Serat Centhini: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Adnan Chaldun (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Adnan Chaldun (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(2 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 6:
Menurut keterangan [[R.M.A. Sumahatmaka]], juru tulis resmi [[Istana Mangkunegaran]] pada masa pemerintahan [[Mangkunegara VII]] (MN VII) dan [[Mangkunegara VIII|MN VIII]], Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di [[Surakarta]], putra Sunan [[Pakubuwana IV]], yang kelak bertakhta sebagai Sunan [[Pakubuwana V]].
 
Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi ''paksa suci sabda ji'' yang berarti tahun 1742 [[Penanggalan Jawa|tahun Jawa]] atau 1814 Masehi, berarti masih dalam masa pemerintahan Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana IV mulai bertahtabertakhta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertahtabertakhta pada tahun 1748 (Jawa).
 
Yang dijadikan sumber dari Serat Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala ''jati tunggal swara raja'', yang menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa, berarti masih di zaman pemerintahan Sunan [[Pakubuwana III]]). Tidak diketahui siapa yang mengarang Kitab Jatiswara. Bila dianggap pengarangnya adalah R. Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan karena terdapat banyak selisihnya dengan Kitab Rama atau Cemporèt.
Baris 19:
 
== Pengerjaan isi ==
R. Ng. [[Ranggasutrasna]] yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanyaoleh karena itu ia diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota, bersangkala ''Paksa suci sabda ji''.
 
Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura (sekarang juga bernama Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari [[Mekkah]]. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama [[Islam]], dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.
Baris 25:
Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebab Pangeran Adipati Anom mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa pengetahuan tentang masalah sanggama kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.
 
Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas dan duabelasdua belas) kepada ketiga pujangga istana tadi. Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 725 lagu.
 
== Ringkasan isi ==
Baris 44:
== Lingkup pengaruh ==
 
Karya ini boleh dikatakan sebagai [[ensiklopedi|ensiklopedia]] mengenai "dunia dalam" masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermintecermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum ''baboning pangawikan Jawi'', induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa, dan lain-lainnya.
 
Menurut '''[[Ulil Abshar Abdalla]]''', terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis ([[priyayi]]) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkanmenitikberatkan pada [[syariah]] sebagaimana yang dibawakan oleh [[pesantren]] dan [[Walisongo]]. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para pengguhpenggubah ini untuk mempertentangkannya dengan [[mitologi|mitos-mitos]] khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik" seolah antara alam [[monoteisme]]-[[Islam]] dan paganisme/[[animisme]] Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
 
'''Dr. Badri Yatim MA''' menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton [[Majapahit]] menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep ''wahyu kedaton, susuhunan'', dan ''panatagama'' terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang [[ortodoks]].
 
Serat Centhini terus -menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa [[Ranggawarsita]] sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranyadi antaranya adalah versi keraton [[Mangkunegaran]] tersebut.
 
== Kepustakaan ==