Salafiyah: Perbedaan antara revisi

[revisi tidak terperiksa][revisi tidak terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Membalikkan revisi 9437267 oleh SkullSplitter (bicara)
HadiCivil (bicara | kontrib)
Tag: VisualEditor mengosongkan halaman [ * ]
Baris 40:
 
Penggunaan "yang cukup berbeda" kedua yang lebih disenangi oleh para salafy kontemporer secara sepihak, mendefinisikan seorang salafi sebagai muslim yang mengikuti "perintah kitab suci ... secara literal, tradisional" dan bukannya "penafsiran yang nampak tak berbatas" dari "salafi" awal. Para Salafi ini melihat ke [[Ibnu Taimiyah]], bukan ke figur abad ke 19 [[Muhammad Abduh]], [[Jamal al-Din]], [[Rashid Rida]].<ref name="KepelJihad"/>
 
'''''Perkembangan Dakwah Salafiyyah Di Indonesia'''''”
 
dengan pertimbangan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Islam terbesar, ditinjau dari jumlah penduduknya yang beragama Islam.
 
 
“Tidaklah diketahui secara pasti awal mula masuknya agama Islam ke negeri Indonesia dan pulau-pulau disekitarnya.” Pendapat para ahli sejarah berbeda-beda tentang sejarah timur jauh. Dan yang paling mendekati kebenaran, bahwasanya awal
mula masuknya agama Islam dan penyebarannya terjadi pada akhir abad
pertama hijriyah, dengan perantaraan para pedagang Arab yang datang dari
selatan semenanjung Arab. [Lihat kitab yang dikarang Arnold The Preaching of Islam hal 262 terbitan London 1913 M].
 
Al Ustadz Arnold berkata : “Sesungguhnya Islam dibawa ke Asia tenggara
oleh orang-orang Arab pada abad-abad pertama hijriyah.” Disebutkan dalam kitab “Nukhbatul Dahri” karya Syamsyuddin Ubaidillah Muhammad bin Tholib Ad Dimasyqi yang terkenal dengan julukan “Syaikhur Robwah” wafat pada tahun 727 H : “Sesungguhnya agama Islam sampai di jazirah Indonesia pada tahun 30 H.” Seorang petualang asal Irak yang bernama Yunus Bahri berkata dalam buku hariannya, yang teksnya : “Pertama kali penguasa beragama Hindu dari kalangan kerajaan Pajajaran masuk Islam, dan keislamannya adalah pembuka era yang baru bagi tersebarnya agama Islam.” Dan sejarah memberitakan kepada kita bahwasanya kerajaan Islam yang pertama, berdiri di Demak dengan dukungan para ulama yang bermadzhab Syafi’i. Beberapa riwayat mengatakan sesungguhnya para penguasa
pemerintahan di Demak adalah yang menghancurkan patung-patung dan membuangnya di tengah lautan. Sungguh telah bersinar bintang kerajaan Demak pada tahun 1478 M hingga tahun 1546 M. Dan Demak (dahulu) adalah pusat bagi para penguasa Islam di Jawa. Dan bisa jadi tersebarnya madzhab Syafi’i di Indonesia dan Hadromaut memberikan kepada kita bukti yang pasti bahwa orang-orang yang membawa agama Islam ke Indonesia adalah para pedagang Hadromaut.
 
''Adapun faktor-faktor yang membantu tersebarnya agama Islam dengan
cepat di Indonesia dan pulau-pulau sekitarnya dapat diringkas dengan
beberapa hal berikut ini :''
 
- Mudahnya agama Islam, tidak terdapat hal-hal yang rumit bagi seseorang yang berkeinginan memeluk agama Islam.
 
- Jernihnya hati penduduk Indonesia dan fitrah mereka yang siap untuk memeluk agama Islam.
 
- Pernikahan yang terjadi antara orang-orang Arab dengan penduduk Indonesia.
 
- Akulturasi bangsa Arab dengan penduduk Indonesia dan pergaulan mereka dengan penduduk Indonesia seperti saudara sekandung.
 
Berlalulah tahun demi tahun, dan hubungan antara para pendatang dan penduduk Indonesia dalam keadaan semakin baik. Akulturasi (penggabungan budaya) semakin bertambah mendalam pada awal-awal pertengahan kedua pada abad ke-20, dimana seorang Arab tidak datang dengan Istrinya ke Indonesia, namun Setiap pendatang menikah dengan penduduk setempat. Dan sungguh hijrahnya orang-orang Arab dari selatan Arab ke Indonesia adalah termasuk hijrah yang terbesar jika dilihat dari jenisnya. Merupakan suatu keniscayaan, pendatang dari Hadromaut yang beragama Islam akan mendapatkan gangguan dan perlawanan dari penduduk Indonesia, terlebih lagi dari para penguasa dan pemuka mereka, namun hati penduduk Indonesia
masih didominasi oleh keluguan dan bahkan bersikap loyal terhadap mereka. Mereka tidak melihat dari para pendatang Hadromaut sesuatu yang perlu diwaspada’i dan mengeruhkan suasana. Sebenarnya, orang-orang Hadromaut itu pada asalnya tidak datang ke negeri Indonesia untuk mendirikan sebuah negara atau menyebarkan agama. Tujuan yang paling utama bagi mereka adalah berdagang dan mencari rezki. Kemudian para pedagang itu dengan fitrah mereka yang sabar, keras, cerdas, rajin dan amanah dalam bermuamalah, jujur dalam berkata, mampu membuat jalan mereka di negeri yang jauh ini. Hingga pada suatu masa mereka mampu menguasai perdagangan dan mengokohkan markaz mereka dan “meluncur cepat” diantara para penduduk yang berbeda jenis, bahasa, agama, akhlak dan adat-istiadat dengan mereka.
 
Kemudian pemerintahan Belanda menyempitkan mereka, pemerintahan Belanda bersikap keras dalam penerapan hijrah atas orang-orang Hadromaut. Pemerintahan Belanda mengumpulkan mereka dalam suatu daerah khusus serta tidak memperbolehkan mereka berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya melainkan dengan izin khusus dan setelah susah payah memperolehnya. Sikap keras dan tekanan ini berjalan bertahun-tahun. Pada tahun 1916 M, pemerintahan Belanda memberikan semacam kebebasan. Dan pada tahun 1919 M, pemerintah Belanda mencabut tekanan itu dan memberikan kebebasan bagi mereka berpindah dari satu kota ke kota lainnya, dari satu desa ke desa lainnya, dari satu pulau ke pulau lainnya tanpa ada kesulitan yang mereka jumpai dihadapan mereka. [Lihat kitab “Tarikhul Irsyad fi Indonesia”, oleh Ustadz Sholah Abdul Qadir Bakri hal 10-12]
 
Dengan berlalunya masa, rusaklah tauhid di negeri Indonesia ini, yang
mana tauhid merupakan kekuatan dan pokok dakwah Islam, dan masuklah ke
dalam Islam berbagai syubhat (kesamaran) dan kerusakan. Kuburan-kuburan
para wali didatangi orang-orang bodoh untuk berziarah kepadanya, para
wanita bernazar untuknya, orang awam meyakini bahwasanya kuburan-kuburan
itu mampu memberi manfaat dan memberi mudharat, thariqoh sufiyyah
meliputi seluruh negeri, fanatisme madzhab telah mencapai puncaknya maka
kebodohanpun merata, kegelapan menguasai, ditambah lagi kegelapan
penjajahan Belanda -pada waktu itu- yang melemahkan negeri Indonesia
dibawah belenggunya.
 
Akan
tetapi Allah tidak menginginkan melainkan Dia sempurnakan cahaya-Nya.
Allah memunculkan untuk negeri ini seorang lelaki shalih, seorang
reformis yang datang dari negeri Sudan pada bulan Rabiul Awwal 1329,
yang menyeru manusia kepada tauhid, memerangi kesyirikan, khurafat,
bid’ah dan ta’ashub terhadap madzhab, beliau adalah Syaikh Ahmad bin
Muhammad As Syurkati rahimahullah . Dakwah beliau meliputi seluruh
negeri, dan beliau telah mencetak kader yang menolong dan membantu
dakwah beliau diseluruh jazirah Indonesia. Syaikh Ahmad Syurkati
terpengaruh dengan dakwah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah dan juga Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah beserta
majalahnya “Al-Manar”. Beliau mengarang , mengajar, dan membangun
“MADRASAH AL IRSYAD” pada tahun 1914 M.
 
Akan tetapi musuh-musuh beliau dari kalangan pengikut thariqot Sufiyyah
dan aliran bid’ah memerangi, memusuhi, dan menghalangi dakwah beliau.
Namun hal itu tidak mengusik beliau, dan beliau terus berdakwah hingga
Allah mewafatkan beliau pada tanggal 16 Ramadhan 1326, semoga Allah
merahmati beliau seperti rahmat-Nya kepada orang-orang yang berbakti.
Akan tetapi sebagai sebuah amanah ilmiyyah dan sebuah sejarah kami tidak
mengatakan, bahwa dakwah Syaikh Ahmad Syurkati adalah dakwah Salafiyyah
yang murni, yang mana hal ini dikarenakan lemahnya penyebaran dan
pondasi dakwah Salafiyyah pada saat itu, hanya saja dakwah beliau telah
mempersiapkan jalan untuk kepada dakwah Salafiyyah yang murni, dimana
pada pemikiran beliau terdapat sebagian hal-hal yang menyelisihi dan
menyimpang dari aqidah Salafiyyah, seperti pengingkaran beliau akan
datangnya Al Mahdi, dan turunnya Nabi Isa Alaihissalam yang telah jelas
kebenaran dalilnya dengan pasti dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang
shahih. Akan tetapi kita tidak melupakan keutamaan beliau dan keutamaan
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan majalahnya “Al-Manar” dalam pencerahan
akal-akal kaum muslimin yang bodoh terhadap agama mereka dan memerangi
bid’ah, kesyirikan dan sikap beliau berdua yang membuang fanatisme
madzhab serta dakwah mereka (yang menyeru) untuk berpegang teguh kepada
Al-Qur’an dan sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah.
Keadaan ini terus berlangsung demikian hingga penjajahan Belanda pergi
dan membawa kekuasaannya dari negeri Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 M.
 
Sesudah itu datanglah bibit-bibit penjajahan Belanda dari kalangan
orang-orang sekuler dan atheis, yang mana mereka memerintah negeri ini
dengan menyempitkan ruang gerak kebebasan beragama kaum muslimin, hingga
sirnalah mendung dan pudar bala bencana dengan perginya pemerintahan
Sukarno serta gagallah pemberontakan komunis di negeri ini pada tahun
1965 M, yang demikian ini merupakan karunia Allah semata, dan segala
puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan.
Kemudian datanglah sesudah itu era kebebasan berdakwah, hanya saja yang
sangat disayangkan bahwa dakwah Salafiyyah sangat disayangkan tidak ikut
serta di medan dakwah ini dikarenakan tidak adanya para Da’i Salafiyyin
yang mampu -kecuali mereka yang dirahmati Allah-. Hingga dibuka di
Jakarta pada tahun 1401 H, bertepatan pada tahun 1981 M, Ma’had yang
metodenya mengikuti Universitas Al-Imam Muhammad bin Suud Al-Islamiyyah
di Riyadh, dan banyak penduduk negeri ini yang sekolah padanya, namun
sangat disayangkan lulusan dari Ma’had ini tidak mengetahui banyak
tentang hakekat manhaj salaf, kebanyakan mereka berakidah Salafiyyah
-sesuai dengan pelajaran yang diajarkan di negeri mereka- hanya saja
manhaj mereka Ikhwani (berpemahaman ikhwanul muslimin) yang menyimpang,
bahkan banyak diantara mereka –sesudah itu- bergabung dengan
kelompok-kelompok (hizbiyyah) Islam di negeri ini, dan yang berada pada
barisan terdepannya adalah Partai Keadilan “Al-Ikhwani,” dan mereka
menjadi pemimpin pada partai ini.
 
Negeri Indonesia belumlah lama mengenal dakwah Salafiyyah yang murni dan
benar, tidak lebih dari 10 tahun yang lalu melalui perantaraan
sebagian putra-putra Indonesia yang lulus dari Universitas Islam
Madinah, dan mereka terpengaruh dengan para ulama Salafiyyin di Madinah
sedangkan mereka itu sedikit. Pengaruh yang jelas dan penyebaran yang
luas dakwah Salafiyyah ini juga timbul dari penyebaran dan penerjemahan
kitab-kitab Salafiyyah ke dalam bahasa Indonesia dari para ulama salaf,
baik yang lampau maupun ulama pada saat ini. Dari buku-buku itulah
mereka mengenal manhaj salaf yang benar. Berada pada bagian yang
terdepan dalam hal ini adalah kitab-kitab Syaikhuna Al-Imam Sayyidul
Muhadditsin (Pemimpin ahli hadits) zaman ini, Abu Abdurrahman Muhammad
Nashiruddin Al-Albani dan murid-murid beliau yang mukhlis, kemudian
buku-buku Al-Allaamah Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan
Al-Allaamah Al-Imam ahli fikih zaman ini Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin. Sungguh kitab-kitab, karangan-karangan dan fatwa-fatwa
mereka tersebar di seluruh jazirah Indonesia, dan penduduk negeri ini
benar-benar mendapatkan manfaat darinya. Selain itu, demikian pula
kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan murid beliau Al-Imam Ibnu
Qoyyim Al-Jauziyah dan kitab-kitab Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul
Wahhab dan anak-anak beserta cucu-cucu beliau yang shalih. Dan dapat
saya katakan bahwa kitab-kitab Salafiyyah pada saat ini adalah
kitab-kitab Islam terbesar yang tersebar di Indonesia -segala puji bagi
Allah atas karunia-Nya-.
 
Para Da’i Salafiyyin menegakkan dakwah dengan semangat dan penuh
kesungguhan, mereka berkeliling di Jazirah Indonesia, baik kota maupun
desanya, dan mereka membangun sekolah-sekolah dan pondok pesantren
Salafiyyah di beberapa tempat sehingga tersebarlah dakwah Salafiyyah
sebagaimana menjalarnya api pada rumput kering. Manusiapun menerima
dakwah yang murni dari sikap berlebih-lebihan bersikap ekstrim ini,
dengan penerimaan yang baik. Mereka (para Da’i) Salafiyyah ini tidak
mencari kenikmatan dunia yang fana, tidak menginginkan kursi-kursi
kekuasaan dan tidak pula bermain dalam hidangan politik, akan tetapi
keinginan mereka adalah mendidik generasi dengan pendidikan Islam
yang benar diatas dasar “Tasfiyyah” (Pemurnian) dan “Tarbiyah”
(Pendidikan) yang memmurnikan pemikiran-pemikiran yang mencemari agama
yang lurus ini berupa bid’ah dan khurafat, dengan menumbuhkan, mendidik
dan mengembalikan generasi ini sebagaimana generasi terbaik, karena
tidak akan baik umat ini hingga mereka beragama sebagaimana generasi
yang pertama. Tidaklah suatu kota, atau desa di Indonesia sekarang ini,
melainkan padanya terdapat dakwah Salafiyyah, sedikit atau banyak. Namun
dakwah Salafiyyah ini menemui berbagai rintangan yang merintangi
jalannya, dan demikianlah keadaan dakwah yang benar (senantiasa mendapat
rintangan) dan demikian juga dakwah para rasul dan Nabi.
 
Penghalang terbesar yang muncul adalah dari kaum hizbiyyin (mereka yang
fanatik pada kelompoknya) baik dari kalangan “Quthbiyyin” (mereka yang
mengikuti pemahaman Sayyid Qutb) atau “Sururiyyin” (mereka yang
mengikuti pemahaman Muhamad Surur) maupun “Takfiriyyin” (mereka yang
dengan mudah mengkafirkan tanpa petunjuk ulama), demikian juga dari
kalangan orang-orang sekuler, thoriqot suffiyyah dan aliran-aliran
bid’ah lainnya. Akan tetapi yang paling menyayat-nyayat jiwa kami adalah
sebagian orang yang menisbatkan diri mereka kepada dakwah Salafiyyah,
akan tetapi hakikatnya mereka adalah orang-orang yang berbuat “ghuluw”
(menyimpang dan berlebih-lebihan dalam agama) dan ekstrim, yang mana
mereka memusuhi kami lantaran hasad dan dengki yang telah memakan hati
mereka. Padahal mereka itu masih anak-anak yang masih ingusan lagi
bodoh. Sungguh mereka telah menjauhkan manusia dari dakwah Salafiyyah
yang haq ini, akibat perangai mereka yang buruk dan dakwah mereka yang
kasar lagi jelek. Tidaklah seorang menyelisihi mereka, sekalipun itu dari teman-teman mereka sendiri, melainkan mereka membid’ahkannya dan
mengucilkannya dari pergaulan dengan mereka….
Akan tetapi segala puji bagi Allah, kekuatan mereka hancur berkeping-keping sehingga hilang dan lenyaplah kekuatan mereka. Tersingkaplah keburukan mereka, permusuhan diantara mereka sendiri sangat sengit, mereka bercerai-berai, dan ini adalah pelajaran bagi
orang yang mau mengambil pelajaran. Sesungguhnya Allah tidak akan memperbaiki perbuatan orang-orang yang merusak. Sekalipun mereka melakukan suatu perbuatan yang mereka inginkan untuk mengelabui manusia… dan sekalipun mereka merubah kulit-kulit (baju-baju) mereka untuk menjelekkan dan mengacaukan... dan sekalipun mereka membaguskan penampilan mereka, untuk menyembunyikan kejelekan mereka.
 
Semua itu -dan selainnya- sekali-kali tidak akan ada kelangsungannya atau perbaikannya, sekali-kali tidak akan berjalan bersamanya amal kebenaran yang jelas, justru ia akan hilang dan meleleh serta tidak akan kembali. (lihat tulisan Syaikhuna Abul Harits Ali bin Al-Hasan
Al-Atsari di Majalah Al-Ashalah edisi 32 hal. 10). Dan adalah, dengan diadakannya “Daurah Syariyyah tentang Aqidah dan Manhaj” oleh Ma’had
kami, Ma’had Ali Al Irsyad Al Islami yang bekerjasama dengan Markaz yang mulia ini, mempunyai dampak positif yang nyata/produktif dalam menyebarkan dakwah Salafiyyah dan memahamkan aqidah yang benar kepada manusia, dan juga “manhaj” (metode) yang benar, serta berdakwah dengan hikmah dan cara yang baik, jauh dari sikap “ghuluw” (berlebih-lebihan)
dan melampaui batas. Telah ikut serta dalam Daurah tersebut, para ulama yang mulia, mereka adalah :
 
 
1. Yang Mulia Syaikhuna Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr
 
2. Yang Mulia Syaikhuna Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali
 
3. Yang Mulia Syaikhuna Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
 
4. Yang Mulia Syaikhuna Syaikh Mashur bin Hasan Alu Salman
 
== Para ulama yang tergolong salaf ==