisa kebudayaan rumah sungai.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=15:"Adapula rumah-rumah Betawi merupakan peralihan dari yang berkolong ke tanpa kolong, misalnya yang terdapat di Pondok Rangon, Kranggan dan Tipar dengan tinggi kolong hanya 20-3-cm ..."}}
[[Berkas:Selembayung.jpg|kiri|jmpl|Selembayung, ornamen khas Melayu yang biasanya berada pada atap rumah Melayu]]
Rumah panggung Betawi di Bekasi berdiri di tepian sungai. Seperti halnya di [[Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur|Pondok Rangon]], Kranggan, dan Tipar, mulanya rumah masyarakat Bekasi berkonsep rumah panggung yang bercirikan arsitektur Melayu. Pada atapnya terdapat ''[[selembayung]]''. Ciri tersebut masih terlihat di daerah [[Cikedokan, Cikarang Barat, Bekasi|Cikedokan]]; komunitas Betawi ini menerapkan panggung dengan fungsi untuk mengantisipasi banjir.{{Sfn|Nur|(2016)|p=17: "Rumah adat panggung berdiri di tepi-tepi sungai karena pada awalnya kehidupan berada di tepi sungai ..."}}
 
Rumah panggung Betawi Pinggir di Bekasi memiliki kesamaan seperti di daerah Pesisir Marunda. Boleh dikatakan Rumah siSi Pitung adalah prototipe rumah panggung Melayu Betawi yang tersisa. Masyarakat Melayu Betawi merupakan masyarakat rawa sehingga konsep huniannya berpanggung. Namun, tidak semua rumah orang Melayu Betawi berpanggung karena mereka tinggal di lingkungan yang beragam dari pesisir hingga ke pedalaman. Maka dari itu, pola arsitektur rumah Melayu Betawi bervariasi dari yang berprofesi sebagai nelayan di pesisir (berpanggung) sampai ke pedalaman yang bekerja sebagai petani (bukan panggung).{{Sfn|Nur|(2016)|p=17-18: "Rumah panggung tradisional masyarakat Bekasi memiliki kesamaan seperti di daerah Marunda. tak jauh dari Cilincing, Jakarta Utara, terdapat sebuah rumah panggung yang bersejarah ..."}}
 
Namun, berbeda dengan Rumah di Pesisir yang berpanggung karena faktor banjir atau air pasang saja, rumah panggung di Bekasi tidak hanya dirancang untuk menghindari banjir, tetapi juga untuk faktor keamanan. Hal ini mengingat Bekasi dahulunya masih hutan dan masih banyak dihuni binatang-binatang berbahaya.{{Sfn|Nur|(2016)|p=20: "Alasannya, biasanya adalah faktor keamanan hutan dan lingkungan yang dahulu masih banyak dihuni oleh binatang pengganggu, membuat kearifan masyarakat tradisional mengakalinya dengan bentuk rumah panggung ..."}} Pengangkatan lantai rumah pada rumah panggung Betawi dimaksud juga untuk mengaplikasikan ''balaksuji'' (konstruksi tangga) yang memiliki nilai filosofis penting bagi orang Betawi. Konstruksi tangga jarang ditemui pada rumah-rumah Betawi yang tidak berpanggung.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=66: "Balaksuji adalah konstruksi tangga pada rumah Betawi ..."}}
 
Sementara itu, rumah panggung Betawi Udik di [[Tangerang Selatan]] agak lebih tinggi daripada Betawi Pinggir. Jarak antara lantai dan tanah setinggi kurang lebih 50 -70 –70&nbsp;cm. Manfaat panggung tidak seperti pada rumah Betawi Pesisir. Panggung dibuat hanyalah untuk menghindari [[rayap]] dan lembablembap.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=85: "Aslinya ia merupakan rumah panggung dengan jarak antara lantai dan tanah setinggi kurang lebih 50 -70 cm ..."}}
 
=== Atap ===
Baris 52:
Pada rumah gudang bentuk atapnya ada yang berbentuk [[Atap pelana|pelana]] dan ada yang berupa perisai{{Efn|Atap limas dikenal juga dengan istilah atap perisai. Atap model ini merupakan penyempurnaan dari bentuk atap pelana yang terdiri dari dua bidang miring berbentuk trapesium. ({{harvnb|Kania|2018}})}}, yang tersusun dari kerangka kuda-kuda dari depan ke belakang. Di bagian depan diberi tambahan penahan berupa kayu atau besi. Hal ini agar teras depan terlindungi dari panas dan tampias air hujan. Struktur kuda-kuda tadi kemudian saling bertemu pada sebuah batang tegak yang oleh orang Betawi lazim disebut ''wider''. Sistem ''wider'' jarang ditemukan pada rumah etnik Indonesia lain. Yang pertama kali mengenalkan sistem ini adalah arsitek-arsitek Belanda yang membangun gedung dan rumah di Batavia.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=39: "Atap rumah gudang berbentuk pelana atau perisai. Struktur atap tersusun dari kerangka kuda-kuda penuh dari depan ke belakang ..."}}
 
Atap rumah bapang berbentuk pelana. Namun, konstruksinya berbeda dengan atap rumah gudang. Atap bapang tidak merupakan pelana yang penuh sampai ke tepi. Sebagian atap rumah bapang terbentuk oleh atap pelana yang ditekuk (biasa disebut ''sorondoy)'', sedangkan atap pelananya berada ditengahdi tengah-tengah ruang. Ada juga rumah Kebaya yang bentuk atapnya perisai landai yang diteruskan dengan atap pelana yang lebih landai lagi terutama di bagian teras. Variasi lainnya, atap berbentuk pelana, tapi limpasan air berada di bagian samping.{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=111: "Pada dasarnya atap rumah potongan Bapang adalah berbentuk pelana ..."}}.
 
Pada rumah joglo, atapnya menjorok ke atas dan tumpul seperti rumah joglo [[Jawa]]. Namun, terdapat perbedaan pada sistem konstruksi atap rumah joglo Betawi dan rumah joglo Jawa. Jika rumah joglo di Jawa menggunakan konstruksi tiang penopang (''soko guru'') untuk atap, rumah joglo di Betawi menggunakan struktur kuda-kuda biasa.<ref name=":4">{{Cite web|url=http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/Rumah-Betawi|title=Rumah Betawi|last=|first=|date=|website=ensiklopediajakartaonline|access-date=16 April 2019}}</ref>{{Sfn|Fenny Leo, dkk|(2019)|p=11.:" Pada rumah Joglo dari atap disusun oleh sistem struktur kuda-kuda..."}}
 
=== Fondasi ===
[[Berkas:Tiang pondasi Rumah Tinggi Marunda.jpg|jmpl|Fondasi umpak untuk menyokong tiang-tiang panggung pada Rumah siSi Pitung di Marunda]]
Rumah Betawi yang menggunakan konsep panggung struktur fondasinya menggunakan umpak, yaitu batu berbentuk persegi berukuran sekitar 20 &nbsp;cm x 25 &nbsp;cm. Di wilayah pesisir, umpak terbuat dari bahan-bahan seperti semen, pecahan karang, dan kerikil, mengingat mudah ditemukan di sekitar pantai. Umpak digunakan sebagai landasan tiang kayu sebagai ''soko guru'' yang berfungsi sebagai penahan beban struktur rumah dan penghuninya atau mengangkat lantai dari tanah. Fungsi umpak itu sendiri adalah untuk agar tiang-tiang tadi tidak mudah terperosok ke dalam tanah. Fungsi lainnya, untuk melindungi kayu dari serangan [[serangga]]. Rumah Si Pitung di Marunda menggunakan umpak pada fondasinya.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=46-47: "Rumah Betawi yang berbentuk panggung struktur fondasinya menggunakan umpak, yaitu batu berbentuk persegi berukuran sekitar 20 cm x 25 cm x 25 cm ..."}} Tiang-tiang pada rumah panggung Betawi terbuat dari kayu. Kayu yang digunakan biasanya berasal dari pohon yang tumbuh di sekitaran rumah. Kayu yang dipilih adalah kayu [[Nangka|pohon nangka]], [[Kecapi (buah)|pohon kecapi]], dan kayu [[Rambutan|pohon rambutan]].{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=43: "Kayu yang digunakan biasanya pohon yang ada di sekitar rumah, seperti pohon nangka, pohon kecapi, dan pohon rambutan ..."}}
 
=== Tata ruang ===
Baris 70:
Beranda yang luas melambangkan nilai kekeluargaan, keterbukaan, keramahan, serta keharmonisan dengan tetangga.{{Sfn|Tanjung|(2018)|p=11.:" di bagian teras ini suku Betawi menerima tamu sekaligus bersantai ..."}} Dahulu biasanya keluarga Betawi memiliki banyak anak dan memiliki kecenderungan tinggal saling berdekatan dengan saudara mereka. Teras yang luas dibutuhkan untuk tempat berkumpul (biasanya pada sore hari) atau bisa juga sebagai tempat untuk arisan keluarga.{{Sfn|Adi|(2010)|p=31: "Terasnya juga sudah tidak ada lagi yang lebar, padahal teras orang Betawi tempo dulu lebar-lebar ..."}}
 
Dari beranda masuk ke bagian tengah atau ruang inti rumah Betawi. Di dalamnya terdapat ruang tamu dan kamar-kamar yang sifatnya ''privat''. Kamar tidur ada yang berbentuk kamar tertutup dan ada pula yang terbuka tanpa dinding pembatas, sehingga bercampur fungsinya menjadi ruang makan.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=33: "Bagian tengah adalah bangunan inti. Di dalamnya terdapat ruang tamu dan kamar-kamar yang sifatnya privat ..."}} Bagian belakang merupakan dapur dan ''padasan''. Dapur atau yang biasanya disebut ''serondoyan'' adalah tempat memasak serta berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian serta kayu bakar. Sementara ''padasan'' merupakan tempat diletakkannya sumur timba, tempat mencuci pakaian kotor dan mengambil air wudhuwudu.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=34: "Yang terakhir adalah bagian belakang, yang terdiri dari dapur dan padasan ..."}}
 
=== ''Balaksuji'' ===
{{main|Balaksuji}}
[[Berkas:Balaksuji rumah si pitung.jpg|jmpl|Balaksuji atau tangga rumah panggung siSi Pitung di Marunda]]
Rumah orang Betawi mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan rumah-rumah etnik nusantara lainnya; salah satunya adalah keberadaan tangga di depan rumah. Orang Betawi menyebutnya ''balaksuji''. ''Balaksuji'' bagi orang Betawi bukan hanya sekadar instrumen untuk naik dan masuk ke dalam rumah. Elemen ini berfungsi juga sebagai sarana untuk menolak bencana (bala) dan media penyucian diri sebelum masuk ke dalam rumah. Maka dari itu, sebelum menaiki tangga (''balaksuji''), seseorang harus membasuh kakinya terlebih dahulu. Hal demikian dilakukan agar saat sudah di dalam rumah, pemilik rumah atau pengunjung dianggap sudah berada dalam keadaan bersih dan suci.{{Sfn|Wijayanti, dkk|(2019)|p=52.:" Balaksuji sendiri memiliki filosofi sebagai rumah tangga, dan juga sebagai sarana untuk menolak bencana dan menyucikan diri sebelum memasuki rumah ..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=66: "Pada rumah Betawi panggung siapapun yang memasuki rumah harus melalui tangga terlebih dahulu ..."}} Balaksuji sendiri secara kiasan memiliki arti kawasan penyejuk.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=516|title=Rumah Panggung Betawi|last=|first=|date=|website=kemdikbud|access-date=18 April 2019}}</ref>
 
Pada zaman dulu masyarakat Betawi membangun [[sumur]] di depan rumah untuk membasuh kaki sebelum menaiki tangga dan memasuki rumah. Saat ini balaksuji tidak dipakai lagi di rumah-rumah modern karena dianggap terlalu merepotkan. Namun, di beberapa kampung, ''balaksuji'' ini masih dipertahankan di beberapa [[masjid]] berlanggam Betawi. ''Balaksuji'' dipasang di tempat [[Khatib|khotib]] berkhotbah dan merupakan tangga menuju ke mimbar.<ref>{{Cite webnews|url=https://properti.kompas.com/read/2018/07/11/133426121/arsitektur-rumah-betawi-sarat-nilai-filosofis?page=all|title=Arsitektur Rumah Betawi, Sarat Nilai Filosofis|last=Haryanti|first=Rosiana|date=11 Juli 2018|websitework=kompasonline[[Kompas.com]]|access-date=15 April 2019|editor-last=Alexander|editor-first=Hilda B}}</ref>{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=66: "Balaksuji saat ini sudah sangat jarang ditemukan di rumah-rumah Betawi tradisional dan banyak dialihkan sebagai tangga pada masjid ..."}} Dalam prinsip kepercayaan masyarakat Betawi segala sesuatu yang kotor tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah dan harus dibuang terlebih dahulu di luar rumah. Alhasil, sumur, kamar mandi dan [[Toilet|jamban]] rumah Betawi berada di luar rumah.<ref>{{Cite web|url=http://mediaindonesia.com/read/detail/116250-mengenal-rumah-asli-suku-betawi|title=Mengenal Rumah Asli Suku Betawi|last=Marzuqi|first=Abdillah M.|date=6 Agustus 2017|website=mediaindonesiaonline|access-date=12 April 2019}}</ref>
 
== Pembuatan ==
=== Material ===
[[Berkas:Lantai rumah si pitung.jpg|kiri|jmpl|Lantai kayu jati Rumah siSi Pitung]]
Material rumah etnik Betawi tempo dulu biasanya berasal dari bahan-bahan yang tumbuh di lingkungan sekitar, seperti kayu sawo, kayu nangka, bambu, kayu kecapi, kayu cempaka, juk, dan [[rumbia]].{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=34: "Bahan-bahan material bangunan etnik Betawi tempo dulu adalah bahan alami yang terdapat di alam sekitar, seperti kayu sawo, kayu nangka, bambu, kayu kecapi, cempaka, juk, dan rumbia ..."}} Material bangunan rumah Betawi Pesisir utamanya terdiri dari kayu, [[bambu]], dan genteng merah. Kayu yang digunakan bermacam-macam. Untuk tiang rumah bisa menggunakan [[Merbau|kayu besi]] atau [[Jati|kayu jati]]. Kayu besi atau jati dipilih karena dianggap kuat untuk menahan beban berat. Kayu ini juga dikenal anti-serangga pemakan kayu dan terkenal kuat untuk menahan pengaruh [[air asin]] dari laut.<ref name=":5">{{Cite web|url=https://jakarta.go.id/artikel/konten/3415/panggung-rumah|title=Panggung, Rumah|last=|first=|date=|website=Provinsi DKI Jakarta|access-date=15 April 2019|archive-date=2019-04-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20190416060903/https://jakarta.go.id/artikel/konten/3415/panggung-rumah|dead-url=yes}}</ref> Kayu nangka juga kerap dijadikan pilihan utama selain jati, karena kekuatan kayu tersebut hampir sebanding dengan kayu jati. Ini adalah salah satu sebab orang Betawi gemar menanam pohon nangka di halaman rumahnya. Namun, tidak semua struktur rumah boleh menggunakan bahan kayu nangka, khususnya struktur ''drampol'' atau ''trampa'' yang berada di bawah.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Sebenarnya struktur dan kekuatan kayu yang berasal dari pohon nangka hampir sebanding dengan pohon jati sehingga pohon nangka kerap dijadikan pilihan utama sebagai material pembuatan rumah ..."}} Menurut tradisi, orang Betawi pantang melangkahi kayu nangka, karena dipercaya akan mendatangkan penyakit.{{Sfn|BP Budpar|(2002)|p=10.:" Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Betawi, kayu nangka sebagai bahan bangunan yang dipilih tidak boleh dibuat dari "trampa" atau "drompot" yaitu bagian bawah kusen pintu, sebab orang yang melangkahi kayu nangka bisa terkena penyakit kuning..."}}
 
Rangka rumah Betawi Pesisir memakai kayu jati atau [[Shorea|kayu meranti]]. [[Durian|Kayu duren]] dipakai untuk membuat lantai rumah, sedangkan [[Rasamala|kayu rasamala]] dan [[Kecapi (buah)|kayu kecapi]] dipasang untuk tiang-tiang panggung. Kayu digunakan untuk bangunan utama. sedangkan bangunan tambahan dan langit-langit rumah memakai bambu. [[Genteng atap|Genteng]] merah disusun atau dipasang sebagai atap rumah.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Sebenarnya struktur dan kekuatan kayu yang berasal dari pohon nangka hampir sebanding dengan pohon jati sehingga pohon nangka kerap dijadikan pilihan utama sebagai material pembuatan rumah ..."}}
Baris 91:
Pembuatan rumah panggung Betawi diawali dengan penentuan lokasi. Lokasi paling ideal adalah berdekatan sumber air dan posisinya membelakangi air yang mengalir. Setelah lokasi telah ditetapkan proses pembangunan dimulai. Awalnya tanah dikeraskan terlebih dahulu menggunakan pecahan karang. Kemudian tanah diratakan (didatarkan) agar umpak (fondasi tiang panggung) mampu mencengkeram tanah dengan seimbang. Pembuatan rangka dilakukan setelah perataan tanah. Rangka rumah terdiri dari 20 tiang panggung. Tiang-tiang ini sekaligus menjadi tiang rangka utama rumah dengan formasi 4x5.<ref name=":5" />
 
Rangka tidak dibuat di atas tanah tempat rumah hendak dibangun. Rangka rumah lalu dipindahkan dan didudukkan di atas umpak yang tadi telah dipersiapkan. Biasanya di sela-sela rangka rumah digelar tikar untuk acara [[selamatan]]. <ref name=":5" /> Pada rumah panggung Betawi di pesisir, fondasi umpak berbentuk persegi umumnya berukuran 20 &nbsp;cm x 25 &nbsp;cm. Umpak itu sendiri berasal dari bahan-bahan yang mudah di temukanditemukan di sekitar, seperti pecahan karang dan kerikil.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=46-47: "Rumah Betawi yang berbentuk panggung struktur fondasinya menggunakan umpak, yaitu batu berbentuk persegi berukuran sekitar 20 cm x 25 cm x 25 cm ..."}}
 
Tahap selanjutnya adalah memasang landasan lantai rumah, yang terbuat dari bambu yang dijajarkan. Setelah tahap ini diselesaikan, yang dibangun adalah dinding rumah. Dinding rumah terbuat dari papan yang dijajarkan secara rapat dengan menggunakan paku. Setelah selesai, yang akan dibuat adalah langit-langit rumah. [[Langit-langit]] terbuat dari anyaman bambu (bilik). Setelah siap semua, kemudian dipasanglah genteng merah untuk atap rumahnya.<ref name=":5" />
Baris 103:
Sebagai masyarakat yang merupakan hasil percampuran dari berbagai multietnis, banyak kepercayaan yang terbawa hingga saat ini dalam budaya orang Betawi. Salah satunya adalah pantangan dan aturan ketika mendirikan rumah.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Sebagai masyarakat yang dibentuk oleh multietnis, banyak kepercayaan-kepercayaan yang terbawa hingga sekarang ..."}} Menurut tradisi, kedua hal tersebut dimaksudkan agar si penghuni rumah terhindar dari musibah dalam hidupnya. Jika tidak melanggar dipercayai mereka akan mendapatkan keselamatan atau mendapatkan hal-hal yang baik dalam hidupnya ketika menghuni tempat tinggalnya itu.<ref name=":4" />{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Pada prinsipnya larangan serta aturan tersebut ditujukan agar penghuni yang kelak menempati rumah yang sedang dibangun terhindar dari musibah dalam hidupnya ..."}} Pantangan dan aturan dalam budaya Betawi terkait material, tanah tempat rumah akan didirikan, posisi bangunan, dan aturan-aturan pendirian rumah.<ref name=":4" />
 
Kusen pintu bagian atas pada rumah-rumah Betawi umumnya berbahan kayu cempaka. Kayu cempaka sendiri memang berbau harum, sehingga kayu ini juga bermanfaat sebagai pengharum ruangan alami. Secara filosofis, keharuman kayu cempaka akan membuat penghuni rumah selalu dalam keadaan baik, sehat, dan disenangi tetangga-tetangganya.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Kayu cempaka merupakan salah satu kayu yang berbau harum ..."}} Sementara kayu dari pohon asem, walaupun mudah ditemui, pantang untuk dipakai. Menurut kepercayaan orang Betawi, kayu asem bisa meruntuhkan wibawa si empunya rumah. Selain itu jika dimanfaatkan, kayu ini dikhawatirkan akan menganggumengganggu hubungan dengan para tetangga.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Pohon asem sering ditemukan berada di kebun-kebun warga Betawi., tetapi bila diperhatikan ternyata pohon asem hampir tidak pernah dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah ..."}}
 
Pantangan lainnya adalah menggunakan kayu nangka untuk bagian bawah kusen pintu yang biasa dilangkahi orang. Hal ini karena dalam kepercayaan masyarakat Betawi, orang yang melangkahi kayu nangka dapat dihinggapi penyakit kuning.{{Sfn|BP Budpar|(2002)|p=10.:" Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Betawi, kayu nangka sebagai bahan bangunan yang dipilih tidak boleh dibuat dari "trampa" atau "drompot" yaitu bagian bawah kusen pintu, sebab orang yang melangkahi kayu nangka bisa terkena penyakit kuning..."}} Larangan keras lainnya adalah menggunakan bahan yang mengandung unsur tanah sebagai material pembuatan atap. Bagi orang Betawi, tanah seharusnya berada di bawah. Menggunakannya sebagai bahan atap seolah mengubur penghuninya di dalam tanah.<ref name=":4" />
 
Rumah tidak boleh didirikan di atas tanah yang dikeramatkan.<ref>{{Cite web|url=https://jakarta.go.id/artikel/konten/4151/rumah-betawi|title=Rumah Betawi|last=|first=|date=5 Oktober 2017|website=jakarta|access-date=13 Mei 2019|archive-date=2019-05-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20190513160007/https://jakarta.go.id/artikel/konten/4151/rumah-betawi|dead-url=yes}}</ref> Rumah baru hendaknya didirikan di sebelah kiri rumah orang tua atau [[mertua]]. Jika posisinya berada di sebelah kanan, dipercayai keluarga sang anak akan sakit-sakitan atau bahkan menjadi susah rezekinya.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=74: "Akan tetapi, ada kepercayaan orang Betawi yang melarang rumah anak didirikan tepat di sebelah kanan rumah orang tuanya ..."}} Saat tanah yang akan dibangun rumah mulai diratakan, masyarakat Betawi meletakkan lima garam bata di keempat pojok bangunan dan satunya lagi diletakkan di tengah-tengah. Ritual ini dimaksud agar si pemilik rumah tidak diganggu roh-roh jahat.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Pada saat meratakan tanah di lokasi rumah akan dibangun, biasanya masyarakat Betawi meletakkan lima garam bata di keempat pojok bangunan dan satu garam bata lagi di tengah-tengah ..."}}
 
== Pengaruh ==
Baris 122:
[[Berkas:Gigibalang2.jpg|jmpl|ka|Motif ''gigi balang'' pada ''lipslang'' atap di salah satu toko mebel Betawi yang tersisa di wilayah Jakarta Timur. Motif ini dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu]]
[[Berkas:Dipan2a.jpg|jmpl|Dipan, tempat duduk orang Betawi biasanya ada di teras, mengadopsi dari budaya Tionghoa]]
[[Berkas:Besi tempa peninggalan belanda.jpg|jmpl|Konsol besi melengkung pada bagian depan Rumah siSi Pitung sebagai ornamen dekoratif, juga struktur penyangga atap. Unsur ini diadopsi dari arsitektur Belanda]]
Selain Sunda, budaya Jawa memiliki pengaruh yang kuat terhadap budaya setempat, khususnya dalam hal arsitektur rumah etnik Betawi. Kebudayaan Jawa terlihat pengaruhnya pada rumah-rumah Betawi yang berdiri di kawasan-kawasan yang pernah dikuasai pasukan dari Demak dan Cirebon. Budaya Jawa yang dibawa pasukan itu dapat dilihat pada rumah-rumah Betawi yang bentuknya hampir mirip dengan rumah Joglo di Jawa Tengah.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=18: "Pengaruh Jawa pada arsitektur rumah Betawi terlihat jelas pada rumah-rumah di kawasan yang dulunya dikuasai oleh pasukan dari Demak dan Cirebon yang berbudaya Jawa ..."}} Pengaruhnya bisa dilihat terutama pada konstruksi atapnya yang sama-sama beratap limas serta menjulang ke atas. Perbedaannya terletak pada  tiang-tiang utama penopang struktur atapnya. Pada rumah Joglo Jawa, tiang-tiang tadi merupakan unsur penting yang berfungsi membagi ruangan rumah. Sementara pada potongan rumah Joglo Betawi, fungsi tiang utama sebagai pembagi ruangan tidak terlihat.{{Sfn|Swadarma|2014|p=20: "Konstruksi rumah joglo Jawa sedikit banyak ikut memengaruhi rumah Betawi. terutama dari konstruksi atapnya ..."}}
 
=== Melayu ===
Pengaruh lain yang memperkaya arsitektur rumah etnik Betawi datang dari kebudayaan Melayu. Pengaruh ini terlihat pada motif ''[[pucuk rebung]]'' yang biasanya ada pada ''lisplang''{{Efn|Lisplang merupakan bagian dari struktur bagian atap rumah yang dipasang pada bagian ujung atap. Selain agar terlihat lebih rapi, lisplang juga membuat bangunan terlindung dari sinar matahari dan air hujan yang berpotensi mempercepat terjadinya kerusakan atap. Jika rumah bertingkat, lisplang berguna sebagai penanda dan pemisah antara lantai satu dengan lantai lainnya.({{harvnb|Kania|2019}})}} rumah-rumah orang Melayu yang bentuknya lancip mirip tombak.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=23: "Untuk pengaruh kebudayaan Melayu sendiri tampak pada ornamen-ornamen pucuk rebung yang bentuknya lancip mirip tombak. Ornamen ini kemudian diadaptasi menjadi lisplang "gigi balang". yang selalu hadir di rumah Betawi di manapun ..."}} ''Pucuk rebung'' sendiri merupakan salah satu ragam hias dalam budaya Melayu yang berupa pucuk bambu yang baru tumbuh.{{Sfn|Napitupulu, dkk|(1986)|p=144: "Ragam bias Pucuk Rebung adalah merupakan bentuk pucuk bambu yang baru tumbuh ..."}} ''Pucuk rebung'' memiliki arti bahwa hidup seseorang harus bermanfaat untuk orang lain dan memiliki harapan yang kuat seperti pohon bambu.<ref>{{Cite webnews|url=https://wolipop.detik.com/fashion-news/d-3268983/brand-ambah-batik-perkenalkan-motif-batik-melayu-pucuk-rebung|title=Brand Ambah Batik Perkenalkan Motif Batik Melayu Pucuk Rebung|last=Safiera|first=Alissa|date=5 Agustus 2016|websitework=detik[[Detik.com|detikcom]]|access-date=14 Mei 2019}}</ref> Motif tersebut diadopsi pada ''lisplang'' rumah orang Betawi dengan mengganti peristilahannya menjadi ''gigi balang'' (atau gigi belalang).{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=23: "Untuk pengaruh kebudayaan Melayu sendiri tampak pada ornamen-ornamen pucuk rebung yang bentuknya lancip mirip tombak. Ornamen ini kemudian diadaptasi menjadi lisplang "gigi balang". yang selalu hadir di rumah Betawi di manapun ..."}} ''Lisplang gigi balang'' selalu ada menghiasi rumah etnik Betawi di mana pun.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=23: "Untuk pengaruh kebudayaan Melayu sendiri tampak pada ornamen-ornamen pucuk rebung yang bentuknya lancip mirip tombak. Ornamen ini kemudian diadaptasi menjadi lisplang "gigi balang". yang selalu hadir di rumah Betawi di manapun ..."}} ''Gigi balang'' pada rumah Betawi memiliki arti bahwa hidup seseorang harus selalu jujur, rajin, ulet dan sabar seperti pada belalang yang mampu mematahkan kayu dengan menggigitnya terus menerus dalam tempo lama.<ref>{{Cite web|url=http://jakarta-tourism.go.id/2017/news/2018/02/gigi-balang|title=Gigi Balang|last=|first=|date=|website=jakarta-tourism|access-date=14 Mei 2019}}</ref>
 
=== Tionghoa ===
Baris 132:
 
=== Arab ===
[[Berkas:Jendela berbentuk kubah.jpg|jmpl|kiri|Jendela tanpa daun menyerupai bentuk kubah masjid pada bagian belakang Rumah siSi Pitung, merupakan pengaruh kebudayaan Arab|al=]]
Orang Arab datang ke Bumi Nusantara dengan maksud untuk mencari nafkah dan juga menyiarkan [[Islam|agama Islam]].<ref>{{Cite web|url=https://historia.id/agama/articles/awal-mula-datangnya-orang-orang-arab-ke-nusantara-DnEMo|title=Awal Mula Datangnya Orang-orang Arab ke Nusantara|last=Isnaeni|first=Hendri F.|date=25 Maret 2015|website=historia|access-date=9 Mei 2019}}</ref> Pengaruh Arab dan budaya Islam pada rumah etnik Betawi bisa dilihat pada serambi depan dan keberadaan tiang di teras depan. Rumah etnik Betawi di seluruh kawasan memiliki serambi depan yang luas dan bersifat terbuka. Biasanya orang Betawi menjadikan serambi depan sebagai tempat belajar mengaji anak-anak dan sebagai tempat duduk sementara untuk tamu sebelum dipersilahkan masuk oleh si empunya rumah.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=29: "Rumah-rumah tersebut memiliki serambi bagian depan yang luas dan terbuka, biasanya digunakan sebagai tempat belajar mengaji anak-anak. Selain itu, teras dapat digunakan sebagai tempat duduk tamu sementara sebelum dipersilahkan masuk oleh tuan rumah ..."}} Serambi depan disebut ''angkan'', yang berasal dari kata ''palangkan,'' artinya tempat untuk duduk-duduk.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=29: "Biasanya rumah etnik di wilayah budaya Betawi memiliki serambi depan yang terbuka. Serambi depan disebut "angkan", berasal dari kata palangkan yang berarti tempat duduk ..."}} Terdapat dua tiang di teras depan. Menurut ajaran Islam, dua tiang tersebut memiliki makna bahwa Allah menciptakan alam semesta ini selalu berpasang-pasangan, contoh siang-malam, laki-perempuan, dan lain-lain. Biasanya di sebelah kanan dan kiri terdapat semacam jendela tanpa daun. Seringkali bagian atas jendela tanpa daun tersebut berbentuk melengkung, menyerupai bentuk kubah masjid.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=28-29: "Penggunaan tiang di teras depan yang biasanya berjumlah dua buah juga merupakan pengaruh dari arsitektur Arab, karena bermakna berpasang pasangan ..."}}
 
Baris 140:
 
== Galeri ==
=== Rumah siSi Pitung ===
<gallery>
Berkas:Plang rumah si pitung.jpg|Plang berisi gambar Rumah siSi Pitung sebelum direnovasi
Berkas:Gerbang masuk rumah si pitung.jpg|Gerbang masuk Rumah Tinggi Marunda
Berkas:Penampakan Rumah si Pitung Marunda dari samping kiri.jpg|Penampakan Rumah siSi Pitung Marunda dari samping kiri
Berkas:Rumah sipitung marunda dari samping kanan.jpg|Penampakan Rumah siSi Pitung Marunda dari samping kanan
Berkas:Replika rumah sipitung di museum bahari.jpg|Replika Rumah siSi Pitung tampak dari atas, koleksi [[Museum Bahari]]
Berkas:Sungai di belakang rumah si pitung.jpg|Sungai Blencong di [[Marunda]] di belakang Rumah siSi Pitung
Berkas:Wawancara ridwan saidi.jpg|Cuplikan artikel [[Ridwan Saidi]] tentang siSi Pitung yang dimuat di Majalah Tani 2009. Di tempel di dinding dalam rumah siSi Pitung
Berkas:Masjid si pitung.jpg|Masjid Al Alam Marunda yang tidak jauh dari Rumah siSi Pitung
</gallery>
 
Baris 162:
== Keterangan ==
{{notes}}
 
== Lihat juga ==
 
* [[Rumah Panggung Kajang Lako]]
 
== Catatan kaki ==
Baris 167 ⟶ 171:
 
== Daftar pustaka ==
==== Buku ====
* {{cite book|title=Hasil pemugaran Dan temuan benda cagar budaya Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I)|author=Anom|first=I.G.N|date=|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|year=1996|isbn=|location=Jakarta|pages=|language=|ref={{sfnRef|Anom, dkk(1996)}}|page=|last2=Sugiyanti|first2=Sri|last3=Hasibuan|first3=Hadniwati|last4=Dewi|first4=Puspa|last5=Ernawati|first5=|last6=Sumono|first6=Hardini|last7=Supriyatun|first7=Rini|last8=lsmijono|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/8157/1/HASIL%20PEMUGARAN%20DAN%20TEMUAN%20BENDA%20CAGAR%20BUDAYA%20PJP%20I.pdf}}
* {{cite book|title=Arsitektur Tradisional Betawi -, Sumbawa -, Palembang -, Minahasa, -dan Dani|author=BP Budpar|first=Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia|first=|date=|publisher=Seksi Publikasi Subdit Dokumentasi dan Publikasi Direktorat Tradisi dan Kepercayaan Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata|year=2002|isbn=|location=Jakarta|pages=|language=|ref={{sfnRef|BP Budpar(2002)}}|url-status=live|page=|last2=|first2=|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/8244/1/ARSITEKTUR%20TRADISIONAL.pdf|edition=1}}
* {{Cite book|title=Dapur dan Alat-alatAlat memasakMemasak tradisionalTradisional PropinsiProvinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta|last=Idik|first=Mutholib|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Budaya Daerah|year=1986|isbn=|location=Jakarta|page=|ref={{sfnRef|Mutholib, dkk(1986/1987)}}|url-status=live|last2=Attahiyat|first2=Chandrian|last3=Fachruddin|first3=Sugiyo|last4=Nasir|first4=Djaelani}}
* {{Cite book|title=Ekspedisi Ciliwung Laporan Jurnalistik Kompas. Mata Air, Air Mata|last=|first=|publisher=PT. Kompas Media Nusantara|year=2009|isbn=978-979-709-425-6|location=Jakarta|page=|editor-last=Karim|editor-first=Mulyawan|ref={{sfnRef|Karim(2009)}}}}
* {{Cite book|title=Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi|last=Lohanda|first=Mona|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional|year=1995|location=Jakarta|page=100-113|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/7530/1/SUNDA%20KELAPA%20SEBAGAI%20BANDAR%20JALUR%20SUTRA%20Kumpulan%20Makalah%20Diskusi.pdf|ref={{sfnRef|Lohanda(1995)}}|editor-last=Leirissa|editor-first=R.Z}}
Baris 179 ⟶ 183:
* {{Cite book|title=Ikhtisar Kesenian Betawi|last=Ruchiat|first=Rachmat|publisher=Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta|year=2003|isbn=979-95292-2-0|location=Jakarta|page=|ref={{sfnRef|Ruchiat, dkk(2003)}}|edition=2|last2=Wibisono|first2=Singgih|last3=Syamsudin|first3=Rachmat}}
* {{Cite book|title=Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66|last=Saelan|first=Maulwi|publisher=Visimedia|year=2008|isbn=|location=Jakarta|page=|ref={{sfnRef|Saelan(2008)}}}}
* {{cite book|title=Jakarta Daridari Majakatera Hingga VOC|author=Saidi|first=Ridwan|date=|publisher=Yayasan Renaissance|year=2002|isbn=978-602-513355133-353-4|location=Jakarta|pages=|language=|ref={{sfnRef|Saidi(2019)}}|url-status=live|page=|last2=|first2=|url=|edition=}}
* {{Cite book|title=Aneka Desain Rumah Bertingkat|last=Sardjono|first=Agung Budi|publisher=Griya Kreasi|year=2006|isbn=9792636080978-979-2636-10-9|location=Jakarta|page=|ref={{sfnRef|Sardjono(2006)}}|url-status=live}}
* {{Cite book|title=Kearifan Lokal Etnik Betawi|last=Suswandari|first=|publisher=Pustaka Pelajar|year=2017|isbn=978-602-2292297-75353-6|location=Yogyakarta|page=|ref={{sfnRef|Suswandari(2017)}}|url-status=live}}
* {{cite book|title=Rumah Etnik Betawi|author=Swadarma|first=Doni|date=|publisher=Griya Kreasi|year=2014|isbn=978-979-6616612-21212-3|location=Jakarta|pages=|language=|ref={{sfnRef|Swadarma(2014)}}|url-status=live|page=|last2=Aryanto|first2=Yunus}}
* {{cite book|title=Pesona Indonesia|author=Tanjung|first=Anita Chairul|date=|publisher=Gramedia Pustaka Utama|year=2018|isbn=978-602-060619-191616-3|location=Jakarta|pages=|language=|ref={{sfnRef|Tanjung(2018)}}|url-status=live|page=|last2=|first2=|url=|edition=}}
 
==== Jurnal ====
* {{Cite journal|last=Alamsyah P.|first=Suwardi|year=2009|title=Arsitektur Tradisional Rumah Betawi|url=http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/view/225|journal=Patanjala|publisher=Prodi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Tarumanagara|volume=1|issue=1|pages=|doi=10.30959/patanjala.v1i1.225|issn=|ref={{sfnRef|Suwardi(2009)}}}}
* {{Cite journal|last=Anggraeni|first=Dewi|last2=Hakam|first2=Ahmad|last3=Mardhiah|first3=Izzatul|last4=Lubis|first4=Zulkifli|year=2019|title=Membangun Peradaban Bangsa Melalui Religiusitas Berbasis Budaya Lokal (Analisis Tradisi Palang Pintu Pada Budaya Betawi)|url=|journal=Jurnal Studi Al-Qur’an Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani|volume=15|issue=1|pages=|doi=10.21009/JSQ.015.1.05|ref={{sfnRef|Anggraeni, dkk(2019)}}}}
* {{Cite journal|last=Hasan|first=Raziq|last2=Prabowo|first2=Hendro|year=2002|title=Perubahan Bentuk dan Fungsi Arsitektur Tradisional Bugis di Kawasan Pesisir Kamal Muara, Jakarta Utara|url=http://raziq_hasan.staff.gunadarma.ac.id/Publications|journal=Mezanin|publisher=Department of Architecture Gunadarma University|volume=|issue=|pages=|doi=|issn=|ref={{sfnRef|Hasan(2002)}}}}
* {{Cite journal|last=Leo|first=Fenny|last2=Tanmin|first2=Joelene|last3=Frendy|last4=Ika|first4=Augustin|year=2019|title=Analisis Ornamen Budaya Betawi pada Elemen Desain Interior. Studi Kasus: Restoran Kafe Betawi di Mal Central Park Kota Jakarta Barat|url=https://journal.untar.ac.id/index.php/mezanin/article/|journal=Mezanin|publisher=Prodi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Tarumanagara|volume=1|issue=1|pages=|doi=|issn=|ref={{sfnRef|Leo, dkk(2019)}}}}{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{Cite journal|last=Moechtar|first=Muhammad Syaiful|last2=Sarwadana|first2=Sang Made|last3=Semarajaya|first3=Cokorda Gede Alit|year=2012|title=Identifikasi Pola Permukiman Tradisional Kampung Budaya Betawi Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta|url=|journal=E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika|volume=1|issue=2|pages=|doi=|issn=2301-6515|ref={{sfnRef|Moechtar, dkk(2012)}}}}
* {{Cite journal|last=Nur|first=Desiana|year=2016|title=Analisis Filsafat Seni Filosofi Rumah Tradisional Masyarakat Bekasi Atau Melayu Betawi Sebagai Artefak Seni Yang Dihasilkan Oleh Pola Pikir Adat Dan Budaya Masyarakatnya|url=https://www.ista.ac.id/files/jurtek/16-2/Jurnal_Teknologi_Vol_5_No_2_2016.pdf|journal=Jurnal Teknologi|volume=5|issue=2|pages=|doi=|issn=2088-3315|ref={{sfnRef|Nur(2016)}}}}
Baris 195 ⟶ 199:
* {{Cite journal|last=Wijayanti|first=Gresceila|last2=Chintya|first2=Resya|last3=Nurhasanah|last4=|first4=|year=2019|title=Penerapan Balaksuji dan Langkan pada Rumah Tradisional Betawi di Kampung Betawi, Jakarta Selatan|url=https://journal.untar.ac.id/index.php/mezanin/article/view/2952/1810|journal=Mezanin|publisher=Universitas Tarumanagara Fakultas Seni Rupa Dan Desain|volume=1|issue=1|pages=|doi=|issn=|ref={{sfnRef|Wijayanti, dkk(2019)}}}}
 
==== Lainnya ====
 
* {{Cite web|url=https://habitatindonesia.org/wp-content/uploads/2017/01/Habitalk_Sept_2016.pdf|title=Rumah Tipe Panggung|last=Habitat for Humanity Indonesia|first=|date=2016|website=habitatindonesia|access-date=30 April 2019|ref={{sfnRef|Habitat for Humanity Indonesia(2016)}}|archive-date=2019-04-30|archive-url=https://web.archive.org/web/20190430140711/https://habitatindonesia.org/wp-content/uploads/2017/01/Habitalk_Sept_2016.pdf|dead-url=yes}}
* {{Cite web|url=https://www.dekoruma.com/artikel/79895/apa-itu-lisplang-dan-variasi-desain|title=Apa Itu Lisplang? Ini Dia Variasi Desainnya!|last=Kania|first=|date=1 Maret 2019|website=dekoruma|access-date=14 Mei 2019|ref={{sfnRef|Kania|2019}}}}
* {{Cite web|url=https://www.dekoruma.com/artikel/71480/apa-itu-atap-limas|title=Inspiratif, Ini Dia 5 Desain Atap Limas yang Bisa Kamu Pakai!|last=Kania|first=|date=14 Juli 2018|website=dekoruma|access-date=14 Mei 2019|ref={{sfnRef|Kania|2018}}}}
 
== Bacaan lanjulanjutan ==
* {{Cite webnews|url=https://jakarta.bisnis.com/read/20160108/387/508250/jakarta-tempo-doeloe-inilah-asal-usul-|title=JakartaJAKARTA TempoTEMPO DoeloeDOELOE: Inilah Asal Usul Nama Petojo Didi Jakarta Pusat|last=AbdullahLubis|first=NurudinM. Syahran W.|date=8 Januari 2016|websitework=bisnisonline[[Bisnis Indonesia|Bisnis.com]]|access-date=20 April 2019|ref={{sfnRef|Abdullah(2016)}}|editor-last=Abdullah|editor-first=Nurudin}}
 
* {{Cite webnews|url=https://www.merdeka.com/jakarta/dari-mana-asal-usul-nama-suku-betawi.html|title=Dari mana asal usul nama suku 'Betawi'?|last=Abraham|first=Diaz|date=4 Oktober 2015|websitework=merdekaonline[[Merdeka.com]]|access-date=17 April 2019|editor-last=Pratomo|editor-first=Yulistyo|language=id}}
tan ==
* {{Cite web|url=https://jakarta.bisnis.com/read/20160108/387/508250/jakarta-tempo-doeloe-inilah-asal-usul-|title=Jakarta Tempo Doeloe: Inilah Asal Usul Nama Petojo Di Jakarta Pusat|last=Abdullah|first=Nurudin|date=8 Januari 2016|website=bisnisonline|access-date=20 April 2019|ref={{sfnRef|Abdullah(2016)}}}}
* {{Cite web|url=https://www.merdeka.com/jakarta/dari-mana-asal-usul-nama-suku-betawi.html|title=Dari mana asal usul nama suku 'Betawi'?|last=Abraham|first=Diaz|date=4 Oktober 2015|website=merdekaonline|access-date=17 April 2019}}
* {{cite book|title=Analisis Pola Pemukiman di Lingkungan Perairan di Indonesia|author=Budhisantoso|first=S|date=|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat|year=1994|isbn=|location=Jakarta|pages=|language=|ref=|page=|url=|last2=Bale|first2=Djenen|last3=Suprapti|first3=|last4=Suhardi}}
* {{Cite journal|last=Dianty|first=Grace Putri|year=2017|title=Arsitektur Tradisional Rumah Betawi ‘Keturunan’. Akulturasi Arsitektur Tradisional Betawi dengan Arsitektur Tradisional Cina (Etnis Tionghoa)|url=http://repository.uki.ac.id/182/1/ARSITEKTUR%20TRADISIONAL%20RUMAH%20BETAWI%20%E2%80%98KETURUNAN%E2%80%99.pdf|journal=Scale|publisher=|volume=5|issue=1|pages=|doi=|issn=2338-7912|ref=}}
* {{Cite journal|last=Hidayat|first=Rakhmat|year=2010|title=Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi dari Condet ke Srengseng Sawah|url=http://jurnaldikbud.kemdikbud.go.id/index.php/jpnk/article/view/486|journal=Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan|publisher=Universitas Negeri Jakarta|volume=16|issue=5|pages=|doi=|issn=|ref=}}
* {{cite book|title=Proceeding Seni Rupa dan Desain Dalam Transformasi Budaya Indonesia|date=|publisher=Universitas Kristen Maranatha Fakultas Seni Rupa & Desain Program Studi Desain Interior|year=2008|isbn=|location=Bogor|pages=|language=|ref=|page=|url=http://repository.gunadarma.ac.id/727/1/ARSITEKTUR%20VERNAKULAR%20DI%20JAKARTA%20DAN%20SEKITARNYA_UG.pdf|editor-last=Kusbiantoro|editor-first=Krismanto|editor-last2=Pandanwangi|editor-first2=Ariesa|editor-last3=Oktavia|editor-first3=Tantri|access-date=2019-04-20|archive-date=2018-11-01|archive-url=https://web.archive.org/web/20181101172202/http://repository.gunadarma.ac.id/727/1/ARSITEKTUR%20VERNAKULAR%20DI%20JAKARTA%20DAN%20SEKITARNYA_UG.pdf|dead-url=yes}}
* {{Cite journal|last=Lahji|first=Khotijah|last2=Walaretina|first2=Rita|year=2018|title=Keberlanjutan Material Konstruksi Pada Pembangunan Rumah Betawi|url=https://www.trijurnal.lemlit.trisakti.ac.id/index.php/lslivas/article/view/2753|journal=Prosiding Seminar Kota Layak Huni / Livable Space|publisher=Trisakti|volume=|issue=|pages=|doi=|issn=|ref=|access-date=2019-04-20|archive-date=2019-04-20|archive-url=https://web.archive.org/web/20190420030047/https://www.trijurnal.lemlit.trisakti.ac.id/index.php/lslivas/article/view/2753|dead-url=yes}}
* {{Cite web|url=https://tirto.id/siapakah-pribumi-asli-jakarta-cyBl|title=Siapakah Pribumi Asli Jakarta?|last=Raditya|first=Iswara N|date=19 Oktober 2017|website=tirto|access-date=19 April 2019}}
* {{Cite book|title=Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya|last=Saidi|first=Ridwan|publisher=Gunara Kata|year=1997|isbn=9799087023|location=Jakarta|page=}}