Suku Bali: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Super Hylos (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(45 revisi perantara oleh 25 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{ethnic group|5|group=Suku Bali<br /><small>''{{brscript|Bali|ᬳᬦᬓ᭄‌ᬩᬮᬶ}} (''Anak Bali)'')</small>
|image = Bali Hindu Wedding Traditional Dress.jpg
|image=[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Drie Balinese danseressen TMnr 10004682.jpg|300px]]
|caption=Para gadis penari= Bali,Pakaian {{circa}}adat tahunpernikahan 1920-anorang [[Bali]].
|poptime ='''3.946.416<ref name="bps"/>'''
|popplace =[[Provinsi Bali]]:{{flag|Indonesia}} '''3.336946.065416'''<brref name="SUKU"/>
|region1 = [[Bali]]
[[Nusa Tenggara Barat]]:119.407<br>
|pop1 = 3.336.065
[[Sulawesi Tengah]]:115.812<br>
|region2 = [[Nusa Tenggara Barat]]
[[Lampung]]:104.810<br>
|pop2 = 119.407
[[Sulawesi Tenggara]]:49.411<br>
|region3 = [[Sulawesi Tengah]]
[[Sumatra Selatan]]:38.552<br>
|pop3 = 115.812
[[Sulawesi Selatan]]:27.330<br>
|region4 = [[Lampung]]
|langs=[[Bahasa Bali]] dan [[bahasa Indonesia|Indonesia]]
|pop4 = 104.810
|rels=Mayoritas beragama [[Hindu Bali]] (±97%);{{br}}Minoritas beragama [[Islam]], [[Kristen]], [[Katolik]], dan [[Buddha]] (±3%)
|region5 = [[Sulawesi Tenggara]]
|related=[[suku Jawa]] (termasuk [[Suku Tengger|orang Tengger]] dan [[Suku Osing|Osing]]) dan [[suku Sasak]]
|pop5 = 49.411
|region6 = [[Sumatera Selatan]]
|pop6 = 38.552
|region7 = [[Sulawesi Selatan]]
|pop7 = 27.330
|region8 = [[Jawa Barat]]
|pop8 = 20.832
|region9 = [[Jawa Timur]]
|pop9 = 20.363
|region10 = [[DKI Jakarta]]
|pop10 = 15.181
|region11 = [[Sulawesi Barat]]
|pop11 = 14.657
|region12 = [[Sulawesi Utara]]
|pop12 = 14.347
|region13 = [[Kalimantan Selatan]]
|pop13 = 11.999
|langs = [[Bahasa Bali]] dan [[Bahasa Indonesia]]
|rels = '''Mayoritas'''<br>[[Berkas:Modre symbol Omkara.png|17px]] 95,22% [[Hindu Bali]]<br>'''Minoritas'''<br>{{•}}[[Berkas:Allah-green.svg|15px]] 3,24% [[Islam|Islam Sunni]]<br>{{•}}[[Berkas:Christian cross.svg|12px]] 1,26% [[Kristen]] ([[Protestan]] & [[Katolik]])<br>{{•}}[[Berkas:Dharma Wheel (2).svg|18px]] 0,26% [[Agama Buddha|Budha]]<br>{{•}}0,02% Lainnya<ref name=2010census>{{cite book |author=Aris Ananta |author2=Evi Nurvidya Arifin |author3=M Sairi Hasbullah |author4=Nur Budi Handayani |author5=Agus Pramono |title=Demography of Indonesia's Ethnicity |location=Singapore |publisher=Institute of Southeast Asian Studies |date=2015 |page=273}}</ref>
|related = [[Suku Sasak|Suku Sasak/Lombok]], [[Suku Sumbawa]], [[Suku Jawa]], [[Suku Osing]], [[Suku Madura]]
}}
 
'''Suku Bali''' ([[bahasa Bali]]: ''Anak Bali'', ''Wong Bali'', atau ''Krama Bali'') adalah [[suku bangsa]] mayoritas di pulau [[Bali]], yang menggunakan [[bahasa Bali]] dan mengikuti budaya Bali. Menurut hasil Sensus Penduduk 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia.<ref name="bps">{{cite book|publisher=Badan Pusat Statistik|title =Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010|year =2011|isbn=9789790644175|url=http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html}}</ref> Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di [[Provinsi Bali]] dan sisanya terdapat di [[Nusa Tenggara Barat]], [[Sulawesi Tengah]], [[Lampung]], [[Bengkulu]] dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya.<ref>http://www.joshuaproject.net/assets/prayer-cards/id/PrayerCards-Country-MY-id.pdf</ref>
'''Suku Bali''' ({{lang-ban|ᬳᬦᬓ᭄‌ᬩᬮᬶ|anak Bali}}; disebut juga '''''wong Bali''''' atau '''''krama Bali''''') adalah [[suku bangsa]] mayoritas di pulau [[Bali]], yang menggunakan [[bahasa Bali]] dan mengikuti budaya Bali. Menurut hasil [[Sensus Penduduk Indonesia 2010]], ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia.<ref name="SUKU">{{Cite web|url=http://demografi.bps.go.id/phpfiletree/bahan/kumpulan_tugas_mobilitas_pak_chotib/Kelompok_1/Referensi/BPS_kewarganegaraan_sukubangsa_agama_bahasa_2010.pdf|title=Kewarganegaraan Suku Bangsa, Agama, Bahasa 2010|website=demografi.bps.go.id|publisher=[[Badan Pusat Statistik]]|year=2010|format=PDF|accessdate=23 Februari 2022|pages=23-41|archive-date=12 Juli 2017|archive-url=https://web.archive.org/web/20170712140438/http://demografi.bps.go.id/phpfiletree/bahan/kumpulan_tugas_mobilitas_pak_chotib/Kelompok_1/Referensi/BPS_kewarganegaraan_sukubangsa_agama_bahasa_2010.pdf|dead-url=yes}}</ref> Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di [[Provinsi Bali]] dan sisanya terdapat di [[Nusa Tenggara Barat]], [[Sulawesi Tengah]], [[Lampung]], [[Bengkulu]] dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya.<ref name="SUKU"/>
 
== Asal usul ==
{{main|Sejarah Bali}}
 
Asal usul suku
Asal usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang [[migrasi]]:
Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang [[migrasi]]: gelombang pertama terjadi sebagai akibat dari persebaran penduduk yang terjadi di [[Nusantara]] selama [[prasejarah|zaman prasejarah]]; gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa [[sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha|perkembangan agama Hindu]] di Nusantara; gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal dari [[Jawa]], ketika [[Majapahit]] runtuh pada [[abad ke-15]]—seiring dengan [[Islamisasi]] yang terjadi di Jawa—sejumlah rakyat Majapahit memilih untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk [[sinkretisme]] antara kebudayaan Jawa klasik dengan tradisi asli Bali.
# Gelombang pertama terjadi sebagai akibat persebaran penduduk yang terjadi di [[Nusantara]] selama [[prasejarah|zaman prasejarah]];
# Gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa [[sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha|perkembangan agama Hindu]] di Nusantara;
# Gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal dari [[Jawa]], ketika [[Majapahit]] runtuh pada [[abad ke-15]]—seiring dengan [[Islamisasi]] yang terjadi di Jawa—sejumlah rakyat Majapahit memilih untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk [[sinkretisme]] antara [[Budaya|kebudayaan]] Jawa klasik dengan [[tradisi]] asli Bali.
 
== Kebudayaan ==
{{further|Kesenian Bali|Tari Bali|Arsitektur Bali|Masakan Bali}}
Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukirnya. [[Miguel Covarrubias|Covarrubias]] mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan—lepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya—mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah [[pura]] yang indah, pemain [[gamelan]] andal, dan bahkan aktor berbakat.{{sfn|Vickers|2012|p=293}} Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun [[kelapa]] dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang.{{sfn|Vickers|2012|p=294}} Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin [[amatir]], yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud [[yadnya|persembahan]], dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak.{{sfn|Vickers|2012|p=296}} Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa, atau dihiasi [[relief]] kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.{{sfn|Vickers|2012|p=298}}
{{multiple image
|align=left
|total_width=500
|header=Para gadis memakai ''sabuk'', baju Bali asli
|image1=A Balinese girl behind the door during The Pandan War festival; Riza Nugraha; June 2006.jpg
|caption1=
|image2=Girls in traditional Hindu dress in Bali Indonesia.jpg
|caption2=
}}
{{multiple image
|align=left
|total_width=500
|header=Para gadis Bali memakai [[kebaya]] modern
|image1=Kebaya Bali.jpg
|caption1=
|image2=Three Balinese girls wearing kebaya.jpg
|caption2=
}}
Kebudayaan Bali terkenal akan [[Tari|seni tari]], [[Seni pertunjukan|seni pertujukan]], dan [[Ukiran|seni ukir]]. [[Miguel Covarrubias]] mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan—terlepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya—mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah [[pura]] yang indah, pemain [[gamelan]] andal, dan bahkan aktor berbakat.{{sfn|Vickers|2012|p=293}} Bahkan [[sesajen]] yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun [[kelapa]] dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang.{{sfn|Vickers|2012|p=294}} Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin [[amatir]], yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud [[yadnya|persembahan]], dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak.{{sfn|Vickers|2012|p=296}} Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas [[Tionghoa]], atau dihiasi [[relief]] kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.{{sfn|Vickers|2012|p=298}}
 
[[Gamelan]] merupakan bentuk [[Musik|seni musik]] yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk ''piodalan'' (hari jadi) berbeda dengan musik pengiring acara ''metatah'' (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, [[ngaben]], [[melasti]], dan sebagainya.{{sfn|Spies|1938|p=6–10}} Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut [[Walter Spies|Spies]], seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.{{sfn|de Zoete|1938|p=6–10}}
 
Sebagaimana di [[Jawa]], suku Bali juga mengenal pertunjukan [[wayang]], tetapi dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara [[agama Hindu]]-[[Buddhisme|Buddha]] dengan tradisi Bali.
 
Sebagaimana di [[Jawa]], suku Bali juga mengenal pertunjukan [[wayang]], namun dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara [[agama Hindu]]-[[Buddhisme|Buddha]] dengan tradisi Bali.
<gallery widths="220" heights="150">
File:Bali-Danse 0704a.jpg|Penari Legong di [[Ubud]].
Baris 35 ⟶ 79:
== Kepercayaan ==
{{main|Agama Hindu Bali}}
[[Berkas:KegiatanPura PersembahyanganTaman MasyrakatAyun Hinduterletak di Mengwi, Bali.jpg|jmpl|Kegiatan250px|ka|[[Pura]], persembahyanganrumah masyrakatibadah umat [[Hindu Bali di suatu desa di Sulawesi Tengah]].]]
[[Berkas:Kegiatan Persembahyangan Masyrakat Hindu Bali.jpg|jmpl|250px|ki|Kegiatan persembahyangan [[Hindu Bali]] di suatu desa di Sulawesi Tengah.]]
Sebagian besar suku Bali beragama [[Hindu Bali|Hindu]]. Sebanyak 3,2 juta [[umat Hindu]] [[Indonesia]] tinggal di Bali,<ref name="bps"/> dan sebagian besar menganut kepercayaan Hindu aliran [[Siwa-Buddha]], sehingga berbeda dengan Hindu India.
[[Berkas:Gedung Kantor Sinode GKPB.jpg|jmpl|250px|ka|Kantor sinode [[Gereja Kristen Protestan Bali]] di [[Mengwi, Badung|Mengwi]] [[Kabupaten Badung]].]]
 
Sebagian besar suku Bali beragama [[Hindu Bali|Hindu]]. Sebanyak 3,2 juta [[umat Hindu]] [[Indonesia]] tinggal di Bali,<ref name="SUKU"/> dan sebagian besar menganut kepercayaan Hindu aliran [[Siwa-Buddha]], sehingga berbeda dengan Hindu India.
 
Para pendeta dari [[India]] yang berkelana di [[Nusantara]] memperkenalkan sastra Hindu-Buddha kepada suku Bali berabad-abad yang lalu. Masyarakat menerimanya dan mengkombinasikannya dengan [[mitologi Bali|mitologi pra-Hindu]] yang diyakini mereka.<ref>Steve Lansing, ''Three Worlds of Bali''. Praeger, 1983.</ref> Suku Bali yang telah ada sebelum gelombang migrasi ketiga, dikenal sebagai [[Suku Bali Aga|Bali Aga]], sebagian besar menganut agama berbeda dari suku Bali pada umumnya. Mereka mempertahankan tradisi [[animisme]].
 
Eksistensi kepercayaan suku Bali tak lepas dari campur tangan serta dukungan pemerintah kolonial Belanda, beberapa ''naturalist'', elit Bali dan masyarakat Belanda. Pemerintah kolonial melarang [[misionaris]] beroperasi di Bali pada 1881. Pada 1924, misi [[Gereja Katolik Roma|Katolik Roma]] ke Bali ditolak elite Bali dan pegawai kolonial mendukung hal itu. Selain itu, misionaris Protestan Belanda yang mau masuk ke Bali pada 1931 juga ditentang.<ref>{{citation |url=https://tirto.id/sejarah-hindu-bali-upaya-menuntut-pengakuan-dari-negara-diDD |title=Sejarah Hindu Bali: Upaya Menuntut Pengakuan dari Negara |author=Hussein Abdulsalam |created=9 Maret 2019 |access-date=16 Juni 2019}}</ref>
 
Setelah beberapa kali dilakukan penolakan, pada tanggal [[11 November]] [[1931]] ketua [[Christian and Missionary Alliance]] (CMA), R. A. Affray, membaptiskan 12 orang Bali asli di Yeh Poh, sungai kecil dekat dusun Untal-untal di [[Dalung, Kuta Utara, Badung|Desa Dalung]]. Dari sinilah sebagian suku Bali mulai menganut agama [[Kristen Protestan]] dengan gerejanya yaitu [[Gereja Kristen Protestan Bali]] (GKPB). Desa [[Blimbing Sari, Melaya, Jembrana|Blimbingsari]] di [[Melaya, Jembrana|Kecamatan Melaya]], [[Kabupaten Jembrana]] adalah salah satu desa di mana penduduknya mayoritas suku Bali yang beragama Kristen.<ref>{{cite web|url=https://www.jawaban.com/read/article/id/2021/10/23/4/211022103153/desa_blimbingsariwisata_religi_yang_padukan_gereja_dengan_sentuhan_budaya_bali|title=Desa Blimbingsari, Wisata Religi yang Padukan Gereja dengan Sentuhan Budaya Bali|website=www.jawaban.com|accessdate=23 Februari 2022}}</ref>
 
== Tata cara penamaan ==
{{main|Nama Bali}}
Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai anak-anak mereka. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang. Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar linguistik dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang dinobatkan oleh Mahapatih [[Majapahit]], [[Gajah Mada]], sebagai perpanjangan tangan Majapahit di Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut Ngulesir". Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir [[abad ke-20]], masyarakat Bali pun masih menggunakannya.
 
== Sistem kasta ==
Masyarakat Bali mengenal sistem [[kasta]] yang diturunkan dari leluhur mereka. Meski saat ini tidak lagi diberlakukan secara kaku sebagaimana pada masa lampau, namun dalam beberapa hal masih dipertahankan. Misalnya dalam tradisi upacara adat dan perkawinan masih dikenal pembedaan berdasarkan galur keturunan leluhur yang mengarah pada kasta di masa lalu.
 
Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai anak-anak mereka. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang. Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar [[linguistik]] dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang dinobatkan oleh Mahapatih [[Majapahit]], [[Gajah Mada]], sebagai perpanjangan tangan Majapahit di Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut Ngulesir". Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir [[abad ke-20]], masyarakat Bali pun masih menggunakannya.
Sistem kasta ini bermula pada abad XIV saat [[Kerajaan Bali]] ditundukkan oleh [[Majapahit]]. Pada mulanya kasta ini dibuat dan dimaksudkan untuk membedakan antara kaum penguasa asal Majapahit dari [[Jawa]] yang diberi kuasa memerintah di Bali dengan masyarakat lokal taklukan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah minoritas, tetapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Mereka membentuk sendiri strata sosial kelas atas yang berpuncak pada Dinasti Kepakisan, yang berasal dari Majapahit.
 
== Sistem Strata Sosial ==
Mereka menguasai seluruh pulau bali dengan membagi kekuasaan di antara mereka, para panglima dan keturunannya. Para raja, bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, punggawa militer, abdi Keraton, beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit) menciptakan 3 kelas teratas untuk kalangan mereka.
Sistem kehidupan masyarakat Bali disebut '''Wangsa''' berbeda dengan [[catur warna]] di [[Weda]], wangsa yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Meski saat ini tidak lagi diberlakukan secara kaku sebagaimana pada masa lampau, tetapi dalam beberapa hal masih dipertahankan. Misalnya dalam tradisi upacara adat dan perkawinan masih dikenal pembedaan berdasarkan galur keturunan leluhur yang mengarah pada wangsa di masa lalu.
* Untuk kalangan Pendeta dan pemuka agama diberikan kedudukan kasta tertinggi yakni [[Brahmana]].
* Untuk Raja, kaum bangsawan, petinggi kerajaan, dan bala tentaranya diberikan kasta [[Kesatria]].
* Untuk para abdi keraton, ahli-ahli pembuat senjata, para cendikiawan, dsb yang berasal dari Jawa diberikan Kasta [[Waisya]].
* Sedangkan untuk masyarakat Bali taklukan yang jumlahnya mayoritas tidak diberikan kedudukan atau tidak berkasta. Mereka semuanya dimasukkan dalam kelas paling bawah yang biasa disebut kaum [[Sudra]] (Kasta Sudra), atau di Bali dikenal dengan istilah "Jaba". Hal inipun diberlakukan kepada keturunan keluarga penguasa Bali kuno pra Majapahit dari Dinasti Warmadewa yang melebur dalam masyarakat Sudra setelah kehilangan kekuasaan mereka.
 
Sistem wangsa ini bermula pada abad XIV saat [[Kerajaan Bali]] ditundukkan oleh [[Majapahit]]. Pada mulanya wangsa ini dibuat dan dimaksudkan untuk membedakan antara kaum penguasa asal Majapahit dari [[Jawa]] yang diberi kuasa memerintah di Bali, dengan masyarakat lokal yang ditaklukkan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah minoritas, tetapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Mereka membentuk sendiri strata sosial kelas atas yang berpuncak pada Dinasti Kepakisan, yang berasal dari Majapahit.
Sistem kasta ini pada awalnya juga dibuat sebagai alur pembagian profesi yang berhak diturunkan kepada generasi penerusnya dan tidak boleh diambil oleh kasta lainnya. Selain itu juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan kasta mereka, terkait besar upacara dan jumlah sesajen yang diwajibkan kepada mereka. Dalam praktiknya diberlakukan pula pembatasan tidak boleh saling mengawini antar kasta secara bebas. Anak laki-laki dari kalangan berkasta boleh mengawini anak perempuan dari kasta di bawahnya ataupun anak dari kalangan Sudra. Kepada istri mereka ini diberikan hak naik Kasta dengan upacara adat pada kasata suaminya. Wanita yang telah naik kasta karena perkawinan ini kemudian disebut Jero. Seluruh keturunan mereka berhak menyandang kasta yang sama dengan ayahnya sesuai aturan Paternalistik.
 
Mereka menguasai seluruh Pulau Bali dengan membagi kekuasaan di antara mereka, para panglima dan keturunannya. Para raja, bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, punggawa militer, abdi Keraton, beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit) menciptakan 3 kelas teratas untuk kalangan mereka.
Aturan tersebut tidak berlaku kepada anak perempuan. Untuk anak perempuan dari kalangan berkasta, secara adat tidak boleh mengawini laki-laki dari kalangan kasta di bawahnya apalagi dari kaum Sudra (Jaba). Bila hal ini terjadi, maka anak perempuan itu harus meninggalkan kastanya dan jatuh selamanya ke dalam kasta suaminya.
* Untuk kalangan Pendeta dan pemuka agama diberikan kedudukan sebagai [[Brahmana]].
* Untuk Raja, kaum bangsawan, petinggi kerajaan, dan bala tentaranya diberikan warna [[Kesatria]].
* Untuk para abdi keraton, ahli-ahli pembuat senjata, para cendikiawan, dsb yang berasal dari Jawa diberikan warna [[Waisya]].
* Sedangkan untuk masyarakat Bali taklukan yang jumlahnya mayoritas tidak diberikan kedudukan. Mereka semuanya dimasukkan dalam kelas paling bawah di Bali dikenal dengan istilah "'''Jaba'''". Hal inipun diberlakukan kepada keturunan keluarga penguasa Bali kuno pra Majapahit dari Dinasti [[Warmadewa]] yang melebur dalam masyarakat Jaba setelah kehilangan kekuasaan mereka.
 
Sistem wangsa ini pada awalnya juga dibuat sebagai alur pembagian profesi yang berhak diturunkan kepada generasi penerusnya dan tidak boleh diambil oleh wangsa lainnya. Selain itu juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan wangsa mereka, terkait besar upacara dan jumlah sesajen yang diwajibkan kepada mereka. Dalam praktiknya diberlakukan pula pada perkawinan, di mana wanita yang berasal dari tri wangsa menikahi pria dari jaba akan kehilangan hak wangsanya serta keturunannya. Begitu juga sebaliknya, para istri diberikan hak naik Wangsa dengan upacara adat pada Wangsa suaminya. Wanita yang telah naik Wangsa karena perkawinan ini kemudian disebut Jero. Seluruh keturunan sah mereka berhak menyandang wangsa yang sama dengan ayahnya sesuai aturan [[Paternalisme]].
Sistem Kasta ini masih kuat dipertahankan dalam Sistem penamaan masyarakat Bali. Mereka memberikan awalan nama yang menunjukkan Kasta keluarga mereka.<ref>{{ref
 
Sistem wangsa ini masih kuat dipertahankan dalam [[Nama Bali|sistem penamaan masyarakat Bali]]. Mereka memberikan awalan nama yang menunjukkan wangsa keluarga mereka.<ref>{{citation
| last = Pasupati
| firstlast = BudiSadnyini
| titlefirst = NamaIda Orang BaliAyu
| title = CASTE SYSTEM OF HINDU COMMUNITY IN BALI: HISTORICAL JURIDICAL PERSPECTIVE
| url= http://cakepane.blogspot.com/2012/07/nama-orang-bali.html?m=1
| url= http://www.savap.org.pk/journals/ARInt./Vol.7(2)/2016(7.2-11).pdf
| accessdate = 2015-08-08}}</ref>
| accessdate = 2019-06-16}}</ref>
<ref>{{citation |url=http://inputbali.com/sejarah-bali/sejarah-adanya-kasta-di-bali |title=Sejarah Adanya Kasta di Bali |created=4 Mei 2019 |access-date=16 Juni 2019}}</ref>
 
== Galeri ==
<gallery widths="220" heights="150">
File:Three Balinese girls wearing kebaya.jpg|Para gadis Bali sedang menjunjung ''keben'', produk anyaman khas Bali sebagai wadah sesajen dan keperluan sehari-hari.
File:Bali 0720a.jpg|Para wanita Bali bergotong-royong saat menyambut hari raya.
File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Goesti Ngoera K'toet Djilantik vorst van Boleleng Bali met zijn dochter. TMnr 60002162.jpg|Raja Buleleng, Gusti Ngurah Ketut Jelantik beserta putrinya.