Syafruddin Prawiranegara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 59:
|death_place = [[Jakarta]], [[Indonesia]]
|nationality = Indonesia
|party = [[Partai Masyumi (1945)|Masyumi]]
|spouse = [[Tengku Halimah Syehabuddin Prawiranegara]]
|profession = Politisi
Baris 70:
Syafruddin berasal dari [[Banten]], dengan campuran darah [[Suku Banten|Sunda Banten]]–[[Minangkabau]]. Meskipun semula apolitis selama studinya di [[Rechtshoogeschool te Batavia|Rechtshoogeschool]] (Sekolah Tinggi Hukum), ia mulai aktif dalam pergerakan nasional Indonesia setelah ia bekerja. Menyusul pecahnya [[Revolusi Nasional Indonesia|perang kemerdekaan]], Syafruddin mulai terlibat dalam pemerintah sebagai Menteri Keuangan; kebijakannya yakni mencetuskan dan mendistribusikan [[Oeang Republik Indonesia]]. Pada 1948, Syafruddin ditugaskan oleh Wakil Presiden dan Menteri Pertahanan [[Mohammad Hatta]] ke [[Bukittinggi]] dan setelah pemimpin Republik Indonesia ditawan Belanda dalam [[Agresi Militer Belanda II]], ia membentuk PDRI pada 22 Desember 1948. Kiprahnya bergerilya selama tujuh bulan di Sumatra memungkinkan adanya keberlangsungan pemerintahan di tengah [[Revolusi Nasional Indonesia|perang kemerdekaan]] sehingga memaksa Belanda untuk kembali bernegosiasi.
 
Setelah mengembalikan mandatnya kepada [[Sukarno]] pada 14 Juli 1949, Syafruddin sempat menjadi Wakil Perdana Menteri sebelum ia ditunjuk kembali menjadi Menteri Keuangan. Sebagai salah seorang tokoh partai [[Partai Masyumi (1945)|Masyumi]] yang menganut paham ekonomi [[sosialisme religius]], Syafruddin turut membentuk kebijakan ekonomi Indonesia pada awal 1950-an, dengan kebijakan moneter yang konservatif dan program sertifikat devisa. Kebijakannya yang paling terkenal, [[Gunting Syafruddin]], bertujuan memangkas pasokan uang dengan memerintahkan pengguntingan uang terbitan Belanda. Selanjutnya, ia menjadi [[Gubernur Bank Indonesia]], tetapi karena mendukung investasi asing dan menentang kebijakan [[nasionalisasi]], ia berseberangan dengan kebijakan Sukarno selama akhir masa Demokrasi Liberal.
 
Perbedaan pandangan ekonomi ini dan pergeseran sistem pemerintahan ke [[Demokrasi Terpimpin]] membuat Syafruddin turut serta dalam pemerintah tandingan PRRI di Sumatra Barat pada 1958 sebagai Perdana Menteri. Selama tiga tahun, pemerintah pusat melancarkan [[Operasi 17 Agustus|operasi militer menumpas PRRI]]. Ia menyerahkan diri pada 1961, tetapi belakangan dipenjarakan. Setelah dibebaskan oleh pemerintah [[Suharto]] pada 1966, ia hengkang dari jabatan pemerintahan. Ia aktif dalam organisasi-organisasi keagamaan dan mengkritik pemerintah. Secara khusus, Syafruddin menentang penggunaan [[Pancasila]] sebagai alat politik oleh pemerintah [[Orde Baru]]. Ia meninggal pada 1989 dan dianugerahi gelar [[Pahlawan Nasional Indonesia]] pada 2011.
Baris 86:
=== Awal revolusi ===
[[Berkas:Mr._Sjafruddin_Prawiranegara.jpg|jmpl|kanan|Sjafruddin Prawiranegara pada tahun 1947.]]
Setelah [[proklamasi kemerdekaan Indonesia]], Syafruddin ditunjuk sebagai anggota badan legislatif [[Komite Nasional Indonesia Pusat]] (KNIP) pada 24 Agustus 1945 dan dipilih sebagai salah seorang dari 15 anggota Badan Pekerja KNIP pada Oktober 1945 (sekitar sebulan sebelum Masyumi terbentuk).{{sfn|Kahin|1989|p=102}}{{sfn|Legge|2010|p=211}}{{sfn|Fogg|2020|p=298}}{{sfn|Fogg|2020|p=254}} Pada 1946, Syafruddin menjadi anggota [[Partai Masyumi (1945)|Masyumi]], meski sebelumnya ia sempat ditawari masuk [[Partai Sosialis Indonesia]] (PSI) oleh Sjahrir dan Amir Syarifuddin.{{sfn|Fogg|2020|p=298}} Menurut Syafruddin, ia memilih masuk Masyumi sebagai seorang Islam, meskipun pada waktu itu ia tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam organisasi Islam.{{sfn|Fogg|2019|pp=173-176}} Kala itu, ia berkontribusi mengakhiri status monopoli partai nasional dalam proses terbentuknya [[Maklumat 3 November 1945|Maklumat Wakil Presiden Nomor X]] sebagai perubahan fungsi [[KNIP]] sebagai badan legislatif sehari-hari, yang menjadikan Indonesia lebih mendekati sistem parlementer. Hal itu juga yang diharapkan membentuk citra Indonesia sebagai pemerintahan yang demokratis dan diperhitungkan dalam politik luar negeri.{{sfn|Fogg|2020|pp=251{{spaced ndash}}253}} Berkat kedekatannya dengan Sjahrir, Syafruddin ditunjuk menjadi Menteri Muda Keuangan dalam [[Kabinet Sjahrir II]] antara 12 Maret 1946 sampai 2 Oktober 1946, dan selanjutnya diangkat menjadi Menteri Keuangan dalam [[Kabinet Sjahrir III]] antara 2 Oktober 1946 hingga 27 Juni 1947. Ia juga menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di [[Kabinet Hatta I]] mulai 29 Januari 1948.{{sfn|Kahin|1989|p=102}}{{sfn|Anderson|2006|p=321}} Sjahrir sebenarnya menawarkan kursi Menteri Keuangan kepada Syafruddin dalam [[Kabinet Sjahrir I]], tetapi Syafruddin menolak karena merasa kurang berpengalaman. Belakangan, Syafruddin berkomentar bahwa setelah melihat cara kerja Menteri Keuangan [[Panji Surachman Cokroadisuryo]], ia merasa lebih cocok menjabat.{{sfn|Kian Wie Thee|2003|pp=78-79}}
 
Di bidang keuangan, Syafruddin berperan besar dalam penerbitan [[Oeang Republik Indonesia]] (ORI), salah satunya dengan meyakinkan [[Mohammad Hatta]] untuk menerbitkan mata uang sendiri untuk mendanai perlawanan melawan Belanda dan untuk menunjukkan keseriusan pemerintah Republik Indonesia yang masih muda.{{sfn|Kian Wie Thee|2003|pp=69-70}} Saat Hatta sempat ragu-ragu, Syafruddin mengatakan kepadanya bahwa "apabila Hatta ditangkap Belanda, ia akan digantung bukan sebagai pemalsu uang, tapi sebagai pemberontak". Syafruddin menjadi Menteri Keuangan pertama di Indonesia yang mendistribusikan mata uang Indonesia pada akhir tahun 1946, meskipun di lembaran ORI awalnya tercetak tanda tangan [[Alexander Andries Maramis]] yang mengatur proses percetakannya.{{sfn|Kian Wie Thee|2003|pp=78-79}}{{sfn|Kementerian Keuangan|1991|p=19}} Syafruddin selanjutnya ikut serta dalam konferensi ''Economic Council for Asia and the Far East'' di [[Manila]], [[Filipina]] pada 1947. Saat itu, partai Masyumi berkolaborasi dengan [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) dalam sejumlah organisasi, sehingga banyak delegasi di Manila menganggap Syafruddin dan para koleganya juga berpaham komunis. Terkejut atas anggapan tersebut, ia menerbitkan ''Politik dan Revolusi Kita'' pada 1948 untuk menjelaskan hubungan yang rumit antara partai-partai Islam dan komunis di Indonesia pada masa itu.{{sfn|Madinier|2015|pp=102-103}}
Baris 108:
Sekembalinya Syafruddin ke Yogyakarta, ia ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri untuk urusan Sumatra di dalam [[Kabinet Hatta II]], dengan penugasan di [[Banda Aceh]].{{sfn|Kementerian Penerangan|1986|p=172}} Karena pada saat itu kekuasaan dan komunikasi pemerintah pusat sangat lemah di Sumatra, Syafruddin diberikan kekuasaan yang cukup besar dalam menjalankan tugasnya.{{sfn|van Dijk|1981|p=288}} Selama masa PDRI, Syafruddin sering dibujuki oleh pemimpin-pemimpin daerah [[Aceh]] yang bertekad memisahkan Aceh sebagai provinsi yang terpisah dari [[Sumatra Utara]].{{sfn|Djumala|2013|pp=25-26}} Pada bulan Mei 1949, Syafruddin menunjuk [[Daud Beureu'eh]] sebagai gubernur militer Aceh.{{sfn|Madinier|2015|p=160}}{{sfn|van Dijk|1981|p=288}} Ketika Syafruddin berkunjung ke Aceh pada bulan Agustus 1949, para tokoh daerah mendesak Syafruddin untuk membentuk provinsi tersebut. Desakan yang dialami Syafruddin cukup keras,{{sfn|van Dijk|1981|p=288}} sampai ia menerbitkan peraturan Waperdam pada bulan Desember 1949 yang isinya merupakan pemekaran provinsi Aceh dari Sumatra Utara.{{sfn|Djumala|2013|pp=25-26}}{{sfn|Kahin|1999|p=170}} Belakangan, pemerintahan pusat selama [[Kabinet Natsir]] menyatakan bahwa pembentukan provinsi otonom Aceh merupakan suatu ''[[Keadaan kahar|force majeure]]'' (keadaan di luar kendali),{{sfn|van Dijk|1981|p=288}} dan mencabut aturan tersebut. Tindakan tersebut memancing amarah para tokoh Aceh, sampai [[Mohammad Natsir]] perlu melakukan safari ke Aceh untuk menenangkan situasi.{{sfn|Djumala|2013|pp=25-26}}{{sfn|Kahin|1999|p=170}} Di luar itu, Syafruddin juga menenangkan pegawai-pegawai negeri yang pernah berkerja di bawah kekuasaan Belanda, dan memastikan bahwa tidak ada tindak pembalasan terhadap mereka.{{sfn|Kahin|1999|p=156}}
 
Selama periode [[Republik Indonesia Serikat]] (RIS) dan Kabinet Natsir, Syafruddin kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan.{{sfn|Glassburner|1962|pp=122-124}} Saat penyusunan [[Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia]], Syafruddin mengusulkan agar ada klausul Hatta akan ditunjuk sebagai Perdana Menteri apabila terjadi krisis politik. Usulan ini diterima oleh Masyumi dan [[Wilopo]] dari [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI), tetapi kandas karena tidak didukung oleh tokoh-tokoh lain.{{sfn|Rifai-Hasan|2012|p=183}} Antara periode RIS sampai ke jatuhnya [[Kabinet Wilopo]], tokoh [[Partai Masyumi (1945)|Masyumi]] banyak tersebar dalam pemerintah, dan karena Syafruddin merupakan ekonom termasyhur dalam partai tersebut, pandangannya sangat berpengaruh dalam pemerintahan.{{sfn|Glassburner|1962|p=114}} Salah satu program Syafruddin adalah mewajibkan importir barang untuk menggunakan sertifikat devisa. Sertifikat devisa ini dapat diperoleh dengan mengekspor barang, dan bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri dari barang impor.<ref name="tirto" />[[File:Gunting Sjafruddin Poster.jpg|thumb|Ilustrasi kebijakan Gunting Syafruddin di majalah ''Sedar'', 1950]]
[[File:Indonesia 1951 250s o.jpg|thumb|Uang kertas 2,5 rupiah tahun 1951 dengan tanda tangan Syafruddin]]Selain masalah perdagangan, pada masa itu pemerintah Indonesia tertekan hutang warisan [[Hindia Belanda]] dari [[Konferensi Meja Bundar]]. Karena banyaknya mata uang yang beredar dan tercetak, dan karena kurangnya produksi barang, inflasi juga merebak di masyarakat. Pada tahun 1950, ada tiga mata uang yang beredar: uang pemerintah Indonesia, uang pemerintah sipil Belanda [[NICA]], dan uang bank sentral jaman [[Hindia Belanda]] ([[Bank Indonesia#Sejarah|De Javasche Bank]]) yang dicetak sebelum pendudukan Jepang. Untuk mengurangi [[persediaan uang]], Syafruddin memerintahkan pada tanggal 10 Maret 1950 bahwa semua uang kertas NICA dan De Javasche Bank dengan nilai lebih dari 5 [[Gulden Belanda|gulden]] harus digunting menjadi dua potongan. Kebijakan ini dikenal dengan istilah "[[Gunting Syafruddin]]".<ref name="tirto">{{cite news |last1=Raditya |first1=Iswara N. |title=Gunting Uang ala Menkeu Syafruddin demi Atasi Krisis Ekonomi |url=https://tirto.id/gunting-uang-ala-menkeu-syafruddin-demi-atasi-krisis-ekonomi-cXja |access-date=14 November 2021 |work=tirto.id |date=10 Maret 2020 |language=id |archive-date=14 November 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211114045330/https://tirto.id/gunting-uang-ala-menkeu-syafruddin-demi-atasi-krisis-ekonomi-cXja |url-status=live }}</ref><ref name="time">{{cite news |title=Indonesia: The Magic Scissors |url=http://content.time.com/time/subscriber/article/0,33009,805298,00.html |access-date=14 November 2021 |work=[[Time Magazine|Time]] |date=27 Maret 1950|language=en |archive-date=14 November 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211114140229/http://content.time.com/time/subscriber/article/0,33009,805298,00.html |url-status=live }}</ref>{{sfn|Lindblad|2008|p=41}} Potongan sebelah kiri berlaku sampai tanggal 9 April 1950, dengan nilai setengah dari nilai utuhnya sampai ditukar dengan uang baru, sementara potongan sebelah kanan dapat ditukarkan dengan [[obligasi]] pemerintah berjangka 30 tahun dengan bunga 3 persen.<ref name="tirto" />{{sfn|Kementerian Keuangan|1991|p=13}} "Gunting" ini juga berlaku untuk rekening bank, dengan separuh saldo rekening (pengecualian sebesar maksimal 200 gulden, apabila saldo rekening di bawah 1.000 gulden) ditukarkan dengan obligasi.<ref name="time" /><ref>{{cite web |title=Putusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat No : P.U./1. Jakarta Tanggal 19 Maret 1950 tentang Uang kertas |url=https://acehprov.sikn.go.id/uploads/r/null/c/f/8/cf881ebb539a2b3be759d6154448f449e2276e335c5841bad6004e4c8420d097/11.2.pdf |publisher=Government of Indonesia |access-date=16 November 2021 |language=id |archive-date=16 November 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211116064333/https://acehprov.sikn.go.id/uploads/r/null/c/f/8/cf881ebb539a2b3be759d6154448f449e2276e335c5841bad6004e4c8420d097/11.2.pdf |url-status=live }}</ref> Syafruddin belakangan menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan ganda: untuk mengurangi inflasi dan untuk menyelaraskan mata uang yang beredar dengan mencabut mata uang Belanda dari peredaran.{{sfn|Kian Wie Thee|2003|pp=78–79}}{{sfn|Lindblad|2008|p=41}} Menurut pernyataan De Javasche Bank, meskipun pasokan uang turun 41 persen setelah kebijakan ini, inflasi tetap merebak dengan harga pangan dan sandang yang masih naik.{{sfn|Glassburner|1962|pp=122–124}}