Konten dihapus Konten ditambahkan
Tegarrifqi (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Brackenheim (bicara | kontrib)
 
(40 revisi perantara oleh 13 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{disambiginfo}}
{{Shintoisme}}
[[Berkas:Itsukushima_GateItsukushima Gate.jpg|jmpl|280px|Gerbang [[torii]] menuju [[Kuil Itsukushima]] di [[Prefektur Hiroshima]], [[Jepang]], salah satu contoh [[torii]] paling terkenal di negara ini.{{sfn|Littleton|2002|pp=70, 72}} Torii menandai pintu masuk kuil Shinto dan merupakan simbol yang dapat dikenali dari agama tersebut.]]
{{nihongo|'''Shinto'''|神道|Shintō|secara harfiah bermakna "jalan ''kami''Tuhan"}} adalah sebuah [[agama]] yang berasal dari [[Jepang]].<ref name="KBBID shinto">{{id}} Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia {{cite web|url=https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/{{urlencode: shinto|WIKI}}|title=Arti kata shinto pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan|accessdate=2020-03-9}}</ref> Diklasifikasikan sebagai [[AgamaStudi Asiaagama|Para Timurcendekiawan keagamaan]] olehmenggolongkannya sebagai [[Studi agama|para sarjanaAsia agamaTimur]],; paramereka praktisinyayang menjalankan praktik keagamaannya (praktisi) sering menganggapnya sebagai [[Kepercayaan asli|agama asli]] Jepang dan [[agama alam]]. Para cendekiawan terkadang menyebut para praktisinyapraktisi sebagai '"penganut Shinto'," meskipunwalau para penganutnyapenganut sendiri jarang menggunakan istilah tersebut. TidakShinto adatidak dikendalikan oleh suatu otoritas pusat, yangpara mengendalikanpraktisi Shintomemiliki keyakinan dan terdapatpraktik banyakkeagamaan keragamanyang diberaneka antara para praktisiragam.
 
Shinto merupakantermasuk agama [[politeisme|politeistik]] dan melibatkandengan ''{{lang|ja-Latn|[[Kami (mitologi)|kami]]}}'', entitas supernatural yang diyakini menghuni segala sesuatu, sebagai bagian esensial kepercayaan. ''Kami'' dapat berada dalam kekuatan alam dan lokasi lanskap yang terkemuka. Hubungan antara ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan alam menyebabkan Shinto dianggap [[animisme|animistik]]. Penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dilakukan di altar rumah tangga ''{{lang|ja-Latn|[[kamidana]]}}'', kuil keluarga, dan [[kuil Shinto|kuil umum ''jinja'']]. Kuil umum tersebut dikelola oleh para pendeta, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[kannushi]]}}'',. yangMereka mengelola persembahan makanan dan minuman untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu yang dipuja di lokasi tersebut. Hal itu dilakukan untuk menumbuhkan keharmonisan antara manusia dan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' danserta untuk meminta berkah darinya. Ritual umum lainnya termasuk tari ''{{lang|ja-Latn|[[kagura]]}}'', [[ritus peralihan]], dan festival musiman. Kuil umum juga menyediakan perlengkapan keagamaan seperti [[jimat]] untuk para penganut agama tersebutShinto dan memfasilitasi berbagai bentuk [[ramalan]]. Shinto menempatkan fokus konseptual utama untukpada memastikanpemastian kesucian, sebagian besar dengan praktik pembersihan seperti ritual mandi dan basuh, terutama sebelum ibadah. Sedikit penekanan ditempatkan pada kode moral tertentu atau keyakinan kehidupan setelah kematian tertentu, meskipun orang yang meninggal dianggap mampu menjadi ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. Agama tersebutShinto tidak memiliki pencipta tunggal atau teks doktrinal tertentu, tetapiagama beradaitu hadir dalam bentuk keragamankhas lokal dan daerahregional yang beraneka ragam.
 
Meskipun sejarawanwaktu memperdebatkanShinto waktumenjadi yangagama tepattersendiri dalam sejarah untuk menyebut Shinto sebagai agama yangmasih berbedadiperdebatkan, penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dapat ditelusuri kembali pada [[Zaman Yayoi]] (300 SM-300 M) di Jepang. [[Buddhisme Tiongkok|BuddhismeAjaran Buddha]] masuk ke Jepang pada akhir [[Zaman Kofun]] (300-538 M) dan menyebar dengan cepat. [[Sinkretisme|Sinkretisasi agama]] membuat penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan Buddhismeajaran Buddha tidak dapat dipisahkan secara fungsional, sebuah proses yangitu disebut ''[[shinbutsu-shūgō]]''. ''{{lang|ja-Latn|kamiKami}}'' mulai dilihatdipandang sebagai bagian dari [[kosmologi Buddha]] dan selanjutnya semakin digambarkan secaradengan antropomorfik[[antropomorfisme]]. Tradisi tertulis paling awal mengenai penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tercatat dalam ''[[Kojiki]]'' dan ''[[Nihon Shoki]]'' dari abad ke-8. Pada abad-abad berikutnya, ''{{lang|ja-Latn|shinbutsu-shūgō}}'' diadopsi oleh keluarga Kekaisaran Jepang. Selama [[Zaman Meiji]] (1868-1912), kepemimpinan [[nasionalisme Jepang|nasionalis]] Jepang mengusirmemisahkan pengaruh Buddhispenganut Buddha dari penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan membentuk [[Shinto negara]],. yangIdeologi Shinto negara Jepang tersebut dianggap banyakoleh sejumlah sejarawan sebagai asal usul Shinto sebagai agama yang berbedatersendiri. Kuil berada di bawah pengaruh pemerintah yang berkembang dan masyarakat didorong untuk menyembah [[Kaisar Jepang|kaisar]] sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. Dengan terbentuknya [[Kekaisaran Jepang]] pada awal abad ke-20, Shinto diekspordisebarkan keluar ke wilayah lain di Asia Timur. Setelah kekalahan Jepang pada [[Perang Dunia II]], Shinto secara resmi [[negara sekuler|dipisahkan dari negara]].
 
Shinto terutama ditemukan di Jepang, wilayah yang terdapatmenampung sekitar 100.000 kuil umum, meskipunwalau para praktisi juga ditemukan di luar negeri. Secara numerik, agama tersebut merupakan agama terbesar di Jepang, diikuti oleh Buddhismeajaran Buddha. Sebagian besar penduduk negara tersebut mengambilturut bagianberpartisipasi dalam baik kegiatan Shinto danmaupun Buddha, terutama festival,. yangFenomena itu mencerminkan pandangan umum dalam [[Budaya Jepang|budaya Jepang]] bahwa kepercayaan dan praktik berbagaisuatu agama tidak harus dilakukan secarahanya eksklusifoleh golongan tertentu. Aspek-aspek dari Shinto juga dimasukkan ke dalam berbagai [[Shinshūkyō|gerakan agama baru di Jepang]].
 
== Definisi ==
[[File:YobitoTorii.jpg|thumb|right|Sebuah gerbang ''torii'' menuju Kuil Yobito ({{lang|ja-Latn|Yobito-jinja}}) di Kota Abashiri, Hokkaido]]
TidakShinto adatidak definisimemiliki Shintodefinisi yang disepakati secara universal.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=viii|2a1=Rots|2y=2015|2p=211}} Namun, penulis Joseph Cali dan John Dougill menyatakan bahwa jika terdapat "satu definisi tunggal yang luas mengenai Shinto" yang dapat dikemukakan, itu adalah "Shinto merupakan kepercayaan pada ''{{lang|ja-Latn|[[Kami (mitologi)|kami]]}}''", entitas supernatural padayang pusatmenjadi inti agama tersebut.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} Ahli budaya Jepang [[Helen Hardacre]] menyatakan bahwa "Shinto meliputi doktrin, institusi, ritual, dan kehidupan komunalkelompok berdasarkan penyembahan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}''",.{{sfn|Hardacre|2017|p=1}} sementaraSelain sarjanaitu, agamacendekiawan keagamaan Inoue Nobutaka mengamati istilah tesebut"Shinto" "sering digunakan" dalam "mengacurujukan padakepada penyembahan ''kami'' serta teologi, ritual, dan praktik yang terkait kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}''."{{sfn|Inoue|2003|p=1}} Berbagai cendekiawan menyebut praktisi Shinto sebagai ''penganut Shinto'', meskipunwalau istilah ini tidak memiliki terjemahan langsung dalam [[bahasa Jepang]].{{sfn|Picken|1994|p=xviii}}
 
Para cendekiawan memperdebatkan waktu yang tepat dalam sejarah untuksebagai mulaititik berbicaradi mengenaimana Shinto dianggap sebagai fenomena tertentu. SarjanaCendekiawan agamakeagamaan [[Ninian Smart]] misalnya menyarankanberpendapat bahwa seseorang dapat "berbicaraberdiskusi mengenaitentang agama di Jepang ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' di Jepang, agama yang pernah hidup bersimbiosis dengan Buddhismeajaran Buddha yang terorganisirterorganisasi, dan baru kemudian dilembagakantelah ditetapkan sebagai Shinto."{{sfn|Smart|1998|p=135}} Meskipun berbagai institusi dan praktik yang sekarang terkaitdikaitkan dengan Shinto berada di Jepang pada abad ke-8,{{sfn|Hardacre|2017|p=18}} berbagai cendekiawan berpendapat bahwa Shinto sebagai agama yang berbedatersendiri pada dasarnya "diciptakan" pada abad ke-19, selama [[Zaman Meiji]] di Jepang.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=7}} SarjanaCendekiawan agamakeagamaan Brian Bocking menekankan bahwa, terutama ketika berhadapan dengan periode sebelum zamanZaman Meiji, istilah "Shinto" harus "didekatidiperlakukan dengan hati-hati".{{sfn|Bocking|1997|p=174}} Inoue Nobutaka menyatakan bahwa "Shinto tidak dapat dianggap sebagai suatu sistem agama tunggal yang ada dari zaman kuno hingga zaman modern",{{sfn|Inoue|2003|p=5}} sedangkan sejarawan [[Toshio Kuroda]] mencatatberkomentar bahwa "sebelum zaman modern, Shinto tidak munculdijumpai sebagai agama yang berdiri sendiri".{{sfn|Kuroda|1981|p=3}}
 
=== Kategorisasi ===
Baris 64 ⟶ 65:
 
Pada tahun 1868, semua pendeta kuil ditempatkan di bawah otoritas [[Jingikan]] yang baru, atau Dewan Urusan Kami.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|pp=7-8}} Sebuah proyek pemisahan paksa pemujaan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari agama Buddha dilaksanakan, dengan biksu, dewa, bangunan, dan ritual Buddha dilarang dari kuil ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=8}} Citra Buddhis, kitab suci, dan peralatan ritual dibakar, ditutupi kotoran, atau dihancurkan.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=8}} Pada tahun 1871, hierarki kuil yang baru diperkenalkan, dengan kuil nasional dan kekaisaran berada di puncak.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=9}} Kependataan secara turun-temurun dihapuskan dan sistem baru yang disetujui negara untuk mengangkat pendeta diperkenalkan.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=9}}
Pada tahun 1872, Jingikan ditutup dan diganti dengan [[Kyobusho]], atau Kementerian Pendidikan.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=10}} Kyobusho mengoordinasikan [[Shinto_negaraShinto negara#Kampanye_Promulgasi_BesarKampanye Promulgasi Besar|kampanye]] dengan ''{{lang|ja-Latn|Kyodoshoku}}'' dikirim ke seluruh negeri untuk mempromosikan "ajaran agung" di Jepang, yang mencakup penghormatan terhadap ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan kepatuhan kepada kaisar.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=10}} Kampanye ini dihentikan pada tahun 1884.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=10}} Pada tahun 1906, ribuan kuil desa digabungkan sehingga sebagian besar komunitas kecil hanya memiliki satu kuil, yang dapat mengadakan ritus untuk menghormati kaisar.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=11}} Shinto secara efektif menjadi kultus negara, yang dipromosikan dengan semangat yang meningkat menjelang Perang Dunia II.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=11}}
 
Pada tahun 1882, pemerintah Meiji menetapkan 13 gerakan keagamaan yang bukan Buddha maupun Kristen sebagai bentuk "[[Sekte Shinto]]".{{sfn|Offner|1979|p=215}} Jumlah dan nama sekte yang diberi sebutan formal ini bervariasi;{{sfn|Bocking|1997|p=112}} sering kali mereka menggabungkan ide-ide dari tradisi Buddhisme, Kristen, Konfusianisme, Taois, dan [[Esoterisme Barat|esoterik Barat]] dengan Shinto.{{sfn|Littleton|2002|pp=100-101}} Pada zaman Meiji, banyak tradisi lokal telah melesap dan digantikan oleh praktik standar nasional yang didorong dari Tokyo.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=12}}
Baris 74 ⟶ 75:
Selama pendudukan AS, sebuah konstitusi baru disusun. Konstitusi tersebut menjunjung tinggi [[kebebasan beragama]] di Jepang dan memprakarsai [[pemisahan agama dan negara]], sebuah tindakan yang dirancang untuk menghapus "Shinto negara" (''kokka shinto'').{{sfnm|1a1=Ueda|1y=1979|1p=304|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=171|3a1=Bocking|3y=1997|3p=18|4a1=Earhart|4y=2004|4p=207}} Sebagai bagian dari itu, Kaisar secara resmi menyatakan bahwa ia bukan seorang ''kami'';{{sfn|Earhart|2004|p=207}} setiap ritual Shinto yang dilakukan oleh keluarga kekaisaran menjadi urusan pribadi mereka sendiri.{{sfn|Ueda|1979|p=304}} Pembubaran ini mengakhiri subsidi pemerintah untuk kuil dan memberikan tempat-tempat suci dengan kebebasan baru untuk mengatur urusan mereka sendiri.{{sfn|Earhart|2004|p=207}} Pada tahun 1946, banyak kuil kemudian membentuk organisasi sukarela, [[Asosiasi Kuil Shinto]] (''Jinja Honchō'').{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=75|2a1=Earhart|2y=2004|2pp=207–208}} Pada tahun 1956, asosiasi tersebut mengeluarkan pernyataan kepercayaan, ''keishin seikatsu no kōryō'' ("karakteristik umum dari kehidupan yang dimuliakan dalam penghormatan kepada ''kami''"), untuk merangkum apa yang mereka anggap sebagai prinsip Shinto.{{sfn|Bocking|1997|p=94}} Pada akhir tahun 1990-an, sekitar 80% dari kuil Shinto di Jepang merupakan bagian dari asosiasi ini.{{sfn|Bocking|1997|p=76}}
 
Pada dekade pascaperang, banyak orang Jepang menyalahkan Shinto karena mendorong kebijakan militeristik yang mengakibatkan kekalahan dan pendudukan.{{sfn|Earhart|2004|p=207}} Sedangkan yang lain tetap bernostalgia dengan sistem Shinto negara,{{sfn|Kitagawa|1987|p=172}} dan kekhawatiran berulang kali diungkapkan bahwa sektor-sektor masyarakat Jepang bersekongkol untuk memulihkannya.{{sfn|Picken|2011|p=18}} Pascaperang, berbagai perdebatan hukum telah terjadi atas keterlibatan pejabat publik dalam Shinto.{{sfn|Bocking|1997|p=18}} Pada tahun 1965, misalnya, kota [[Tsu, Mie|Tsu]], Prefektur Mie membayar empat pendeta Shinto untuk menyucikan tempat di mana balai atletik kota akan dibangun. Kritikus membawa kasus ini ke pengadilan, mengklaim hal tersebut bertentangan dengan pemisahan konstitusional agama dan negara; pada tahun 1971, pengadilan tinggi memutuskan bahwa tindakan pemerintah kota tersebut merupakan inkonstitusional, meskipun hal ini dibatalkan oleh [[Mahkamah Agung Jepang|Mahkamah Agung]] pada tahun 1977.{{sfn|Ueda|1979|p=307}}
 
Pada periode pascaperang, motif Shinto sering dicampur dengan [[gerakan agama baru]] di Jepang;{{sfn|Nelson|1996|p=180}} dari kelompok Sekte Shinto, [[Tenrikyo]] mungkin yang paling sukses dalam dekade pasca-perang,{{sfn|Kitagawa|1987|p=172}} meskipun pada tahun 1970 menolak identitas Shinto sendiri.{{sfn|Bocking|1997|p=113}} Perspektif Shinto juga memberikan pengaruh pada budaya populer. Sutradara film [[Hayao Miyazaki]] dari [[Studio Ghibli]] misalnya mengakui pengaruh Shinto dalam pembuatan filmnya seperti ''[[Spirited Away]]''.{{sfn|Boyd|Nishimura|2016|p=3}} Shinto juga menyebar ke luar negeri melalui migran Jepang dan konversi oleh orang non-Jepang.{{sfnm|1a1=Picken|1y=2011|1p=xiv|2a1=Suga|2y=2010|2p=48}} [[Kuil Agung Tsubaki]] di [[Suzuka, Mie|Suzuka]], [[Prefektur Mie]], adalah kuil pertama mendirikan cabang di luar negeri: [[Kuil Agung Tsubaki Amerika]], awalnya berlokasi di California dan kemudian pindah ke [[Granite Falls, Washington]].{{sfn|Picken|2011|p=32}}
Baris 133 ⟶ 134:
[[File:Yasukuni Shrine 2012.JPG|thumb|right|Tindakan para pendeta di Kuil Yasukuni di Tokyo telah menimbulkan kontroversi di seluruh Asia Timur]]
 
Pendeta Shinto mungkin menghadapi berbagai teka-teki etika. Pada tahun 1980-an, misalnya, para pendeta di [[Kuil Suwa (Nagasaki)|Kuil Suwa]] di [[Nagasaki]] berdebat mengenai pengundangan awak kapal Angkatan Laut AS yang berlabuh di kota pelabuhan pada perayaan festival mereka mengingat sensitivitas mengenai [[Pemboman atom Hiroshima dan Nagasaki#Nagasaki|penggunaan bom atom oleh AS pada tahun 1945 di kota itu]].{{sfn|Nelson|1996|pp=66–67}} Dalam kasus lain, para pendeta menentang proyek konstruksi di tanah milik kuil, terkadang membuat mereka bertentangan dengan kelompok kepentingan lain.{{sfnm|1a1=Ueda|1y=1979|1p=317|2a1=Rots|2y=2015|2p=221}} Pada awal 2000-an, seorang pendeta menentang penjualan tanah kuil untuk membangun [[pembangkit listrik tenaga nuklir]] di [[Kaminoseki, Yamaguchi|Kaminoseki]]; ia akhirnya ditekan untuk mengundurkan diri karena masalah ini.{{sfn|Rots|2015|p=221}} Persoalan lain yang cukup diperdebatkan adalah aktivitas [[Kuil Yasukuni]] di Tokyo. Kuil ini dikhususkan untuk para korban perang Jepang, dan pada tahun 1979 kuil tersebut mengabadikan 14 orang, termasuk [[Hideki Tojo]], yang dinyatakan sebagai terdakwa Kelas-A pada [[Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh| Pengadilan Kejahatan Perang Tokyo]] pada tahun 1946. Hal ini menimbulkan kecaman baik domestik maupun internasional, terutama dari Tiongkok dan Korea.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=2000|1p=12|2a1=Littleton|2y=2002|2p=99|3a1=Picken|3y=2011|3pp=18–19}}
 
Pada abad ke-21, Shinto semakin digambarkan sebagai spiritualitas yang berpusat pada alam dengan kredensial [[environmentalism|environmentalis]].{{sfn|Rots|2015|pp=205, 207}} Kuil Shinto semakin menekankan pelestarian hutan yang mengelilingi banyak kuil,{{sfn|Rots|2015|p=209}} dan beberapa kuil telah bekerja sama dengan kampanye lingkungan lokal.{{sfn|Rots|2015|p=223}} Pada tahun 2014, sebuah konferensi antaragama internasional tentang kelestarian lingkungan diadakan di kuil Ise, dihadiri oleh perwakilan [[PBB]] dan sekitar 700 pendeta Shinto.{{sfn|Rots|2015|pp=205–206}} Para komentator kritis mencirikan presentasi Shinto sebagai gerakan lingkungan sebagai taktik retoris daripada upaya bersama oleh lembaga-lembaga Shinto untuk menjadi ramah lingkungan.{{sfn|Rots|2015|p=208}} Cendekiawan Aike P. Rots menyarankan bahwa reposisi Shinto sebagai "agama alam" mungkin telah tumbuh dalam popularitas sebagai sarana untuk memisahkan agama dari isu-isu kontroversial "terkait dengan ingatan perang dan patronase kekaisaran."{{sfn|Rots|2015|p=210}}
Baris 144 ⟶ 145:
[[File:Fushimi Inari - Main gate.jpg|thumb|right|Gerbang utama ke [[Fushimi Inari-taisha]] di Kyoto, salah satu kuil tertua di Jepang]]
Ruang publik di mana ''kami'' disembah sering dikenal dengan istilah ''[[Kuil Shinto|jinja]]'' ("tempat ''kami''");{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xviii|2a1=Bocking|2y=1997|2p=72|3a1=Earhart|3y=2004|3p=36|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} istilah ini berlaku untuk lokasi dan bukan untuk bangunan tertentu.{{sfn|Picken|2011|p=21}} ''Jinja'' biasanya diterjemahkan sebagai "kuil",{{sfn|Earhart|2004|p=36}} sebuah istilah yang sekarang lebih umum digunakan untuk struktur Buddhis Jepang.{{sfnm|1a1=Earhart|1y=2004|1p=36|2a1=Breen|2a2=Teeuwen|2y=2010|2p=1}} Terdapat sekitar 100.000 kuil umum di Jepang;{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=1}} sekitar 80.000 kuil berafiliasi dengan Asosiasi Kuil Shinto,{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xxxi|2a1=Picken|2y=2011|2p=29|3a1=Breen|3a2=Teeuwen|3y=2010|3p=5|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=8}} dengan 20.000 kuil lainnya tidak terafiliasi.{{sfn|Picken|2011|p=29}} Kuil-kuil tersebut ditemukan di seluruh negeri, dari daerah pedesaan yang terisolasi hingga daerah metropolitan yang padat.{{sfnm|1a1=Earhart|1y=2004|1p=36|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=7}} Istilah yang lebih spesifik terkadang digunakan untuk kuil tertentu tergantung pada fungsinya; beberapa kuil agung dengan asosiasi kekaisaran disebut ''jingū'',{{sfn|Bocking|1997|pp=71, 72}} kuil yang diabdikan untuk kematian perang disebut ''shokonsha'',{{sfn|Bocking|1997|p=182}} dan kuil yang terkait dengan pegunungan yang dianggap dihuni oleh ''kami'' disebut ''yama-miya''.{{sfn|Bocking|1997|p=220}}
 
Jinja biasanya terdiri dari kompleks beberapa bangunan,{{sfn|Littleton|2002|p=68}} dengan gaya arsitektur kuil yang sebagian besar dikembangkan pada [[zaman Heian]].{{sfn|Nelson|1996|p=93}} Tempat perlindungan bagian dalam yang ditinggal kami adalah ''[[honden]]''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=92|2a1=Littleton|2y=2002|2p=72|3a1=Picken|3y=2011|3p=43|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} Di dalam honden mungkin tersimpan benda-benda milik kami; yang dikenal sebagai ''shinpo'', dapat mencakup karya seni, pakaian, senjata, alat musik, lonceng, dan cermin.{{sfn|Bocking|1997|p=170}} Biasanya, para pemuja melakukan aktivitas mereka di luar honden.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Di dekat honden terkadang dapat ditemukan kuil tambahan, ''bekkū'', untuk kami lainnya; kami yang menghuni kuil ini tidak selalu dianggap lebih rendah dari yang ada di honden.{{sfn|Bocking|1997|p=9}} Di beberapa tempat, aula ibadah didirikan, yang disebut ''[[Haiden (Shinto)|haiden]]''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=92|2a1=Bocking|2y=1997|2p=42|3a1=Picken|3y=2011|3p=43|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} Pada tingkat yang lebih rendah dapat ditemukan aula persembahan, yang dikenal sebagai ''[[Heiden (Shinto)|heiden]]''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=92|2a1=Bocking|2y=1997|2p=49|3a1=Picken|3y=2011|3p=43}} Bersamaan dengan itu, gedung yang menampung honden, haiden, dan heiden disebut sebagai ''hongū''.{{sfn|Bocking|1997|p=54}} Pada beberapa kuil, terdapat bangunan terpisah untuk mengadakan upacara tambahan, seperti pernikahan, yang dikenal sebagai ''gishikiden'',{{sfn|Bocking|1997|p=34}} atau bangunan khusus tempat tarian ''kagura'' ditampilkan, yang dikenal sebagai ''kagura-den''.{{sfn|Bocking|1997|p=82}} Secara kolektif, bangunan pusat kuil dikenal sebagai ''shaden'',{{sfn|Bocking|1997|p=160}} sementara kawasannya dikenal sebagai ''keidaichi''{{sfn|Bocking|1997|p=94}} atau ''shin'en''.{{sfn|Bocking|1997|p=166}} Kawasan ini dikelilingi oleh pagar ''tamagaki'',{{sfn|Bocking|1997|p=197}} dengan masuk melalui gerbang ''shinmon'', yang dapat ditutup pada malam hari.{{sfn|Bocking|1997|p=169}}
 
[[File:Hushimi-inari-taisha otsuka3.jpg|thumb|left|Gambaran dari torii di kuil Fushimi Inari-taisha di Kyoto]]
 
Pintu masuk kuil ditandai oleh gerbang dua tiang dengan satu atau dua palang di atasnya, yang dikenal sebagai ''[[torii]]''.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=201|2a1=Bocking|2y=1997|2p=207|3a1=Earhart|3y=2004|3p=36|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} Detail yang tepat dari torii ini bervariasi dan setidaknya terdapat dua puluh gaya yang berbeda.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=207|2a1=Picken|2y=2011|2p=43}} Pintu masuk ini dianggap sebagai pembatas area tempat kami berada;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} melewatinya sering dipandang sebagai bentuk penyucian.{{sfn|Offner|1979|p=201}} Secara luas, torii adalah simbol Jepang yang diakui secara internasional.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Bentuk arsitekturnya khas Jepang, meskipun keputusan untuk mengecatnya dengan warna [[merah merona]] mencerminkan pengaruh Tiongkok yang berasal dari [[zaman Nara]].{{sfn|Picken|2011|p=20}} Terdapat pula ''[[komainu]]'' yang terletak di pintu masuk banyak kuil, yang merupakan patung hewan seperti singa atau anjing yang dianggap menakuti roh jahat;{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=201|2a1=Bocking|2y=1997|2p=104}} biasanya patung tersebut diletakkan berpasangan, salah satunya bermulut terbuka, dan yang lain bermulut tertutup.{{sfn|Bocking|1997|p=104}}
 
Kuil biasanya terletak di dalam taman{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=12}} atau hutan rimba yang disebut ''chinju no mori'' ("hutan penjaga kami"),{{sfn|Rots|2015|p=211}} yang ukurannya bervariasi dari hanya beberapa pohon hingga area hutan yang cukup besar.{{sfn|Rots|2015|p=219}} Lentera besar, yang dikenal sebagai ''[[tōrō]]'', sering ditemukan di dalam kawasan ini.{{sfn|Bocking|1997|p=208}} Kuil biasanya memiliki kantor, yang dikenal sebagai ''shamusho'',{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=71|2a1=Bocking|2y=1997|2p=72}} sebuah ''saikan'' tempat para pendeta menjalani bentuk pantang dan penyucian sebelum melakukan ritual,{{sfn|Bocking|1997|p=148}} dan bangunan lain seperti tempat tinggal pendeta dan gudang.{{sfn|Offner|1979|p=201}} Berbagai kios sering menjual jimat kepada pengunjung.{{sfn|Bocking|1997|pp=72–73}} Sejak akhir tahun 1940-an, kuil-kuil harus mandiri secara finansial, bergantung pada sumbangan para penyembah dan pengunjung. Dana ini digunakan untuk membayar upah para pendeta, membiayai pemeliharaan bangunan, menutupi biaya keanggotaan kuil dari berbagai kelompok Shinto regional dan nasional, dan berkontribusi pada dana bantuan bencana.{{sfn|Nelson|1996|p=77}}
 
Dalam Shinto, dianggap penting bahwa tempat-tempat kami dimuliakan dijaga kebersihannya dan tidak diabaikan.{{sfn|Picken|2011|p=23}} Selama zaman Edo, kuil Kami biasanya dihancurkan dan dibangun kembali di lokasi terdekat untuk menghilangkan kotoran dan memastikan kemurnian.{{sfn|Nelson|1996|p=92}} Hal ini terus berlanjut hingga saat ini di beberapa tempat tertentu, seperti Kuil Agung Ise, yang dipindahkan ke lokasi yang berdekatan setiap dua dekade.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=93|2a1=Bocking|2y=1997|2p=163|3a1=Nelson|3y=2000|3p=4|4a1=Hardacre|4y=2017|4pp=79-80}} Kuil terpisah juga dapat digabungkan dalam proses yang dikenal sebagai ''jinja gappei'',{{sfn|Bocking|1997|p=73}} sedangkan tindakan memindahkan kami dari satu bangunan ke bangunan lain disebut ''sengu''.{{sfn|Bocking|1997|p=158}} Kuil mungkin memiliki legenda mengenai fondasinya, yang dikenal sebagai ''en-gi''. Legenda tersebut terkadang juga mencatat keajaiban yang terkait dengan kuil.{{sfn|Bocking|1997|p=26}} Sejak periode Heian, ''en-gi'' sering diceritakan kembali pada gulungan gambar yang dikenal sebagai ''[[emakimono]]''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=26|2a1=Picken|2y=2011|2p=44}}
 
==== Kependetaan dan ''miko'' ====
[[File:Miwa-shrine Yutateshinji A.JPG|thumb|right|Upacara {{lang|ja-Latn|Yutateshinji}} yang diselenggarakan oleh pendeta Shinto di [[Ōmiwa jinja|Kuil Miwa]] di [[Sakurai, Nara]]]]
Kuil-kuil dapat dirawat oleh para pendeta, komunitas lokal, atau keluarga yang memiliki properti kuil tersebut.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Pendeta Shinto dikenal dalam bahasa Jepang sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[kannushi]]}}'', yang berarti "pemilik ''{{lang|ja-Latn|kami}}''",{{sfn|Bocking|1997|p=88}} atau secara alternatif sebagai ''{{lang|ja-Latn|shinshoku}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|shinkan}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=168, 171}} Banyak kannushi mengambil peran dalam garis suksesi turun-temurun yang dapat ditelusuri dari keluarga tertentu.{{sfnm|1a1=Ueda|1y=1979|1p=325|2a1=Nelson|2y=1996|2p=29}} Dalam Jepang kontemporer, terdapat dua universitas pelatihan utama bagi mereka yang ingin menjadi ''{{lang|ja-Latn|kannushi}}'', [[Universitas Kokugakuin]] di Tokyo dan [[Universitas Kogakkan]] di [[Prefektur Mie]].{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=29|2a1=Bocking|2y=1997|2pp=99, 102}} Para pendeta dapat naik pangkat selama karier mereka.{{sfn|Nelson|1996|p=42}} Jumlah pendeta di kuil tertentu dapat bervariasi; beberapa kuil dapat memiliki puluhan pendeta, dan yang lainnya tidak memilikinya, melainkan dikelola oleh sukarelawan awam setempat.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=73|2a1=Picken|2y=2011|2pp=31–32}} Beberapa pendeta mengelola beberapa kuil kecil, terkadang lebih dari sepuluh.{{sfn|Picken|2011|p=32}}
 
Pakaian pendeta sebagian besar didasarkan pada pakaian yang dikenakan di istana kekaisaran selama zaman Heian.{{sfn|Nelson|2000|p=15}} Pakaian tersebut termasuk topi bulat tinggi yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|eboshi}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=25}} dan bakiak kayu berpernis hitam yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|asagutsu}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=7|2a1=Picken|2y=2011|2p=44}} Pakaian luar yang dikenakan oleh seorang pendeta, biasanya berwarna hitam, merah, atau biru muda, adalah ''{{lang|ja-Latn|hō}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=53}} atau ''{{lang|ja-Latn|ikan}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=58}} Versi sutra putih dari ''{{lang|ja-Latn|ikan}}'', digunakan untuk acara-acara resmi, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|saifuku}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=58, 146}} Jubah pendeta lainnya adalah ''{{lang|ja-Latn|kariginu}}'', yang mencontoh pakaian berburu gaya Heian.{{sfn|Bocking|1997|pp=89–90}} Benda lain dari pakaian pendeta standar adalah kipas ''{{lang|ja-Latn|hiōgi}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=51}} sedangkan selama ritual, pendeta membawa sepotong kayu datar yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[Shaku (tongkat ritual)|shaku]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=162}} Pakaian ini umumnya lebih berornamen daripada pakaian suram yang dikenakan oleh biksu Buddha Jepang.{{sfn|Nelson|2000|p=15}}
 
[[File:Kamogawa ceremony 02.jpg|thumb|left|Miko melakukan upacara Shinto di dekat [[Sungai Kamo]]]]
 
Kepala pendeta di kuil adalah {{lang|ja-Latn|gūji}}.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=212|2a1=Nelson|2y=1996|2p=186|3a1=Bocking|3y=1997|3p=39|4a1=Boyd|4a2=Williams|4y=2005|4p=33}} Kuil yang lebih besar mungkin juga memiliki asisten kepala pendeta, ''{{lang|ja-Latn|gon-gūji}}''.{{sfn|Offner|1979|p=212}} Seperti halnya guru, instruktur, dan pendeta Buddha, pendeta Shinto sering disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[sensei]]}}'' oleh praktisi awam.{{sfn|Nelson|1996|p=179}} Secara historis, terdapat pendeta perempuan meskipun sebagian besar dipaksa keluar dari posisinya pada tahun 1868.{{sfn|Nelson|1996|p=123}} Selama Perang Dunia II, wanita kembali diizinkan menjadi pendeta untuk mengisi kekosongan yang disebabkan oleh sejumlah besar pria yang terdaftar di militer.{{sfn|Nelson|1996|p=124}} Pada akhir tahun 1990-an, sekitar 90% pendeta adalah laki-laki, 10% pendeta adalah perempuan.{{sfn|Littleton|2002|p=98}} Pendeta bebas untuk menikah dan memiliki anak.{{sfn|Nelson|1996|p=124}} Pada kuil-kuil yang lebih kecil, para pendeta sering memiliki pekerjaan penuh waktu lainnya, dan hanya melayani sebagai pendeta selama acara-acara khusus.{{sfn|Offner|1979|p=212}}
Sebelum perayaan-perayaan besar tertentu, para pendeta dapat menjalani masa pantang dari hubungan seksual.{{sfn|Nelson|1996|p=43}} Beberapa dari mereka yang terlibat dalam festival juga berpantang dari berbagai hal, seperti minum teh, kopi, atau alkohol, sesaat sebelum acara.{{sfn|Nelson|1996|p=141}}
 
Para pendeta dibantu oleh ''{{lang|ja-Latn|jinja miko}}'', terkadang disebut sebagai "gadis kuil".{{sfn|Bocking|1997|p=121}} ''{{lang|ja-Latn|[[miko]]}}'' tersebut biasanya belum menikah,{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=47|2a1=Bocking|2y=1997|2p=121}} meski belum tentu perawan.{{sfn|Nelson|1996|p=47}} Dalam banyak kasus, mereka adalah putri seorang pendeta atau praktisi.{{sfn|Bocking|1997|p=121}} Mereka berada di bawah para pendeta dalam hierarki kuil.{{sfn|Nelson|1996|pp=124–125}} Mereka berperan penting dalam tarian ''{{lang|ja-Latn|[[kagura]]}}'', yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|otome-mai}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=125}} ''{{lang|ja-Latn|Miko}}'' hanya menerima gaji kecil tetapi mendapatkan rasa hormat dari anggota masyarakat setempat dan belajar keterampilan seperti memasak, kaligrafi, melukis, dan tata krama yang dapat bermanfaat bagi mereka ketika nanti mencari pekerjaan atau pasangan hidup.{{sfn|Nelson|1996|p=125}} Mereka umumnya tidak tinggal di kuil.{{sfn|Nelson|1996|p=125}} Kadang-kadang mereka mengisi peran lain, seperti menjadi sekretaris di kantor kuil atau juru tulis di meja informasi, atau sebagai pelayan pada pesta ''{{lang|ja-Latn|naorai}}''. Mereka juga membantu ''{{lang|ja-Latn|kannushi}}'' pada ritus upacara.{{sfn|Nelson|1996|p=125}}
 
==== Kunjungan ke kuil ====
Kunjungan ke kuil disebut ''{{lang|ja-Latn|sankei}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=152}} atau ''{{lang|ja-Latn|jinja mairi}}''.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Beberapa orang mengunjungi kuil setiap hari, sering kali pada rute pagi ketika berangkat kerja;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} biasanya hanya memakan waktu beberapa menit.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Biasanya, seorang penyembah akan mendekati honden, menempatkan persembahan uang ke dalam sebuah kotak dan kemudian membunyikan lonceng untuk meminta perhatian ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1pp=201–202|2a1=Littleton|2y=2002|2p=72|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=11}} Kemudian, mereka membungkuk, bertepuk tangan, dan berdiri sambil diam-diam memanjatkan doa.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=204|2a1=Breen|2a2=Teeuwen|2y=2010|2p=3|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=11}} Tepuk tangan disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|kashiwade}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|hakushu}}'';{{sfn|Bocking|1997|pp=43, 90}} doa atau permohonan disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|kigan}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=96}} Penyembahan secara individu ini dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|hairei}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=42}} Secara luas, doa ritual kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' disebut ''{{lang|ja-Latn|[[norito]]}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=135}} sedangkan koin yang dipersembahkan adalah ''{{lang|ja-Latn|saisen}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=149}} Pada kuil, doa yang dipanjatkan secara individu tidak harus ditujukan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Seorang penyembah mungkin tidak tahu nama ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang tinggal di kuil atau banyaknya ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang diyakini tinggal di sana.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=11}} Tidak seperti pada agama-agama tertentu lainnya, kuil Shinto tidak memiliki kebaktian mingguan yang diharapkan untuk dihadiri oleh para praktisi.{{sfn|Earhart|2004|p=12}}
 
[[File:魂入れに伴う山車(聖武山)の修祓、姥神大神宮の鳥居前にて(2018年8月9日撮影).jpg|thumb|left|Pendeta menyucikan area di depan kediaman ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.]]
 
Beberapa praktisi Shinto tidak mempersembahkan doa mereka kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' secara langsung, melainkan meminta seorang pendeta untuk mempersembahkannya atas nama mereka; doa-doa ini dikenal sebagai '''kitō''.{{sfn|Bocking|1997|p=98}} Banyak orang mendekati ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk meminta permintaan pragmatis.{{sfn|Nelson|1996|p=116}} Permintaan untuk hujan, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|amagoi}}'' ("meminta hujan") ditemukan di seluruh Jepang, dengan Inari merupakan pilihan populer untuk permintaan tersebut.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=3|2a1=Picken|2y=2011|2p=36}}
Doa-doa lain mencerminkan keprihatinan yang lebih kontemporer. Misalnya, orang mungkin meminta pendeta mendekati ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk menyucikan mobil mereka dengan harapan agar tidak terlibat dalam kecelakaan.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=116|2a1=Bocking|2y=1997|2p=114}} Demikian pula, perusahaan transportasi sering meminta upacara penyucian untuk bus atau pesawat baru yang akan mulai beroperasi.{{sfn|Bocking|1997|p=108}} Sebelum sebuah bangunan dibangun, biasanya seseorang atau perusahaan konstruksi mempekerjakan seorang pendeta Shinto untuk mendatangi tanah yang sedang dikembangkan dan melakukan ''{{lang|ja-Latn|jichinsai}}'', atau ritual penyucian bumi. Ini memurnikan situs dan meminta ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk memberkatinya.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=190–196|2a1=Bocking|2y=1997|2p=68}}
 
Orang-orang sering meminta ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk membantu dalam mengimbangi peristiwa buruk yang mungkin memengaruhi mereka. Misalnya, dalam budaya Jepang, usia 33 tahun bagi wanita dan usia 42 tahun bagi pria dipandang sebagai sial, dan dengan demikian orang-orang dapat meminta ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk mengimbangi kemalangan yang terkait dengan usia tersebut.{{sfn|Nelson|1996|p=183}} Arah tertentu juga dapat dilihat sebagai tidak menguntungkan bagi orang-orang tertentu pada waktu tertentu dan dengan demikian orang-orang dapat mendekati ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' meminta mereka untuk mengimbangi masalah ini ketika mereka harus melakukan perjalanan di salah satu arah sial itu.{{sfn|Nelson|1996|p=183}}
 
[[Ziarah]] telah lama menjadi penting dalam agama Jepang,{{sfn|Kitagawa|1987|pp=xvii–xviii}} dengan ziarah ke kuil Shinto yang disebut ''{{lang|ja-Latn|[[junrei]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=80}} Ziarah keliling, ketika individu mengunjungi serangkaian kuil dan situs suci lainnya yang merupakan bagian dari rute tetap, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|junpai}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=80}} Seseorang yang memimpin para peziarah ini, terkadang disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|sendatsu}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=158}} Selama berabad-abad, orang-orang juga mengunjungi kuil karena alasan budaya dan rekreasi, bukan alasan spiritual.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Banyak kuil diakui sebagai situs sejarah penting dan beberapa diklasifikasikan sebagai [[Situs Warisan Dunia]] oleh [[UNESCO]].{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Kuil-kuil seperti [[Kuil Shimogamo|Shimogamo Jinja]] dan [[Fushimi Inari Taisha]] di Kyoto, [[Kuil Meiji|Meiji Jingū]] di Tokyo, dan [[Atsuta Jingū]] di Nagoya merupakan beberapa tempat wisata paling populer di Jepang.{{sfn|Rots|2015|p=221}} Banyak kuil memiliki cap stempel unik yang dapat ditambahkan ke dalam ''{{lang|ja-Latn|sutanpu bukku}}'' atau buku stempel, yang menunjukkan berbagai kuil yang dikunjungi.{{sfn|Bocking|1997|p=192}}
 
=== ''Harae'' dan ''hōbei'' ===
Baris 150 ⟶ 186:
 
Ritual Shinto dimulai dengan proses penyucian, atau ''{{lang|ja-Latn|harae}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=39|2a1=Bocking|2y=1997|2p=45}} Ritual ini menggunakan air tawar atau air asin, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|misogi}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=124}} Di kuil, ritual ini memerlukan percikan air pada wajah dan tangan, prosedur yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|temizu}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=45}} menggunakan sebuah wadah yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[temizuya]]}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=91}} Bentuk penyucian lain pada awal dari ritus Shinto yaitu dengan menggoyangkan panji atau tongkat yang dipasang kertas putih dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=39, 46|2a1=Bocking|2y=1997|2p=45}} Saat tidak digunakan, ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'' biasanya disimpan dalam posisi berdiri.{{sfn|Bocking|1997|p=45}} Pendeta menggoyangkan ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'' secara horizontal di atas orang atau benda yang disucikan dalam gerakan yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|sa-yu-sa}}'' ("kiri-kanan-kiri").{{sfn|Bocking|1997|p=45}} Terkadang, alih-alih menggunakan ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'', penyucian dilakukan dengan ''{{lang|ja-Latn|o-nusa}}'', cabang cemara yang dipasang potongan kertas.{{sfn|Bocking|1997|p=45}} Goyangan dari ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'' sering diikuti dengan tindakan penyucian tambahan, ''{{lang|ja-Latn|shubatsu}}'', di mana pendeta memercikkan air, garam, atau air garam di atasnya yang dikumpulkan dari kotak kayu yang disebut ''{{lang|ja-Latn|'en-to-oke}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|magemono}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=184}}
 
Tindakan penyucian terselesaikan, petisi yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|norito}}'' diucapkan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Hal itu diikuti oleh penampilan ''{{lang|ja-Latn|miko}}'', yang dimulai dengan gerakan melingkar perlahan di depan altar utama.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Persembahan kemudian disajikan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dengan ditaruh di atas meja.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Tindakan ini dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|hōbei}}'';{{sfn|Bocking|1997|p=53}} persembahan itu sendiri dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|saimotsu}}''{{sfn|Bocking|1997|p=148}} atau ''{{lang|ja-Latn|sonae-mono}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=187}} Secara historis, persembahan yang diberikan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' meliputi makanan, kain, pedang, dan kuda.{{sfn|Cali|Dougill|2013|pp=13–14}} Pada periode kontemporer, umat awam biasanya memberikan hadiah uang kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sedangkan para pendeta umumnya menawarkan makanan, minuman, dan tangkai dari pohon {{lang|ja-Latn|[[sakaki]]}} yang sakral.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=14}} [[Pengurbanan hewan]] tidak dianggap sebagai persembahan yang pantas, karena penumpahan darah dipandang sebagai tindakan pengotoran yang memerlukan penyucian.{{sfn|Nelson|1996|p=64}} Persembahan yang disajikan terkadang sederhana dan terkadang lebih rumit; di Kuil Agung Ise, misalnya, 100 jenis makanan disajikan sebagai persembahan.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Pilihan persembahan sering kali disesuaikan dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan kesempatan tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=170}}
 
Persembahan makanan dan minuman secara khusus disebut ''{{lang|ja-Latn|shinsen}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=170}}
[[Sake]], atau arak beras, adalah persembahan yang sangat umum untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=150}} Setelah persembahan diberikan, orang-orang sering menyesap arak beras yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|o-miki}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Meminum arak ''{{lang|ja-Latn|o-miki}}'' dipandang sebagai bentuk persekutuan dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=53}} Pada acara-acara penting, sebuah pesta kemudian diadakan, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|naorai}}'', di dalam aula perjamuan yang terhubung dengan kompleks kuil.{{sfn|Nelson|1996|pp=40, 53}}
 
''{{lang|ja-Latn|kami}}'' diyakini menikmati musik.{{sfn|Nelson|1996|p=49}} Salah satu gaya musik yang ditampilkan di kuil adalah ''{{lang|ja-Latn|[[gagaku]]}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=49|2a1=Bocking|2y=1997|2p=33}} Alat musik yang digunakan antara lain tiga ''reed'' (''{{lang|ja-Latn|fue}}'', ''{{lang|ja-Latn|sho}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|hichiriki}}''), ''{{lang|ja-Latn|yamato-koto}}'', dan "tiga drum" (''{{lang|ja-Latn|taiko}}'', ''{{lang|ja-Latn|kakko}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|shōko}}'').{{sfn|Bocking|1997|p=33}} Gaya musik lain yang ditampilkan di kuil dapat memiliki fokus yang lebih terbatas. Di kuil seperti [[Kuil Ōharano]] di Kyoto, musik ''{{lang|ja-Latn|azuma-asobi}}'' ("hiburan timur") dipertunjukkan pada 8 April.{{sfn|Bocking|1997|p=8}} Selain itu, berbagai festival di Kyoto menggunakan gaya musik dan tarian ''{{lang|ja-Latn|[[dengaku]]}}'', yang berasal dari lagu penanaman padi.{{sfn|Bocking|1997|p=22}} Selama ritual, orang yang mengunjungi kuil diharapkan untuk duduk dengan gaya ''{{lang|ja-Latn|[[seiza]]}}'', dengan kaki diselipkan di bawah bokong.{{sfn|Nelson|1996|p=214}} Untuk menghindari kram, seseorang yang menahan posisi ini untuk waktu yang lama dapat secara berkala menggerakkan kaki dan melenturkan tumit.{{sfn|Nelson|1996|pp=214–215}}
 
=== Kuil keluarga ===
[[File:Kamidana.jpg|300px|right|thumb|''{{lang|ja-Latn|Kamidana}}'' yang menampilkan ''{{lang|ja-Latn|[[shimenawa]]}}'' dan ''{{lang|ja-Latn|[[Shide (Shinto)|shide]]}}'']]
Setelah melihat popularitas yang meningkat di era Meiji,{{sfn|Bocking|1997|p=85}} banyak praktisi Shinto juga memiliki kuil keluarga, atau ''{{lang|ja-Latn|[[kamidana]]}}'' ("rak ''kami''"), di rumah mereka.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1pp=200|2a1=Nelson|2y=1996|2p=184|3a1=Littleton|3y=2002|3p=73|4a1=Earhart|4y=2004|4p=11}} Kuil tersebut biasanya terdiri dari rak-rak yang ditempatkan pada posisi tinggi di ruang tamu.{{sfn|Offner|1979|pp=200–201}} ''{{lang|ja-Latn|Kamidana}}'' juga dapat ditemukan di tempat kerja, restoran, toko, dan kapal laut.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=85|2a1=Earhart|2y=2004|2p=11}} Beberapa kuil umum menawarkan ''{{lang|ja-Latn|kamidana}}''.{{sfn|Picken|2011|p=31}}
 
Selain ''{{lang|ja-Latn|kamidana}}'', banyak rumah tangga Jepang juga memiliki ''{{lang|ja-Latn|[[butsudan]]}}'', altar Buddha yang mengabadikan leluhur keluarga;{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=13|2a1=Earhart|2y=2004|2p=11}} penghormatan leluhur tetap menjadi aspek penting dari tradisi keagamaan Jepang.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Dalam kasus yang jarang terjadi ketika orang Jepang diberi pemakaman Shinto daripada pemakaman Buddhis, kuil ''{{lang|ja-Latn|tama-ya}}'', ''{{lang|ja-Latn|mitama-ya}}'', atau ''{{lang|ja-Latn|sorei-sha}}'' dapat didirikan di rumah sebagai pengganti ''{{lang|ja-Latn|butsudan}}''. Kuil ini biasanya ditempatkan di bawah ''{{lang|ja-Latn|kamidana}}'' dan menyertakan simbol roh leluhur yang tinggal, misalnya cermin atau gulungan.{{sfn|Bocking|1997|p=198}}
 
''{{lang|ja-Latn|Kamidana}}'' sering kali mengabadikan kami dari kuil umum terdekat serta kami pelindung yang terkait dengan penghuni rumah atau profesi mereka.{{sfn|Bocking|1997|p=85}} Kuil tersebut dapat didekorasi dengan miniatur torii dan ''{{lang|ja-Latn|shimenawa}}'' serta jimat yang diperoleh dari kuil umum.{{sfn|Bocking|1997|p=85}} Kuil tersebut sering mencakup wadah untuk menempatkan persembahan;{{sfn|Offner|1979|p=201}} persembahan harian beras, garam, dan air ditempatkan di sana, dengan sake dan barang-barang lainnya juga ditawarkan pada hari-hari khusus.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=85|2a1=Littleton|2y=2002|2p=74}} Ritual domestik ini sering dilakukan di pagi hari,{{sfn|Littleton|2002|p=81}} dan sebelum melakukannya, praktisi biasanya mandi, berkumur, atau mencuci tangan sebagai bentuk penyucian.{{sfn|Offner|1979|p=203}}
 
Shinto rumah tangga dapat memusatkan perhatian pada ''{{lang|ja-Latn|dōzoku-shin}}'', ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang dianggap sebagai leluhur ''{{lang|ja-Latn|dōzoku}}'' atau kelompok kekerabatan yang luas.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=24|2a1=Picken|2y=2011|2pp=75-76}} Kuil kecil untuk leluhur sebuah rumah tangga dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|soreisha}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=187}} Kuil desa kecil yang berisi kami pelindung dari keluarga besar dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|iwai-den}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=66}} Selain kuil pemujaan dan kuil rumah tangga, Shinto juga memiliki kuil kecil di pinggir jalan yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[hokora]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=54}} Ruang terbuka lain yang digunakan untuk pemujaan kami adalah ''{{lang|ja-Latn|[[iwasaka]]}}'', sebuah area yang dikelilingi oleh batu-batu keramat.{{sfn|Bocking|1997|p=65}}
 
=== Engimono, Ema, ramalan, dan jimat ===
Baris 163 ⟶ 212:
Salah satu bentuk ramalan yang populer di kuil Shinto adalah ''{{lang|ja-Latn|[[omikuji]]}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=138|2a1=Picken|2y=2011|2p=74}} Ramalan tersebut berupa secarik kertas kecil yang diperoleh dari kuil (untuk sumbangan) dan kemudian dibaca untuk memperlihatkan prediksi masa depan.{{sfn|Bocking|1997|pp=137–138}} Mereka yang sering menerima prediksi buruk kemudian mengikat ''{{lang|ja-Latn|omikuji}}'' pada pohon atau bingkai terdekat yang disiapkan untuk tujuan tersebut. Tindakan ini dipandang sebagai penolakan prediksi, sebuah proses yang disebut ''{{lang|ja-Latn|sute-mikuji}}'', dan dengan demikian menghindari kemalangan yang diprediksinya.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=139|2a1=Picken|2y=2011|2p=74}}
 
[[File:Hiromine-jinja by CR 38Omikuji.jpg|thumb|left|Bingkai untuk mengikat omikuji di kuil]]
 
Penggunaan [[jimat]] secara luas disetujui dan populer di Jepang.{{sfn|Earhart|2004|p=12}} Jimat tersebut mungkin terbuat dari kertas, kayu, kain, logam, atau plastik.{{sfn|Earhart|2004|p=12}}
Baris 174 ⟶ 223:
=== ''Kagura'' ===
[[File:Ymananashi-oka shrine Daidai Kagura A.JPG|thumb|right|Tarian tradisional ''{{lang|ja-Latn|kagura}}'' dilakukan di kuil Yamanashi-oka]]
''{{lang|ja-Latn|[[Kagura]]}}'' menggambarkan musik dan tarian yang ditunjukkan untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'';{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=205|2a1=Bocking|2y=1997|2p=81}} istilah ini mungkin berasal dari ''{{lang|ja-Latn|kami no kura}}'' ("kursi dari {{lang|ja-Latn|kami}}''").{{sfn|Kobayashi|1981|p=3}} Sepanjang sejarah Jepang, tarian ini memainkan peran budaya yang penting dan dalam Shinto dianggap memiliki kapasitas untuk menenangkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Kitagawa|1987|p=23}} Terdapat cerita [[mitologi|mitologi]] mengenai bagaimana tari {{lang|ja-Latn|kagura}} muncul. Menurut ''Kojiki'' dan ''Nihon Shoki'', [[Ama-no-Uzume|Ame-no-Uzume]] menampilkan tarian untuk membujuk Amaterasu keluar dari gua tempat ia menyembunyikan dirinya.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=23|2a1=Bocking|2y=1997|2p=81|3a1=Picken|3y=2011|3p=68}}
 
Ada dua jenis yang luas dari Kagura.{{sfn|Bocking|1997|p=81}} Salah satunya adalah Kagura Kekaisaran, juga dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|mikagura}}''. Gaya ini dikembangkan di istana kekaisaran dan masih dilakukan di [[Tiga Tempat Suci Istana|tanah kekaisaran]] setiap bulan Desember.{{sfn|Bocking|1997|pp=81–82}} Gaya ini juga dilakukan pada festival panen Kekaisaran dan di kuil-kuil besar seperti Ise, [[Kuil Kamo|Kamo]], dan [[Kuil Iwashimizu|Iwashimizu Hachiman-gū]]. Gaya ini dilakukan oleh penyanyi dan musisi menggunakan genta kayu ''{{lang|ja-Latn|[[shakubyoshi]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[hichiriki]]}}'', seruling ''{{lang|ja-Latn|kagura-bue}}'', dan sitar berdawai enam.{{sfn|Bocking|1997|p=82}} Jenis utama lainnya adalah ''{{lang|ja-Latn|sato-kagura}}'', diturunkan dari ''{{lang|ja-Latn|mikagura}}'' dan ditampilkan di kuil-kuil di seluruh Jepang. Tergantung pada gayanya, tarian ini dilakukan oleh {{lang|ja-Latn|miko}} atau aktor yang mengenakan topeng untuk menggambarkan berbagai tokoh mitologis.{{sfn|Bocking|1997|pp=82, 155}} Para aktor ini diiringi oleh band ''{{lang|ja-Latn|hayashi}}'' menggunakan seruling dan drum.{{sfn|Bocking|1997|p=82}} Ada juga jenis kagura regional lainnya.{{sfn|Bocking|1997|p=82}}
 
Musik memainkan peran yang sangat penting dalam pertunjukan {{lang|ja-Latn|kagura}}. Mulai dari pengaturan instrumen hingga suara yang paling halus dan aransemen musik sangat penting untuk mendorong ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk turun dan menari. Lagu-lagu tersebut digunakan sebagai perangkat ajaib untuk memanggil ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan sebagai doa memohon berkah. Umumnya menggunakan pola ritme lima dan tujuh, yang mungkin berkaitan dengan kepercayaan Shinto dari dua belas generasi dewa surgawi dan duniawi. Terdapat pula iringan vokal yang disebut ''{{lang|ja-Latn|kami uta}}'' ketika penabuh drum menyanyikan lagu-lagu sakral kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. Seringkali iringan vokal mengalahkan tabuhan drum dan instrumen, memperkuat bahwa aspek vokal dari musik lebih untuk [[mantera]] daripada [[estetika]].<ref>[[Averbuch]], [[Irit]], ''The Gods Come Dancing: A Study of the Japanese Ritual Dance of Yamabushi Kagura'', Ithaca, NY: East Asia Program, Cornell University, 1995, pp. 83–87.</ref>
 
=== Festival ===
[[File:Aoi Matsuri.jpg|thumb|right|Partisipan dalam prosesi untuk ''Aoi Matsuri'' di Kyoto]]
Festival umum biasanya disebut ''{{lang|ja-Latn|[[matsuri]]}}'',{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=81|2a1=Boyd|2a2=Williams|2y=2005|2p=36|3a1=Picken|3y=2011|3p=9}} meskipun istilah ini memiliki arti yang beragam—"festival", "pemujaan", "perayaan", "upacara adat", atau "pemanjatan doa"—dan tidak ada terjemahan langsung ke dalam bahasa Inggris.{{sfn|Bocking|1997|p=117}} Picken memberi kesan bahwa festival itu adalah "tindakan utama pemujaan Shinto" karena Shinto adalah agama "berbasis komunitas dan keluarga".{{sfn|Picken|1994|p=xxvi}} Sebagian besar menandai tahun panen dan melibatkan persembahan yang ditujukan kepada {{lang|ja-Latn|kami}} sebagai rasa syukur.{{sfn|Bocking|1997|pp=117–118}} Menurut [[kalender lunar]] tradisional, kuil Shinto harus mengadakan perayaan festival pada {{lang|ja-Latn|hare-no-hi}} atau hari yang "cerah", hari dari bulan baru, setengah, dan purnama.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Hari-hari lain, yang dikenal sebagai {{lang|ja-Latn|ke-no-hi}}, umumnya dihindari untuk perayaan.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Namun, sejak akhir abad ke-20, banyak kuil mengadakan perayaan festival pada hari Sabtu atau Minggu terdekat dengan tanggal tersebut sehingga lebih sedikit orang yang akan bekerja dan dapat hadir.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=224|2a1=Earhart|2y=2004|2p=222}} Setiap kota atau desa sering memiliki festivalnya sendiri, yang berpusat di kuil lokal.{{sfn|Littleton|2002|p=81}} Misalnya, festival ''[[Aoi Matsuri]]'', diadakan pada tanggal 15 Mei untuk berdoa agar panen gandum berlimpah, berlangsung pada kuil-kuil di [[Kyoto]],{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=6|2a1=Picken|2y=2011|2p=42}} sementara ''[[Chichibu Yo-Matsuri]]'' berlangsung pada tanggal 2-3 Desember di [[Chichibu, Saitama|Chichibu]].{{sfn|Picken|2011|p=59}}
 
Festival musim semi disebut ''{{lang|ja-Latn|haru-matsuri}}'' dan sering kali menyertakan doa untuk panen yang baik.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Festival tersebut terkadang melibatkan upacara ''{{lang|ja-Latn|ta-asobi}}'', dengan menanam padi secara ritual.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Festival musim panas disebut ''{{lang|ja-Latn|natsu-matsuri}}'' dan biasanya difokuskan untuk melindungi tanaman dari hama dan ancaman lainnya.{{sfn|Bocking|1997|p=132}} Festival musim gugur dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|aki-matsuri}}'' dan terutama berfokus pada ucapan terima kasih kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' atas beras atau panen lainnya.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=2|2a1=Picken|2y=2011|2p=35}} ''{{lang|ja-Latn|[[Niiname-sai]]}}'', atau festival beras baru, diadakan di banyak kuil Shinto pada 23 November.{{sfn|Nelson|1996|p=170}} Kaisar juga mengadakan upacara untuk menandai festival ini, dengan mempersembahkan buah pertama dari panen kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' pada tengah malam.{{sfn|Offner|1979|p=205}} Festival musim dingin, yang disebut ''{{lang|ja-Latn|fuyu no matsuri}}'' sering kali menampilkan penyambutan di musim semi, mengusir kejahatan, dan mengundang pengaruh baik untuk masa depan.{{sfn|Bocking|1997|p=32}} Ada sedikit perbedaan antara festival musim dingin dan festival tahun baru tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=32}}
 
[[File:Tomioka hachimangu10.jpg|thumb|left|Prosesi ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sebagai bagian dari festival [[Fukagawa Matsuri]] di Tokyo]]
 
[[Tahun Baru Jepang|Tahun baru]] disebut ''{{lang|ja-Latn|shogatsu}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=182|2a1=Littleton|2y=2002|2p=80}} Pada hari terakhir dalam setahun (31 Desember), ''{{lang|ja-Latn|omisoka}}'', praktisi biasanya membersihkan kuil rumah tangga mereka untuk persiapan Tahun Baru (1 Januari), ''{{lang|ja-Latn|ganjitsu}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=139}} Banyak orang mengunjungi kuil umum untuk merayakan tahun baru;{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=205|2a1=Nelson|2y=1996|2p=199|3a1=Littleton|3y=2002|3p=80|4a1=Breen|4a2=Teeuwen|4y=2010|4p=3}} "kunjungan pertama" pada tahun itu dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|hatsumōde}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|hatsumairi}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=47|2a1=Breen|2a2=Teeuwen|2y=2010|2p=3}} Di sana, mereka membeli jimat dan talisman untuk memberikan keberuntungan di tahun mendatang.{{sfn|Nelson|1996|p=208}} Untuk merayakan festival ini, banyak orang Jepang memasang tali yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[shimenawa]]}}'' di rumah dan tempat usaha mereka.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=206|2a1=Bocking|2y=1997|2p=163}} Beberapa juga memasang ''{{lang|ja-Latn|[[kadomatsu]]}}'' ("pinus gerbang"), yang tersusun dari ranting pinus, pohon plum, dan batang bambu.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=206|2a1=Bocking|2y=1997|2p=81}} Terdapat pula ''{{lang|ja-Latn|kazari}}'', yang lebih kecil dan lebih berwarna; tujuannya adalah untuk menjauhkan kemalangan dan menarik keberuntungan.{{sfn|Bocking|1997|p=93}} Di banyak tempat, perayaan tahun baru menggabungkan ''{{lang|ja-Latn|[[hadaka matsuri]]}}'' ("festival telanjang") dengan pria yang hanya mengenakan kain pinggang {{lang|ja-Latn|[[fundoshi]]}} terlibat dalam aktivitas tertentu, seperti memperebutkan benda tertentu atau membenamkan diri di sungai.{{sfn|Bocking|1997|p=41}}
 
Aspek umum dari festival adalah prosesi atau parade yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|gyōretsu}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=39–40}} Parade tersebut bisa saja riuh, dengan banyak peserta mabuk;{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=205|2a1=Nelson|2y=1996|2p=133}} Breen dan Teeuwen mencirikan mereka sebagai memiliki "suasana karnaval".{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=4}} Mereka sering dipahami memiliki efek regeneratif baik bagi peserta maupun komunitas.{{sfn|Nelson|1996|p=134}} Selama prosesi ini, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' melakukan perjalanan pada kuil yang diangkut yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[mikoshi]]}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=140|2a1=Bocking|2y=1997|2p=122|3a1=Littleton|3y=2002|3p=82|4a1=Breen|4a2=Teeuwen|4y=2010|4p=4}} Dalam berbagai kasus ''{{lang|ja-Latn|mikoshi}}'' mengalami ''{{lang|ja-Latn|hamaori}}'' ("turun ke pantai"), suatu proses dengan membawanya ke pantai dan terkadang ke laut, baik dengan kapal pengangkut atau perahu.{{sfn|Bocking|1997|p=43}} Misalnya, dalam festival Okunchi yang diadakan di kota barat daya [[Nagasaki]], ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari [[Kuil Suwa (Nagasaki)|Kuil Suwa]] diarak ke Ohato, dengan mereka ditempatkan di sebuah kuil di sana selama beberapa hari sebelum diarak kembali ke Suwa.{{sfn|Nelson|1996|pp=152–154}} Sering kali perayaan-perayaan semacam ini sebagian besar diorganisir oleh anggota komunitas lokal daripada oleh para pendeta itu sendiri.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=4}}
 
=== Ritus peralihan ===
Pengakuan formal dari suatu peristiwa sangat penting dalam budaya Jepang.{{sfn|Nelson|1996|p=34}} Sebuah ritual umum, ''{{lang|ja-Latn|hatsumiyamairi}}'', mengharuskan kunjungan pertama seorang anak ke kuil Shinto.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=161|2a1=Bocking|2y=1997|2p=47|3a1=Breen|3a2=Teeuwen|3y=2010|3p=3}} Sebuah tradisi menyatakan bahwa, jika anak laki-laki maka harus dibawa ke kuil pada hari ketiga puluh dua setelah kelahiran, dan jika anak perempuan maka harus dibawa pada hari ketiga puluh tiga.{{sfn|Bocking|1997|p=47}} Secara historis, seorang anak biasanya dibawa ke kuil bukan oleh ibu, yang dianggap tidak suci setelah lahir, tetapi oleh kerabat perempuan lain; sejak akhir abad ke-20 sudah lebih umum bagi ibu untuk melakukannya.{{sfn|Bocking|1997|p=47}} Ritus penerimaan lainnya, ''{{lang|ja-Latn|saiten-sai}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|seijin shiki}}'', merupakan ritual datangnya usia yang menandai transisi menuju dewasa dan terjadi ketika seorang individu berusia sekitar dua puluh tahun.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=212–213|2a1=Bocking|2y=1997|2p=156}} Upacara pernikahan sering dilakukan di kuil Shinto.{{sfn|Earhart|2004|p=15}} Pernikahan tersebut disebut ''{{lang|ja-Latn|shinzen kekkon}}'' ("pernikahan sebelum ''{{lang|ja-Latn|kami}}''") dan dipopulerkan pada Zaman Meiji; sebelum ini, pernikahan biasanya dilakukan di rumah.{{sfn|Bocking|1997|pp=178-179}}
 
Di Jepang, pemakaman cenderung berlangsung di kuil Buddha dan melibatkan kremasi,{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=92|2a1=Earhart|2y=2004|2p=15}} dengan pemakaman Shinto menjadi langka.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Bocking mencatat bahwa kebanyakan orang Jepang "masih 'terlahir Shinto' namun 'meninggal secara Buddhis'."{{sfn|Bocking|1997|p=ix}} Dalam pemikiran Shinto, kontak dengan kematian dipandang sebagai menanamkan ketidaksucian (''{{lang|ja-Latn|kegare}}''); periode setelah persinggungan ini dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|kibuku}}'' dan dikaitkan dengan berbagai tabu.{{sfn|Bocking|1997|p=95}} Dalam kasus ketika manusia mati diabadikan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'', sisa-sisa fisik jenazah tersebut tidak disimpan di kuil.{{sfn|Picken|2011|p=19}} Meskipun tidak umum, terdapat contoh pemakaman yang dilakukan melalui ritus Shinto. Contoh paling awal diketahui dari pertengahan abad ke-17; pemakaman tersebut terjadi di daerah-daerah tertentu di Jepang dan mendapat dukungan dari pemerintah setempat.{{sfn|Kenney|2000|p=241}}
Setelah Restorasi Meiji, pada tahun 1868 pemerintah secara khusus mengakui pemakaman Shinto bagi para pendeta Shinto.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=187|2a1=Kenney|2y=2000|2p=240}} Lima tahun kemudian, hal tersebut diperluas untuk mencakup seluruh penduduk Jepang.{{sfn|Kenney|2000|pp=240–241}} Meskipun Meiji mempromosikan pemakaman Shinto, mayoritas penduduk tetap menjalankan upacara pemakaman Buddhis.{{sfn|Kenney|2000|p=241}} Dalam beberapa dekade terakhir, pemakaman Shinto biasanya disediakan untuk pendeta Shinto dan untuk anggota sekte Shinto tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=188}} Setelah [[kremasi]], proses pemakaman normal di Jepang, abu seorang pendeta boleh dikebumikan di dekat kuil, tetapi tidak di dalam kawasannya.{{sfn|Picken|2011|p=71}}
 
Penghormatan leluhur tetap menjadi bagian penting dari kebiasaan agama Jepang.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Permohonan bagi jenazah, dan terutama korban perang, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|shо̄kon}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=182}} Berbagai ritus merujuk hal tersebut. Misalnya, pada festival [[Bon Festival|Bon]] yang sebagian besar beragama Buddha, arwah para leluhur diyakini mengunjungi yang hidup, dan kemudian diusir dalam sebuah ritual yang disebut ''{{lang|ja-Latn|shо̄rо̄ nagashi}}'', dengan memasukkan lentera ke dalam perahu kecil, sering dibuat dari kertas, dan ditempatkan di sungai untuk mengapung hingga ke hilir.{{sfn|Bocking|1997|p=183}}
 
=== Perantara roh dan penyembuhan ===
Baris 218 ⟶ 284:
* {{cite journal |last1=Boyd |first1=James W. |last2=Nishimura |first2=Tetsuya |year=2016 |title=Shinto Perspectives in Miyazaki's Anime Film ''Spirited Away'' |journal=Journal of Religion and Film |volume=8 |issue=33 |url=https://digitalcommons.unomaha.edu/jrf/vol8/iss3/4 |pages=1–14 |ref={{sfnref|Boyd|Nishimura|2016}}}}
* {{cite journal |last=Breen |first=John |year=2010 |title='Conventional Wisdom' and the Politics of Shinto in Postwar Japan |journal= Politics and Religion Journal |volume=4 |issue=1 |pages=68–82|doi=10.54561/prj0401068b|doi-access=free |ref={{sfnref|Breen|2010}}}}
* {{cite book |last1=Breen |first1=John |last2=Teeuwen |first2=Mark |title=A New History of Shinto |url=https://archive.org/details/newhistoryofshin0000bree |location=Chichester |publisher=Wiley-Blackwell |year=2010 |isbn=978-1-4051-5515-1 |ref={{sfnref|Breen|Teeuwen|2010}}}}
* {{cite book |last1=Cali |first1=Joseph |last2=Dougill |first2=John |title=Shinto Shrines: A Guide to the Sacred Sites of Japan's Ancient Religion |location=Honolulu |publisher=University of Hawai'i Press |year=2013 |isbn=978-0-8248-3713-6 |ref={{sfnref|Cali|Dougill|2013}}}}
* {{cite journal |last=Doerner |first=David L. |title=Comparative Analysis of Life after Death in Folk Shinto and Christianity |year=1977 |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=4 |issue=2 |pages=151–182 |doi=10.18874/jjrs.4.2-3.1977.151-182 |doi-access=free |ref={{sfnref|Doerner|1977}}}}
* {{cite book |last=Earhart |first=H. Byron |year=2004 |title=Japanese Religion: Unity and Diversity |edition=keempat |location=Belmont, CA |publisher=Wadsworth |isbn=978-0-534-17694-5 |ref={{sfnref|Earhart|2004}}}}
* {{cite book |last=Hardacre |first=Helen |title=Shinto: A History |url=https://archive.org/details/shintohistory0000hard |location=Oxford |publisher=Oxford University Press |year=2017 |isbn=978-0-19-062171-1 |ref={{sfnref|Hardacre|2017}}}}
* {{cite journal |jstor=30233666 |title=Shinto Funerals in the Edo Period |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=27 |issue=3/4 |pages=239–271 |last=Kenney |first=Elizabeth |year=2000 |ref={{sfnref|Kenney|2000}}}}
* {{cite book |last=Kitagawa |first=Joseph M. |author-link=Joseph Kitagawa |title=On Understanding Japanese Religion |year=1987 |publisher=Princeton University Press |location=Princeton, New Jersey |isbn=978-0-691-10229-0 |url-access=registration |url=https://archive.org/details/onunderstandingj0000kita |ref={{sfnref|Kitagawa|1987}}}}
Baris 230 ⟶ 296:
* {{cite book |title=Shinto: Origins, Rituals, Festivals, Spirits, Sacred Places |publisher=Oxford University Press |location=Oxford, NY |first=C. Scott |last=Littleton| author-link=C. Scott Littleton |year=2002 |isbn=978-0-19-521886-2 |oclc=49664424 |ref={{sfnref|Littleton|2002}}}}
* {{cite book |last=Nelson |first=John K. |title=A Year in the Life of a Shinto Shrine |url=https://archive.org/details/yearinlifeofs00nels |url-access=registration |location=Seattle and London |publisher=University of Washington Press |year=1996 |isbn=978-0-295-97500-9 |ref={{sfnref|Nelson|1996}}}}
* {{cite book |last=Nelson |first=John K. |title=Enduring Identities: The Guise of Shinto in Contemporary Japan |url=https://archive.org/details/enduringidentiti0000nels |year=2000 |location=Honolulu |publisher=University of Hawai'i Press |isbn=978-0-8248-2259-0 |ref={{sfnref|Nelson|2000}}}}
* {{cite book |last=Offner |first=Clark B. |title=The World's Religions |edition=keempat |year=1979 |pages=191–218 |editor=Norman Anderson |location=Leicester |publisher=Inter-Varsity Press |ref={{sfnref|Offner|1979}}}}
* {{cite book |last=Picken |first=Stuart D. B. |author-link=Stuart D. B. Picken |title=Essentials of Shinto: An Analytical Guide to Principal Teachings |year=1994 |publisher=Greenwood |location=Westport and London |isbn=978-0-313-26431-3 |ref={{sfnref|Picken|1994}}}}
* {{cite book |last=Picken |first=Stuart D. B. |author-link=Stuart D. B. Picken |title=Historical Dictionary of Shinto |url=https://archive.org/details/historicaldictio0000pick_e6n3 |edition=kedua |location=Lanham |publisher=Scarecrow Press |year=2011 |isbn=978-0-8108-7172-4 |ref={{sfnref|Picken|2011}}}}
* {{cite journal |last=Rots |first=Aike P. |year=2015 |title=Sacred Forests, Sacred Nation: The Shinto Environmentalist Paradigm and the Rediscovery of Chinju no Mori |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=42 |issue=2 |pages=205–233 |doi=10.18874/jjrs.42.2.2015.205-233 |doi-access=free |ref={{sfnref|Rots|2015}}}}
* {{cite book |last=Smart |first=Ninian |title=The World's Religions |url=https://archive.org/details/worldsreligions00smar_0 |url-access=registration |edition=kedua |year=1998 |location=Cambridge |publisher=Cambridge University Press |isbn=978-0-521-63748-0 |ref={{sfnref|Smart|1998}}}}
Baris 245 ⟶ 311:
== Bacaan lanjutan ==
{{refbegin|30em}}
* {{cite book |title=The Gods Come Dancing: A Study of the Japanese Ritual Dance of Yamabushi Kagura |url=https://archive.org/details/godscomedancings0000aver |publisher=East Asia Program, Cornell University |location=Ithaca, NY |first=Irit |last=Averbuch |year=1995 |isbn=978-1-885445-67-4 |oclc=34612865}}
* {{cite journal |title=Shamanic Dance in Japan: The Choreography of Possession in Kagura Performance |journal=Asian Folklore Studies |first=Irit |last=Averbuch |year=1998 |volume=57 |issue=2 | pages = 293–329 |doi=10.2307/1178756 |jstor=1178756 }}
* {{cite web |url=http://www.shinto.org/isri/eng/dr.carmen-e.html |title=Shinto and the Sacred Dimension of Nature |work=Shinto.org |first=Dr. Carmen |last=Blacker |year=2003 |accessdate=2008-01-21 |archiveurl = https://web.archive.org/web/20071222193053/http://www.shinto.org/isri/eng/dr.carmen-e.html <!-- Bot retrieved archive --> |archivedate = 2007-12-22}}
Baris 255 ⟶ 321:
* {{Cite book|title=Shinto: A History |last=Hardacare |first=Helen |isbn=978-0190621711 |year=2016 |publisher=[[Oxford University Press]]}}, 729pp; a major scholarly history; [https://nichibun.repo.nii.ac.jp/?action=repository_action_common_download&item_id=7244&item_no=1&attribute_id=18&file_no=1 online review 2019]
* {{cite book |title=Nanzan Guide to Japanese Religions |url=https://archive.org/details/nanzanguidetojap0000unse |chapter=Shinto |first=Norman |last=Havens |editor=Paul L. Swanson & Clark Chilson, (eds.) |year=2006 |pages=[https://archive.org/details/nanzanguidetojap0000unse/page/14 14]–37 |publisher=University of Hawaii Press |location=Honolulu|isbn=978-0-8248-3002-1 |oclc=60743247}}
* {{cite book |title=Shinto The Fountainhead of Japan |url=https://archive.org/details/shintoatfountain0000jean |publisher=Stein and Day |location=New York |year=1967 |last=Herbert |first=Jean | authorlink=Jean Herbert}}
* Inoue, Nobutaka et al. ''Shinto, a Short History'' (London: Routledge Curzon, 2003) [https://www.questia.com/library/104550913/shinto-a-short-history online]
* {{cite book |title= The Invention of Religion in Japan |publisher= University of Chicago Press |location=Chicago|first= Jason Ānanda |last= Josephson |year=2012 |isbn= 978-0226412344 |oclc= 774867768}}