Tari tanggai

salah satu tarian di Indonesia
Revisi sejak 23 September 2023 17.47 oleh Swarga Arya Eza, S.Pd (bicara | kontrib) (Merapikan tulisan dan paragraph)

Tari Tanggai adalah pertunjukan tari tradisional asal Palembang, Sumatera Selatan. Biasanya, Formasi gerakan Tari tanggai harus dimainkan dalam angka ganjil, dan tidak boleh lebih dari sembilan orang [butuh rujukan].

Sejarah

Dikutip dari SEJARAH MUNCULNYA TARI TANGGAI, karya Vebri Al Lintani (https://www.atmago.com/berita-warga/sejarah-munculnya-tari-tanggai), bahwa bermula dari Tari Gending Sriwijaya (TGS) yang diciptakan secara kolektif atas instruksi pemerintah Jepang yang berkuasa pada tahun 1942-45. Mula-mula dibuat musik oleh Dahlan Mahibat dan Nungcik AR sebagai penggubah lirik (versi lain sebagai penyempurna). Setelah musik selesai, Tina Haji Gung (isteri Haji Gung, pimpinan Teater Bangsawan Bintang Berlian) dan Sukainah A. Rozak menggarap gerakan tari. TGS secara resmi digelar pertama kali pada 2 Agustus 1945 untuk menyambut dua orang pejabat Jepang, yaitu: M. Syafei selaku Ketua Sumatera Tyuo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera di Bukit Tinggi), dan Djamaluddin Adinegoro selaku Anggota Dewan Harian Sumatera.

Selanjutnya, di masa Republik Indonesia, TGS menjadi tari sambut pemerintah Sumatera Selatan. Namun tiba-tiba saja, setelah peristiwa politik Gerakan 30 September PKI tahun 1965 hingga bulan Mei 1969, Tari Gending Sriwijaya (TGS) tidak lagi ditampilkan sebagai tari sambut. Penyebabnya adalah nama Nungcik AR, sang pembuat lirik lagu Gending Sriwijaya merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), underbou PKI.

Oleh karena kebutuhan pemerintah daerah akan tari sambut, maka ditampilkanlah “Tari Tepak”, sebagai alternatif. Tari Tepak tari yang menggunakan gerak dari Tari Gending Sriwijaya, dengan musik pengiring yang berjudul “6 Saudara” (versi lain lagi menyebut judul 9 Saudara). Dengan kata lain, Tari Tepak adalah TGS yang menggunakan musik berbeda. Apabila tampilan Tari Tepak tidak menggunakan “tepak” sebagai properti, maka tari sambut ini disebut Tari Tanggai.

Selain itu, pada tahun 1967, seorang seniman tari, Ana Kumari juga menggarap satu tari sambut, atas permintaan Ishak Juarsa, Panglima Kodam Sriwjaya pada waktu itu. Tari sambut ini oleh Ana Kumari diberi judul Tari Tepak Keraton dengan lagu pengiringnya tetap lagu “Enam Saudara”. Dalam gerakan Tari Tepak Keraton memasukkan unsur silat atau pencak Palembang.

Menurut Sulaiman Ma’ruf yang dikutip oleh Vebri Al Lintani dalam Buku Tari Gending Sriwijaya (DKP, 2012), pada bulan Mei 1969, Pemerintah Daerah Tingkat II Sumatera Selatan telah mengambil kebijakan yang baik, lagu Gending Sriwijaya kembali berkumandang untuk mengiringi TGS pada acara Pembukaan Jakarta Fair, 1969, meskipun, hanya instrumentalia, atau tanpa diikuti syairnya. Selanjutnya, Menurut beberapa pandapat tokoh tari di Palembang, di masa H. Asnawi Mangku Alam menjabat Gubernur Sumatera Selatan (1968-1978), Tari Gending Sriwijaya, diinstruksikan sebagai tari sambut bagi tamu-tamu agung yang merupakan orang nomor satu dalam negara, seperti: Presiden, Raja, Perdana Menteri, Sultan, sedangkan tamu agung lainnya disambut dengan Tari Tepak atau Tari Tanggai.

Kebijakan Gubernur Asnawi Mangku Alam ini dimaksudkan untuk menempatkan TGS agar lebih sakral dengan pakem yang mantap. Umpamanya, jumlah penari tidak boleh kurang dari 9 orang, kostum, gerakan yang digunakan juga tidak boleh sembarangan, harus betul-betul menurut pedoman yang telah ditetapkan oleh para pendahulu. Sedangkan Tari Tepak atau Tari Tanggai, penarinya boleh tidak berjumlah 9 orang, asalkan masih dalam hitungan ganjil, misalnya 7,5 atau 3 orang.

Saat ini tari tanggai telah mentradisi di masayarakat, tidak hanya sebagai tari sambut di kegiatan seremonial pemerintahan daerah saja, namun juga pada acara-acara oleh organisasi non pemerintah maupun acara resepsi pernikahan. Seolah-olah tari tanggai merupakan tari sambut yang penting ada sebagai pembuka acara, meskipun bukanlah bagian dari adat yang diadatkan.

Mempersoalkan Polemik Pencipta Tari Tanggai

Dalam waktu sekitar empat tahun terakhir ini tersebar di media massa dan kalangan seniman, bahwa ada yang mengaku sebagai pencipta Tari Tanggai. Hal ini tentu keliru, karena pada paktanya tidak ada orang yang dapat mengklaim sebagai pencipta tari tanggai. Sebab jika melihat proses terbentuknya, seperti yang diuraikan di atas, Tari Tanggai adalah nama lain dari Tari Tepak yang menggantikan TGS yang absen pada kurun waktu antara 1965 hingga 1969. Gerakan Tari Tepak mengambil gerakan TGS yang kemudian disebut juga dengan tari tanggai yang gerakannya pun tidak berubah. Menurut Lina Muchtar, pelatih dan penari senior tari Gending Sriwijaya, gerakan Tari Tanggai saat ini, 90 persen adalah gerakan Tari Gending Sriwijaya.

Tahun 2006 saya bersama Yuli Sudartati dan Sartono menulis buku Tari Tanggai dengan nara sumber para tokoh tari Palembang yang bertemu dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) di sekretariat Dewan Kesenian Palembang. Para tokoh tari tersebut diantaranya adalah R.A. Tuti Zahara Akib (Penari Gending Sriwijaya tahun 1945), Ana Kumari, Ailuni Husni, Elly Rudi, Lina Muchtar, H. Soleh Umar, M. Ali Ujang, Sartono (akademisi), Yuli Sudartati (akademisi) dan Tugiyo (Akademisi). Selanjutnya, tahun 2012 saya menulis buku Tari Gending Sriwijaya yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Palembang dan Tari Tepak Keraton (Balitbangnovda Prov SUmsel, 2016). Ketika menulis buku Tari Gending Sriwijaya, dua nara sumber saya adalah Elly Rudi dan Lina Muchtar. Dari tiga buku yang terkait tersebut, tidak satu pun saya menyatakan bahwa Elly Rudi adalah pencipta Tari Tanggai, karena tidak ada yang mengatakan seperti itu baik dari para tokoh tari maupun dari Elly Rudi sendiri.

Banyak yang mengatakan bahwa Tari Tanggai adalah tari seribu versi. Namun dari beberapa diskusi dengan para penari, kami meyimpulkan, sebenarnya ada dua versi Tari Tanggai yang berkembang di masyarakat saat ini, yaitu versi yang diteruskan oleh Lina Muchtar dan versi kreasi Eli Rudi. Pada versi Lina Muchtar adalah Tari Tanggai yang ragam geraknya sangat mirip dengan TGS, sedangkan pada versi Elly Rudi terdapat beberapa perbedaan kreasi gerak dengan TGS. Versi bukan berarti pencipta.

Pada tanggal 17 Desember 2017, saya wawancara langsung dengan Elly Rudi di rumahnya. Menurut Elly, setelah TGS dilarang tampil, dia menggagas dan membuat tari sambut alternatif yang kemudian dinamakan “Tari Tanggai” pada tahun 1965. Tari Tanggai yang dibuat Elly Rudi menggunakan irama musik pengiring yang berjudul “Enam Saudara”, lagu rakyat yang tidak diketahui siapa pengarangnya. Sebelumnya tari ini digunakan untuk mengiringi Tari Kipas. Gerakan tari bersumber dari gerakan TGS namun kemudian diolah dan dikreasikan.

Menurut Elly, karya ini diinspirasi juga oleh peristiwa adat “rasan tuo” yang terjadi di beberapa daerah dalam wilayah Sumbagsel (Batanghari Sembilan). Penari utama (primadona) yang berada di depan merupakan seorang gadis yang matang dan terbuka untuk dipinang. Tarian ini kemudian ditampilkan sebagai pengiring pengantin pada acara resepsi pernikahan atau hajatan keluarga (bukan tari sambut pemerintahan).

Pada tahun 1967 Elly Rudi menikah dan pindah dan beraktivitas di Jakarta. Elly Rudi kembali ke Palembang tahun 1979 dan bergabung dengan kegiatan seni di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi Sumatera Selatan. Lalu, Elly Rudi kemudian sedikit mengkreasikan gerakan dalam Tari Tanggai yang kemudian menjadi kontroversial. Gerakan yang dikembangkan ini dianggap menyalahi etika tari di Palembang, misal pada gerakan pinggul yang terkesan genit dan tangan yang terlalu diangkat.

Simpulan

Tari Tanggai yang awalnya disebut dengan Tari Tepak muncul ketika ada insiden politik G30S PKI antara tahun 1965-1969. Gerakan tari tanggai didominasi (oleh sekitar 90 persen) gerakan tari Gending Sriwijaya. Dengan demikian, gerakan tari tanggai diciptakan oleh pencipta tari Gending Sriwijaya, yaitu Sukaenah Rozak dan Tina Haji Gung. Elly Rudi tidak dapat mengklaim sebagai pencipta Tari Tanggai. Beberapa bentuk gerakan yang sedikit berbeda dapat disebut sebagai versi.

Biasanya, Penari Tari tanggai menggunakan pakaian khas daerah seperti kain songket, dodot, pending, kalung, sanggul malang, kembang urat atau ramai, tajuk cempako, kembang goyang dan tanggai yang berbentuk kuku yang terbuat dari lempengan tembaga dan karena tanggai yang dipakai penari, maka tari ini dinamakan Tari Tanggai.[1][2]

Tari Tanggai ini masih digelar hingga sekarang, selain dalam acara pernikahan masyarakat Palembang, tari ini juga ditarikan untuk menyambut tamu yang dihormati, pemerintahan, organisasi dan pergelaran seni di sekolah-sekolah.[2] Sanggar-sanggar seni di kota Palembang banyak yang menyediakan jasa pergelaran tarian tanggai ini, lengkap dengan kemewahan pakaian adat Sumatera Selatan.[2]


Ibu Elly Rudy Maestro Tari Pencipta Tari Tanggai

Sudah jelas bahwa pendapat, anggapan atau penyebutan sebagian orang dengan istilah Tari Tanggai versi ..... atau Tari Tanggai seribu versi inilah yang membuat polemik, karena istilah ini retorik, jumlah kotamadya dan kabupaten di Sumatera Selatan pun tidak mencapai angka seribu. Kalaupun sekarang Tari Tanggai ditarikan berbeda-beda, silakan memahami perbedaan itu karena itulah dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

Sejak jaman kolonial, di Sumatera Selatan sudah dikenal banyak tarian yg membawa tepak dan memakai tanggai, yg berfungsi sebagai Tari Sambut, namun judul, gerak dan irama tari disesuaikan dengan daerah masing-masing. Ibu Ana Kumari menciptakan Tari Tepak Kraton memakai tanggai dan membawa tepak, Ibu Maimunah Hasbullah Bandar Nata menciptakan Tari Tepak, yang juga membawa tepak dan memakai tanggai yang gerakannya diambil dari Tari Gending Sriwijaya. Sedangkan Ibu Elly Rudy, menciptakan tari yg berjudul Tari Tanggai yang diangkat dari adat Palembang "Rasan Tuo" yang juga membawa tepak dan memakai tanggai. Tari Tanggai ini berfungsi juga sebagai Tari Sambut atas inisiatif 2 budayawan Paembang almarhum Raden Husin Natodirajo dan Mgs Nungcik Asaari yang bertemu langsung dengan Ibu Elly Rudy di Jakarta pada tahun 1965 dikarenakan tari Gending Sriwijaya saat itu tidak boleh ditampilkan karena alasan politik. Hal ini sudah diperkuat oleh budayawan Palembang almarhum R. Johan Hanafiah.

Pada tahun 1985, Tari Tanggai ciptaan Elly Rudy sudah menjadi bahan ajar di Sekolah Menengah Kesenian dan Industri Kerajinan (SMKIK) Palembang yang sekarang menjadi SMK Negeri 7 Palembang.

Pada tahun 1989 Tim Tari Universitas Sriwijaya (UNSRI) meraih Juara I Tari Tradisi dengan menampilkan “Tari Tanggai” ciptaan Elly Rudy pada Pekan Seni Mahasiswa di Universitas Syahkuala Aceh.

Pada tahun 1995 Tari Tanggai ciptaan Elly Rudy mewakili Provinsi Sumatera Selatan berhasil menyabet penampilan terbaik dalam Festival Keraton Surakarta.

Berdasarkan hasil penelitian Sartono M.Sn. pada tahun 2000 sudah jelas siapa sebenarnya pencipta tari Tanggai, yaitu Ibu Elly Rudy. Tari yang berjudul Tari Tanggai yang menurut Sartono M.Sn. disebut sebagai "Tari Tanggai versi Elly Rudy" dalam penelitian secara akademisi berupa analisis, koreografi dan fungsi pada "Tari Tanggai versi Elly Rudy" dan dari hasil penelitian tersebut Sartono menyatakan bahwa"Tari Tanggai versi Elly Rudy" sangat berbeda dengan tari lain yang juga membawa tepak dan memakai tanggai di Sumatera Selatan. Hasil penelitian Sartono ini bisa dibaca dalam bukunya yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy sebagai Tari Penyambutan Tamu Kehormatan, yang diterbitkan tahun 2000, Jadi kalau masih ada pendapat yang beranggapan polemik, maka Tari Tanggai yang mana yang sebenarnya dimaksud?

Dan pada bulan Januari tahun 2007 diadakan wawancara untuk penerbitan buku Tari Tanggai Selayang Pandang yang digagas oleh Dewan Kesenian Palembang yang pada waktu itu Ketua Dewan Kesenian Palembang adalah R. Syahril Erwin, S.E. Nara sumber yang hadir adalah, Ana Kumari, Ailuny Husni, Elly Rudy, Tuti Zahara Akib. Wawancara dilakukan oleh Sartono, M Sn, Sudarto Marelo, Kemas Ari, Sobri Ichwan, dan Muksin (fotografer). Sumber foto koleksi ibu Yuli Sudartati dan Pak Sartono. Model penari (ilustrasi) Tari yang berjudul Tari Tanggai adalah Ibu Elly Rudy, bisa dilihat jelas pada halaman 21 – 30. Tari Tanggai karya Elly Rudy kemudian dibukukan oleh almarhum Sartono M.Sn.,Yuli Sudartati M.Sn., dan Vebri Al Lintani dalam buku yang berjudul "Tari Tanggai Selayang Pandang." Dan dalam buku Tari Tanggai Selayang Pandang tersebut, pada halaman 49, saudara Vebri menulis sendiri beliau tidak menggeluti seni tari dan hanya sebagai fasilitator Diskusi dan Lokakarya Tari Tanggai yang pada waktu itu diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Palembang. Jadi memang yang benar-benar melakukan penelitian terhadap Tari Tanggai karya Elly Rudy adalah Saudara Sartono M.Sn.dan Yuli Sudartati M.Sn., Setelah selesai diadakannya penelitian, Tari Tanggai karya Elly Rudy kemudian menjadi bahan ajar di Universitas PGRi Prodi Seni Pertunjukan kurikulum Tari Daerah Setempat (TDS) sejak tahun 2006 sampai hari ini.

Selama 57 tahun setelah menciptakan Tari yang berjudul Tari Tanggai, tidak pernah ada polemik yang berkembang dalam masyarakat tentang siapa pencipta tari Tari Tanggai, danvtari yang berjudul Tari Tanggai ciptaan Elly Rudy terus ditampilkan, diajarkan dan bisa diterima oleh masyarakat. Pernyataan bahwa Elly Rudy Maestro Tari adalah pencipta gerak dan Tari Tanggai juga tidak terbantahkan. Karena pada tahun 2014, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) Kota Palembang merilis DVD Dokumentasi Tari yang di dalamnya berisi video 4 tarian termasuk Tari Tanggai ciptaan Elly Rudy. DVD tersebut merupakan produksi Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kota Palembang dengan Pembina, Drs. M. Yanurpan Yany, MM, Pengarah : A. Zajulli, M.Si, Ketua Lisa Surya Andika, MM, Koordinator : Iman Setiawan, S. Kom, Studio Music BALIGA, Video Shooting, Graphic Designer MANSETHA Video Editing MANG UJUK, Music Aransemen A. SAKUR Koreografer MIRZA INDAH D, EKO S. KARTINI L, SUHADA. Dalam video dokumentasi tari milik DISBUDPAR kota Palembang tersebut, Tari Tanggai Elly Rudi berada di posisi nomor 1. Dan tertulis bahwa pencipta gerak dan Tari Tanggai adalah Elly Rudy.

Makna

Tari tanggai menggambarkan keramahan, dan rasa hormat masyarakat Palembang atas kehadiran sang tamu, dan dalam tari ini tersirat sebuah makna ucapan selamat datang dari orang yang mempunyai acara kepada para tamu.[3][4][5]

Musik

Musik pengiring di dalam tari tanggai merupakan sebuah musik yang menggabungkan sebuah instrumental yang digarap oleh komponis dan sekaligus diiringi oleh beberapa gendang dan satu buah gong yang berperan sebagai ritme.[6]

Iringan instrumental di dalam tari tanggai sendiri menggambarkan nuansa melayu, dan tidak meninggalkan warna atau rasa dari musik daerah Palembang.[6] Adapun alat musik yang dipergunakan untuk mengiringi tari tanggai adalah:

Judul dari lagu pengiring tari tanggai adalah “Enam Bersaudara”.[6] Pada saat ini, di dalam penyajian musik tari tanggai, seseorang yang akan mengadakan acara melihat situasi dan kondisi tempat dari pemilik acara, sehingga nantinya lagu “Enam Bersaudara" bisa diiringi oleh organ tunggal, band, atau juga dapat menggunakan alat musik tradisional khas daerah.[6]

Gerakan

Ragam Gerak

Tari Tanggai mempunyai wujud atau bentuk yang tersusun dari rangkaian-rangkaian gerak atau motif gerak yang telah di kembangkan dan di kreasikan menjadi satu kesatuan yang utuh.[6] Sehingga membentuk sebuah struktur tari.[6]

Adapun struktur gerakan tari adalah sebagai berikut:

  • Gerakan tari awal
  1. Gerak masuk posisi sembah
  2. Gerak Borobudur hormat
  3. Gerak Sembah berdiri
  4. Jalan keset
  5. Kecubung berdiri bawa kanan
  6. Kecubung bawah kiri
  7. Kecubung berdiri atas kanan
  8. Kecubung atas kiri
  9. Ukur benang.[6]
  • Gerak tari pokok
  1. Tutur sabda
  2. Sembah duduk
  3. Tabur bunga duduk kanan dan kiri
  4. Memohon duduk kanan
  5. Kecubung duduk kanan dan kiri
  6. Stupa kanan dan kiri
  7. Tutur sabda
  8. Borobudur
  9. Ulur benang.[6]
  • Gerakan tari akhir
  1. Tolak bala berdiri kanan dan kiri
  2. Nyumping berdiri kanan dan kiri
  3. Mendengar berdiri kanan dan kiri
  4. Tumpang tali/ulur benang berdiri kanan dan kiri
  5. Sembah berdiri
  6. Borobudur berdiri
  7. Borobudur hormat.[6]

Tujuan

Hiburan

Tari tanggai selalu ditampilkan setiap acara adat, baik secara resmi maupun tidak resmi.[6] Dalam hal ini bagi para penari, Tari tanggai mempunyai kenikmatan tersendiri bagi mereka sendiri dan secara tidak langsung dapat menghibur diri para tamu yang datang.[6]

Simbol kehormatan

Salah satu penari harus ada yang menjadi primadona dan akan membawa tepak yang berisikan sekapur sirih yang merupakan simbol kehormatan.[6] Sedangkan tamu kehormatan diberikan sekapur sirih sebagai simbol bahwa masyarakat Palembang siap menerima tamu tersebut.[6] Penari tersebut membawa kapur sirih jadi dan sirih tak jadi.[6] Sirih jadi adalah sirih yang sudah diramu, sedangkan sirih tak jadi adalah yang akan diramu oleh tamu itu sendiri.[6]

Pendidikan

Selain memiliki unsur hiburan, Tari tanggai juga memiliki unsur pendidikannya, khususnya dalam bidang seni tari.[6]

Referensi

https://www.atmago.com/berita-warga/sejarah-munculnya-tari-tanggai_c48f1780-535e-494e-bc93-784807cd6060

https://perpus-bpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php?p=show_detail&id=2750

https://www.youtube.com/watch?v=FHGpUY04lfE

https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=1142549

  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama t
  2. ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama o
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama l
  4. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama z
  5. ^ (Inggris) Aripratna. "Tari Tanggai" (pdf). Diakses tanggal 28 April 2014. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q (Indonesia) "Tari Tanggai Sumatra Selatan". Diakses tanggal 26 April 2014.