Saridjah Niung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Akuindo (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(4 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 7:
|othernames = Saridjah Niung Bintang Soedibjo, Ibu Soed
|birth_date = {{Birth date|1908|03|26}}
|birth_place = [[Kabupaten Sukabumi|Sukabumi]], [[Jawa Barat]], [[Hindia Belanda]]
|death_date = {{death date and age|1993|5|26|1908|3|26}}
|death_place = [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]], [[Indonesia]]
|resting_place = [[Kabupaten Bandung Barat|Bandung Barat]], [[Jawa Barat]], Indonesia
|occupation = Staf pengajar [[HIS|Hollandsch-Inlandsche School (HIS)]], Petojo, Jalan Kartini, dan Arjuna.
|language = [[Bahasa Indonesia|Indonesia]]
Baris 29:
|spouse = [[Raden Mas Bintang Soedibjo]]
|parents = Mohammad Niung (ayah)
THE|children UNIVERSITY OF MICHIGAN LIBRARIES = Raden Ayu Sri Sufinati Bintang Soedibjo (1927-1979), menikah dengan Drs. Raden Panji Purnomo Tedjokusumo<br />Raden Ajeng Winarni Bintang Soedibjo (1929-1931), meninggal ketika bayi<br />Raden Ayu Krisnani Bintang Soedibjo (1931-1980), menikah dengan GF. Mambu
|children BABI LATAR BELAKANG KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KELUARGANYA
 
Sejarah yang kita kenal dengan sebutan Ibu Sud itu ternya- ta berdarah Bugis. Ayahnya bernama H. Muhammad Niung dan ibunya bernama Saini. Kedua orang tuanya ini pada mulanya hi- dup di lingkungan masyarakat Bugis yang datang dari Sulawesi Selatan. Di lingkungan orang-orang Bugis itulah ayah dan ibu- nya mengendalikan kehidupan sehari-hari sebagai pengusaha perkapalan. Memang dia cukup terpandang di antara bangsanya, karena orang tua Sarijah itu mempunyai mata pencahayarian yang juga memberikan tempat bekerja orang-orang lain sebang- sanya. Perantauan mereka ke Jawa ini paling tidak dilakukan- nya pada akhir abad ke-19. Ketika itu orang-orang Bugis me- mang cukup merantau jauh dari tempat asalnya. Bahkan mereka itu dapat tumbuh sebagai nelayan maupun pedagang-pedagang yang disegani orang-orang Belanda. Tidak jarang timbul per- saingan niaga antara orang-orang Belanda dengan orang-orang Bugis itu dapat menimbulkan pecahnya pertikaian di antara mereka.
 
Persatuan sesama orang Budis di daerah perantauan itu memang kuat. Mereka dapat saling embantu di dalam segala keperluan, baik di dalam usaha maupun di dalam usaha penye- lamatan masyarakat keluarganya. Sebagai perantau-perantau
 
Hal 5
 
yang berani meletakkan nasibnya dalam usaha perdagangan maupun sebagai nelayan mereka pada umumnya berbentuk perkampungan tersendiri di daerah yang mereka datangi. Karena itu tidak aneh kalau di kota-kota besar yang juga merupakan kota pelabuhan seperti halnya di Jakarta itu terdapat sebutan Kampung Bugis. Tidak hanya itu yang kita kenal di antara per- kampung perantau itu, tetapi cara semacam itu pun diikuti oleh suku-suku bangsa yang lain. Kita mengenal juga Kampung Arab, Kampung Jawa, Kampung Ambon dan sebagainya. Ini adalah suatu ciri khas kehidupan masyarakat yang masih terikat oleh kesatuan di dalam suku-suku bangsa. Keadaan semacam itu pada zaman penjajahan Belanda dapat dipertahankan bagi kesatuan suku bangsa yang di kemudian hari menjadi embrio terbentuknya kesatuan bangsa Indonesia. Begitu juga H. Mu- hammad Niung dengan keluarganya yang sudah lama berdiam di Kota Jakarta. Pada mulanya ia mempunyai usaha kapal yang mengoperasikan kapal-kapalnya baik sebagai pengangkut hasil bumi maupun penangkap ikan. Usahanya tergolong maju de- ngan ditunjang oleh usaha kerajinan tangan yang dipasarkan di antara masyarakat Jakarta. Hasil kerajinan Sulawesi Selatan di Jakarta banyak menarik minat orang-orang asing yang bertem- pat tinggal di kota itu. Hasil kerajinan tangan itu terbuat dari kayu, rotan dan tempurung kelapa. Kemahiran di bidang seni kerajinan ini merupakan ketrampilan tersendiri di samping me- nyirat jala untuk usaha kapal nelayannya.
 
H. Muhammad Niung yang berbadan tegap, gagah, dan penuh ketegasan serta pemberani merupakan ciri khas seorang pelaut. Apa lagi pelaut Bugis sudah terkenal keberaniannya dalam usaha mengatasi persaingan dengan perahu dagang Be- landa. Di dalam usahanya memang mengalami pasang-surut dan kejadian ini tidak aneh lagi karena mereka berada di dalam pemerintahan Hindia Belanda. Pada suatu ketika H. Muhammad Niung beralih haluan untuk mencari pekerjaan lain yang dapat menghidupi keluarganya tetapi tidak bergulat dalam resiko yang besar. Di Jakarta itu ia telah luas pergaulannya dan banyak juga
 
Hal 6
 
kenalan orang-orang asing. Berkat ketekunanya di bidang kera- jinan tangan itulah H. Muhammad Niung dapat mengenal bangsa-bangsa asing itu. Di situlah mereka saling bertukar pi- kiran dalam pengalaman masing-masing. Ia mengenal baik seorang jaksa tinggi Kota Jakarta yang bernama Mr. Dr. J. F. Kramer. Selama perkenalannya itu H. Muhammad Niung sangat menarik perhatian Mr. Dr. J.F. Kramer. Karena itu ia menunjuk H. Muhammad Niung menjadi pengawal pribadinya.
 
Mr. Dr. J.F. Kramer sebagai seorang jaksa tinggi (Vice President Hoge Rechtshof) di Batavia memang banyak me- nanggung resiko dalam menangani masalah hukum. Resiko itu dapat berupa ancaman keamanan pada dirinya selama si ter- hukum tidak menyadari pengetrapan hukum yang sebenarnya. Ketidakpuasan di bidang pidana maupun perdata adakalanya menyangkut diri si penegak hukum, dan merekalah yang menja- di sasaran kemarahan. Biarpun peristiwa ini jarang terjadi, te- tapi pihak penegak hukum seperti halnya Mr. Dr. J. F. Kramer perlu juga menempatkan pengawal pribadi yang terdiri atas orang-orang berwibawa dan disegani. Karena itu keamanan Mr. Dr. J. F. Kramer dan keluarganya menjadi tanggung jawab H. Muhammad Niung yang ketika itu sudah menanggung anak 11 orang.
 
Mr. Dr. J. F. Kramer yang berbudi halus dan dapat ber- bahasa Jawa itu ternyata seorang Indo-Belanda. Ibunya berasal dari Pakualaman, sedangkan ayahnya berbangsa Belanda. Sejak kecil J.F. Kramer dibesarkan di lingkungan masyarakat Pura Pakualaman. Ia lebih banyak menerima pendidikan sekolahnya di Kota Yogyakarta. Sikapnya tegas, berdisiplin dan budi pe- kertinya halus. Tutur bahasanya menyenangkan hati orang lain dan menarik. Di samping tugasnya sebagai jaksa tinggi di Betawi dalam kegiatan sehari-hari Mr J.G. Kramer juga senang melukis. Kegemarannya melukis sudah didasari sejak bersekolah di Yogyakarta dan hasil lukisannya itu di antaranya ada yang ma- sih mengisi koleksi lukisan di museum maupun milik perseo- rangan. Kira-kira pertengahan tahun 1903 Mr. Dr. J.F. Kramer
 
Hal 7
 
dipensiunkan dari jabatannya sebagai jaksa tinggi di Betawi. Bersama keluarganya ia pindah ke Sukabumi; suatu kota yang hawanya cocok bagi kehidupannya. Karena itu keluarga H. Mu- hammad Niung sebagai keluarga yang sudah dekat hubungan ke- luarganya juga ikut pindah ke Kota Sukabumi.
 
Perkembangan masyarakat daerah Sukabumi menjadi ukuran kehidupan barunya dan di kota inilah Mr. Dr. J.F. Kramer mendirikan rumah tempat tinggal yang bersebelahan dengan rumah H. Muhammad Niung. Ketika ia pindah itu istri Mr. Dr. J.F. Kramer sudah meninggal dua tahun sebelumnya. Di tempat baru itu ia tinggal bertiga dengan anak yang kesemuanya perempuan. Biarpun begitu ia cukup senang dan bahagia di- dampingi oleh keluarga H. Muhammad Niung. Penyesuian diri terhadap masyarakat dan alam sekitar serta udara Kota Suka- bumi bukan merupakan halangan yang mempersulit kehidupan mereka.
 
Daerah Sukabumi merupakan daerah yang berhawa sejuk karena berada di kaki gunung. Kesejukan udara ini justru me- rupakan daerah pemukiman yang digemari orang-orang Barat terutama orang-orang Belanda di zaman penjajahan itu. Kehi- dupan masyarakatnya tiada terlepas dari lingkungan alam dan perkembangan adat-istiadat masing-masing suku bangsa yang tinggal di Kota Sukabumi. Begitu juga adat dan tata cara hidup tanah Pasundan merupakan corak khas kehidupan masyarakat Jawa Barat pada umumnya meskipun sebenarnya keadaan ini hanya merupakan sebagian kecil dari ciri kehidupan masyarakat Sunda. Mengingat keadaan alamnya yang indah dan sejuk itu maka kehidupan utama penduduknya sebagian besar bertani dengan mengusahakan tanaman pangan, sayuran, buah-buahan, bunga-bungaan dan hasil perkebunan. Hampir sebagian besar hasil pertanian tersebut termasuk jenis tumbuh-tumbuhan Eropa.
 
Di satu pihak tata masyarakatnya masih terikat pada ke- hidupan alami, sedangkan sebagian besar terdiri atas orang-
 
Hal 8
 
orang Belanda yang lebih berperan di lingkungan pemerintahan. Mereka pada umumnya hidup menurut budaya nenek moyang di negeri asalnya, tetapi tidak jarang di antara mereka ada yang menyesuaikan diri dengan kehidupan penduduk asli. Struktur masyarakat semacam ini pada zaman penjajahan dapat menim- bulkan ketidaksehatan pemerintahan. Pihak terjajah merasa hak-haknya tidak diperhatikan tetapi mereka selalu dituntut untuk menunjang masyarakat elite pihak penjajah. Untuk mem- perkokoh pengaruhnya terhadap rakyat, mereka tidak segan- segan memperalat sekelompok suku bangsa tertentu sebagai pengaman. Dalam peristiwa inilah bangsa kita mudah diadu- domba oleh mereka. Berkat keteguhan masyarakat kita dalam usaha saling menolong, bekerja sama bahu-membahu sudah merupakan adat yang tertanam kuat di hati sanubari setiap in- san Indonesia. Perpecahan dapat diatasi dalam rangka mencip- takan masyarakat yang demokratis. Pertumbuhan Kota Sukabu- mi tidak hanya terbatas sebagai kota yang didominasi oleh orang-orang berkulit putih saja tetapi ternyata kemudian tum- buh sebagai kota pemukiman dan peristirahatan. Berbagai bangsa dan suku bangsa dapat hidup sehat menikmati udara sejuk Kota Sukabumi dan sekitarnya. Sejak zaman penjajahan Belanda Kota Sukabumi sudah terpilih sebagai kota tempat pendidikan calon polisi.
 
Di dalam kehidupan masyarakat Sukabumi yang sudah mengenal kehidupan Barat itulah seorang puteri keuarga Bugis dilahirkan oleh Saini. Kehadirannya di tengah-tengah keluarga besar H. Muhammad Niung ini telah melengkapi keluarga be- sar yang terdiri atas orang tua dengan 13 orang anaknya. Anak bungsu yang lahir pada tanggal 26 Maret 1908 itu dinamakan Sarijah. Tigabelas orang anak keluarga H. Muhammad Niung itu terdiri atas tujuh orang perempuan dan enam orang laki-laki. Dari tigabelas bersaudara itu sampai sekarang yang masih hidup tinggal Ny. dr. Hamami yang tinggal di Jalan Gunung Parang, Sukabumi dan Ny. Sarijah Bintang Sudibyo di Jalan Mr. Mu- hammad Yamin 50, Jakarta. Bahkan dari ketigabelas orang itu
 
Hal 9
 
Sarijah kurang mengenal nama-namanya dan ada di antara beberapa saudaranya itu meninggal waktu masih kecil.
 
Melihat kenyataan itu Mr. Dr. J. F. Kramer hatinya terke- tuk untuk ikut mengasuh si bungsu yang mungil itu. Ia me- ngangkat Sarijah sebagai anak angkat agar di kemudian hari anak ini mendapat tempat pendidikan di sekolah Belanda seka- ligus sebagai balas jasa terhadap orang tuanya. Sarijah kecil ini tiap hari bermain-main dan makan pun di rumah Mr. Dr. J.F. Kramer. Kecuali sebagai keluarga dekat, rumahnya pun dekat di samping rumah Mr. Dr. J.F. Kramer. Di sinilah keluarga H. Muhammad Niung menyerahkan anaknya di dalam asuhan keluarga seorang Indo-Belanda yang sudah berjiwa Indonesia. Apa lagi ketika itu ia hanya tinggal sendirian. Karena itu kasih- sayangnya seakan-akan dicurahkan kepada Sarijah.
 
THE UNIVERSITY OF MICHIGAN LIBRARIES = Raden Ayu Sri Sufinati Bintang Soedibjo(1927-1979), menikah dengan Drs. Raden Panji Purnomo Tedjokusumo<br />Raden Ajeng Winarni Bintang Soedibjo (1929-1931), meninggal ketika bayi<br />Raden Ayu Krisnani Bintang Soedibjo (1931-1980), menikah dengan GF. Mambu
|relatives = Mang Udel (menantu)
|religion = Islam
Baris 87 ⟶ 45:
'''Saridjah Niung''' atau lebih dikenal dengan nama '''Ibu Soed''' ({{Lahirmati|[[Kabupaten Sukabumi|Sukabumi]]|26|3|1908|[[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]]|26|5|1993}}) adalah seorang [[pemusik]], [[guru]] [[musik]], [[komponis|pencipta]] [[Daftar lagu Anak|lagu anak-anak]], [[penyiar radio]], [[dramawan]] dan [[seniman]] [[batik]] [[Indonesia]]. Lagu-lagu yang diciptakan Ibu Soed sangat terkenal di kalangan pendidikan [[Taman Kanak-kanak]] Indonesia.<ref>{{cite book|url=http://books.google.com.au/books?id=YhadepD2zwwC&pg=PA126&lpg=PA126&dq=%22ibu+sud%22+wafat+1994&source=bl&ots=RxkMRR0U_J&sig=bTrnuU_JYm4ohB9wuatk_48quPM&hl=en&sa=X&oi=book_result&resnum=4&ct=result#PPA127,M1|title=Seni dan Budaya|year=2006|publisher=Grafindo Media Utama|accessdate=20 Januari 2009}}</ref>
 
== Latar belakang ==
BAB I LATAR BELAKANG KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KELUARGANYA
 
Sejarah yang kita kenal dengan sebutan Ibu Sud itu ternya- ta berdarah Bugis. Ayahnya bernama H. Muhammad Niung dan ibunya bernama Saini. Kedua orang tuanya ini pada mulanya hi- dup di lingkungan masyarakat Bugis yang datang dari Sulawesi Selatan. Di lingkungan orang-orang Bugis itulah ayah dan ibu- nya mengendalikan kehidupan sehari-hari sebagai pengusaha perkapalan. Memang dia cukup terpandang di antara bangsanya, karena orang tua Sarijah itu mempunyai mata pencahayarian yang juga memberikan tempat bekerja orang-orang lain sebang- sanya. Perantauan mereka ke Jawa ini paling tidak dilakukan- nya pada akhir abad ke-19. Ketika itu orang-orang Bugis me- mang cukup merantau jauh dari tempat asalnya. Bahkan mereka itu dapat tumbuh sebagai nelayan maupun pedagang-pedagang yang disegani orang-orang Belanda. Tidak jarang timbul per- saingan niaga antara orang-orang Belanda dengan orang-orang Bugis itu dapat menimbulkan pecahnya pertikaian di antara mereka.
 
Persatuan sesama orang Budis di daerah perantauan itu memang kuat. Mereka dapat saling embantu di dalam segala keperluan, baik di dalam usaha maupun di dalam usaha penye- lamatan masyarakat keluarganya. Sebagai perantau-perantau
 
Hal 5
 
yang berani meletakkan nasibnya dalam usaha perdagangan maupun sebagai nelayan mereka pada umumnya berbentuk perkampungan tersendiri di daerah yang mereka datangi. Karena itu tidak aneh kalau di kota-kota besar yang juga merupakan kota pelabuhan seperti halnya di Jakarta itu terdapat sebutan Kampung Bugis. Tidak hanya itu yang kita kenal di antara per- kampung perantau itu, tetapi cara semacam itu pun diikuti oleh suku-suku bangsa yang lain. Kita mengenal juga Kampung Arab, Kampung Jawa, Kampung Ambon dan sebagainya. Ini adalah suatu ciri khas kehidupan masyarakat yang masih terikat oleh kesatuan di dalam suku-suku bangsa. Keadaan semacam itu pada zaman penjajahan Belanda dapat dipertahankan bagi kesatuan suku bangsa yang di kemudian hari menjadi embrio terbentuknya kesatuan bangsa Indonesia. Begitu juga H. Mu- hammad Niung dengan keluarganya yang sudah lama berdiam di Kota Jakarta. Pada mulanya ia mempunyai usaha kapal yang mengoperasikan kapal-kapalnya baik sebagai pengangkut hasil bumi maupun penangkap ikan. Usahanya tergolong maju de- ngan ditunjang oleh usaha kerajinan tangan yang dipasarkan di antara masyarakat Jakarta. Hasil kerajinan Sulawesi Selatan di Jakarta banyak menarik minat orang-orang asing yang bertem- pat tinggal di kota itu. Hasil kerajinan tangan itu terbuat dari kayu, rotan dan tempurung kelapa. Kemahiran di bidang seni kerajinan ini merupakan ketrampilan tersendiri di samping me- nyirat jala untuk usaha kapal nelayannya.
 
H. Muhammad Niung yang berbadan tegap, gagah, dan penuh ketegasan serta pemberani merupakan ciri khas seorang pelaut. Apa lagi pelaut Bugis sudah terkenal keberaniannya dalam usaha mengatasi persaingan dengan perahu dagang Be- landa. Di dalam usahanya memang mengalami pasang-surut dan kejadian ini tidak aneh lagi karena mereka berada di dalam pemerintahan Hindia Belanda. Pada suatu ketika H. Muhammad Niung beralih haluan untuk mencari pekerjaan lain yang dapat menghidupi keluarganya tetapi tidak bergulat dalam resiko yang besar. Di Jakarta itu ia telah luas pergaulannya dan banyak juga
 
Hal 6
 
kenalan orang-orang asing. Berkat ketekunanya di bidang kera- jinan tangan itulah H. Muhammad Niung dapat mengenal bangsa-bangsa asing itu. Di situlah mereka saling bertukar pi- kiran dalam pengalaman masing-masing. Ia mengenal baik seorang jaksa tinggi Kota Jakarta yang bernama Mr. Dr. J. F. Kramer. Selama perkenalannya itu H. Muhammad Niung sangat menarik perhatian Mr. Dr. J.F. Kramer. Karena itu ia menunjuk H. Muhammad Niung menjadi pengawal pribadinya.
 
Mr. Dr. J.F. Kramer sebagai seorang jaksa tinggi (Vice President Hoge Rechtshof) di Batavia memang banyak me- nanggung resiko dalam menangani masalah hukum. Resiko itu dapat berupa ancaman keamanan pada dirinya selama si ter- hukum tidak menyadari pengetrapan hukum yang sebenarnya. Ketidakpuasan di bidang pidana maupun perdata adakalanya menyangkut diri si penegak hukum, dan merekalah yang menja- di sasaran kemarahan. Biarpun peristiwa ini jarang terjadi, te- tapi pihak penegak hukum seperti halnya Mr. Dr. J. F. Kramer perlu juga menempatkan pengawal pribadi yang terdiri atas orang-orang berwibawa dan disegani. Karena itu keamanan Mr. Dr. J. F. Kramer dan keluarganya menjadi tanggung jawab H. Muhammad Niung yang ketika itu sudah menanggung anak 11 orang.
 
Mr. Dr. J. F. Kramer yang berbudi halus dan dapat ber- bahasa Jawa itu ternyata seorang Indo-Belanda. Ibunya berasal dari Pakualaman, sedangkan ayahnya berbangsa Belanda. Sejak kecil J.F. Kramer dibesarkan di lingkungan masyarakat Pura Pakualaman. Ia lebih banyak menerima pendidikan sekolahnya di Kota Yogyakarta. Sikapnya tegas, berdisiplin dan budi pe- kertinya halus. Tutur bahasanya menyenangkan hati orang lain dan menarik. Di samping tugasnya sebagai jaksa tinggi di Betawi dalam kegiatan sehari-hari Mr J.G. Kramer juga senang melukis. Kegemarannya melukis sudah didasari sejak bersekolah di Yogyakarta dan hasil lukisannya itu di antaranya ada yang ma- sih mengisi koleksi lukisan di museum maupun milik perseo- rangan. Kira-kira pertengahan tahun 1903 Mr. Dr. J.F. Kramer
 
Hal 7
 
dipensiunkan dari jabatannya sebagai jaksa tinggi di Betawi. Bersama keluarganya ia pindah ke Sukabumi; suatu kota yang hawanya cocok bagi kehidupannya. Karena itu keluarga H. Mu- hammad Niung sebagai keluarga yang sudah dekat hubungan ke- luarganya juga ikut pindah ke Kota Sukabumi.
 
Perkembangan masyarakat daerah Sukabumi menjadi ukuran kehidupan barunya dan di kota inilah Mr. Dr. J.F. Kramer mendirikan rumah tempat tinggal yang bersebelahan dengan rumah H. Muhammad Niung. Ketika ia pindah itu istri Mr. Dr. J.F. Kramer sudah meninggal dua tahun sebelumnya. Di tempat baru itu ia tinggal bertiga dengan anak yang kesemuanya perempuan. Biarpun begitu ia cukup senang dan bahagia di- dampingi oleh keluarga H. Muhammad Niung. Penyesuian diri terhadap masyarakat dan alam sekitar serta udara Kota Suka- bumi bukan merupakan halangan yang mempersulit kehidupan mereka.
 
Daerah Sukabumi merupakan daerah yang berhawa sejuk karena berada di kaki gunung. Kesejukan udara ini justru me- rupakan daerah pemukiman yang digemari orang-orang Barat terutama orang-orang Belanda di zaman penjajahan itu. Kehi- dupan masyarakatnya tiada terlepas dari lingkungan alam dan perkembangan adat-istiadat masing-masing suku bangsa yang tinggal di Kota Sukabumi. Begitu juga adat dan tata cara hidup tanah Pasundan merupakan corak khas kehidupan masyarakat Jawa Barat pada umumnya meskipun sebenarnya keadaan ini hanya merupakan sebagian kecil dari ciri kehidupan masyarakat Sunda. Mengingat keadaan alamnya yang indah dan sejuk itu maka kehidupan utama penduduknya sebagian besar bertani dengan mengusahakan tanaman pangan, sayuran, buah-buahan, bunga-bungaan dan hasil perkebunan. Hampir sebagian besar hasil pertanian tersebut termasuk jenis tumbuh-tumbuhan Eropa.
 
Di satu pihak tata masyarakatnya masih terikat pada ke- hidupan alami, sedangkan sebagian besar terdiri atas orang-
 
Hal 8
 
orang Belanda yang lebih berperan di lingkungan pemerintahan. Mereka pada umumnya hidup menurut budaya nenek moyang di negeri asalnya, tetapi tidak jarang di antara mereka ada yang menyesuaikan diri dengan kehidupan penduduk asli. Struktur masyarakat semacam ini pada zaman penjajahan dapat menim- bulkan ketidaksehatan pemerintahan. Pihak terjajah merasa hak-haknya tidak diperhatikan tetapi mereka selalu dituntut untuk menunjang masyarakat elite pihak penjajah. Untuk mem- perkokoh pengaruhnya terhadap rakyat, mereka tidak segan- segan memperalat sekelompok suku bangsa tertentu sebagai pengaman. Dalam peristiwa inilah bangsa kita mudah diadu- domba oleh mereka. Berkat keteguhan masyarakat kita dalam usaha saling menolong, bekerja sama bahu-membahu sudah merupakan adat yang tertanam kuat di hati sanubari setiap in- san Indonesia. Perpecahan dapat diatasi dalam rangka mencip- takan masyarakat yang demokratis. Pertumbuhan Kota Sukabu- mi tidak hanya terbatas sebagai kota yang didominasi oleh orang-orang berkulit putih saja tetapi ternyata kemudian tum- buh sebagai kota pemukiman dan peristirahatan. Berbagai bangsa dan suku bangsa dapat hidup sehat menikmati udara sejuk Kota Sukabumi dan sekitarnya. Sejak zaman penjajahan Belanda Kota Sukabumi sudah terpilih sebagai kota tempat pendidikan calon polisi.
 
Di dalam kehidupan masyarakat Sukabumi yang sudah mengenal kehidupan Barat itulah seorang puteri keuarga Bugis dilahirkan oleh Saini. Kehadirannya di tengah-tengah keluarga besar H. Muhammad Niung ini telah melengkapi keluarga be- sar yang terdiri atas orang tua dengan 13 orang anaknya. Anak bungsu yang lahir pada tanggal 26 Maret 1908 itu dinamakan Sarijah. Tigabelas orang anak keluarga H. Muhammad Niung itu terdiri atas tujuh orang perempuan dan enam orang laki-laki. Dari tigabelas bersaudara itu sampai sekarang yang masih hidup tinggal Ny. dr. Hamami yang tinggal di Jalan Gunung Parang, Sukabumi dan Ny. Sarijah Bintang Sudibyo di Jalan Mr. Mu- hammad Yamin 50, Jakarta. Bahkan dari ketigabelas orang itu
 
Hal 9
 
Sarijah kurang mengenal nama-namanya dan ada di antara beberapa saudaranya itu meninggal waktu masih kecil.
 
Kemahiran Saridjah di bidang [[musik]], terutama bermain [[biola]], sebagian besar dipelajari dari [[ayah angkat]]nya, Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer, seorang pensiunan [[Wakil Ketua]] ''Hoogerechtshof'' ([[Kejaksaan Tinggi]]) di [[Jakarta]] pada masa itu, yang selanjutnya menetap di [[Sukabumi]] dan mengangkatnya sebagai anak. J.F. Kramer adalah seorang [[Eropa-Indonesia|indo-Belanda]] beribukan keturunan [[Jawa]] [[ningrat]], latar belakang inilah yang membuat Saridjah dididik untuk menjadi patriotis dan mencintai bangsanya.
Melihat kenyataan itu Mr. Dr. J. F. Kramer hatinya terke- tuk untuk ikut mengasuh si bungsu yang mungil itu. Ia me- ngangkat Sarijah sebagai anak angkat agar di kemudian hari anak ini mendapat tempat pendidikan di sekolah Belanda seka- ligus sebagai balas jasa terhadap orang tuanya. Sarijah kecil ini tiap hari bermain-main dan makan pun di rumah Mr. Dr. J.F. Kramer. Kecuali sebagai keluarga dekat, rumahnya pun dekat di samping rumah Mr. Dr. J.F. Kramer. Di sinilah keluarga H. Muhammad Niung menyerahkan anaknya di dalam asuhan keluarga seorang Indo-Belanda yang sudah berjiwa Indonesia. Apa lagi ketika itu ia hanya tinggal sendirian. Karena itu kasih- sayangnya seakan-akan dicurahkan kepada Sarijah.
 
Saridjah lahir sebagai putri bungsu dari dua belas orang bersaudara. Ayah kandung Saridjah adalah Mohamad Niung, seorang [[pelaut]] asal [[Bugis]] yang menetap lama di [[Sukabumi]] kemudian menjadi [[pengawal]] J.F. Kramer. Selepas mempelajari seni suara, seni musik dan belajar menggesek biola hingga mahir dari ayah angkatnya, Saridjah melanjutkan sekolahnya di [[Kweekschool|''Hoogere Kweek School'']] (HKS) [[Bandung]] untuk memperdalam ilmunya di bidang [[penyanyi|seni suara]] dan [[musik]]. Setelah tamat, ia kemudian mengajar di ''[[Hollandsch-Inlandsche School]]'' (HIS). Dari sinilah titik tolak dasar Saridjah untuk mulai mengarang lagu. Pada tahun [[1927]], ia menjadi Istri [[R. Bintang Soedibjo|Raden Mas Bintang Soedibjo]], dan ia pun kemudian dikenal dengan panggilan Ibu Soed, singkatan dari Soedibjo. Ibu Soed, ketika menciptakan lagu Nenek Moyangku seorang pelaut, terinspirasi dari ayah kandungnya yang berasal dari perantau [[pelaut]] dari [[Bugis]].
THE UNIVERSITY OF MICHIGAN LIBRARIES
 
== Karier ==