Syafruddin Prawiranegara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Susilo budiman (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
→‎Daftar pustaka: rekat Politikus Partai Masyumi
(5 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 4:
| image_size = 200px
| caption = Syafruddin pada 1960-an
| office = [[Kabinet Darurat|Ketua <br> Pemerintahan Darurat Republik Indonesia]]<br/><small>''Setingkat Presiden dan Perdana Menteri Republik Indonesia''<small/small>{{efn|Merangkap Menteri Keuangan dan Penerangan.{{sfn|Kementerian Penerangan|1986|p=172}} Awalnya juga sebagai Menteri Dalam Negeri, tetapi digantikan oleh [[A.A. Maramis]].{{sfn|Kahin|1999|p=140}}}}
| term_start = 19 Desember 1948
| term_end = 14 Juli 1949
Baris 64:
}}
 
[[Meester in de Rechten|Mr.]] '''Sjafruddin Prawiranegara''' ([[Ejaan Yang Disempurnakan|EYD]]: Syafruddin Prawiranegara) {{lahirmati|[[Kabupaten Serang|Serang]], [[Banten]]|28|2|1911|[[Jakarta]]|15|2|1989}}) adalah seorang negarawan dan ekonom Indonesia. Ia memimpin Indonesia sebagai Ketua [[Pemerintah Darurat Republik Indonesia]] (PDRI). Selama [[Sejarah Indonesia (1950–1959)|masa Demokrasi Liberal]], ia menjabat sebagai [[Menteri Keuangan Republik Indonesia|Menteri Keuangan]] dan [[Gubernur Bank Indonesia]] pertama.
 
Syafruddin lahir di [[Banten]], dengan campuran darah [[Minangkabau|Minangkabau–]][[Suku Banten|Sunda Banten]]. Meskipun semula apolitis selama studinya di [[Rechtshoogeschool te Batavia|Rechtshoogeschool]] (Sekolah Tinggi Hukum), ia mulai aktif dalam pergerakan nasional Indonesia setelah ia bekerja. Menyusul pecahnya [[Revolusi Nasional Indonesia|perang kemerdekaan]], Syafruddin mulai terlibat dalam pemerintah sebagai Menteri Keuangan; kebijakannya yakni mencetuskan dan mendistribusikan [[Oeang Republik Indonesia]]. Pada 1948, Syafruddin ditugaskan oleh Wakil Presiden dan Menteri Pertahanan [[Mohammad Hatta]] ke [[Bukittinggi]] dan setelah pemimpin Republik Indonesia ditawan Belanda dalam [[Agresi Militer Belanda II]], ia membentuk PDRI pada 22 Desember 1948. Kiprahnya bergerilya selama tujuh bulan di Sumatra memungkinkan adanya keberlangsungan pemerintahan di tengah [[Revolusi Nasional Indonesia|perang kemerdekaan]] sehingga memaksa Belanda untuk kembali bernegosiasi.
Baris 70:
Setelah mengembalikan mandatnya kepada [[Sukarno]] pada 14 Juli 1949, Syafruddin sempat menjadi Wakil Perdana Menteri sebelum ia ditunjuk kembali menjadi Menteri Keuangan. Sebagai salah seorang tokoh partai [[Partai Masyumi (1945)|Masyumi]] yang menganut paham ekonomi [[sosialisme religius]], Syafruddin turut membentuk kebijakan ekonomi Indonesia pada awal 1950-an, dengan kebijakan moneter yang konservatif dan program sertifikat devisa. Kebijakannya yang paling terkenal, [[Gunting Syafruddin]], bertujuan memangkas pasokan uang dengan memerintahkan pengguntingan uang terbitan Belanda. Selanjutnya, ia menjadi [[Gubernur Bank Indonesia]], tetapi karena mendukung investasi asing dan menentang kebijakan [[nasionalisasi]], ia berseberangan dengan kebijakan Sukarno selama akhir masa Demokrasi Liberal.
 
Perbedaan pandangan ekonomi ini dan pergeseran sistem pemerintahan ke [[Demokrasi Terpimpin]] membuat Syafruddin turut serta dalam pemerintah tandingan PRRI di SumatraSumatera Barat pada 1958 sebagai Perdana Menteri. Selama tiga tahun, pemerintah pusat melancarkan [[Operasi 17 Agustus|operasi militer menumpas PRRI]]. Ia menyerahkan diri pada 1961, tetapi belakangan dipenjarakan. Setelah dibebaskan oleh pemerintah [[Suharto]] pada 1966, ia hengkang dari jabatan pemerintahan. Ia aktif dalam organisasi-organisasi keagamaan dan mengkritik pemerintah. Secara khusus, Syafruddin menentang penggunaan [[Pancasila]] sebagai alat politik oleh pemerintah [[Orde Baru]]. Ia meninggal pada 1989 dan dianugerahi gelar [[Pahlawan Nasional Indonesia]] pada 2011.
 
== Masa muda ==
Syafruddin lahir di [[Anyar, Serang|Anyer Kidul]], [[Kabupaten Serang]], [[Keresidenan Banten]] pada 28 Februari 1911. Ia memiliki darah keturunan [[Suku Banten]] dari pihak ayah dan [[Suku Minangkabau|Minangkabau]] dari pihak ibu.{{sfn|Kementerian Penerangan|1986|p=172}}{{sfn|Kahin|1989|p=101}} Ayahnya, Raden [[Arsyad Prawiraatmadja]], awalnya bekerja sebagai jaksa di Serang, sebelum menjadi camat di [[Jawa Timur]].{{sfn|Rosidi|1986|pp=34-35}} Buyutnya dari pihak ibu, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja [[Kerajaan Pagaruyung|Pagaruyung]] di [[SumatraSumatera Barat]], yang dibuang ke [[Banten]] karena terlibat [[Perang Padri]].{{sfn|Kahin|1989|p=101}}{{sfn|Artawijaya|2014|pp=18-20}} Pada saat Syafruddin masih berusia satu tahun, ayah dan ibu kandungnya bercerai dan Syafruddin dibesarkan oleh ibu tiri. Syafruddin baru dikenalkan ke ibu kandungnya pada usia tujuh tahun.{{sfn|Rosidi|1986|pp=25-31}}
 
Syafruddin menempuh pendidikan [[Europeesche Lagere School]] (setara SD) di Serang pada 1925, dilanjutkan ke [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs]] (setara SMP) di [[Madiun]] pada 1928, dan [[Algemeene Middelbare School]] (setara SMA) di [[Bandung]] pada 1931. Setelah itu, ia masuk ke [[Rechtshoogeschool te Batavia|Rechtshoogeschool]] (Sekolah Tinggi Hukum) di [[Jakarta]] (sekarang Fakultas Hukum [[Universitas Indonesia]]) dan meraih gelar ''[[Meester in de Rechten]]'' (saat ini setara dengan [[Sarjana Hukum]]) pada 1939.{{sfn|Kahin|1989|p=101}}{{sfn|Artawijaya|2014|pp=18-20}} Selama studinya, Syafruddin turut mendirikan perkumpulan mahasiswa Unitas Studiorum Indonesiensis yang apolitis dan didukung pemerintah [[Hindia Belanda]] sebagai alternatif dari [[Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia]] yang notabene bersifat radikal dan pro-kemerdekaan.{{sfn|Anderson|2006|p=439}}{{sfn|Legge|2010|pp=76-77}}
Baris 101:
Keberadaan PDRI di bawah Syafruddin memungkinkan adanya kepemimpinan terpusat yang menyatukan kelompok-kelompok pejuang yang terus melangsungkan perang gerilya di Jawa dan Sumatra.{{sfn|Kahin|1999|p=140}} PDRI juga berkomunikasi dengan diplomat-diplomat Indonesia yang ditugaskan ke [[Perserikatan Bangsa-Bangsa]] (PBB) di bawah [[Mohammad Roem]], yang dapat berunding dari posisi yang lebih kuat karena perlawanan PDRI.{{sfn|Kahin|1989|p=102}} Di bawah tekanan internasional dan masih menghadapi perlawanan gerilya, pihak Belanda mendekati Sukarno dan Hatta untuk berunding hingga menghasilkan [[Perjanjian Roem-Roijen]]. Syafruddin merasa dilangkahi dalam hal ini, karena ia menganggap bahwa mandat pemerintahan Indonesia ada pada PDRI bukan pada para tokoh yang berada di Bangka. Tokoh pimpinan perjuangan lain seperti Sudirman juga tidak setuju atas perundingan Sukarno dan Hatta yang tidak sebelumnya berbicara dengan PDRI dalam proses negosiasi, dan meminta Syafruddin untuk menolak perjanjian tersebut.{{sfn|Kahin|1999|pp=153-155}}{{sfn|Subdisjarah|2001|p=123}}{{sfn|Bahar|2018|p=209}}
[[Berkas:Rumah Perundingan PDRI Padang Japang 20211219.jpg|jmpl|Lokasi perundingan pemimpin PDRI dengan delegasi Hatta di Padang Japang, [[Kabupaten Lima Puluh Kota]]]]
Menurut Syafruddin, Sukarno dan Hatta beserta para tokoh lain yang diasingkan di [[Pulau Bangka]] tidak mengetahui kekuatan militer PDRI.{{sfn|Madinier|2015|pp=110-111}} Hal itu terbukti ketika Hatta hendak menemui Syafruddin dengan pergi ke Aceh karena mengira PDRI memiliki markas di sana.{{sfn|Kahin|1999|pp=153-155}}{{sfn|Subdisjarah|2001|p=123}} Untuk membujuk Syafruddin menerima hasil perjanjian Perjanjian Roem-Roijen dan menjemput para pemimpin PDRI ke Yogyakarta, Hatta mengutus delegasi yang terdiri dari [[Mohammad Natsir]], [[Johannes Leimena]], dan [[Abdoel Halim]] ke SumatraSumatera Barat. Syafruddin sempat menyatakan ketidaksetujuannya atas Perjanjian Roem-Roijen, tetapi setelah perundingan alot dengan delegasi Hatta di Padang Japang pada 6 Juli 1949, ia bersedia menerimanya demi persatuan nasional. Pada 13 Juli 1949, ia mengembalikan mandatnya selaku Ketua PDRI ke Sukarno.{{sfn|Kahin|1999|p=155}}
 
=== Waperdam dan Menkeu ===
Sekembalinya Syafruddin ke Yogyakarta, ia ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri untuk urusan Sumatra di dalam [[Kabinet Hatta II]], dengan penugasan di [[Banda Aceh]].{{sfn|Kementerian Penerangan|1986|p=172}} Karena pada saat itu kekuasaan dan komunikasi pemerintah pusat sangat lemah di Sumatra, Syafruddin diberikan kekuasaan yang cukup besar dalam menjalankan tugasnya.{{sfn|van Dijk|1981|p=288}} Selama masa PDRI, Syafruddin sering dibujuki oleh pemimpin-pemimpin daerah [[Aceh]] yang bertekad memisahkan Aceh sebagai provinsi yang terpisah dari [[SumatraSumatera Utara]].{{sfn|Djumala|2013|pp=25-26}} Pada bulan Mei 1949, Syafruddin menunjuk [[Daud Beureu'eh]] sebagai gubernur militer Aceh.{{sfn|Madinier|2015|p=160}}{{sfn|van Dijk|1981|p=288}} Ketika Syafruddin berkunjung ke Aceh pada bulan Agustus 1949, para tokoh daerah mendesak Syafruddin untuk membentuk provinsi tersebut. Desakan yang dialami Syafruddin cukup keras,{{sfn|van Dijk|1981|p=288}} sampai ia menerbitkan peraturan Waperdam pada bulan Desember 1949 yang isinya merupakan pemekaran provinsi Aceh dari SumatraSumatera Utara.{{sfn|Djumala|2013|pp=25-26}}{{sfn|Kahin|1999|p=170}} Belakangan, pemerintahan pusat selama [[Kabinet Natsir]] menyatakan bahwa pembentukan provinsi otonom Aceh merupakan suatu ''[[Keadaan kahar|force majeure]]'' (keadaan di luar kendali),{{sfn|van Dijk|1981|p=288}} dan mencabut aturan tersebut. Tindakan tersebut memancing amarah para tokoh Aceh, sampai [[Mohammad Natsir]] perlu melakukan safari ke Aceh untuk menenangkan situasi.{{sfn|Djumala|2013|pp=25-26}}{{sfn|Kahin|1999|p=170}} Di luar itu, Syafruddin juga menenangkan pegawai-pegawai negeri yang pernah bekerja di bawah kekuasaan Belanda, dan memastikan bahwa tidak ada tindak pembalasan terhadap mereka.{{sfn|Kahin|1999|p=156}}
 
Selama periode [[Republik Indonesia Serikat]] (RIS) dan Kabinet Natsir, Syafruddin kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan.{{sfn|Glassburner|1962|pp=122-124}} Saat penyusunan [[Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia]], Syafruddin mengusulkan agar ada klausul Hatta akan ditunjuk sebagai Perdana Menteri apabila terjadi krisis politik. Usulan ini diterima oleh Masyumi dan [[Wilopo]] dari [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI), tetapi kandas karena tidak didukung oleh tokoh-tokoh lain.{{sfn|Rifai-Hasan|2012|p=183}} Antara periode RIS sampai ke jatuhnya [[Kabinet Wilopo]], tokoh [[Partai Masyumi (1945)|Masyumi]] banyak tersebar dalam pemerintah, dan karena Syafruddin merupakan ekonom termasyhur dalam partai tersebut, pandangannya sangat berpengaruh dalam pemerintahan.{{sfn|Glassburner|1962|p=114}} Salah satu program Syafruddin adalah mewajibkan importir barang untuk menggunakan sertifikat devisa. Sertifikat devisa ini dapat diperoleh dengan mengekspor barang, dan bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri dari barang impor.<ref name="tirto" />[[File:Gunting Sjafruddin Poster.jpg|thumb|Ilustrasi kebijakan Gunting Syafruddin di majalah ''Sedar'', 1950]]
Baris 124:
Keadaan politik semakin memburuk pada tanggal 29 November 1957; Belanda berhasil mencegah pembahasan [[Irian Barat|Papua Barat]] di forum [[Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa]], sehingga Sukarno memerintahkan serikat-serikat buruh dan kesatuan tentara untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda.{{sfn|Lindblad|2008|p=186}}{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}} Syafruddin secara terbuka menentang proses [[nasionalisasi]] tersebut dan mengkritisi ketidakjelasan rencana pemerintah, termasuk di depan Sukarno sendiri dalam acara Musyawarah Nasional Pembangunan.{{sfn|Lindblad|2008|p=186}}{{sfn|Kahin|Kahin|1997|p=112}} Setelah percobaan pembunuhan Sukarno di Cikini pada 30 November, Syafruddin dan sejumlah pemimpin Masyumi lainnya diselidiki pihak berwenang, karena sejumlah anggota komplotan merupakan anggota sayap pemuda Masyumi.{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}} Selama bulan Desember 1957, Syafruddin beserta [[Mohammad Natsir]] dan [[Burhanuddin Harahap]] dituduh terlibat dalam peristiwa Cikini oleh berbagai media cetak, dan mereka mulai diteror melalui telepon dan diganggu oleh organisasi-organisasi paramiliter di jalanan. Untuk memastikan keamanan pribadi dan keluarga masing-masing, mereka memutuskan untuk pergi dari Jakarta, dan pada Januari 1958, Syafruddin sudah berada di [[Padang]].{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}} Meskipun Natsir dan Harahap berdalih bahwa mereka ada urusan lain di Sumatra, Syafruddin mengaku bahwa ia telah kabur dari Jakarta, karena ia "tidak bersedia mati konyol".{{sfn|Madinier|2015|pp=249-250}}{{efn|Kutipan dari surat kabar ''[[Abadi (surat kabar)|Abadi]]'', 23 Januari 1958: "Saja tidak bersedia mati konjol mendjadi mangsa binatang2 buas dalam tubuh manusia".{{sfn|Madinier|2015|pp=249-250}}}}
 
Selama di Sumatra, Syafruddin dan para tokoh Masyumi, beserta Sumitro Djojohadikusumo, menghadiri rapat di [[Sungai Dareh, Pulau Punjung, Dharmasraya|Sungai Dareh]] bersama sejumlah tokoh militer yang berniat untuk memberontak seperti Kolonel [[Maludin Simbolon]]. Dalam rapat-rapat tersebut, sejumlah perwira militer berniat untuk memisahkan Sumatra dari RI sebagai negara sendiri, tetapi gagasan ini ditentang oleh pemimpin sipil seperti Syafruddin. Pada akhirnya, rapat ini menghasilkan suatu pernyataan yang intinya menuntut pembubaran [[Kabinet Djuanda]] dan pembentukan kabinet baru di bawah pimpinan [[Hamengkubuwono IX]] dan [[Mohammad Hatta]].{{sfn|Madinier|2015|p=251}} Para tokoh ini sudah menjalin kontak dengan [[Badan Intelijen Pusat]] [[Amerika Serikat]] (CIA), yang sudah mulai mengirimkan senjata dan pendanaan secara diam-diam sejak 1957. CIA bertujuan untuk menggulingkan pemerintah Sukarno, tetapi pada saat itu belum mau untuk memberikan dukungan secara terbuka.{{sfn|Kahin|Kahin|1997|pp=120-124}}{{efn|[[Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat]], yang saat itu dipimpin [[John Foster Dulles]], menganggap bahwa Demokrasi Terpimpin di bawah Sukarno akan berkembang menjadi suatu negara komunis.{{sfn|Kahin|Kahin|1997|pp=141-142}}}} Di Palembang, Syafruddin bertemu dengan Kolonel [[Barlian]], Panglima [[Kodam II/Sriwijaya|Kodam di SumatraSumatera Selatan]]. Atas dasar perhitungan bahwa kesatuannya akan menjadi yang pertama diserang apabila memberontak, Barlian tidak langsung memutuskan untuk ikut memberontak. Selama di Palembang, Syafruddin juga menulis suatu surat terbuka ke Sukarno. Dalam tulisannya itu, Syafruddin menyatakan perlawanannya terhadap [[Demokrasi Terpimpin]] yang memusatkan kekuasaan pemerintah ke [[Sukarno]] sembari menuntut kembalinya pemerintah ke [[UUD 1945]].{{sfn|Kahin|1989|p=103}} Karena aktivitasnya ini, jabatan Syafruddin sebagai Gubernur Bank Indonesia dicabut per tanggal 1 Februari 1958 melalui Keputusan Presiden.<ref>{{cite web |title=Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1958 Tentang Pemberhentian tidak dengan hormat Mr.Sjafruddin Prawiranegara; dan Pengangkatan Mr.Lukman Hakim sebagai Gubernur Bank Indonesia |url=https://anri.sikn.go.id/index.php/keputusan-presiden-nomor-145-tahun-1958-tentang-pemberhentian-tidak-dengan-hormat-mr-sjafruddin-prawiranegara-dan-pengangkatan-mr-lukman-hakim-sebagai-gubernur-bank-indonesia |language=id |website=anri.sikn.go.id |access-date=10 Februari 2022 |archive-date=2022-02-10 |archive-url=https://web.archive.org/web/20220210142451/https://anri.sikn.go.id/index.php/keputusan-presiden-nomor-145-tahun-1958-tentang-pemberhentian-tidak-dengan-hormat-mr-sjafruddin-prawiranegara-dan-pengangkatan-mr-lukman-hakim-sebagai-gubernur-bank-indonesia |dead-url=no }}</ref>
 
===Jalannya PRRI===
[[File:MUS B.12.10. Uang pemberontakan PRRI Rp100, 1958; 1 (cropped).jpg|thumb|Uang kertas edaran PRRI tahun 1958, dengan tanda tangan Syafruddin.]]
Pada 15 Februari 1958, [[Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia]] (PRRI) dideklarasikan di Padang oleh Kolonel [[Ahmad Husein]]. Dalam kabinet PRRI, Syafruddin menduduki jabatan Perdana Menteri, merangkap Menteri Keuangan.{{sfn|Madinier|2015|p=252}}{{sfn|Kahin|1999|p=211}} Menurut Syafruddin belakangan dalam autobiografinya, Husein memintanya untuk menandatangani deklarasi pendirian PRRI. Syafruddin menulis bahwa ia menolak ini, untuk menekankan bahwa PRRI bukan merupakan inisiatifnya pribadi.{{sfn|Madinier|2015|p=253}} Pemerintahan pusat di bawah Perdana Menteri [[Djuanda Kartawidjaja]] langsung mengeluarkan perintah untuk menangkap para pemimpin sipil PRRI, termasuk Syafruddin, dan mencabut jabatan-jabatan mereka. Pesawat tempur [[TNI Angkatan Udara]] mulai menggempur kota-kota yang dikendalikan PRRI di [[SumatraSumatera Barat]] seperti Padang dan Bukittinggi seminggu setelah deklarasi tersebut.{{sfn|Kahin|1999|p=211}} Pemerintah pusat merebut Padang pada April 1958 tanpa perlawanan serius dari sayap militer PRRI. Kabarnya, begitu mendengar berita jatuhnya Padang, Syafruddin naik pitam dan menyatakan tekadnya untuk bergerilya di hutan, yang "bukan pertama kali" untuknya. Ibu kota PRRI di Bukittinggi direbut oleh pemerintah pusat pada tanggal 5 Mei 1958.{{sfn|Kahin|1999|pp=217-218}}
 
Sayap militer PRRI telah hampir ditumpas oleh pemerintah pusat dalam empat bulan saja. Para pemimpin PRRI gagal mendapatkan dukungan luas dari masyarakat, dan dukungan [[Amerika Serikat]] untuk PRRI ditarik setelah kegagalan-kegagalan tersebut.{{efn|Sejumlah tentara marinir dan [[Armada Ketujuh Amerika Serikat]] berada di lepas pantai Sumatra pada awal 1958. Menteri Luar Negeri AS [[John Foster Dulles]] berharap akan ada pemberontakan yang merembet ke seluruh Indonesia, tetapi ia dikecewakan setelah hal itu tidak terjadi dan PRRI kalah secara militer.{{sfn|Madinier|2015|pp=254-258}}}} PRRI terpaksa mundur menjadi gerilyawan di hutan dan gunung di pulau Sumatra.{{sfn|Madinier|2015|pp=254-258}} Meskipun begitu, Syafruddin menolak untuk berkompromi dengan pemerintahan pusat di Jakarta, dan pada ulang tahun PRRI pertama Syafruddin masih mengkritik kerja sama Sukarno dengan [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) dan menyerukan perlunya bentuk [[negara serikat]] untuk Indonesia.{{sfn|Kahin|1999|pp=222-224}} Saat mereka semakin terpojok, para pemimpin PRRI memproklamasikan Republik Persatuan Indonesia (RPI) di [[Bonjol, Pasaman]] pada 8 Februari 1960 sebagai negara serikat yang akan meliputi seluruh Indonesia dengan Syafruddin sebagai presidennya.{{sfn|Kahin|1999|pp=222-224}}{{sfn|Madinier|2015|pp=259-260}} Dalam konstitusi RPI, setiap negara anggota bebas memilih bentuk pemerintahan sesuai dengan kebutuhan masing-masing.{{sfn|Kahin|1999|pp=222-224}} Sementara itu, pemerintahan pusat terus menekan PRRI dan merebut kota demi kota, termasuk basis PRRI di [[Koto Tinggi, Baso, Agam|Koto Tinggi]] pada Juli 1960. Karena jatuhnya Koto Tinggi, Syafruddin dkk harus bergerilya di hutan belantara, tanpa fasilitas komunikasi dengan kesatuan-kesatuan PRRI lainnya.{{sfn|Kahin|1999|pp=225-226}}
Baris 148:
Meskipun Syafruddin setuju dengan prinsip [[keadilan sosial]] dan menghargai upaya organisasi-organisasi komunis di Eropa dalam pergerakan buruh, ia menolak [[Marxisme]] secara fundamental karena prinsip [[ateisme]] dalam paham komunis. Menurut Syafruddin, seorang Muslim atau Kristen tidak dapat menjadi seorang komunis sepenuhnya.{{sfn|Fogg|2019|pp=182-183}}{{sfn|Rifai-Hasan|2012|p=215}} Ia beranggapan bahwa banyak Muslim yang bergabung dengan organisasi komunis karena ketidakpahaman atas asas-asas dalam komunisme,{{sfn|Rifai-Hasan|2012|pp=205-206}} dan juga beranggapan bahwa Marxisme bertentangan dengan [[Undang-Undang Dasar 1945|Undang-Undang Dasar]].{{sfn|Rifai-Hasan|2012|p=175}} Meskipun begitu, pandangan teologis Syafruddin dapat dianggap liberal,{{sfn|Rifai-Hasan|2012|p=16}} dengan interpretasi yang mengedepankan [[Al-Qur'an]] di atas [[Hadits]].{{sfn|Rifai-Hasan|2012|pp=148-150}} Ia juga tidak menganggap bunga bank sebagai [[riba]].{{sfn|Assyaukanie|2009|p=78}} Syafruddin mendukung program [[keluarga berencana]] di bawah Suharto meskipun adanya fatwa yang menentang kebijakan tersebut,{{sfn|Rifai-Hasan|2012|p=154}} dan juga menentang pendirian negara Islam seperti [[Pakistan]] dengan anggapan bahwa struktur negara tersebut bersifat memaksakan agama Islam ke penduduk Indonesia lainnya.{{sfn|Rifai-Hasan|2012|pp=178-179}}
== Keluarga ==
Syafruddin menikah dengan Tengku Halimah Syehabuddin, putri Camat Buahbatu dan keturunan Raja Pagaruyung pada tanggal 31 Januari 1941.{{sfn|Kahin|1989|p=101}} Mereka memiliki delapan orang anak, salah seorangnya [[Farid Prawiranegara]].<ref>{{Cite news|title=Sederhana Hingga Akhir Hayat |url=https://nasional.tempo.co/read/80996/sederhana-hingga-akhir-hayat |access-date=14 November 2021 |work=[[Tempo.co]] |date=1 August 2006 |language=id |archive-date=14 November 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211114105931/https://nasional.tempo.co/read/80996/sederhana-hingga-akhir-hayat |url-status=live }}</ref> Selama era PDRI, keluarganya menetap di Yogyakarta, di bawah perlindungan [[Hamengkubuwono IX]], dan pada era PRRI keluarganya ikut Syafruddin bergerilya di SumatraSumatera Barat.{{sfn|Kahin|1989|p=105}}
 
Ketika Syafruddin mendekam di penjara, keluarganya sempat menjadi [[tunawisma]] karena rumah mereka disita. Untuk beberapa lama, mereka menumpang di rumah saudara dan politikus Masyumi yang bersimpati. Salah seorang anak Syafruddin ditolak masuk berbagai sekolah sampai ia menerima rekomendasi langsung dari politikus [[Partai Katolik (Indonesia)|Partai Katolik]] [[I.J. Kasimo]]. Begitu Waperdam [[Johannes Leimena]] dan [[Subandrio]] mengetahui keadaan keluarga Syafruddin yang mengenaskan, rumah mereka dikembalikan dan mereka diberi bantuan berupa sembako. Setelah Sukarno juga diberi tahu, ia menyuruh seorang pebisnis mobil untuk memberikan kepada keluarga Syafruddin dua unit mobil.<ref>{{cite news |last1=Mukhti |first1=M. F. |title=Nasib Keluarga Ketika Sjafruddin Prawiranegara Dipenjara |url=https://historia.id/politik/articles/nasib-keluarga-ketika-sjafruddin-prawiranegara-dipenjara-DEe9d/page/2 |access-date=14 November 2021 |work=Historia |date=14 April 2018 |language=id |archive-date=14 November 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211114102141/https://historia.id/politik/articles/nasib-keluarga-ketika-sjafruddin-prawiranegara-dipenjara-DEe9d/page/2 |url-status=live }}</ref>
Baris 181:
* {{cite book |title=Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia |last=Fogg |first=Kevin W. |year=2020 |publisher=Noura Books |location=[[Jakarta]] |isbn=978-623-242-186-8 |ref=harv |translator=Yanto Musthofa|ref={{harvid|Fogg|2020}}}}
* {{cite book |last1=Friend |first1=Theodore |title=Indonesian Destinies |year=2009 |publisher=[[Harvard University Press]] |isbn=978-0-674-03735-9 |url=https://www.google.com/books/edition/Indonesian_Destinies/_w6Mn4xRLt8C |language=en|ref={{harvid|Friend|2009}}}}
* {{cite journal |language=en|last1=Glassburner |first1=Bruce |title=Economic Policy-Making in Indonesia, 1950-57 |url=https://archive.org/details/sim_economic-development-and-cultural-change_1962-01_10_2/page/113|journal=Economic Development and Cultural Change |year=1962 |volume=10 |issue=2 |pages=113–133 |jstor=1151906 |issn=0013-0079|ref=harv|ref={{harvid|Glassburner|1962}}}}
* {{cite journal |last=Kahin |first=George McT.|language=en |author-link=George McTurnan Kahin |title=In Memoriam: Sjafruddin Prawiranegara (1911–1989) |url=https://archive.org/details/sim_indonesia_1989-10_48/page/101 |journal=Indonesia |volume=48 |year=1989 |publisher=Cornell Modern Indonesia Project |place=Ithaca, New York |pages=101–106 |issn=0019-7289 |jstor=3351269 |ref=harv|ref={{harvid|Kahin|1989}}}}
* {{cite book |last1=Kahin |first1=Audrey |title=Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity, 1926-1998 |year=1999 |publisher=Amsterdam University Press |isbn=978-90-5356-395-3 |url=https://www.google.com/books/edition/Rebellion_to_Integration/AlF14JYwA_wC |language=en|ref=harv|ref={{harvid|Kahin|1999}}}}
Baris 227:
[[Kategori:Pejuang kemerdekaan Indonesia]]
[[Kategori:Pejuang Pemerintahan Darurat Republik Indonesia]]
[[Kategori:Politikus Partai Masyumi]]
[[Kategori:Presiden Indonesia]]
[[Kategori:Menteri Kabinet Sjahrir II]]
Baris 241 ⟶ 242:
[[Kategori:Tokoh Petisi 50]]
[[Kategori:Tokoh Orde Lama]]
[[Kategori:Tahanan politik Indonesia]]
[[Kategori:Dinasti Mauli]]
[[Kategori:Tokoh Banten]]