Syafruddin Prawiranegara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
What a joke (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 99:
[[File:Sjafruddin Prawiranegara base PDRI.jpg|thumb|Rumah Syafruddin selama di Bidar Alam.{{sfn|Subdisjarah|2001|p=45}}]]
[[File:Sjafruddin Prawiranegara with Sukarno in Yogyakarta, 1949.jpg|thumb|Syafruddin (kedua dari kanan) dengan Sukarno (tengah) di Yogyakarta, 1949.]]
Setelah ditandatanganinya [[Perjanjian Renville]], gencatan senjata berlangsung antara militer Belanda dan Indonesia. Meskipun begitu, belajar dari pengalaman [[Agresi Militer Belanda I|Agresi Militer Pertama]] yang diluncurkan Belanda tahun sebelumnya meskipun [[Perjanjian Linggadjati]] masih berlaku, pemerintah Indonesia mulai mempersiapkan rencana darurat. Mengikuti saran Letkol [[Daan Jahja]], pemerintah cadangan disiapkan di wilayah [[Sumatra Tengah]], karena wilayah [[Jawa Tengah]] dianggap terlalu sempit dan padat. Wakil Presiden merangkap Menteri Pertahanan saat itu, [[Mohammad Hatta]], mulai memindahkan perwira militer dan pejabat-pejabat ke [[Bukittinggi]] sebagai bibit pemerintahan darurat mulai bulan Mei 1948.{{sfn|Bahar|2018|pp=97-98}} Di bulan November 1948, Hatta bersama Syafruddin pergi ke Bukittinggi dan mereka mulai mempersiapkan dasar-dasar yang diperlukan untuk pemerintahan darurat tersebut. Meskipun begitu, Hatta harus kembali ke Yogyakarta karena berlangsungnya perundingan di sana, sehingga ia meninggalkan Syafruddin di Bukittinggi dengan perintah untuk membentuk pemerintah darurat apabila Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Di pertengahan bulan Desember 1948, Hatta sempat berencana kembali ke Bukittinggi dengan naik pesawat yang disediakan perdana menteri India [[Jawaharlal Nehru]]. Akan tetapi, Belanda keburu meluncurkan [[Agresi Militer Belanda II|Agresi Militer Kedua]] pada tanggal 19 Desember 1948 saat Hatta masih berada di Yogyakarta. Karena Agresi tersebut, [[Sukarno]] dan Hatta beserta sebagian besar pejabat-pejabat pemerintah Indonesia ditangkap Belanda dan diasingkan ke [[Pulau Bangka]]. Syafruddin diberitahu mengenai perkembangan ini hari itu juga oleh Kolonel [[Hidajat Martaatmadja]], dan awalnya ia sempat ragu-ragu. Syafruddin terkejut mendengar bahwa pemerintah Indonesia ditangkap begitu cepat, dan karena mandat yang dikirim Sukarno dan Hatta melalui [[telegram]] tidak sampai ke Bukittinggi, ia tidak yakin ia memiliki wewenang untuk membentuk pemerintahan.{[{sfn|Kahin|1989|p=102}}{{sfn|Kahin|1999|pp=138-140}}{{sfn|Bahar|2018|pp=97-98}}
 
Syafruddin mengatur rapat dengan Gubernur Sumatra [[Teuku Muhammad Hasan]] dan wakilnya [[Mohammad Nasroen]] untuk membahas situasi, tetapi ketika pesawat tempur Belanda mulai terbang di Bukittinggi, rapat tersebut diakhiri.{{sfn|Subdisjarah|2001|pp=33-34}} Mereka memutuskan untuk meninggalkan Bukittinggi dan berpindah ke [[Halaban, Lareh Sago Halaban, Lima Puluh Kota|Halaban]], dan pada tanggal 22 Desember Syafruddin mengumumkan didirikannya [[Pemerintah Darurat Republik Indonesia]] (PDRI).{{sfn|Kahin|1999|pp=138-140}} Dalam struktur PDRI, Syafruddin menjabat sebagai Ketua, merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri.{{sfn|Subdisjarah|2001|p=129}}{{efn|[[Alexander Andries Maramis]], yang saat itu berada di [[India]], belakangan ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri PDRI.}} Syafruddin juga mengumumkan Komisariat PDRI di Pulau Jawa yang diisi tokoh-tokoh RI yang tidak ditangkap Belanda seperti [[Susanto Tirtoprodjo]], [[I. J. Kasimo]], dan [[Soekiman Wirjosandjojo]].{{sfn|Kahin|1999|pp=138-140}} Syafruddin memilih gelar "Ketua" di PDRI karena kurang yakin atas mandatnya untuk menggunakan gelar "Presiden".<ref>{{cite news |title=Sjafruddin Prawiranegara: Sebenarnya Saya Seorang Presiden |url=https://historia.id/politik/articles/sjafruddin-prawiranegara-sebenarnya-saya-seorang-presiden-DWVwl/page/2 |access-date=14 November 2021 |work=Historia |date=18 Desember 2015 |language=id-ID |archive-date=14 November 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211114101436/https://historia.id/politik/articles/sjafruddin-prawiranegara-sebenarnya-saya-seorang-presiden-DWVwl/page/2 |url-status=live }}</ref>