Rumah panggung Betawi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 2 sources and tagging 1 as dead.) #IABot (v2.0.8
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Pengembalian manual VisualEditor
 
(15 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 8:
 
== Latar belakang ==
[[Berkas:Map of Batavia (Baedeker, 1914).jpg|jmpl|Peta Kota Batavia (kini Jakarta) pada tahun 1914]]
Suku Betawi lahir dari [[akulturasi]] antaretnis Nusantara dan mancanegara, seperti etnis-etnis dari [[Suku Jawa|Jawa]], [[Bali]], [[Suku Makassar|Makassar]], [[Suku Bugis|Bugis]], [[Suku Ambon|Ambon]], Sumbawa, [[Melaka|Malaka]], [[Tionghoa]], [[Bangsa Arab|Arab]], [[Orang India|India]], dan [[Bangsa Portugis|Portugis]].{{Sfn|Leo, dkk|(2019)|p=10: "Suku Betawi berasal dari hasil perkawinan antaretnis dan bangsa pada masa lalu ..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=9: "Sebagai daerah pesisir yang mempunyai pelabuhan internasional, masyarakat yang mendiami kawasan [[Batavia]] tempo dulu banyak melakukan interaksi dengan pedagang dari berbagai macam daerah, seperti Jawa, Makassar, Bugis, Malaka, Tionghoa, Arab, India, dan Portugis. ..."}} Mereka membawa budaya masing-masing yang kelak mempengaruhi kebudayaan Betawi, mulai dari bahasa, pakaian daerah, kesenian, hingga arsitektur rumah etnik Betawi.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=16: "Beragamnya etnis, baik yang berasal dari kawasan Nusantara maupun mancanegara membuat rumah Betawi meninggalkan jejak yang khas serta penuh dengan pengaruh budaya yang berbeda-beda ..."}} Batavia, tempat Suku Betawi bermukim, merupakan daerah pesisir yang memiliki pelabuhan internasional.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=9: "Sebagai daerah pesisir yang mempunyai pelabuhan internasional, masyarakat yang mendiami kawasan Batavia tempo dulu banyak melakukan interaksi dengan pedagang dari berbagai macam daerah, seperti Jawa, Makassar, Bugis, Malaka, Tionghoa, Arab, India, dan Portugis. ..."}} Di muara salah satu sungainya, yakni [[Ci Liwung|Ciliwung]], terdapat Pelabuhan [[Sunda Kelapa]] yang merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara.{{Sfn|Karim|(2009)|p=xix: "Pada zaman Kerajaan sunda abad ke-10 hingga ke-16, di muara Ciliwung, yang berlokasi di wilayah Jakarta Kota sekarang, telah berdiri pelabuhan Kalapa. Cikal bakal pelabuhan sunda kelapa ini termasuk pelabuhan terbesar kala itu di Nusantara. ..."}}
 
Baris 23:
Jika dilihat dari strukturnya, rumah etnik Betawi bisa dibedakan menjadi dua jenis, yakni rumah darat dan rumah panggung.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=50: ". Struktur rumah Betawi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu rumah darat dan rumah panggung ..."}} [[Rumah darat Betawi|Rumah darat]] atau rumah Depok menunjuk pada lantainya yang menempel langsung ke tanah (darat).{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=111: "Rumah yang beralaskan tanah yang diberi lantai tegel atau semen (sering juga disebut rumah Depok) ..."}} Sebaliknya, rumah panggung Betawi merupakan salah satu jenis struktur hunian tradisional etnik Betawi yang lantainya diangkat dari tanah menggunakan tiang-tiang kayu dengan alasan menyesuaikan kondisi lingkungan tempat rumah itu didirikan.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=50: ". Struktur rumah Betawi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu rumah darat dan rumah panggung ..."}}{{Sfn|Mustika|(2008)|p=13-14: "Masyarakat Betawi sebenarnya tinggal di habitat yang beragam, dari pesisir hingga pedalaman. Bahkan, saat ini tinggal di wilayah urban padat penduduk di tengah kota Jakarta. Inilah yang menyebabkan rumah panggung bukan satu-satunya sistem rumah tradisionalnya. Arsitektur rumah Betawi juga mulai mengenal rumah "darat” ..."}}{{Sfn|Sardjono|(2006)|p=24: "Secara umum, bentuk panggung dibuat dengan mengangkat lantai rumah dari tanah ..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=43: "Di atas fondasi umpak terdapat tiang kayu sebagai sako guru. Kayu yang digunakan biasanya pohon yang ada di sekitar rumah, seperti pohon nangka, pohon kecapi, dan pohon rambutan ..."}} Pemilihan konsep rumah panggung pada masyarakat Betawi utamanya dikarenakan faktor keadaan alam setempat.{{Sfn|Suwardi|(2009)|p=14: ". Arsitektur tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang menciptakannya maupun keadaan lingkungan yang mempengaruhinya ..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=15: "Sebenarnya penggunaan kolong pada rumah Betawi tidak semata-mata berdasarkan pembagian wilayah Betawi pesisir, tengah dan pinggiran semata, tetapi lebih dikarenakan keadaan alam setempat ..."}}{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=109: "Yang dimaksud dengan arsitektur di sini, ialah gaya bangunan sebagai salah satu bentuk hasil kebudayaan suatu masyarakat yang dipergunakan untuk berlindung dari pengaruh cuaca atau lingkungan hidupnya ..."}}
 
Pada umumnya arsitektur rumah masyarakat Betawi tidak memiliki bentuk bangunan yang khas. Cara membuat bangunannya pun hampir mirip dengan daerah-daerah lain di [[Nusantara|Nusantara:]]: Ada yang menyerupai gaya bangunan Jawa, Sunda, Melayu, bahkan bangunan [[Eropa]], tetapi dalam bentuk yang sederhana. Yang membuat rumah tradisional Betawi berbeda dengan daerah-daerah yang disebutkan tadi adalah detail dan peristilahannya.{{Sfn|Ruchiat, dkk|(2003)|p=108: "Masyarakat Betawi pada umumnya tidak memiliki gaya bangunan yang khas ..."}} Misalnya, pada rumah etnis Betawi tangga disebut ''balaksuji'', sedangkan pada rumah orang Sunda disebut ''golodog.''{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=22: "Di Jawa Barat tangga seperti ini disebut colodog. Anak tangga golodog biasanya tidak lebih dari tiga buah, dengan fungsi sebagai pembersih kaki tagi orang yang akan naik ke dalam rumah ..."}} Terkait dengan detail, salah satu contohnya bisa dilihat pada struktur kuda-kuda yang dipertemukan dengan batang tegak (sistem ''wider'').{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=39: "Atap rumah gudang berbentuk pelana atau perisai. Struktur atap tersusun dari kerangka kuda-kuda penuh dari depan ke belakang ..."}}
 
=== Orientasi ===
Baris 31:
 
=== Panggung ===
Masyarakat Betawi di daerah pesisir menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan di laut. Bentuk rumah panggung mengikuti pola hidup mereka sebagai nelayan. Dalam sejarahnya, sebagian ibu kota Jakarta memang dibangun di atas daerah [[Rawa|rawa-rawa]]. Hunian berkolong tinggi pada masyarakat Betawi Pesisir bertujuan untuk mengatasi air laut yang pasang, sehingga air laut tidak sampai menjangkau lantai rumah.<ref name=":3">{{Cite webnews|url=https://www.medcom.id/properti/arsitektur/DkqqBqZk-apa-nama-tipe-rumah-si-doel-dalam-tradisi-betawi|title=Apa Nama Tipe Rumah Si Doel dalam Tradisi Betawi?|last=Badriyah|first=Laela|date=14 Februari 2019|websitework=medcom[[Medcom.id]]|access-date=15 April 2019}}</ref>{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=15:"Rumah Betawi pesisir umumnya berkolong tinggi untuk menghindari air laut pasang ..."}} Dengan demikian bentuk rumah panggung merupakan konsep yang dinilai paling aman.{{Sfn|Habitat for Humanity Indonesia|(2016)|p=9: " Selain itu, dalam sejarahnya sebagian ibu kota Jakarta juga dibangun di atas daerah rawa, sehingga bentuk rumah panggung ini dinilai paling aman ..."}} Kolong panggung rumah di Marunda biasanya tidak dimanfaatkan, hal ini karena kolong selalu digenangi air laut. Walaupun begitu, rumah tipe panggung memiliki keuntungan ekologis. Tanah di kolong bangunan bisa berfungsi sebagai resapan air. Jika pasang atau banjir datang, air yang menggenang akan terserap ke dalam tanah. Dengan demikian tempat tinggal keluarga tetap aman dan para anggota keluarga masih bisa menjalankan aktivitas mereka seperti biasa.{{Sfn|Habitat for Humanity Indonesia|(2016)|p=9: "Ada keuntungan ekologis dari rumah tipe Panggung,
yaitu tanah di bagian bawah bangunan akan berfungsi
sebagai tempat untuk resapan air ..."}} Salah satu dari sedikit rumah panggung milik Betawi Pesisir adalah [[Rumah Si Pitung]] yang terletak di Marunda, Jakarta Utara. Total ada 40 tiang penyangga yang masing-masing tingginya mencapai 1,5 m.{{Sfn|Anom|(1996)|p=75: "Rumah Si Pitung ini menghadap ke laut utara. Rumah tersebut merupakan rumah panggung yang ditopang oleh 40 buah tiang berbentuk bulat dan persegi panjang tingginya kira-kira 1,5 m ..."}}<!-- Sangat mungkin rumah panggung orang Betawi Pesisir dipengaruhi oleh arsitektur bangunan penduduk asal [[Sumatra|Sumatera]], [[Kalimantan]] atau [[Sulawesi]] yang memang banyak berdatangan ke atau bermukim di Marunda.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=12:"Bentuk kolong bisa jadi merupakan pengaruh arsitektur bangunan dari penduduk yang berasal dari Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi yang memang banyak berdatangan ke kawasan ini ..."}} Contoh nyata adalah Rumah Si Pitung yang pemilknya nyata-nyata berasal dari [[Suku Bugis]].<ref name=":2" />-->
Baris 77:
Rumah orang Betawi mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan rumah-rumah etnik nusantara lainnya; salah satunya adalah keberadaan tangga di depan rumah. Orang Betawi menyebutnya ''balaksuji''. ''Balaksuji'' bagi orang Betawi bukan hanya sekadar instrumen untuk naik dan masuk ke dalam rumah. Elemen ini berfungsi juga sebagai sarana untuk menolak bencana (bala) dan media penyucian diri sebelum masuk ke dalam rumah. Maka dari itu, sebelum menaiki tangga (''balaksuji''), seseorang harus membasuh kakinya terlebih dahulu. Hal demikian dilakukan agar saat sudah di dalam rumah, pemilik rumah atau pengunjung dianggap sudah berada dalam keadaan bersih dan suci.{{Sfn|Wijayanti, dkk|(2019)|p=52.:" Balaksuji sendiri memiliki filosofi sebagai rumah tangga, dan juga sebagai sarana untuk menolak bencana dan menyucikan diri sebelum memasuki rumah ..."}}{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=66: "Pada rumah Betawi panggung siapapun yang memasuki rumah harus melalui tangga terlebih dahulu ..."}} Balaksuji sendiri secara kiasan memiliki arti kawasan penyejuk.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=516|title=Rumah Panggung Betawi|last=|first=|date=|website=kemdikbud|access-date=18 April 2019}}</ref>
 
Pada zaman dulu masyarakat Betawi membangun [[sumur]] di depan rumah untuk membasuh kaki sebelum menaiki tangga dan memasuki rumah. Saat ini balaksuji tidak dipakai lagi di rumah-rumah modern karena dianggap terlalu merepotkan. Namun, di beberapa kampung, ''balaksuji'' ini masih dipertahankan di beberapa [[masjid]] berlanggam Betawi. ''Balaksuji'' dipasang di tempat [[Khatib|khotib]] berkhotbah dan merupakan tangga menuju ke mimbar.<ref>{{Cite webnews|url=https://properti.kompas.com/read/2018/07/11/133426121/arsitektur-rumah-betawi-sarat-nilai-filosofis?page=all|title=Arsitektur Rumah Betawi, Sarat Nilai Filosofis|last=Haryanti|first=Rosiana|date=11 Juli 2018|websitework=kompasonline[[Kompas.com]]|access-date=15 April 2019|editor-last=Alexander|editor-first=Hilda B}}</ref>{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=66: "Balaksuji saat ini sudah sangat jarang ditemukan di rumah-rumah Betawi tradisional dan banyak dialihkan sebagai tangga pada masjid ..."}} Dalam prinsip kepercayaan masyarakat Betawi segala sesuatu yang kotor tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah dan harus dibuang terlebih dahulu di luar rumah. Alhasil, sumur, kamar mandi dan [[Toilet|jamban]] rumah Betawi berada di luar rumah.<ref>{{Cite web|url=http://mediaindonesia.com/read/detail/116250-mengenal-rumah-asli-suku-betawi|title=Mengenal Rumah Asli Suku Betawi|last=Marzuqi|first=Abdillah M.|date=6 Agustus 2017|website=mediaindonesiaonline|access-date=12 April 2019}}</ref>
 
== Pembuatan ==
=== Material ===
[[Berkas:Lantai rumah si pitung.jpg|kiri|jmpl|Lantai kayu jati Rumah Si Pitung]]
Material rumah etnik Betawi tempo dulu biasanya berasal dari bahan-bahan yang tumbuh di lingkungan sekitar, seperti kayu sawo, kayu nangka, bambu, kayu kecapi, kayu cempaka, juk, dan [[rumbia]].{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=34: "Bahan-bahan material bangunan etnik Betawi tempo dulu adalah bahan alami yang terdapat di alam sekitar, seperti kayu sawo, kayu nangka, bambu, kayu kecapi, cempaka, juk, dan rumbia ..."}} Material bangunan rumah Betawi Pesisir utamanya terdiri dari kayu, [[bambu]], dan genteng merah. Kayu yang digunakan bermacam-macam. Untuk tiang rumah bisa menggunakan [[Merbau|kayu besi]] atau [[Jati|kayu jati]]. Kayu besi atau jati dipilih karena dianggap kuat untuk menahan beban berat. Kayu ini juga dikenal anti-serangga pemakan kayu dan terkenal kuat untuk menahan pengaruh [[air asin]] dari laut.<ref name=":5">{{Cite web|url=https://jakarta.go.id/artikel/konten/3415/panggung-rumah|title=Panggung, Rumah|last=|first=|date=|website=Provinsi DKI Jakarta|access-date=15 April 2019|archive-date=2019-04-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20190416060903/https://jakarta.go.id/artikel/konten/3415/panggung-rumah|dead-url=yes}}</ref> Kayu nangka juga kerap dijadikan pilihan utama selain jati, karena kekuatan kayu tersebut hampir sebanding dengan kayu jati. Ini adalah salah satu sebab orang Betawi gemar menanam pohon nangka di halaman rumahnya. Namun, tidak semua struktur rumah boleh menggunakan bahan kayu nangka, khususnya struktur ''drampol'' atau ''trampa'' yang berada di bawah.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Sebenarnya struktur dan kekuatan kayu yang berasal dari pohon nangka hampir sebanding dengan pohon jati sehingga pohon nangka kerap dijadikan pilihan utama sebagai material pembuatan rumah ..."}} Menurut tradisi, orang Betawi pantang melangkahi kayu nangka, karena dipercaya akan mendatangkan penyakit.{{Sfn|BP Budpar|(2002)|p=10.:" Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Betawi, kayu nangka sebagai bahan bangunan yang dipilih tidak boleh dibuat dari "trampa" atau "drompot" yaitu bagian bawah kusen pintu, sebab orang yang melangkahi kayu nangka bisa terkena penyakit kuning..."}}
 
Rangka rumah Betawi Pesisir memakai kayu jati atau [[Shorea|kayu meranti]]. [[Durian|Kayu duren]] dipakai untuk membuat lantai rumah, sedangkan [[Rasamala|kayu rasamala]] dan [[Kecapi (buah)|kayu kecapi]] dipasang untuk tiang-tiang panggung. Kayu digunakan untuk bangunan utama. sedangkan bangunan tambahan dan langit-langit rumah memakai bambu. [[Genteng atap|Genteng]] merah disusun atau dipasang sebagai atap rumah.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Sebenarnya struktur dan kekuatan kayu yang berasal dari pohon nangka hampir sebanding dengan pohon jati sehingga pohon nangka kerap dijadikan pilihan utama sebagai material pembuatan rumah ..."}}
Baris 103:
Sebagai masyarakat yang merupakan hasil percampuran dari berbagai multietnis, banyak kepercayaan yang terbawa hingga saat ini dalam budaya orang Betawi. Salah satunya adalah pantangan dan aturan ketika mendirikan rumah.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Sebagai masyarakat yang dibentuk oleh multietnis, banyak kepercayaan-kepercayaan yang terbawa hingga sekarang ..."}} Menurut tradisi, kedua hal tersebut dimaksudkan agar si penghuni rumah terhindar dari musibah dalam hidupnya. Jika tidak melanggar dipercayai mereka akan mendapatkan keselamatan atau mendapatkan hal-hal yang baik dalam hidupnya ketika menghuni tempat tinggalnya itu.<ref name=":4" />{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Pada prinsipnya larangan serta aturan tersebut ditujukan agar penghuni yang kelak menempati rumah yang sedang dibangun terhindar dari musibah dalam hidupnya ..."}} Pantangan dan aturan dalam budaya Betawi terkait material, tanah tempat rumah akan didirikan, posisi bangunan, dan aturan-aturan pendirian rumah.<ref name=":4" />
 
Kusen pintu bagian atas pada rumah-rumah Betawi umumnya berbahan kayu cempaka. Kayu cempaka sendiri memang berbau harum, sehingga kayu ini juga bermanfaat sebagai pengharum ruangan alami. Secara filosofis, keharuman kayu cempaka akan membuat penghuni rumah selalu dalam keadaan baik, sehat, dan disenangi tetangga-tetangganya.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Kayu cempaka merupakan salah satu kayu yang berbau harum ..."}} Sementara kayu dari pohon asem, walaupun mudah ditemui, pantang untuk dipakai. Menurut kepercayaan orang Betawi, kayu asem bisa meruntuhkan wibawa si empunya rumah. Selain itu jika dimanfaatkan, kayu ini dikhawatirkan akan menganggumengganggu hubungan dengan para tetangga.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Pohon asem sering ditemukan berada di kebun-kebun warga Betawi., tetapi bila diperhatikan ternyata pohon asem hampir tidak pernah dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah ..."}}
 
Pantangan lainnya adalah menggunakan kayu nangka untuk bagian bawah kusen pintu yang biasa dilangkahi orang. Hal ini karena dalam kepercayaan masyarakat Betawi, orang yang melangkahi kayu nangka dapat dihinggapi penyakit kuning.{{Sfn|BP Budpar|(2002)|p=10.:" Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Betawi, kayu nangka sebagai bahan bangunan yang dipilih tidak boleh dibuat dari "trampa" atau "drompot" yaitu bagian bawah kusen pintu, sebab orang yang melangkahi kayu nangka bisa terkena penyakit kuning..."}} Larangan keras lainnya adalah menggunakan bahan yang mengandung unsur tanah sebagai material pembuatan atap. Bagi orang Betawi, tanah seharusnya berada di bawah. Menggunakannya sebagai bahan atap seolah mengubur penghuninya di dalam tanah.<ref name=":4" />
 
Rumah tidak boleh didirikan di atas tanah yang dikeramatkan.<ref>{{Cite web|url=https://jakarta.go.id/artikel/konten/4151/rumah-betawi|title=Rumah Betawi|last=|first=|date=5 Oktober 2017|website=jakarta|access-date=13 Mei 2019|archive-date=2019-05-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20190513160007/https://jakarta.go.id/artikel/konten/4151/rumah-betawi|dead-url=yes}}</ref> Rumah baru hendaknya didirikan di sebelah kiri rumah orang tua atau [[mertua]]. Jika posisinya berada di sebelah kanan, dipercayai keluarga sang anak akan sakit-sakitan atau bahkan menjadi susah rezekinya.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=74: "Akan tetapi, ada kepercayaan orang Betawi yang melarang rumah anak didirikan tepat di sebelah kanan rumah orang tuanya ..."}} Saat tanah yang akan dibangun rumah mulai diratakan, masyarakat Betawi meletakkan lima garam bata di keempat pojok bangunan dan satunya lagi diletakkan di tengah-tengah. Ritual ini dimaksud agar si pemilik rumah tidak diganggu roh-roh jahat.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=73: "Pada saat meratakan tanah di lokasi rumah akan dibangun, biasanya masyarakat Betawi meletakkan lima garam bata di keempat pojok bangunan dan satu garam bata lagi di tengah-tengah ..."}}
 
== Pengaruh ==
Baris 123:
[[Berkas:Dipan2a.jpg|jmpl|Dipan, tempat duduk orang Betawi biasanya ada di teras, mengadopsi dari budaya Tionghoa]]
[[Berkas:Besi tempa peninggalan belanda.jpg|jmpl|Konsol besi melengkung pada bagian depan Rumah Si Pitung sebagai ornamen dekoratif, juga struktur penyangga atap. Unsur ini diadopsi dari arsitektur Belanda]]
Selain Sunda, budaya Jawa memiliki pengaruh yang kuat terhadap budaya setempat, khususnya dalam hal arsitektur rumah etnik Betawi. Kebudayaan Jawa terlihat pengaruhnya pada rumah-rumah Betawi yang berdiri di kawasan-kawasan yang pernah dikuasai pasukan dari Demak dan Cirebon. Budaya Jawa yang dibawa pasukan itu dapat dilihat pada rumah-rumah Betawi yang bentuknya hampir mirip dengan rumah Joglo di Jawa Tengah.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=18: "Pengaruh Jawa pada arsitektur rumah Betawi terlihat jelas pada rumah-rumah di kawasan yang dulunya dikuasai oleh pasukan dari Demak dan Cirebon yang berbudaya Jawa ..."}} Pengaruhnya bisa dilihat terutama pada konstruksi atapnya yang sama-sama beratap limas serta menjulang ke atas. Perbedaannya terletak pada  tiang-tiang utama penopang struktur atapnya. Pada rumah Joglo Jawa, tiang-tiang tadi merupakan unsur penting yang berfungsi membagi ruangan rumah. Sementara pada potongan rumah Joglo Betawi, fungsi tiang utama sebagai pembagi ruangan tidak terlihat.{{Sfn|Swadarma|2014|p=20: "Konstruksi rumah joglo Jawa sedikit banyak ikut memengaruhi rumah Betawi. terutama dari konstruksi atapnya ..."}}
 
=== Melayu ===
Pengaruh lain yang memperkaya arsitektur rumah etnik Betawi datang dari kebudayaan Melayu. Pengaruh ini terlihat pada motif ''[[pucuk rebung]]'' yang biasanya ada pada ''lisplang''{{Efn|Lisplang merupakan bagian dari struktur bagian atap rumah yang dipasang pada bagian ujung atap. Selain agar terlihat lebih rapi, lisplang juga membuat bangunan terlindung dari sinar matahari dan air hujan yang berpotensi mempercepat terjadinya kerusakan atap. Jika rumah bertingkat, lisplang berguna sebagai penanda dan pemisah antara lantai satu dengan lantai lainnya.({{harvnb|Kania|2019}})}} rumah-rumah orang Melayu yang bentuknya lancip mirip tombak.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=23: "Untuk pengaruh kebudayaan Melayu sendiri tampak pada ornamen-ornamen pucuk rebung yang bentuknya lancip mirip tombak. Ornamen ini kemudian diadaptasi menjadi lisplang "gigi balang". yang selalu hadir di rumah Betawi di manapun ..."}} ''Pucuk rebung'' sendiri merupakan salah satu ragam hias dalam budaya Melayu yang berupa pucuk bambu yang baru tumbuh.{{Sfn|Napitupulu, dkk|(1986)|p=144: "Ragam bias Pucuk Rebung adalah merupakan bentuk pucuk bambu yang baru tumbuh ..."}} ''Pucuk rebung'' memiliki arti bahwa hidup seseorang harus bermanfaat untuk orang lain dan memiliki harapan yang kuat seperti pohon bambu.<ref>{{Cite webnews|url=https://wolipop.detik.com/fashion-news/d-3268983/brand-ambah-batik-perkenalkan-motif-batik-melayu-pucuk-rebung|title=Brand Ambah Batik Perkenalkan Motif Batik Melayu Pucuk Rebung|last=Safiera|first=Alissa|date=5 Agustus 2016|websitework=detik[[Detik.com|detikcom]]|access-date=14 Mei 2019}}</ref> Motif tersebut diadopsi pada ''lisplang'' rumah orang Betawi dengan mengganti peristilahannya menjadi ''gigi balang'' (atau gigi belalang).{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=23: "Untuk pengaruh kebudayaan Melayu sendiri tampak pada ornamen-ornamen pucuk rebung yang bentuknya lancip mirip tombak. Ornamen ini kemudian diadaptasi menjadi lisplang "gigi balang". yang selalu hadir di rumah Betawi di manapun ..."}} ''Lisplang gigi balang'' selalu ada menghiasi rumah etnik Betawi di mana pun.{{Sfn|Swadarma|(2014)|p=23: "Untuk pengaruh kebudayaan Melayu sendiri tampak pada ornamen-ornamen pucuk rebung yang bentuknya lancip mirip tombak. Ornamen ini kemudian diadaptasi menjadi lisplang "gigi balang". yang selalu hadir di rumah Betawi di manapun ..."}} ''Gigi balang'' pada rumah Betawi memiliki arti bahwa hidup seseorang harus selalu jujur, rajin, ulet dan sabar seperti pada belalang yang mampu mematahkan kayu dengan menggigitnya terus menerus dalam tempo lama.<ref>{{Cite web|url=http://jakarta-tourism.go.id/2017/news/2018/02/gigi-balang|title=Gigi Balang|last=|first=|date=|website=jakarta-tourism|access-date=14 Mei 2019}}</ref>
 
=== Tionghoa ===
Baris 162:
== Keterangan ==
{{notes}}
 
== Lihat juga ==
 
* [[Rumah Panggung Kajang Lako]]
 
== Catatan kaki ==
Baris 167 ⟶ 171:
 
== Daftar pustaka ==
==== Buku ====
* {{cite book|title=Hasil pemugaran Dan temuan benda cagar budaya Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I)|author=Anom|first=I.G.N|date=|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|year=1996|isbn=|location=Jakarta|pages=|language=|ref={{sfnRef|Anom, dkk(1996)}}|page=|last2=Sugiyanti|first2=Sri|last3=Hasibuan|first3=Hadniwati|last4=Dewi|first4=Puspa|last5=Ernawati|first5=|last6=Sumono|first6=Hardini|last7=Supriyatun|first7=Rini|last8=lsmijono|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/8157/1/HASIL%20PEMUGARAN%20DAN%20TEMUAN%20BENDA%20CAGAR%20BUDAYA%20PJP%20I.pdf}}
* {{cite book|title=Arsitektur Tradisional Betawi -, Sumbawa -, Palembang -, Minahasa, -dan Dani|author=BP Budpar|first=Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia|first=|date=|publisher=Seksi Publikasi Subdit Dokumentasi dan Publikasi Direktorat Tradisi dan Kepercayaan Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata|year=2002|isbn=|location=Jakarta|pages=|language=|ref={{sfnRef|BP Budpar(2002)}}|url-status=live|page=|last2=|first2=|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/8244/1/ARSITEKTUR%20TRADISIONAL.pdf|edition=1}}
* {{Cite book|title=Dapur dan Alat-alatAlat memasakMemasak tradisionalTradisional PropinsiProvinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta|last=Idik|first=Mutholib|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Budaya Daerah|year=1986|isbn=|location=Jakarta|page=|ref={{sfnRef|Mutholib, dkk(1986/1987)}}|url-status=live|last2=Attahiyat|first2=Chandrian|last3=Fachruddin|first3=Sugiyo|last4=Nasir|first4=Djaelani}}
* {{Cite book|title=Ekspedisi Ciliwung Laporan Jurnalistik Kompas. Mata Air, Air Mata|last=|first=|publisher=PT. Kompas Media Nusantara|year=2009|isbn=978-979-709-425-6|location=Jakarta|page=|editor-last=Karim|editor-first=Mulyawan|ref={{sfnRef|Karim(2009)}}}}
* {{Cite book|title=Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi|last=Lohanda|first=Mona|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional|year=1995|location=Jakarta|page=100-113|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/7530/1/SUNDA%20KELAPA%20SEBAGAI%20BANDAR%20JALUR%20SUTRA%20Kumpulan%20Makalah%20Diskusi.pdf|ref={{sfnRef|Lohanda(1995)}}|editor-last=Leirissa|editor-first=R.Z}}
Baris 179 ⟶ 183:
* {{Cite book|title=Ikhtisar Kesenian Betawi|last=Ruchiat|first=Rachmat|publisher=Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta|year=2003|isbn=979-95292-2-0|location=Jakarta|page=|ref={{sfnRef|Ruchiat, dkk(2003)}}|edition=2|last2=Wibisono|first2=Singgih|last3=Syamsudin|first3=Rachmat}}
* {{Cite book|title=Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66|last=Saelan|first=Maulwi|publisher=Visimedia|year=2008|isbn=|location=Jakarta|page=|ref={{sfnRef|Saelan(2008)}}}}
* {{cite book|title=Jakarta Daridari Majakatera Hingga VOC|author=Saidi|first=Ridwan|date=|publisher=Yayasan Renaissance|year=2002|isbn=978-602-513355133-353-4|location=Jakarta|pages=|language=|ref={{sfnRef|Saidi(2019)}}|url-status=live|page=|last2=|first2=|url=|edition=}}
* {{Cite book|title=Aneka Desain Rumah Bertingkat|last=Sardjono|first=Agung Budi|publisher=Griya Kreasi|year=2006|isbn=9792636080978-979-2636-10-9|location=Jakarta|page=|ref={{sfnRef|Sardjono(2006)}}|url-status=live}}
* {{Cite book|title=Kearifan Lokal Etnik Betawi|last=Suswandari|first=|publisher=Pustaka Pelajar|year=2017|isbn=978-602-2292297-75353-6|location=Yogyakarta|page=|ref={{sfnRef|Suswandari(2017)}}|url-status=live}}
* {{cite book|title=Rumah Etnik Betawi|author=Swadarma|first=Doni|date=|publisher=Griya Kreasi|year=2014|isbn=978-979-6616612-21212-3|location=Jakarta|pages=|language=|ref={{sfnRef|Swadarma(2014)}}|url-status=live|page=|last2=Aryanto|first2=Yunus}}
* {{cite book|title=Pesona Indonesia|author=Tanjung|first=Anita Chairul|date=|publisher=Gramedia Pustaka Utama|year=2018|isbn=978-602-060619-191616-3|location=Jakarta|pages=|language=|ref={{sfnRef|Tanjung(2018)}}|url-status=live|page=|last2=|first2=|url=|edition=}}
 
==== Jurnal ====
* {{Cite journal|last=Alamsyah P.|first=Suwardi|year=2009|title=Arsitektur Tradisional Rumah Betawi|url=http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/view/225|journal=Patanjala|publisher=Prodi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Tarumanagara|volume=1|issue=1|pages=|doi=10.30959/patanjala.v1i1.225|issn=|ref={{sfnRef|Suwardi(2009)}}}}
* {{Cite journal|last=Anggraeni|first=Dewi|last2=Hakam|first2=Ahmad|last3=Mardhiah|first3=Izzatul|last4=Lubis|first4=Zulkifli|year=2019|title=Membangun Peradaban Bangsa Melalui Religiusitas Berbasis Budaya Lokal (Analisis Tradisi Palang Pintu Pada Budaya Betawi)|url=|journal=Jurnal Studi Al-Qur’an Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani|volume=15|issue=1|pages=|doi=10.21009/JSQ.015.1.05|ref={{sfnRef|Anggraeni, dkk(2019)}}}}
Baris 195 ⟶ 199:
* {{Cite journal|last=Wijayanti|first=Gresceila|last2=Chintya|first2=Resya|last3=Nurhasanah|last4=|first4=|year=2019|title=Penerapan Balaksuji dan Langkan pada Rumah Tradisional Betawi di Kampung Betawi, Jakarta Selatan|url=https://journal.untar.ac.id/index.php/mezanin/article/view/2952/1810|journal=Mezanin|publisher=Universitas Tarumanagara Fakultas Seni Rupa Dan Desain|volume=1|issue=1|pages=|doi=|issn=|ref={{sfnRef|Wijayanti, dkk(2019)}}}}
 
==== Lainnya ====
 
* {{Cite web|url=https://habitatindonesia.org/wp-content/uploads/2017/01/Habitalk_Sept_2016.pdf|title=Rumah Tipe Panggung|last=Habitat for Humanity Indonesia|first=|date=2016|website=habitatindonesia|access-date=30 April 2019|ref={{sfnRef|Habitat for Humanity Indonesia(2016)}}|archive-date=2019-04-30|archive-url=https://web.archive.org/web/20190430140711/https://habitatindonesia.org/wp-content/uploads/2017/01/Habitalk_Sept_2016.pdf|dead-url=yes}}
Baris 202 ⟶ 206:
 
== Bacaan lanjutan ==
* {{Cite webnews|url=https://jakarta.bisnis.com/read/20160108/387/508250/jakarta-tempo-doeloe-inilah-asal-usul-|title=JakartaJAKARTA TempoTEMPO DoeloeDOELOE: Inilah Asal Usul Nama Petojo Didi Jakarta Pusat|last=AbdullahLubis|first=NurudinM. Syahran W.|date=8 Januari 2016|websitework=bisnisonline[[Bisnis Indonesia|Bisnis.com]]|access-date=20 April 2019|ref={{sfnRef|Abdullah(2016)}}|editor-last=Abdullah|editor-first=Nurudin}}
* {{Cite webnews|url=https://www.merdeka.com/jakarta/dari-mana-asal-usul-nama-suku-betawi.html|title=Dari mana asal usul nama suku 'Betawi'?|last=Abraham|first=Diaz|date=4 Oktober 2015|websitework=merdekaonline[[Merdeka.com]]|access-date=17 April 2019|editor-last=Pratomo|editor-first=Yulistyo|language=id}}
* {{cite book|title=Analisis Pola Pemukiman di Lingkungan Perairan di Indonesia|author=Budhisantoso|first=S|date=|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat|year=1994|isbn=|location=Jakarta|pages=|language=|ref=|page=|url=|last2=Bale|first2=Djenen|last3=Suprapti|first3=|last4=Suhardi}}
* {{Cite journal|last=Dianty|first=Grace Putri|year=2017|title=Arsitektur Tradisional Rumah Betawi ‘Keturunan’. Akulturasi Arsitektur Tradisional Betawi dengan Arsitektur Tradisional Cina (Etnis Tionghoa)|url=http://repository.uki.ac.id/182/1/ARSITEKTUR%20TRADISIONAL%20RUMAH%20BETAWI%20%E2%80%98KETURUNAN%E2%80%99.pdf|journal=Scale|publisher=|volume=5|issue=1|pages=|doi=|issn=2338-7912|ref=}}
* {{Cite journal|last=Hidayat|first=Rakhmat|year=2010|title=Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi dari Condet ke Srengseng Sawah|url=http://jurnaldikbud.kemdikbud.go.id/index.php/jpnk/article/view/486|journal=Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan|publisher=Universitas Negeri Jakarta|volume=16|issue=5|pages=|doi=|issn=|ref=}}
* {{cite book|title=Proceeding Seni Rupa dan Desain Dalam Transformasi Budaya Indonesia|date=|publisher=Universitas Kristen Maranatha Fakultas Seni Rupa & Desain Program Studi Desain Interior|year=2008|isbn=|location=Bogor|pages=|language=|ref=|page=|url=http://repository.gunadarma.ac.id/727/1/ARSITEKTUR%20VERNAKULAR%20DI%20JAKARTA%20DAN%20SEKITARNYA_UG.pdf|editor-last=Kusbiantoro|editor-first=Krismanto|editor-last2=Pandanwangi|editor-first2=Ariesa|editor-last3=Oktavia|editor-first3=Tantri|access-date=2019-04-20|archive-date=2018-11-01|archive-url=https://web.archive.org/web/20181101172202/http://repository.gunadarma.ac.id/727/1/ARSITEKTUR%20VERNAKULAR%20DI%20JAKARTA%20DAN%20SEKITARNYA_UG.pdf|dead-url=yes}}
* {{Cite journal|last=Lahji|first=Khotijah|last2=Walaretina|first2=Rita|year=2018|title=Keberlanjutan Material Konstruksi Pada Pembangunan Rumah Betawi|url=https://www.trijurnal.lemlit.trisakti.ac.id/index.php/lslivas/article/view/2753|journal=Prosiding Seminar Kota Layak Huni / Livable Space|publisher=Trisakti|volume=|issue=|pages=|doi=|issn=|ref=|access-date=2019-04-20|archive-date=2019-04-20|archive-url=https://web.archive.org/web/20190420030047/https://www.trijurnal.lemlit.trisakti.ac.id/index.php/lslivas/article/view/2753|dead-url=yes}}
* {{Cite web|url=https://tirto.id/siapakah-pribumi-asli-jakarta-cyBl|title=Siapakah Pribumi Asli Jakarta?|last=Raditya|first=Iswara N|date=19 Oktober 2017|website=tirto|access-date=19 April 2019}}