Syafruddin Prawiranegara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
susun ulang jabatan (ketua PDRI paling atas, sebagai kepala pemerintahan). jabatannya menteri kemakmuran dan bukan 2 jabatan terpisah
Baris 124:
[[Ekonomi Indonesia]] pada tahun 1957 sedang melemah dan situasi politik dalam negeri semakin memanas. Dalam kondisi ini, perusahaan-perusahaan asing, khususnya milik Belanda, sering disalahkan sebagai penyebab kelemahan ekonomi tersebut.{{sfn|Lindblad|2008|p=186}}{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}} Opini masyarakat telah bergeser dan kini menentang posisi Syafruddin yang pro-investasi asing.{{sfn|Madinier|2015|p=247}} Selain itu, Sukarno pada tahun 1956 mulai merencanakan [[Demokrasi Terpimpin]] yang ditentang secara keras oleh [[akar rumput]] Masyumi, sehingga Masyumi dan [[Kabinet Ali Sastroamidjojo II]] menjadi berseberangan. Sejumlah tokoh Masyumi di daerah mulai mendukung konsep [[negara serikat]] untuk Indonesia, dan perpecahan politik antara Masyumi dan PNI semakin memburuk. Pada tanggal 8 Januari 1957, Masyumi keluar dari koalisi pemerintah.{{sfn|Madinier|2015|pp=228-232}}
 
Keadaan politik semakin memburuk pada tanggal 29 November 1957; Belanda berhasil mencegah pembahasan [[Irian Barat|Papua Barat]] di forum [[Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa]], sehingga Sukarno memerintahkan serikat-serikat buruh dan kesatuan tentara untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda.{{sfn|Lindblad|2008|p=186}}{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}} Syafruddin secara terbuka menentang proses [[nasionalisasi]] tersebut dan mengkritisi ketidakjelasan rencana pemerintah, termasuk di depan Sukarno sendiri dalam acara Musyawarah Nasional Pembangunan.{{sfn|Lindblad|2008|p=186}}{{sfn|Kahin|Kahin|1997|p=112}} Setelah percobaan pembunuhan Sukarno di Cikini pada 30 November, Syafruddin dan sejumlah pemimpin Masyumi lainnya diselidiki pihak berwenang, karena sejumlah anggota komplotan merupakan anggota sayap pemuda Masyumi.{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}} Selama bulan Desember 1957, Syafruddin beserta [[Mohammad Natsir]] dan [[Burhanuddin Harahap]] dituduh terlibat dalam peristiwa Cikini oleh berbagai media cetak, dan mereka mulai diteror melalui telepon dan diganggu oleh organisasi-organisasi paramiliter di jalanan. Untuk memastikan keamanan pribadi dan keluarga masing-masing, mereka memutuskan untuk pergi dari Jakarta, dan pada Januari 1958, Syafruddin sudah berada di [[Padang]].{{sfn|Kahin|1999|pp=204-205}} Meskipun Natsir dan Harahap berdalih bahwa mereka ada urusan lain di Sumatra, Syafruddin mengaku bahwa ia telah kabur dari Jakarta, karena ia "tidak bersedia mati konyol".{{sfn|Madinier|2015|pp=249-250}}{{efn|Kutipan dari majalahsurat kabar ''[[Abadi (surat kabar)|Abadi]]'', 23 Januari 1958: "Saja tidak bersedia mati konjol mendjadi mangsa binatang2 buas dalam tubuh manusia".{{sfn|Madinier|2015|pp=249-250}}}}
 
Selama di Sumatra, Syafruddin dan para tokoh Masyumi, beserta Sumitro Djojohadikusumo, menghadiri rapat di [[Sungai Dareh, Pulau Punjung, Dharmasraya|Sungai Dareh]] bersama sejumlah tokoh militer yang berniat untuk memberontak seperti Kolonel [[Maludin Simbolon]]. Dalam rapat-rapat tersebut, sejumlah perwira militer berniat untuk memisahkan Sumatra dari RI sebagai negara sendiri, tetapi gagasan ini ditentang oleh pemimpin sipil seperti Syafruddin. Pada akhirnya, rapat ini menghasilkan suatu pernyataan yang intinya menuntut pembubaran [[Kabinet Djuanda]] dan pembentukan kabinet baru di bawah pimpinan [[Hamengkubuwono IX]] dan [[Mohammad Hatta]].{{sfn|Madinier|2015|p=251}} Para tokoh ini sudah menjalin kontak dengan [[Badan Intelijen Pusat]] [[Amerika Serikat]] (CIA), yang sudah mulai mengirimkan senjata dan pendanaan secara diam-diam sejak 1957. CIA bertujuan untuk menggulingkan pemerintah Sukarno, tetapi pada saat itu belum mau untuk memberikan dukungan secara terbuka.{{sfn|Kahin|Kahin|1997|pp=120-124}}{{efn|[[Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat]], yang saat itu dipimpin [[John Foster Dulles]], menganggap bahwa Demokrasi Terpimpin di bawah Sukarno akan berkembang menjadi suatu negara komunis.{{sfn|Kahin|Kahin|1997|pp=141-142}}}} Di Palembang, Syafruddin bertemu dengan Kolonel [[Barlian]], Panglima [[Kodam II/Sriwijaya|Kodam di Sumatra Selatan]]. Atas dasar perhitungan bahwa kesatuannya akan menjadi yang pertama diserang apabila memberontak, Barlian tidak langsung memutuskan untuk ikut memberontak. Selama di Palembang, Syafruddin juga menulis suatu surat terbuka ke Sukarno. Dalam tulisannya itu, Syafruddin menyatakan perlawanannya terhadap [[Demokrasi Terpimpin]] yang memusatkan kekuasaan pemerintah ke [[Sukarno]] sembari menuntut kembalinya pemerintah ke [[UUD 1945]].{{sfn|Kahin|1989|p=103}} Karena aktivitasnya ini, jabatan Syafruddin sebagai Gubernur Bank Indonesia dicabut per tanggal 1 Februari 1958 melalui Keputusan Presiden.<ref>{{cite web|title=Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1958 Tentang Pemberhentian tidak dengan hormat Mr.Sjafruddin Prawiranegara; dan Pengangkatan Mr.Lukman Hakim sebagai Gubernur Bank Indonesia |url=https://anri.sikn.go.id/index.php/keputusan-presiden-nomor-145-tahun-1958-tentang-pemberhentian-tidak-dengan-hormat-mr-sjafruddin-prawiranegara-dan-pengangkatan-mr-lukman-hakim-sebagai-gubernur-bank-indonesia |language=id|website=anri.sikn.go.id |access-date=10 Februari 2022}}</ref>