Syafruddin Prawiranegara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
NaufalF (bicara | kontrib)
Tag: halaman dengan galat kutipan
Baris 130:
Syafruddin juga sering mengkritik kebijakan pro-"pribumi" pemerintah yang dianggapnya kurang jelas memisahkan modal "asing" dan "dalam negeri". Menurut Syafruddin, perbedaan antara modal asing dan dalam negeri hanya didasarkan remitansi - dengan kata lain, apabila keuntungan dibawa ke luar negeri, modal tersebut "asing", dan apabila keuntungan tetap di Indonesia, modal tersebut "dalam negeri". Berdasarkan kriteria Syafruddin ini, pengusaha-pengusaha [[Tionghoa-Indonesia]] merupakan pengusaha dalam negeri, yang bertentangan dengan kebijakan pro-pengusaha pribumi ([[Program Benteng]]) dari Sumitro.{{sfn|Lindblad|2008|p=142}} Syafruddin juga sering mengkritik kebijakan ekonomi dan moneter pemerintah selama [[Kabinet Ali Sastroamidjojo I]].{{sfn|Feith|2006|p=370}} Masa jabatan pertama Syafruddin sebagai Gubernur BI habis pada tahun 1956, dan awalnya pemerintah yang saat itu dikuasai [[Partai Nasional Indonesia]] ingin menggantikannya dengan [[Lukman Hakim]] yang merupakan anggota PNI. Meskipun begitu, karena manuver Menteri Keuangan [[Jusuf Wibisono]], [[Nahdlatul Ulama]] memutuskan untuk mendukung Syafruddin sehingga masa jabatannya diperpanjang.<ref>{{cite book |last1=Notodidjojo |first1=Soebagijo Ilham |title=Jusuf Wibisono, karang di tengah gelombang |date=1980 |publisher=Gunung Agung |page=160 |url=https://www.google.com/books/edition/Jusuf_Wibisono_karang_di_tengah_gelomban/dt0LAAAAIAAJ |language=id |access-date=14 November 2021 |archive-date=25 November 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211125060802/https://www.google.com/books/edition/Jusuf_Wibisono_karang_di_tengah_gelomban/dt0LAAAAIAAJ |url-status=live }}</ref>{{sfn|Madinier|2015|p=220}}
== Keterlibatan dalam PRRI ==
===Latar belakang===
Sjafruddin pada tahun 1957 berkonflik dengan Presiden karena penentangannya terhadap nasionalisasi kepentingan ekonomi Belanda, dan penentangannya terhadap [[Demokrasi Terpimpin]], yang berpuncak pada penulisan surat kepada Sukarno pada tanggal 15 Januari 1958, dari [[Palembang]], [[Sumatera Selatan]], di mana Sjafruddin sedang dalam pembicaraan dengan Kolonel [[Barlian]] yang memberontak, menyuruh Soekarno untuk kembali ke Konstitusi Indonesia.<ref name="Kahin103"/>
[[Ekonomi Indonesia]] pada tahun 1957 sedang melemah dan situasi politik dalam negeri semakin memanas. Dalam kondisi ini, perusahaan-perusahaan asing, khususnya milik Belanda, sering disalahkan sebagai penyebab kelemahan ekonomi tersebut.{{sfn|Lindblad|2008|p=186}}{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}} Opini masyarakat telah bergeser dan kini menentang posisi Syafruddin yang pro investasi asing.{{sfn|Madinier|2015|p=247}} Keadaan politik semakin memburuk pada tanggal 29 November 1957 Belanda berhasil mencegah pembahasan [[Irian Barat]] di forum [[Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa]], sehingga Sukarno memerintahkan serikat-serikat buruh dan kesatuan tentara untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda tersebut.{{sfn|Lindblad|2008|p=186}}{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}} Syafruddin menentang proses [[nasionalisasi]] tersebut secara publik, dan juga mengkritisi ketidakjelasan rencana pengambilalihan perusahaan-perusahaan tersebut.{{sfn|Lindblad|2008|p=186}} Setelah percobaan pembunuhan Sukarno di Cikini pada tanggal 30 November, Syafruddin dan sejumlah pemimpin Masyumi lainnya diselidiki pihak berwenang, karena sejumlah anggota komplotan tersebut merupakan anggota pemuda Masyumi.{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}} Selama bulan Desember 1957, Syafruddin beserta [[Mohammad Natsir]] dan [[Burhanuddin Harahap]] dituduh terlibat dalam peristiwa Cikini oleh berbagai media cetak, dan mereka mulai diteror melalui telepon dan diganggu oleh organisasi-organisasi paramiliter di jalanan. Untuk memastikan keamanan pribadi dan keluarga mereka, ketiga tokoh tersebut memutuskan untuk pergi dari Jakarta, dan pada bulan Januari 1958 Syafruddin sudah berada di [[Padang]].{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}} Meskipun Natsir dan Harahap menyatakan bahwa mereka ada urusan lain di Sumatera, Syafruddin mengaku bahwa ia telah kabur dari Jakarta, karena ia "tidak bersedia mati konyol".{{sfn|Madinier|2015|pp=249-250}}{{efn|Kutipan dari majalah ''Abadi'', 23 Januari 1958: "Saja tidak bersedia mati konjol mendjadi mangsa binatang2 buas dalam tubuh manusia".{{sfn|Madinier|2015|pp=249-250}}}}
 
Selama di Sumatera, Syafruddin dan para tokoh Masyumi, beserta [[Sumitro Djojohadikusumo]], mulai ikut dalam rapat-rapat bersama sejumlah tokoh militer yang berniat untuk memberontak seperti Kol. [[Maludin Simbolon]]. Dalam rapat-rapat tersebut, sejumlah perwira militer berniat untuk memisahkan Sumatera dari RI sebagai negara sendiri, namun gagasan ini ditentang oleh pemimpin sipil seperti Syafruddin. Pada akhirnya, rapat ini menghasilkan suatu pernyataan yang intinya menuntut pembubaran [[Kabinet Djuanda]] dan pembentukan kabinet baru dibawah pimpinan [[Hamengkubuwono IX]] dan [[Mohammad Hatta]].{{sfn|Madinier|2015|p=251}} Syafruddin juga bertemu dengan Kol. Barlian di [[Palembang]], Panglima [[Kodam II/Sriwijaya|Kodam di Sumatera Selatan]]. Barlian, karena memperhitungkan bahwa kesatuannya akan menjadi yang pertama diserang apabila memberontak, tidak langsung memutuskan untuk ikut memberontak. Selama di Palembang, Syafruddin juga menulis suatu surat terbuka ke Sukarno, dan dalam tulisannya itu Syafruddin menyatakan perlawanannya terhadap [[Demokrasi Terpimpin]] sembari menuntut kembalinya pemerintah ke [[UUD 1945]].{{sfn|Kahin|1989|p=103}}
===Jalannya PRRI===
Akibatnya, ia dipecat sebagai gubernur Bank Indonesia, karena Sjafruddin semakin terlibat dengan pemberontak yang disebut Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Sjafruddin kurang sembrono dibandingkan beberapa rekan PRRI-nya, menentang ultimatum lima hari (atas dasar militer strategis) pada 10 Februari 1958 kepada Perdana Menteri [[Djuanda Kartawidjaja]] untuk membentuk kabinet baru dengan [[Hatta]] dan [[Hamengkubuwono IX]], [[Sultan Yogyakarta]], pada waktunya. kepala. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Februari 1958, Sjafruddin menjadi Perdana Menteri PRRI; tanda tangannya yang pernah muncul di uang kertas masa republik (1945–1949), dan sebagai Gubernur Bank Indonesia (1951–1958), muncul di catatan PRRI. Sjafruddin menentang pembentukan negara Sumatera yang terpisah, malah melihat PRRI sebagai gerakan integritas Indonesia, menentang sentralisasi kekuasaan di Indonesia. Kemudian pemberontakan gagal, dan pada 25 Agustus 1961, Sjafruddin menyerah kepada tentara. Dia dipenjara sampai 26 Juli 1966,<ref>{{harvnb|Kahin|1989|p=104}}</ref> meskipun dia diberikan amnesti resmi pada tahun 1961.<ref>{{harvnb|Kian Wie Thee|2003|p=76}}</ref>