Sumatera Selatan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abcdef242526 (bicara | kontrib)
Tag: halaman dengan galat kutipan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Abcdef242526 (bicara | kontrib)
Tag: halaman dengan galat kutipan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler pranala ke halaman disambiguasi
Baris 113:
Kerajaan Medang berhasil merebut [[Palembang]] pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti ''Hujung Langit'' tahun 997 menyebutkan serangan Jawa di Sumatra. Rentetan serangan dari Jawa ini akhirnya gagal karena Jawa gagal membangun pijakan di Sumatera. Merebut ibu kota Palembang saja tidak cukup karena Sriwijaya menyebar di beberapa kota pelabuhan di [[Selat Malaka]]. Kaisar Sriwijaya, [[Sri Cudamani Warmadewa]], melarikan diri dari ibu kota dan berkeliling mendapatkan kembali kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja bawahannya serta berhasil memukul mundur angkatan laut Jawa.
 
Pada tahun 1025, kekaisaran ini dikalahkan oleh [[Dinasti Chola|Kekaisaran Chola]] (pada masa Kaisar [[Rajendra Chola]] I) di [[India selatan]].<ref>Early kingdoms of the Indonesian archipelago and the Malay Peninsula by Paul Michel Munoz p.161</ref><ref>Cengage Advantage Books: The Earth and Its Peoples by Richard Bulliet, Pamela Crossley, Daniel Headrick, Steven Hirsch, Lyman Johnson p.182</ref> Kerajaan Chola telah menaklukkan wilayah jajahan Sriwijaya seperti wilayah [[Kepulauan Nikobar]] dan sekaligus berhasil menangkap raja Sriwijaya yang berkuasa [[Sangrama Vijayatunga Varman-Vijayottunggawarman]]. Pada dekade-dekade berikutnya, seluruh kerajaan Sriwijaya berada di bawah pengaruh Dinasti Chola. Rajendra Chola I memberikan kesempatan kepada raja-raja yang ditaklukkannya untuk tetap berkuasa namun tetap tunduk padanya.<ref>Sastri K. A. N., (1935). ''The Cholas''. University of Madras.</ref> Ibu kota Sriwijaya akhirnya berpindah ke utara menuju Jambi. Hal ini dapat dikaitkan dengan berita delegasi ''San-fo-ts'i'' ke Tiongkok pada tahun 1028. Faktor kemunduran Sriwijaya lainnya adalah faktor alam. Akibat sedimentasi lumpur di [[Sungai Musi]] dan beberapa anak sungai lainnya, kapal dagang yang tiba di Palembang berkurang.{{sfn|Sucipto|2009|p=29}} Akibatnya kota palembang semakin menjauh dari laut dan tidak strategis. Akibat kedatangan kapal dagang tersebut, pajak mengalami penurunan dan melemahkan perekonomian dan kedudukan Sriwijaya.{{sfn|Sucipto|2009|p=30}}
 
Menurut buku Tiongkok [[Dinasti Song]] ''[[Zhu Fan Zhi]]'',<ref>[[Friedrich Hirth]] and [[W.W. Rockhill]] ''[http://ebook.lib.hku.hk/CADAL/B31403797/ Chao Jukua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth centuries, entitled Chu-fan-chi] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20110721092722/http://ebook.lib.hku.hk/CADAL/B31403797/ |date=2011-07-21 }}'' St Petersburg, 1911.</ref> ditulis sekitar tahun 1225 oleh [[Zhao Rugua]], dua kerajaan terkuat dan terkaya di kepulauan [[Asia Tenggara]]n adalah Sriwijaya dan [[Jawa]] ([[KediriKerajaan (kerajaan bersejarah)Kadiri|Kediri]]), dengan bagian barat (Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa bagian barat/[[Kerajaan Sunda|Sunda]]) di bawah kekuasaan Sriwijaya dan bagian timur di bawah kekuasaan Kediri. Dikatakan bahwa masyarakat di Jawa menganut dua agama, [[Budha]] dan agama [[Brahmana]] ([[Hinduisme]]), sedangkan masyarakat Sriwijaya menganut agama Budha. Buku tersebut menggambarkan masyarakat Jawa sebagai orang yang pemberani, pemarah dan mau berkelahi. Ia juga mencatat hiburan favorit mereka seperti [[sabung ayam]] dan adu babi. Koin yang digunakan sebagai mata uang terbuat dari campuran [[tembaga]], [[perak]], dan [[timah]].
 
Sriwijaya tetap menjadi kekuatan laut yang tangguh hingga abad ke-13.<ref name="end" /> Menurut [[George Cœdès]], pada akhir abad ke-13, kekaisaran "telah tidak ada lagi... disebabkan oleh tekanan simultan di dua sisinya yaitu Siam dan Jawa."<ref name="Cœdès">{{cite journal|last=Cœdès |first=George |author-link=George Cœdès |year=1918 |title=Le Royaume de Çriwijaya |journal=Bulletin de l'École Française d'Extrême-Orient |volume=18 |issue=6 |pages=1–36}}</ref>{{rp|204,243}} Namun, terjadi kekosongan kekuasaan di wilayah tersebut karena tidak ada kekuatan besar yang menguasai wilayah tersebut kecuali [[Kekaisaran Majapahit]] yang semakin melemah, yang berpusat di Pulau Jawa. Kekosongan ini memungkinkan perompak berkembang biak di wilayah tersebut.
 
Setelah ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1375 M, wilayah Palembang dijadikan wilayah bawahan Kerajaan Majapahit, di bawah pimpinan [[Hayam Wuruk]]. Pemerintahan di Palembang diserahkan kepada seorang bupati yang diangkat langsung oleh Majapahit. Namun permasalahan internal di Kerajaan Majapahit mengalihkan perhatian mereka dari wilayah taklukan, menyebabkan wilayah palembang dikuasai oleh para pedagang dari Tiongkok. Hingga Majapahit kembali menguasai Palembang setelah mengirimkan seorang panglima bernama Arya Damar.
 
=== Kesultanan Palembang ===
{{Main|Kesultanan Palembang}}
[[File:Mahmud Badaruddin II.jpg|thumb|236x236px|Sultan [[Mahmud Badaruddin II]] dari Palembang memimpin pemberontakan melawan Belanda pada abad ke-19. Pada akhirnya, dia dikalahkan dan diasingkan ke [[Maluku]]. Sekarang ia diperingati sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]].]]
Pada akhir abad ke-15, [[Islam]] telah menyebar ke seluruh wilayah, menggantikan agama Budha dan Hindu sebagai agama dominan. Sekitar awal abad ke-16, [[Tomé Pires]], seorang petualang dari [[Portugal]], mengatakan bahwa Palembang telah dipimpin oleh seorang ''[[Wakil|patih]]'' (bupati) yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk ke [[Kesultanan Demak]] dan ikut menyerang [[Portugis Malaka|Malaka]], yang pada saat itu telah dikuasai oleh [[Kekaisaran Portugis|Portugis]]. Pada tahun 1659, Sri Susuhunan Abdurrahman memproklamirkan berdirinya [[Kesultanan Palembang]]. Kesultanan Palembang berdiri selama hampir dua abad, yaitu pada tahun 1659 hingga tahun 1825. Sultan Ratu Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, atau Sunan Cinde Walang, adalah raja pertama Kesultanan Palembang.
 
Masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1776–1803) dikenal sebagai masa keemasan Kesultanan Palembang, perekonomian kesultanan meningkat tajam karena adanya perdagangan, termasuk dengan [[Perusahaan Hindia Timur Belanda|VOC]]. VOC kesal dengan monopoli perdagangan Sultan Bahauddin yang menyebabkan kontrak mereka sering ditolak. Sultan Bahauddin lebih suka berdagang dengan [[Kerajaan Inggris|Inggris]], [[Dinasti Qing|Tiongkok]] dan [[Orang Melayu]] di [[Riau]]. Dampak dari kebijakan tersebut menghasilkan kekayaan yang sangat besar bagi kekaisaran. Kesultanan Palembang mempunyai letak yang strategis dalam melakukan hubungan dagang, terutama bumbu dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga menguasai [[Kepulauan Bangka Belitung|Kepulauan Bangka-Belitung]] yang mempunyai tambang timah dan diperdagangkan sejak abad ke-18.<ref>{{cite book|title=A history of modern Indonesia since c. 1300|last=Ricklefs|first=M.C.|page=139|author-link=Merle Calvin Ricklefs}}</ref>
 
Ketika Perusahaan Hindia Timur Belanda meningkatkan pengaruhnya di wilayah tersebut, Kesultanan mulai mengalami kemunduran dan kehilangan kekuasaannya. Selama [[Perang Napoleon]] pada tahun 1812, sultan pada saat itu, [[Mahmud Badaruddin II]] menolak klaim kedaulatan Inggris. Inggris, di bawah [[Stamford Raffles]] menanggapinya dengan menyerang Palembang, memecat istana, dan mengangkat adik laki-laki sultan yang lebih kooperatif, Najamuddin naik takhta. Belanda berusaha memulihkan pengaruhnya di istana pada tahun 1816, namun Sultan Najamuddin tidak mau bekerja sama dengan mereka. Sebuah ekspedisi yang dilancarkan Belanda pada tahun 1818 dan menangkap Sultan Najamudin serta mengasingkannya ke [[Batavia, Hindia Belanda|Batavia]]. Sebuah garnisun Belanda didirikan pada tahun 1821, tetapi sultan mencoba melakukan serangan dan meracuni garnisun secara massal, yang diintervensi oleh Belanda. Mahmud Badaruddin II diasingkan ke [[Ternate]], dan istananya dibakar habis. Kesultanan ini kemudian dihapuskan oleh Belanda dan pemerintahan kolonial langsung didirikan.<ref name=":12">{{Cite book|title=Asia and Oceania: International Dictionary of Historic Places|publisher=Routledge|year=1996|isbn=1-884964-04-4|editor-last=Schellinger|editor-first=Paul E.|location=New York|page=663|editor-last2=Salkin|editor-first2=Robert M.}}</ref>
 
[[File:1909 Atlas sekolah Hindia-Nederland map of Palembang.jpg|jmpl|Peta Keresidenan Palembang pada 1909]]
Provinsi Sumatera Selatan dikenal juga dengan sebutan "Bumi Sriwijaya". Pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat Kedatuan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di [[Nusantara]]. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke [[Madagaskar]] di [[Benua Afrika]].{{cn}}
 
=== Pendudukan dan kemerdekaan Jepang ===
Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan [[Majapahit]]. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari [[Mancanegara]] terutama dari negeri [[Tiongkok]].{{cn}} Pada awal abad ke-15 berdirilah [[Kesultanan Palembang]] yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh [[Jepang]].{{cn}} Ketika masih berjaya, Kedatuan Sriwijaya juga menjadikan [[Palembang]] sebagai Kota Kerajaan.{{cn}}
Sumatera Selatan diduduki oleh Jepang pada tanggal 15 Januari 1942, setelah [[Pertempuran Palembang]] di [[Perang Dunia II]].<ref>{{cite web|url=https://warfare.gq/dutcheastindies/palembang.html|title=The Battle for Palembang |work=Forgotten Campaign: The Dutch East Indies Campaign 1941–1942 |access-date=22 March 2019}}</ref> Setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]], Sumatera Selatan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera sebagai [[keresidenan]] dengan [[Adnan Kapau Gani]] sebagai residennya. Pada tanggal 1 Januari 1947, Belanda berusaha merebut kembali kedaulatannya atas Sumatera Selatan dengan menyerbu Palembang dan terjadilah pertempuran di seluruh Sumatera Selatan hingga kemerdekaan Indonesia [[Konferensi Meja Bundar|diakui oleh Belanda]] pada tanggal 27 Desember 1949. Wilayah yang diduduki Belanda di Sumatera Selatan dimasukkan ke dalam [[Negara Sumatera Selatan]] di bawah [[Republik Indonesia Serikat]] sampai pembubaran serikat pekerja dan berdirinya republik.
 
=== Pemekaran provinsi pasca kemerdekaan ===
Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi.{{cn}} Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi [[Kota]] [[Palembang]] yang diperingati setiap tahunnya.
Pada tanggal 12 September 1950 berdirilah Provinsi Sumatera Selatan dengan wilayah yang jauh lebih luas dibandingkan sekarang, karena mencakup sepertiga bagian selatan pulau [[Sumatera]] yang meliputi wilayah yang akhirnya dibentuk menjadi provinsi-provinsi tersendiri: [[Lampung]] diukir dari bagian selatan provinsi pada tahun 1964, [[Bengkulu]] dari pesisir barat provinsi pada tahun 1967, dan [[Kepulauan Bangka Belitung|Bangka Belitung]] pada tanggal 4 Desember 2000.<ref>{{cite web|url=http://irsansingomataram.blogspot.com/2012/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html|title=Irsan Singo Mataram: Sejarah Sumatera Selatan|first=Bunga Mayang Tiuh|last=Kita|website=irsansingomataram.blogspot.com|year=2012}}</ref>
 
== Geografi ==