Sistem televisi berjaringan di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Dani1603 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Raja Nine to Five (bicara | kontrib)
Dikembalikan ke revisi 25470391 oleh 2001:448A:1021:28B1:8859:E4C5:9C07:4654: REVERT LTA TUHAN PALEMBANG/RENDISTWN(T𝑾𝓘𝕹𝕂𝙇𝙴)
Tag: Pembatalan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(28 revisi perantara oleh 20 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Sistem [[Jaringan televisi|televisi berjaringan]] di Indonesia''' (namasecara resminyaresmi disebut '''Sistem Stasiun Jaringan''', disingkat '''SSJ''')<Refref name=berlak/> diwajibkan pada setiap lembaga penyiaran di Indonesia yang hendak melakukan siaran dalam lingkup nasional, baik publik maupun swasta, sebagai sarana mewujudkan demokratisasi penyiaran. Sistem ini didasarkan pada [[Undang-Undang Penyiaran|Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran]]. PelaksanaanKonsep sistem ini mengacu dan mirip dengan sistem penyiaran yang terdapat di sejumlah negara;, sepertiterutama [[Amerika Serikat]],<ref [[Kanada]],name=muhammadiyah/> [[Britania Raya]],dan [[Brasil]], [[Australia]], [[Jepang]], [[Korea Selatan]], dan [[Filipina]].
 
Sistem ini mulai secara resmi diberlakukan di Indonesia pada tanggal 28 Desember 2009.<Refref name=berlak>[https://sdppi.kominfo.go.id/berita-siaran-pers-no-232-pih-kominfo-12-2009-26-1041 Siaran Pers No. 232/PIH/KOMINFO/12/2009 Pelaksanaan Stasiun Televisi Berjaringan Sejak Tanggal 28 Desember 2009]</ref> TV nasional dapat bertindak sebagai induk stasiun jaringan dan TV lokal bertindak sebagai anggota stasiun jaringan, dimana stasiun induk bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlai oleh anggota. Dalam TV berjaringan, semangat dasar dari siaran berjaringan adalah terpenuhinya aspek keberagaman kepemilikan (''diversity of ownership''), keberagaman isi siaran (''diversity of content''), dan kearifan lokal.
 
== Latar belakang ==
Kelahiran sistem televisi berjaringan tidak bisa dilepaskan dari lahirnya perubahan politik di Indonesia pasca 1998. Salah satu tuntutan dari perubahan tersebut adalah [[desentralisasi]] dan demokratisasi di berbagai bidang. Selama ini, sistem penyiaran di Indonesia, yang dibangun sejak kelahiran televisi swasta, dirasa tidak memenuhi aspek tersebut dengan keberadaan [[televisi swasta]] nasional yang bersiaran secara tersentralisasi dari [[Jakarta]]. Acara-acara televisi swasta hampir semuanya berasal dari Jakarta, tidak melokal dan keuntungan dari iklan pun mengalir ke Jakarta saja.<ref name="armando">Armando, Ade (2011). ''Televisi Jakarta di Atas Indonesia: Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia''. Yogyakarta: Penerbit Bentang.</ref> Selain itu, penguasaan frekuensi/kanal di banyak daerah oleh segelintir pihak, tidak sesuai dengan konsep bahwa frekuensi adalah milik publik yang mahal dan terbatas harganya.<ref name="sum">[https://books.google.co.id/books?id=cbt1DwAAQBAJ&pg=PA312&dq=Tvri+perjan&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjP86XMjfrzAhV07HMBHYA5D1kQ6AF6BAgEEAI#v=onepage&q=Tvri%20perjan&f=false Ekonomi Politik Media Penyiaran]</ref> Ini belum termasuk ide bahwa penyiaran harusnya memerhatikan aspek keragaman pemilik (''diversity of ownership'') dan keragaman konten (''diversity of content'').<ref>[http://www.kpi.go.id/index.php/id/dasar-pembentukan Dasar Pembentukan]</ref>
 
Jika ditarik ke belakang, pada awalnya konsep televisi di Indonesia yang dibangun adalah sistem berjaringan. [[Televisi Republik Indonesia|TVRI]] misalnya memiliki [[Televisi Republik Indonesia#Stasiun daerah|memiliki sejumlah stasiun di daerah-daerah]] yang memiliki identitas dan acara yang berbeda dengan [[TVRI (saluran televisi)|TVRI Nasional]]. Lalu, pada awal kehadiran televisi swasta pada akhir 1980-an, sistem yang ingin dikembangkan juga serupa: [[RCTI]] Jakarta berjaringan dengan tiga televisi swasta lokal di daerah-daerah yang menyiarkan acara serupa, namun dengan susunan program yang berbeda: [[RCTI Network Jawa Barat|RCTI Bandung]], [[SCTV|SCTV Surabaya]] dan [[SCTV Denpasar]]. Walaupun demikian, akibat tekanan dari pemilik stasiun televisi swasta yang umumnya berasal dari kerabat dan kroni [[Presiden Indonesia|Presiden]] [[Soeharto]], maka hanya dalam waktu beberapa tahun (1990-1993), kebijakan tersebut ditinggalkan dan diganti menjadi sentralisasi siaran dari Jakarta.<ref name="armando"/>
 
Konsep sentralisasi siaran ini kemudian berusaha diubah dalam penyusunan UU Penyiaran pertama di Indonesia: UU No. 24/1997, yang awalnya memasukkan klausul bahwa televisi swasta nasional hanya boleh menjangkau siarannya secara langsung dari pusat/Jakarta (lewat [[stasiun transmisi]]) paling banyak sebesar 50% penduduk Indonesia, dan 50% penduduk sisanya bisa dijangkau dengan menjalin kerjasama dengan televisi lokal di daerah-daerah. Walaupun demikian, lagi-lagi karena pemerintah menolak menandatanganinya akibat tekanan industri penyiaran, maka klausul itu dihapuskan.<ref name="armando"/> Malahan, UU No. 24/1997 memasukkan klausul bahwa stasiun televisi swasta harus didirikan di ibukota negara dan jumlahnya dibatasi pemerintah.<Refref>[https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/34575/UU%20Nomor%2024%20Tahun%201997.pdf UU No. 24/1997]</ref>
 
Seiring perubahan politik yang terjadi, maka klausul pembatasan siaran itu akhirnya kembali dimasukkan dalam penyusunan UU No. 32/2002, dengan kini seluruh televisi swasta nasional harus bersiaran secara berjaringan, itupun terbatas dengan tidak menjangkau 100% wilayah Indonesia. Walaupun sempat mendapat penolakan dari kelompok seperti [[ATVSI]],<ref name="armando"/> akhirnya UU Penyiaran tersebut bisa disahkan pada tahun 2002 dan masih berlaku hingga saat ini.
Baris 84:
== Implementasi ==
===Perkembangan===
Berdasarkan interpretasi pasal 60 ayat 2 UU No. 32/2002<ref>[https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/32772/UU%20Nomor%2032%20Tahun%202002.pdf UU No. 32/2002]</ref> (yang berlaku mulai Desember 2002), stasiun televisi yang sudah ada sebelum UU ini harus menyesuaikan dengan ketentuan UU (semisal bila ingin berjaringan harus bermitra dengan stasiun televisi lain); dengan tenggat waktu penyesuaian hingga akhir tahun 2005. Stasiun televisi yang sudah memiliki stasiun relai di satu daerah dan setelah berakhirnya masa penyesuaian bisa menggunakan stasiun relainya sampai berdirinya stasiun lokal berjaringan di daerah tersebut, dengan tenggat hingga akhir tahun 2006.
 
Namun, implementasi desentralisasi penyiaran yang diharapkan di Indonesia, nyatanya di lapangan susah diwujudkan. Ini tidak lain karena berbagai faktor, seperti tekanan industri penyiaran (atau asosiasi TV nasional) akan penerapan sistem ini, adanya gugatan-gugatan, ketidaksiapan televisi lokal, dan kemauan politik pemerintah.<Refref>[https://www.remotivi.or.id/wawancara/97/ade-armando:-pelaksanaan-televisi-berjaringan-membutuhkan-kemauan-politik-pemerintah Ade Armando: Pelaksanaan Televisi Berjaringan Membutuhkan Kemauan Politik Pemerintah]</ref> Mantan anggota [[Komisi Penyiaran Indonesia]], [[Ade Armando]] mencatat, pukulan pertama pada proses ini dimulai pada Juli 2004, ketika [[Mahkamah Konstitusi]] mengeluarkan putusannya atas gugatan yang dilakukan oleh sejumlah pihak seperti [[Asosiasi Televisi Swasta Indonesia|ATVSI]], [[Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia|IJTI]], [[PRSSNI]], dan beberapa organisasi lainnya. Dalam putusan itu, MK mencoret klausul yang menyebutkan pengaturan regulasi harus dilakukan oleh KPI bersama pemerintah (seperti pasal 31 ayat 4 UU No. 32/2002: "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun oleh KPI bersama Pemerintah") menjadi hanya oleh pemerintah saja.<ref name="armando"/>
 
Walaupun ada harapan bahwa pemerintah tetap akan mendukung proses demokratisasi penyiaran, nyatanya pemerintah kemudian "lebih akrab" dengan industri penyiaran televisi dengan mengeluarkan PP No. 50/2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Meskipun tampaknya PP ini membatasi langkah televisi swasta dalam proses televisi berjaringan dengan pembatasan kepemilikan bagi mitra lokal/jaringannya di daerah (seperti di atas), nyatanya aturan turunan yang sama juga mengatur bahwa jika stasiun televisi (nasional) yang sudah ada sudah memiliki stasiun transmisi di daerah, maka kebijakan pembatasan kepemilikan itu tidak berlaku, dengan kini boleh pada jaringan kedua, ketiga dan seterusnya sebesar 90%; sedangkan untuk daerah terpencil/perbatasan, kepemilikannya boleh 100%.<ref name="armando"/>
Baris 92:
Prinsip tersebut memberi keleluasaan bagi televisi berjaringan demi mempertahankan kendalinya atas jaringan-jaringannya dengan alasan yang sudah disebutkan. Ini masih belum ditambah klausul lainnya dalam PP yang sama (pasal 36), yang meskipun tampak restriktif (membatasi bahwa jaringan televisi nasional hanya bisa dinikmati di 75% wilayah Indonesia), namun juga memberi keleluasaan bisa dinaikkan menjadi 90% jika stasiun transmisinya sudah "keburu" dibangun di lebih dari 75% wilayah Indonesia. Pasal lainnya muncul dengan niat serupa: bahwa perizinan televisi kini ditangani dominan oleh pemerintah, dan KPI hanya sebagai "perantara" antara stasiun televisi dan [[Menkominfo]] (pasal 4); dan televisi swasta nasional bisa hanya "menyesuaikan izinnya" ke menteri Kominfo, bukan mengajukan izin baru.<ref name="armando"/>
 
Keleluasaan lagi-lagi diberikan oleh pemerintah, dengan memberikan perpanjangan tenggat waktu transisi dari stasiun transmisi/relai ke televisi lokal di daerah (artinya perubahan dari "televisi swasta nasional" ke "jaringan televisi nasional") dari 2007 ke Desember 2009, setelah mendengar alasan dari ATVSI. Kemacetan niat sistem berjaringan diperparah dengan penerbitan Permenkominfo No. 32/2007 dan Permenkominfo No. 43/2009. Walaupun kedua aturan tersebut mewajibkan pelepasan saham stasiun jaringannya ke pemegang saham lokal serta pemberlakuan sistem siaran jaringan maksimal 28 Desember 2009 dan meminta adanya siaran lokal terus naik dari 10% menjadi 50%, namun masih memberi keleluasaan bagi pemilik stasiun televisi besar untuk mempertahankan kepemilikan mutlak atas stasiun jaringannya (hasil transisi dari stasiun relai) jika "di daerah tidak memiliki modal yang cukup atau alasan khusus".<ref name="armando"/> Pada akhirnya, diversifikasi kepemilikan yang diharapkan dalam sistem jaringan, sampai saat ini relatif hanya angan-angan semata, karena aturan UU Penyiaran masih memberi peluang bagi pemain besar mempertahankan kepemilikan dan sentralisasi siarannya dengan alasan yang sudah disebutkan. Yang berubah hanyalah bentuk frekuensi yang dimiliki stasiun televisi Jakarta: dari awalnya dikelola oleh stasiun relai, kini menjadi stasiun jaringan yang pemiliknya tetap pihak yang sama.<ref name="armando"/>
 
Salah satu contoh dari kemacetan penetapan klausul berjaringan tersebut adalah, dalam beberapa laporan keuangan induk sejumlah stasiun televisi (seperti [[Media Nusantara Citra]] dan [[Surya Citra Media]]), perusahaan jaringannya di daerah-daerah disebutkan "belum melakukan aktivitas (usaha)/beroperasi secara komersial".<ref name="ippscm">[https://www.scm.co.id/financial-statements/download/2021/62 Lapkeu Q3 SCM 2021]</ref><ref>[https://www.mnc.co.id/file-mnccoid//files/mnccoid/MNCN_billingual_30%20Sep%202021_unaudited.pdf Lapkeu Q3 MNC 2021]</ref> Hal yang sama akhirnya juga diterapkan oleh jaringan televisi nasional yang terbentuk pasca UU Penyiaran (seperti iNews, [[NET.]], RTV dan [[Kompas TV]]). Mereka tidak menerapkan sistem dimana seharusnya TV nasional (atau Jakarta) bermitra dengan stasiun lokal (yang dimiliki terpisah), melainkan mengakuisisi kepemilikan stasiun televisi lokal di daerah-daerah<ref name=swa/> dan tetap menyiarkan siarannya yang didominasi dari pusat. Bahkan, ada juga yang "menyimpang", misalnya jaringan-jaringan NET. yang 100% kepemilikannya dipegang induk stasiun televisi ini, [[Net Visi Media]] lewat anak-anak usahanya yang dibentuk di daerah-daerah, bukannya oleh pemodal lokal.<ref name="ippnet">[{{Cite web |url=https://www.netvisimedia.co.id/struktur-kepemilikan.html |title=STRUKTUR HUBUNGAN KEPEMILIKAN,...] |access-date=2021-12-05 |archive-date=2021-11-19 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211119070943/https://www.netvisimedia.co.id/struktur-kepemilikan.html |dead-url=yes }}</ref>
 
Ini belum termasuk definisi siaran lokal yang tidak jelas di peraturan-peraturan diatas, sehingga sangat leluasa diinterpretasikan televisi nasional (misalnya bisa siaran ulang beberapa kali asalkan bernuansa daerah), ditambah program dari stasiun lokal jaringan yang ada kebanyakan hanya 10% saja dari jam siar dan tidak bisa lebih dari itu.<ref name="armando"/> Berdasarkan laporan KPI pada RDP dengan DPR awal Januari 2018, hanya 4 jaringan televisi nasional Jakarta yang memenuhi durasi minimal 10% jam tayang siaran lokal tiap harinya dari 14 televisi yang dievaluasi.<Refref name=muhammadiyah/> Kendali susunan program dan keorganisasian televisi lokal anggota jaringan juga dalam banyak kasus masih dikendalikan dari induk jaringan, tanpa ''input'' lokal yang memadai.<Refref>[https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/ab2cdd3ac75db970d6086119d4cce978.pdf PELAKSANAAN REGULASI SISTEM STASIUN JARINGAN KOMPAS TV DEWATA]</ref> Meskipun banyak dipenuhi kecacatan (seperti masih dipenuhi sentralisasi yang kuat), saat ini nampak belum ada keinginan dari pemangku kebijakan untuk melaksanakan penuh penerapan SSJ yang ideal. Malahan, dalam rencana revisi UU Penyiaran, sebagian pihak menafsirkan niat dari pembuat kebijakan untuk menghilangkan atau mengaburkan klausul konsepsi siaran secara berjaringan.<ref name=muhammadiyah/><ref>[https://kpid.jatengprov.go.id/memahami-jiwa-penyiaran-dalam-uu-no-32-tahun-2002/ Memahami Jiwa Penyiaran dalam UU NO.32 Tahun 2002]</ref><ref name=muhammadiyah/>
 
===Penerapan selama ini===
Secara dasar, implementasi sistem siaran berjaringan di Indonesia di televisi swasta dapat dikatakan tidak sempurna, yang tampak dari struktur kepemilikannya dan siaran lokalnya. Beberapa karakteristik penerapannya yang umum, meliputi:
* Izin yang diberikan untuk induk jaringan dan anggota jaringan tidak sama (seperti RCTI Pusat Jakarta IPP-nya dikeluarkan pada 13 Oktober 2016 bernomor 1813/2016, sedangkan anggotanya contohnya RCTI Network SumatraSumatera Selatan/PT RCTI Lima IPP-nya dikeluarkan pada 3 November 2011 bernomor 561/KEP/M.KOMINFO/11/2011) yang dikeluarkan oleh KPI Daerah masing-masing.<ref name="ipp"/>
* Kepemilikan anggota jaringan umumnya dimiliki mutlak (90%) oleh induk jaringan atau perusahaan lainnya yang terafiliasi. Model kepemilikan pertama misalnya tampak pada kepemilikan jaringan-jaringan SCTV,<ref name="ippscm"/> sedangkan model kedua tampak pada kepemilikan jaringan-jaringan NET.<ref name="ippnet"/> Sedangkan 10%-nya bisa dimiliki oleh pemegang saham lokal, atau mungkin bahkan dikelola juga oleh perusahaan afiliasi jaringan televisi tersebut.<ref name="ippnet"/><reFref>[https://journal.budiluhur.ac.id/index.php/comm/article/download/76/62 IMPLEMENTASI REGULASI SISTEM STASIUN JARINGAN (ANALISIS EKONOMI POLITIK MEDIA PADA RCTI NETWORK BANTEN)]</ref> Akibat dari hal tersebut, harapan ''diversity of ownership'', ''diversity of content'' dan pemerataan ekonomi yang digadang-gadang UU Penyiaran sulit terlaksana.<Refref name=muhammadiyah>[https://jurnal.umj.ac.id/index.php/perspektif/article/download/3958/2932 SIstem Stasiun Jaringan]</ref>
* Siaran lokal umumnya sangat minim (maksimal 10% dari waktu siaran, jika waktu siaran 24 jam maka siaran lokalnya hanya 2,4 jam bahkan bisa lebih singkat) dan ditayangkan di waktu non-''[[Jam tayang utama|prime time]]'' (biasanya dini hari atau pagi).<ref>[https://jatengdaily.com/2020/televisi-jaringan-diingatkan-wajib-siaran-lokal/ Televisi Jaringan Diingatkan Wajib Siaran Lokal]</ref> Program lokal yang umum biasanya berupa berita lokal, ataupun program-program lama bernuansa daerah yang ditayangkan berulang-ulang (''re-run'').<ref>[https://khairullahbinmustafa.blogspot.com/2019/03/asa-mewujudkan-konten-lokal-10.html ASA MEWUJUDKAN KONTEN LOKAL 10%]</ref> Kru yang membuatnya pun bukan dari sumber daya lokal, melainkan dari induk jaringan yang ditugaskan di daerah.<Refref name=muhammadiyah/> KPI (Daerah) sebenarnya sudah beberapa kali melakukan teguran dan bahkan mengeluarkan aturan bahwa siaran lokal harus bisa ditingkatkan sebesar 50% dari jam siar,<Refref>[https://www.gatra.com/detail/news/492033/politik/televisi-ssj-langgar-ketentuan-siaran-muatan-lokal-10 Televisi SSJ Langgar Ketentuan Siaran Muatan Lokal 10%]</ref> ​namun tampaknya karena KPI tidak memiliki kewenangan besar (terutama dalam izin penyiaran dibanding pemerintah) maka kebijakan ini lebih dianggap "angin lalu".
* Identitas jaringan umumnya seragam dengan identitas induk jaringan, seperti dalam logo yang hanya dimodifikasi sedikit (ditambah tulisan nama daerah). Logo jaringan juga umumnya tidak ditampilkan dalam siaran televisi, kecuali saat siaran lokal.
* Beberapa jaringan televisi di daerah, umumnya tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai, studio yang memadai, dengan hanya membangun pemancar saja.<Refref>[https://www.antaranews.com/berita/2364566/kpid-maluku-merekomendasikan-cabut-izin-tiga-lembaga-penyiaran-swasta KPID Maluku merekomendasikan cabut izin tiga lembaga penyiaran swasta]</ref>
 
Umumnya, jaringan televisi nasional "lama" (yang terbentuk sebelum UU Penyiaran No. 32/2002 dikeluarkan, seperti [[MNCTV]], [[antv]] dan [[Indosiar]] serta sebelumnya dikenal sebagai stasiun televisi nasional) mengikuti prinsip yang ada dari PP No. 50/2005 dan aturan turunannya. Mereka melakukan konversi pada stasiun transmisi/relai di daerah-daerahnya, menjadi dikelola oleh sebuah badan hukum terpisah dari induknya di Jakarta. Satu perusahaan juga biasanya bisa memiliki dua izin siaran sekaligus di provinsi yang berbeda. Sebagai contoh, masing-masing untuk [[Jawa Barat]] dan [[Banten]], RCTI bersiaran secara berjaringan di bawah PT RCTI Satu (dengan nama udara [[RCTI Network Jawa Barat]] dan RCTI Network Banten),<Refref>[https://www.antaranews.com/berita/174646/rcti-targetkan-siaran-lokal-10-persen RCTI Targetkan Siaran Lokal 10 Persen]</ref> sedangkan [[SCTV]] bersiaran secara berjaringan di dua provinsi yang sama di bawah PT Surya Citra Mediatama (dengan nama udara SCTV Bandung dan SCTV Serang). Pola penamaan perusahaan ini ini umumnya serupa di semua eks-stasiun televisi nasional (nama televisi + daerah).<ref name="ipp">[https://e-penyiaran.kominfo.go.id/uploads/informasi/4be6453eb9b45d3e3370ede9c586ce84.pdf DAFTAR IZIN PENYELENGG÷ARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI YANG SUDAH DITERBITKAN OLEH MENTERI KOMINFO SAMPAI DENGAN NOVEMBER 2017]</ref> Pada beberapa jaringan juga, umumnya perusahaan-perusahaan jaringannya di daerah-daerah juga memancarkan siaran lokalnya dan mengelola transmisi di provinsi yang sama. Misalnya kembali ke PT RCTI Satu/RCTI Network Jawa Barat, siaran lokalnya ditransmisikan juga di beberapa kota di [[Jawa Barat]].
 
Kemudian, pada jaringan televisi nasional baru (seperti NET. dan iNews), umumnya mereka membentuk jaringannya hasil akuisisi dari stasiun televisi lokal yang ada di berbagai daerah, atau membentuk anak usaha/jaringan baru. iNews misalnya merupakan "penyatuan" dari berbagai stasiun televisi lokal seperti [[iNews Pontianak|KCTV]] [[Pontianak]], [[Deli TV]] [[Medan]], [[iNews Makassar|SUN TV]] [[Makassar]], dan lainnya. Biasanya, anggota jaringan dari televisi nasional baru awalnya bersiaran dengan nama lokal, namun kemudian identitasnya disatukan. Siaran dari jaringan-jaringannya di daerah pun tidak bisa melingkupi satu provinsi, terbatas pada satu kota saja. Misalnya kembali ke iNews, di [[SumatraSumatera Barat]], ada tiga jaringannya yang terpisah: iNews Tanah Datar (PT Semesta Bumi Televisi) dengan cakupan siar [[Batusangkar]]; [[iNews Payakumbuh]] (d/h Pass TV, PT Pass Televisi) dengan cakupan siar [[Payakumbuh]]; dan [[iNews Padang]] (d/h Minang TV, PT Minang Media Televisi Sumbar) dengan cakupan siar [[Kota Padang]].<ref name="ipp"/>
 
Meskipun demikian, ada juga tipe televisi berjaringan lain yang berada di luar pola diatas. Jaringan [[Jawa Pos Multimedia]]/JPM dan [[Indonesia Network]] misalnya, bisa kita katakan walaupun nampaknya kurang sesuai dengan pembatasan kepemilikan televisi (dipegang satu induk), namun masih mempertahankan identitas lokal yang cukup kuat di samping identitas nasional (hal ini dapat dilihat dengan jelas seperti pada kasus JPM. JPM memiliki siaran nasional seperti program berita ''Nusantara Kini'', namun masih juga memiliki porsi acara lokal yang besar pada anggota jaringannya).<ref name=swa>[https://swa.co.id/swa/trends/management/jawapostv-siapkan-dua-amunisi-baru Jawapostv Siapkan Dua Amunisi Baru]</ref> Tipe lainnya adalah sebagai ''content provider'', dimana jaringan dibangun dengan adanya acara bersama yang disuplai induk/direlai sejumlah anggota jaringan tanpa adanya kesamaan pengendalian/kepemilikan. Biasanya, metode ini dipilih karena induk jaringan tidak memiliki izin [[Izin Penyelenggaraan Penyiaran|IPP]]. Metode ini pernah ditempuh seperti oleh [[Tempo TV]],<ref>[https://seleb.tempo.co/read/229265/tempo-tv-kini-disiarkan-27-tv-lokal TEMPO TV Kini Disiarkan 27 TV Lokal]</ref> Kompas TV (saat awal kemunculannya),<ref>[https://news.detik.com/berita/d-1719018/kompas-tv-kami-content-provider-tidak-perlu-izin-siaran Kompas TV: Kami Content Provider, Tidak Perlu Izin Siaran]</ref> dan [[BTV (Indonesia)|QTV/BeritaSatu]].
 
===Perubahan dalam UU Cipta Kerja===
[[Undang-Undang Cipta Kerja|Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja]] bersama aturan turunannya (PP No. 46/2021 dan Permenkominfo No. 6/2021), mengubah sejumlah pasal dalam UU No. 32/2002 dan PP No. 50/2005 dalam siaran berjaringan. Secara umum, perubahan dalam UU Ciptaker dan aturan turunannya dalam penerapan SSJ meliputi:<ref name="KEMKOMINFObaru">[https://jdih.kominfo.go.id/produk_hukum/unduh/id/769/t/peraturan+menteri+komunikasi+dan+informatika+nomor+6+tahun+2021 Permenkominfo 6/2021]</ref><ref>[https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176342/PP_Nomor_46_Tahun_2021.pdf PP 46/2021]</ref>
* Pasal 33 UU No. 32/2002 secara dasar dirombak dengan menghilangkan pasal-pasal peran KPI (termasuk KPI Daerah) dalam proses pengajuan izin penyiaran (IPP). Penerbitan izin sepenuhnya berada di tangan menteri ([[Kemenkominfo]]) dan dari pemerintah pusat. Namun, uniknya dalam aturan turunan UU Ciptaker (PP No. 46/2021), justru tidak menghilangkan pasal-pasal di PP No. 50/2005 yang menyebutkan peran KPI dalam perizinan penyiaran. Aturan turunannya juga menambah hal lain dalam proses izin penyiaran, dengan adanya "Perizinan Berusaha" dan "Uji Laik Operasi".
* UU Ciptaker dan aturan turunannya (seperti pasal 72(7) PP No. 46/2021) menyatakan bahwa Lembaga Penyiaran Swasta diperbolehkan untuk bersiaran di seluruh wilayah Indonesia, menyimpang dari Pasal 31 UU No. 32/2002 yang tidak direvisi (''Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas''). PP No. 46/2021 menghapus pasal 35 dan 36 PP No. 50/2005 yang menetapkan batasan dalam operasional televisi swasta, seperti batas 75% provinsi di Indonesia dan 80% wilayah ekonomi maju. Khususnya dalam [[televisi digital]], siaran nasional diizinkan untuk "Layanan Program Siaran" (maksudnya saluran dalam siaran digital) sedangkan siaran lokal diberikan baik kepada "Layanan Program Siaran" dan [[Penyelenggara Multipleksing]]. Meskipun demikian, klausul tentang 10% siaran lokal dan kewajiban perusahaan di daerah-daerah masih ada dalam Permenkominfo No. 6/2021, dan dalam aturan turunan UU Ciptaker masih mewajibkan sistem siaran berjaringan jika stasiun televisi ingin bersiaran secara nasional.
 
== Lihat juga ==
Baris 125:
== Pranala luar ==
# {{id}} [http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=14444 Menyoal TV Berjaringan di '''newspaper.pikiran-rakyat.com''' oleh M. Z. Al-Faqih] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20160507233747/http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=14444 |date=2016-05-07 }}
# {{id}} [http://www.antara.co.id/view/?i=1196791017&c=NAS&s Pemerintah Didesak Implementasikan TV Berjaringan di '''antara.co.id''']{{dead link|date=Maret 2023|fix-attempted=yes}}
# {{id}} [http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=51030:menkominfo-ingatkan-pengelola-tv-soal-tv-berjaringan&catid=17&Itemid=30 Menkominfo Ingatkan Pengelola TV Soal TV Berjaringan di '''waspada.co.id''']{{dead link|date=Maret 2023|fix-attempted=yes}}
# {{id}} [http://televisiana.net/?p=17 Simpang Siur Pemahaman Televisi Berjaringan di '''televisiana.net'''] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20081221131021/http://televisiana.net/?p=17 |date=2008-12-21 }}
# {{id}} [http://www.borneotribune.com/pendidikan/sistem-stasiun-jaringan-desentralisasi-penyiaran-yang-dinantikan.html] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20160427155749/http://www.borneotribune.com/pendidikan/sistem-stasiun-jaringan-desentralisasi-penyiaran-yang-dinantikan.html |date=2016-04-27 }}